Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

LANDASAN HUKUM, BATAS WEWENANG, DAN KEWAJIBAN SATUAN PENGAMANAN DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG KEPOLISIAN TERBATAS DI LINGKUNGANNYA


BAGIAN V


A.      Pendahuluan

Satuan Pengamanan (Satpam) [1] sangat menarik untuk dibahas, karena kita mengetahui bahwa Satpam merupakan unsur yang sangat penting dan strategis dalam membantu tugas-tugas Polri selaku institusi yang dikedepankan oleh negara dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri. Karena jika dibandingkan/diperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, ragam tingkat kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan segala fenomena sosial yang menyertainya. Eksistensi Polri baik dilihat dari jumlah maupun kualitas sumber daya yang ada sampai saat ini belum cukup untuk meujudkan keamanan dan ketertiban bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itulah diperlukan berbagai elemen dari masyarakat untuk membantu tugas-tugas Polri dalam menciptakan dan memelihara keamanan ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian sifat keberadaan Satpam di lingkungan dimana ia bertugas merupakan satu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan/inisiatif/kesadaran dan kepentingan pengamanan sekelompok masyarakat atau korporasi. Apabila setiap lingkungan masyarakat sudah tertib, maka dengan sendirinya sangat membantu Polri dalam mewujudkan perannya sebagai stakeholder yang dikedepankan dalam menjaga keamanan dalam negeri.

Dalam Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri ditentukan:  
”(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara RI yang dibantu oleh: 
a.   kepolisian khusus;
b.   penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
c.   bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2)  Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”

Dalam perkembangan pertumbuhan Satpam saat ini sudah sedemikian pesatnya dan merupakan salah satu lapangan kerja yang relatif banyak menyerap tenaga kerja dalam berbagai bidang usaha (korporasi) dan pemukiman penduduk, namun bila diperhatikan masih banyak anggota Satpam belum terdidik dengan baik, yang penting menggunakan seragam Satpam, sehingga kurang mengerti apa yang menjadi tugas dan kewajibannya. Disamping itu masih ada beberapa instansi pemerintah yang merekrut dan mendidik anggota Satpam tanpa bekerja sama dengan instansi kepolisian setempat, sehingga keberadaan Satpam tersebut kurang mengerti apa yang menjadi tugas dan wewenangnya terutama kalau terjadi suatu kejadian, dan bagaimana follow up-nya.

Konsitusional UUD RI 1945 sebagai norma dasar telah memandang bahwa masalah keamanan begitu penting dan sangat menentukan dalam kelangsungan eksistensi suatu Negara. Oleh karena itu tanpa keamanan, tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Konstitusi UUD RI 1945  tidak akan tercapai. Selanjutnya di dalam  mewujudkan keamanan tidak akan dapat dilaksanakan sendiri oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya, oleh karena itu harus dibantu oleh masyarakat, dengan kata lain partisipasi masyarakat dalam meujudkan kemanan negara merupakan prinsip yang sangat mendasar sebagaimana ditentukan dalam pasal Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 telah dimuat mengenai:

Sayangnya bagaimana keketerlibatan rakyat sebagai kekuatan pendukung dalam pelaksanaan keamanan nasional belum diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 30 ayat (5) UUD RI 1945: “Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.” Padahal politik hukum yang diletakkan/dicitakan oleh  dalam Pasal 30 ayat (5) akan terkait antara lain dengan:
(1)      prinsip-prinsip atau asas-asas pelaksanaan keikutsertaan masyarakat dalam keamanan;
(2)      syarat-syarat keikutsertaan warga negara untuk usaha pelaksanaan keamanan;
(3)      hak-hak dan kewajiban setiap masyarakat dalam pelaksanaan keamanan     khususnya di lingkungannya;
(4)      bagaimana pertanggungjawaban setiap warga negara dalam pelaksanaan keamanan dan cara-cara pelaksanaan pelibatan setiap warga negara; dan
(5)      bagaimana pengawasan pelaksanaan keamanan.

B.       Konsepsi Tentang Keamanan

Bahwa salah satu tujuan negara adalah memberikan perlindungan kepada warganya sebagaimana disebutkan dalam teori perjanjian sosial (due contra social)  oleh Thomas Hobbes bahwa masyarakat telah menyerahkan hak-hak alaminya kepada negara yang dibentuk atas kekuatan perjanjian, oleh karena itu negara wajib menjamin hak-hak setiap warga negara antara lain termasuk hak untuk hidup aman dan tenteram dari gangguan atau serangan sesama, sebab sasaran pertama negara adalah menjamin keamanan. Agar keamanan dapat dijamin, negara harus kuat[2], dan negara memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya.[3] Tujuannya adalah agar keadaan tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk mengarahkan inividu-individu dalam masyarakat.

Menyikapi teori yang dikemukan oleh Thomas Hobbes, maka setiap umat manusia di dunia ini pasti memerlukan rasa aman[4], aman dari berbagai gangguan yang dapat mengganggu seseorang dalam melaksanakan eksistensinya, atau dengan kata lain aman bagi setiap manusia atau masyarakat dalam melaksanakan daya dan usahanya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, (aman diperjalanan pada saat bepergian, aman pada saat bekerja/berusaha, aman di tempat tinggal/pemukiman, dan lain-lain). Pada saat terjadi gangguan atau ancaman terhadap kehidupan seseorang atau kelompok, secara individu atau dalam ikatan kelompok manusia selalu berusaha untuk melindungi dirinya agar terhindar dari berbagai ancaman yang mengganggu bahkan yang lebih ekstrim terhindar dari acaman yang dapat meniadakan eksistensi seseorang.

Karena demikian pentingnya keamanan diciptakan dan dipelihara agar pembangunan dapat terlaksanakan dengan baik, maka dalam konsiderans UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri ditentukan:
”Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama untuk mendukung terujudnya masyarakat madani yang adil dan makmur dan  berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Konsideran sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tersebut sejalan dengan hakekat tentang keamanan sebagaimana telah dikenal dalam doktrin yang disebut “tata tentram kerta raharja” yaitu sebagai suatu gambaran dalam melaksanakan upaya menuju cita-cita rakyat menuju adil dan makmur melalui pemeliharaan situasi yang kondusif bagi kelancaran pembangunan. Adapun pengertian dari masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut:[5]
a.        tata: yaitu dilaksanakan melalui penegakan aturan hukum di dalam masyarakat akan terwujud tatanan kehidupan yang teratur dan tertib;
b.        tentram: terpeliharanya tata tertib dalam kehidupan masyarakat akan menimbulkan rasa tentram warga masyarakat;
c.         kerta: suasana yang tentram dan damai menjamin kelancaran kegiatan berproduksi/meningkatkan gairah kerja;
d.        raharja: meningkatkan gairah kerja akan meningkatkan produktivitas, sehingga tercapailah kesejahteraan rakyat.

Terkait dengan masalah ”aman” dapat diberikan beberapa pengertian yaitu:[6]
a.         Security: aman dari gangguan atau ancaman yang dapat membahayakan;
b.         Safety: selamat dari kecelakaan, bencana atau marah bahaya yang dapat mengancam keselamatan kehidupan individu, masyarakat termasuk harta benda;
c.         Surety: jaminan adanya kepastian/keyakinan suatu kegiatan dapat berlangsung lancar, aman dan tertib, termasuk jaminan adanya kepastian hukum (certainty) dan
d.        Peace: suasana damai dan tentram. 
Dengan demikian prinsip pelaksanaan keamanan tidak terlepas dari unsur pengayoman yang wajib diberikan oleh negara melalui alat perlengkapannya (antara lain elemen-elemn dari pemerintah) kepada warganya. Pelaksanaan pengayoman itu dilakukan dengan usaha untuk mewujudkan:[7]
a.         ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas;
b.         kedamaian yang berketenteraman;
c.         keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif);
d.        kesejahteraan dan keadilan sosial; dan
e.         pembinaan akhlak luhur.

Konsitusional UUD RI 1945 sebagai norma dasar telah memandang bahwa masalah keamanan begitu penting dalam kelangsungan eksistensi suatu negara, oleh karena itu tanpa keamanan, tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Konstitusi UUD RI 1945 tidak akan tercapai. Selanjutnya di dalam mewujudkan keamanan tidak akan dapat dilaksanakan sendiri oleh negara secara formal (supra struktur) melalui alat-alat perlengkapannya. Oleh karena itu harus dibantu oleh masyarakat, dengan kata lain partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan negara merupakan prinsip yang sangat mendasar sebagaimana ditentukan dalam pasal Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 telah dimuat mengenai:
”Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”

Pemberdayaan masyarakat agar turut serta berpartisipasi dalam memikirkan, dan melaksanakan keamanan di lingkungannya merupakan penjabaran dari pengamanan swakarsa baik yang telah ditetapkan dalam norma dasar UUD RI 1945 (Pasal 30 ayat (4) maupun dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (Pasal 3 ayat (1) huruf c), merupakan bagian dari pelaksaaan pemolisian masyarakat yang mendasari pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama oleh polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan Polri dengan warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban dilingkungannya.[8]

Sebenarnya kalau dikembalikan kepada kultur asli Indonesia adanya politik hukum mengenai perlunya partisipasi masyarakat untuk menciptakan, memelihara/menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat  merupakan bagian dari prinsip hidup asli bangsa Indonesia yang selalu menekankan ”gotong royong” dalam mengatasi atau memecahkan persoalan di tengah-tengah masyarakat, antara lain agar dilakukan pengamanan secara bersama-sama (saat ini sering disebut ronda malam/siskamling).              
  
C.      Eksistensi Satpam

Eksistensi Satpam adalah menyangkut keberadaannya, baik dilihat dari tugas, fungsi, wewenang dan perannya membantu Polri dalam melaksanakan tugas-tugas kepolisian secara terbatas, artinya hanya terkait dengan tugas-tugas kepolisian di bidang penegakan hukum bersifat pencegahan (preventif) dilingkungannya bertugas sebagai Satpam, bukan melakukan penegakkan hukum (law enforcement)  yang bersifat penindakan atau repressif, kecuali dalam hal tertangkap tangan[9], semua orang berhak melakukan penangkapan dan segera setelah melakukan penangkapan segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti ke kantor Polri yang terdekat.

Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) hruf c UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan: 
“Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”  adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara RI., seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.”
”Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam “lingkup kuasa tempat” (teritorial gebied/ ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada satuan pada pertokoan. Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri.”

Lebih lanjut ditentukan dalam pasal 14 ayat (1) huruf f yang berbunyi:
“(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Polri bertugas:
f.     melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis      terhadap kepolisian khusus, penyidik PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.”

Menyikapi rumusan penjelasan dari Pasal 3 ayat (1) huruf a jo. Pasal 14 ayat (1) huruf f, pengukuhan dan pengaturan mengenai eksistensi Satpam berada di tangan Polri. Untuk jabaran ketentuan tersebut, Kapolri telah menerbitkan  dasar hukum berupa Peraturan Kapolri Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Menejemen Pengamanan Organisasi Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah.

Dalam Pasal 6 Perkap tersebut ditentukan mengenai tugas[10], fungsi[11], dan peranan[12] Satpam. Oleh karena itu Satpam dalam melaksanakan tupoksinya yaitu menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di lingkungan/tempat kerjanya merupakan unsur yang membantu tupoksi dan peran Polri wajib senantiasa memperhatikan dan melaksanakan sistem manejemen pengamanan mulai dari prencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan agar menghasilkan tujuan yang diharapkan oleh lingkungan, organisasi atau korporasi dimana Satpam bertugas demi menambah nilai tambah perusahaan/korporasi  berupa rasa aman yang kondusif dan berlangsung secara terus menerus.

Tugas-tugas kepolisian terbatas yang dapat dilaksanakan oleh Satpam antara lain melakukan:
a.         pengaturan;
b.         penjagaan;
c.         patroli dilingkungan kerja/korporasi;
d.        mencatat-kejadian-kejadian yang mecurigakan;
e.         melaporkan kepada Polri dan atasan Satpam kalau ada peristiwa pidana yang terjadi dilingkungan kerjanya;
f.          menangkap seseorang yang sedang berbuat pidana (kejahatan/pelanggaan);
g.         mengamankan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang terjadi dilingkungan kerjanya;
h.         segera menolong korban.

Satpam disebut sebagai unsur pembantu Polri dalam melaksanakan tupoksi dan perannya, maka dalam ini bukan berarti Satpam berkedudukan sebagai sub ordinasi dari Polri melainkan hanya membantu secara fungsional tugas-tugas kepolisian secara terbatas. Atas kedudukan Satpam tersebut ada  pihak-pihak tertentu yang kurang mengerti ketentuan dimaksud dan bahkan walaupun telah mengerti, karena alasan “komersial” (tanda petik dari penulis) dapat dijadikan sebagai suatu alasan untuk merekayasa agar pembinaan/pengukuhan Satpam tidak hanya berada di tangan Polri, namun intansi pemerintah lainnya juga dapat melakukan pembinaan/ pengukuhan.  Dalam kesistiman baik mulai dari pendidikan, pembinaan teknis-teknis dan taktis pelaksanaan tugas-tugas kepolisian secara terbatas dilingkungan tempat tinggal/korporasi Satpam bertugas, kalau tidak berada di bawah pengawasan dan pembinaan  Polri selaku Stakeholder dan yang dikedepankan dalam meujudkan Kamtimas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan melanggar hukum.

Untuk mengatasi hal-hal yang demikian, maka Polri harus senantiasa aktif memberikan pembinaan agar pemahaman terhadap esksitensi Satpam termasuk pembinaan baik pembinaan teknis Kepolisian maupun sistem manajemen pembinaan atas Satpam dapat dilaksanakan secara seragam demi tercapainya Kamtimas yang  kondusif, terutama dalam menjelang Pemilu yang akan segera dilaksanakan, karena situasi politik yang memanas yang dapat berimplikasi timbulnya gangguan terhadap Kamtimas. Sekaligus juga Polri harus senantiasa melakukan koordinasi dan/atau pengawasan terhadap lembaga-lembaga/ korporasi penyedia jasa tenaga perekrutan dan penyaluran Satpam, karena saat ini usaha korporasi atau korporasi di bidang penyedia tenaga Satpam raltif cukup menjanjikan dari segi finasial. 
















DAFTAR  PUSTAKA


DAFTAR BUKU

1.        Anak Agung Bayu Perwita, Sistem Pertahnan dan Keamanan Negara, Propatria, Jakarta, 2006, cet. 1.
2.        Artidjo Alkostar, Tuntutan Polisi Dalam Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan: Dalam Polisi dan Masyarakat, Senat Mahasiswa H UII, Yogyakarta, 1995.
3.        Budihardjo, Tata Ruang Pembangunan Daerah Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional,      University Press, Yogyakarta, 1995, cet. 1.
4.        Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, cet. 1, (diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto dari judul asli: Social Conflict).
5.        George P. Fletcher, Basic Comcept of Legal Thought, Oxford University Press, New York, 1996.
6.        J. Brady Anderson, Promoting The Rule Of Law Around The Wordl, Association of Tiras Lawyers of America, 2000.
7.        John Hnery Maryman, The Civil Law  Tradition And Lathin America, 127, 2nd ed., 1985.
8.        Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Badan Pembinaan Hukum, Jakarta, 1983, cet, ke-2.
9.        Ronny Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remaja Karya, Bandung, 1985, cet. 1.
10.    _______________, Hukum Dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1985, Cet. 1.
11.    Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1977, cet.1.
12.    Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke Indonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, cet. 1.
13.    Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985.
14.    Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. 1.

15.    Thep Huibers, Filasafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Jakarta, 1988,              cet. ke-4.
16.    Jurnal Tata Negara, Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Beberapa Teori Dalam Hukum Tata Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Vol. 1  No. 1, Juli 2003.
17.    Aryanto Sutadi, Naskah Akademik Tentang Penyelenggaraan Kemanan Negara Republik Indonesia, Draft Ke-4, Juli 2008.


DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.             Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.             _______________, Undang-Undang Darurat Tahun 1951 tentang Larangan Membawa Bahan Peledak, Senjata Api, Senjata Tajam, dan Barang-barang Berbahaya Lainnya Tanpa Izin
3.             _______________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4.             _______________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
5.             _______________, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Peerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
6.             _______________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7.             _______________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8.             _______________, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan.
9.             _______________, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa.
10.         _______________, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
11.         _______________, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
12.         _______________, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
13.         _______________, Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
14.         _______________, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
15.         _______________, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
16.         _______________, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah.
17.         _______________, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
18.         _______________, Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.

DAFTAR ARTIKEL
1.        Adrianus Meliala, Mewujudkan Supremasi Hukum di Tengah Perubahan Sosial, makalah disampaikan dalam pada seminar yang diselenggarakan oleh Puslit. Kemasyarakatan LIPI Jakarta bekerjasama dengan Sespimpol, Jakarta 17 Mei 2004.

2.        Naskah Akademik Sistem Keamanan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.






[1] Dalam Pasal 1 butir 6 Peraturan Kapolri Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah, Satpam adalah: “Satuan atau kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/badan usaha untuk melaksanakan pengamanan dalam rangka menyelenggarakan keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya.”
[2] Thep Huibers, Filasafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta,  Jakarta, 1988, cet. ke-4, hal 66.
[3] Jurnal Tata Negara, Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Beberapa Teori Dalam Hukum Tata Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Vol. 1  No. 1, Juli 2003., hal. 312-313.
[4] Hak atas rasa aman merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945, dalam Pasal 28G.
[5] Aryanto Sutadi, Naskah Akademik Tentang Penyelenggaraan Kemanan Negara Republik Indonesia, Draft Ke-4, Juli 2008, hal. 20.        
[6] Naskah Akademik Sistem Keamanan Nasional, yang dibuat oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, hal. 28-29.
[7] Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke Indonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, cet. 1, hal. 406.
[8] Lihat Pasal 1 butir 7 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
[9] Pasal 1 butir 19 KUHAP memberikan pengertian tentang tertangkap tangan, adalah: tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberpa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindakan.
[10] Pasal 6 ayat (1):  Tugas pokok Satpam adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di lingkungan/tempat kerjanya yang meliputi aspek pengamanan fisik, personel, informasi dan pengamanan teknis lainnya.
[11] Pasal 6 ayat (2):  Fungsi Satpam  adalah untuk melindungi dan mengayomi lingkungan/tempat kerjanya dari setiap gangguan keamanan, serta menegakkan peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan kerjanya.
[12] Pasal 6 ayat (3):  Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas, Satpam berperan: (a) Unsur pembantu pimpinan organisasi, perusahaan dan/atau instansi lembaga pemerintah, pengguna Satpam di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban lingkungan/tempat kerjanya; (b) Unsur pembantu Polri dalam pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan peraturan perundang-undangan serta menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan keamanan (security mindedness dan security awarness) dilingkungan/tempat kerjanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan