Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

REFLEKSI KEADILAN (GENERAL JUSTICE) DAN DEMOKRASI DALAM SUATU PRODUK HUKUM SAAT INI

C.       Analisa Singkat Prinsip Keadilan dan Hukum Dalam Kehidupan Saat ini
Sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya, bahwa keadilan, hukum, dan demokrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Ketiga elemen tersebut juga merupakan satu kesatuan dengan masalah HAM. Jika dalam suatu negara supremasi hukumnya tidak dijunjung tinggi pasti disitu keadilan diabaikan. Jika keadilan diabaikan maka pasti kebebasan berdemokrasi juga terabaikan. Pengabaian prinsip-prinsip supremasi hukum keadilan dan demokrasi merupakan pelanggaran terhadap HAM. Pelanggaran terhadap HAM dapat dikenali dari system kekuasaan itu sendiri, berupa antara lain karena adanya system kekuasaan yang otoritarian atau kediktatoran. Dengan sendirinya maka penguasa tidak dapat memperhatikan HAM otomatis tidak memperhatikan atau tidak menjunjung tinggi hukum, kekuasaan tidak di bawah hukum melainkan di atas hukum.

Bagir Manan mengatakan:
Membangun sistem kekuasaan yang menjunjung tinggi hak rakyat dalam sistem demokrasi dan kekuasaan yang menjunjung tinggi hukum negara (negara hukum) merupakan conditio sinen quanon bagi jaminan HAM. Kunci utama membangun demokrasi dari negara hukum adalah memberdayakan rakyat. Tanpa memberdayakan rakyat, berbagai institusi demo krasi dan negara hukum dapat direkayasa bahkan dimanipulasi untuk kepentingan penguasa.

Dalam hal ini penulis mencoba melihat dan mengem bangkan prinsip-prinsip general justice atau keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh O. Notohamidjojo tersebut sebelum nya, yaitu ketaatan secara umum kepada undang-undang sudah dianggap turut menyelenggarakan kesejahteraan umum. Ketaatan berarti bagaimana seseorang, kelompok, masyarakat ataupun institusi-institusi melakukan atau menjalankan prinsip-prinsip yang ditentukan berdasarkan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Di samping itu, perlu diperhatikan bahwa setiap ketentuan yang berlaku (hukum positif) muatannya merupakan endapan berbagai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, baik dilihat dari aspek sosiologis, politik, maupun aspek yuridis. Oleh karena itu berlakunya hukum dalam suatu masyarakat harus tetap mem perhatikan tiga aspek sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman, terdiri dari legal structure, legal substance, dan legal culture.

Pengadilan, eksekutif, dan parlemen atau badan legislative adalah struktur system hukum. Bagaimana badan yudikatif, eksekutif, dan legislative melakukan fungsinya. Apa yang boleh dan tidak dilakukan masing-masing institusi tersebut. Disini sangat perlu adanya check and balances. Aspek lain menyangkut substansi hukum yaitu pengaturan, norma/kaidah, yurisprudensi, termasuk pola tingkah laku dari masyarakat (living law).
Budaya hukum menyangkut sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang dianut. Jadi budaya hukum terlepas dari iklim pemikiran social dan kekuatan social yang menekankan bagaimana hukum tersebut digunakan secara efektif, dihindari, atau dilanggar. Tanpa budaya hukum sistem hukum tidak ada bedanya.
Apabila dilihat kenyataan yang ada saat ini dikaitkan pada proses pembuatan dan pembahasan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (semula pada saat diajukan ke DPR Ri judulnya adalah RUU KKN), mendapat reaksi yang sangat kuat dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa. Disini menurut penulis terdapat suatu link yang putus antara masyarakat dan wakil rakyat (DPR RI) dimana pada saat pembahasan RUU DPR RI tidak mem perhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang di luar siding. Padahal dalam suatu proses berdemokrasi bahwa partisipasi rakyat merupakan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik baik kolektif maupun pribadi. Sudah tentu partisipasi masyarakat ada yang dilakukan secara konstruktif dan ada yang destruktif. Hal ini tergantung bagaimana respon penguasa mengakomodai atau merespons kebutuhan masyarakat. Namun dalam negara-negara yang otoriter bahwa produk-produk hukum selalu diwarnai oleh kepentingan penguasa. Padahal yang penting dari prinsio hukum itu adalah harus ada kelanjutannya yaitu membawa keadilan bagi segenap rakyat melalui perjuangan terus menerus sehingga rule of law berubah menjadi rule of life.
Oleh karena itu dalam kenyataannya juga selain bahwa hukum itu berkaitan dengan bidang politik, juga selalu berkaitan dengan bidang ekonomi dan social, kemudian hukum mempunyai fungsi untuk membentuk dan member arah pada bidang politik, ekonomi, dan social. Oleh karena itu berkembanglah karakter hukum yang sangat fundamental bagi berlakunya hukum, akan tetapi jarang mengisolasir hukum dari kenyataan social dalam proses perubahan oleh karena tekanannya pada keteraturan. Itulah yang dilihat dari adanya usaha pemerintah untuk ngotot member lakukan atau mensahkan RUU PKB yang disetujui DPR RI dengan suatu alasan keteraturan yang terjadi pada saat itu merupakan keteraturan yang semu karena merupakan rpoduk dari penguasa yang tidak memper hatikan atau mengakomodir kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan terutama yang selalu dimarjinalkan oleh penguasa melalui berbagai kebijakan-kebijakan yang dikeluar kan. Untuk itu harus diterima bahwa apa yang dipahami sebagai hukum itu lebih dari norma hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Hukum yang baik tidak semata-mata ditentukan oleh ketapatan aspeh yuridis melainkan secara moral substansi hukum tidak bertentangan dengan keadilan dan mempunyai relevansi actual dengan masyarakat. Pembenaran hukum dari segi moral penting guna menghindari kezalilam penguasa yang memper gunakan hukum sebagai alat penindasan. Termasuk dalam legitimasi moral atas hukum adalah keberanian untuk mengubah norma hukum atau perundang-undangan yang tidak relevan agar adil dan mengikat.
Hukum yang baik tidak melenyapkan perbedaan dengan menonjolkan yang kuat atau yang besar mendominasi yang kecil. Oleh karena itu, semakin besar diskriminasi antara penguasa dengan rasa keadilan masyarakat, semakin besar pula tingkat ketidakpedulian masyarakat kepada hukum.
Bagaimana kunci utama dalam berbangsa dan bernegara adalah kepatuhan kepada hukum seba gaimana yang dikatakan oleh Roger H. Soltan dalam bukunya Ramli Hutabarat “obedience to law is a duty”, dalam hal ini semua warga Negara, penguasa dan juga termasuk para penegak hukum itu sendiri haruslah mematuhi hukum sebagai ujud general justice.
B.       Simpulan
1.        Ditemui berbagai macam teori mengenai keadilan dan bentuk-bentuk keadilan, namun ada bentuk atau jenis keadilan yang bersifat umum atau general justice yaitu keadilan yang menuntut ketaatan kepada undang-undang atau hukum dan ketaatan kepada undang-undang yang dianggap sebagai kepen tingan masyarakat luas dan dianggap sudah turut menyeleng garakan kepentingan umum.
2.         Keadilan dan kepastian hukum tidaklah sama,karena kepastian hukum belum tentu mencerminkan adanya rasa keadilan. Kepastian hukum banyak berbicara mengenai masalah prosedur dan kelembagaan. Demikian juga keadilan tidak bisa dilepaskan dari hukum, demokrasi, dan HAM, karena tujuan hukum adalah sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kehidupan berdemokrasi, sebagai bahan yang tidak terpisahkan dengan perlin dungan dan pengakuan terhadap HAM.
3.        Produk hukum yang berlaku tidak jarang merupakan produk politik penguasa yang diyusti fikasi melalui lembaga legislatif. Oleh karena itu produk hukum yang demikian sering menjadi hukum yang represif dan protektif bagi penguasa agar kedudukan nya lebih langgeng. Jadi produk hukum yang demikian merupakan produk hukum yang direkayasa untuk ke pentingan penguasa. Oleh karena itu, hukum yang baik tidak semata-mata ditentukan oleh aspek yuridisnya namun tidak bertentangan dengan keadilan dan mempunysi relevansi dengan kehidupan masyarakat secara aktual.


   
     DAFTAR  PUSTAKA
Alexander Seran, Moral Politik Hukum, Obor, Jakarta, 1999, cet. 1.
Bagir Manan, Sanksi-sanksi Internasional Pelanggaran Hak Asasi Manusia, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Mengenai Aspek Internasional Implementasi Konvensi-konvensi PBB tentang Hak Asasi Manusia Bagi Negara-Negara Berkembang, Jakarta 25 Oktober 1999.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, Mandar, Bandung, 1999, cet. 1.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, PT Grasindo, Jakarta, 1999,cet. 1.
Dias R.W.M., Jurisprudence, Butler & Tanner Ltd., Frome and London, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan