Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DAN PENERAPANNYA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA


BAGIAN III


A.      Pendahuluan

Dalam era global yang semakin berkembang terdapat tiga issue utama yang terus dibicarakan masyarakat internasional yaitu issu perkembangan politik demokratisasi, issue lingkungan hidup dan issue perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).[1]  Ketiga issue ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain sebagaimana disepakati dalam konferensi HAM sedunia pada tahun 1993 di Wina berupa pembangunan dan HAM (dengan sendirinya juga demokrasi) terjalin sangat erat dan memperkuat satu sama lain.[2]

Pembangunan kini dipandang tidak selalu berkaitan dengan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan spiritual yang mencakup kebebasan umat manusia, jati diri dan keamanan pribadi. Hal inilah yang berkaitan dengan adanya perlindungan HAM dalam bidang hak-hak sipil dan politik,[3] yang meliputi unsur-unsur seperti perlindungan terhadap penyiksaan, hak-hak akan peradilan yang independen, serta kedudukan yang sama di depan hukum, kebebasan dari penahanan yang sewenang-wenang, kebebasan bergerak dan bertempat tinggal, kebebasan berpikir dan beragama, dan lain-lain. Karena dalam  pemerintahan yang represif  kerap kali mencoba untuk mempertahakan kekuasaan mereka dengan memenjarakan, menganiaya dan bahkan membunuh orang-orang yang menentang kekuasaan penguasa.

Untuk menegakkan HAM agar terhindar dari berbagai  kekuasaan yang bertentangan dengan HAM telah menjadi diskursus  yang panjang mengikuti perkembangan berbagai bentuk kejahatan kemanusian yang semakin kompleks, dilakukan secara sistematis dan akibatnya meluas, baik yang dilakukan oleh masyarakat sipil maupun militer.

Secara normatif dalam  berbagai instrumen hukum internasional telah banyak diatur mengenai perlindungan terhadap HAM, namun belum sepenuhnya instrumen-instrumen internasional yang ada telah diratifikasi oleh negara Republik Indonesia, sehingga dalam menghadapi berbagai kasus yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap HAM masih timbul berbagai penafsiran, utamanya tentang pengertian yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat serta elemen-elemennya, termasuk dalam kaitannya denga pertanggungjawaban komandan atau atasan. Implikasinya agak menyulitkan para penegak hukum untuk menerapkannya sebagaimana dalam kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia apakah dalam kasus-kasus yang terjadi di Timor-Timur setelah paska jajak pendapat maupun yang terjadi di Abepura-Papua dan Peristiwa Tanjung Priok Desember 1984. Sehingga banyak pandangan dari kalangan yang tidak puas atas penanganan pelanggaran HAM yang berat di Indonesia sejak dibentuk Komisi HAM, bahkan ada yang berpendapat sebaiknya dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).[4]  
       
B.       Sekilas Sejarah Perkembangan HAM

Konsep perkembangan asal-usul HAM muncul pada tahun 1689 dalam bill of right (judul lengkapnya adalah “An Act Declaring the Right and Liberties of the Subject and Setting the Succession of the Crown/Akte Deklarasi Hak dan Kebebasan Kawula dan Tata cara Suksesi Raja”)[5] yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan individu, dan merupakan hasil perjuangan Parlemen melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuwart yang sewenang-wenang pada abad ke-17.  Disahkan setelah raja James II dipaksa turun takhta dan Willem III serta Mary II naik ke singgasana menyusul “Revolusi Gemilang” (glorious revolution) pada tahun 1988. Revolusi gemilang ini  penting karena merupakan preseden yang menunjukkan bahwa para penguasa dapat disingkirkan atas kehendak rakyat jika mereka gagal mematuhi persyaratan legitimasi konstitusional.

Lebih lanjut tahun 1791 USA mengadopsi Bill of Right yang memuat daftar hak-hak individu yang dijaminnya, dan dilaksanakan melalui amandemen terhadap konstitusi USA. Amendamen yang paling terkenal adalah: Amandemen pertama, menyangkut perlindungan terhadap kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat, dan hak berserikat. Amandemen keempat, menyangkut perlindungan individu terhadap penggeledahan dan penangkapan yang tidak beralasan. Amandemen kelima, menyangkut penetapan larangan memberatkan diri sendiri (self incrimination) dan hak atas proses hukum yang benar. Amandemen ketigabelas, yaitu menyangkut pelarangan praktek perbudakan.[6]

Demikian juga di Perancis, perjuangan perlindungan HAM dimulai dengan menghancurkan suatu sistem pemerintahan yang absolut yang sudah tua dan mendirikan suatu orde baru yang demokratis dengan menekankan prinsip bahwa kedaulatan  suatu negara terletak di tangan rakyat. Karenanya pemerintahan haruslah oleh rakyat untuk rakyat dan setiap pemerintahan yang tidak tanggap terhadap tuntutan warga negaranya dapat dirubah dengan pernyataan kehendak rakyat. Selanjutnya penyelesaian yang terjadi adalah menyusul adanya revolusi Perancis yang mencerminkan teori kontrak sosial  dan hak-hak kodrati dari   John Locke dan para filsuf Perancis seperti Monstesquieu dan Rosseau.

Deklarasi hak asasi manusia dan warga negara pada tahun 1789 memperlihatkan bahwa kebahagiaan yang sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari hak-hak manusia yang suci, tak dapat dicabut dan kodrati.  Kemudian sasaran setiap asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak ini adalah hak atas kebebasan (liberty), harta (property), keamanan, (safety) dan perlawanan terhadap penindasan (resistance to oppression).[7]
Dalam Pasal 4 Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara dinyatakan:[8]
Kebebasan berarti, dapat melakukan apa saja yang tidak merugikan orang lain: Jadi pelaksanaan hak-hak kodrati setiap manusia tidak dibatasi,  kecuali oleh batas-batas yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama ini bagi anggota masyarakat yang lain. Batas-batas ini hanya dapat ditetapkan oleh undang-undang. 

Walaupun awal berkembangan abad ke-17 dan ke-18 sebagaimana diuraikan di atas, namun barulah  pada akhir Dunia Perang II masyarakat internasional mulai menaruh minat pada promosi dan proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hukum internasional, utamanya setelah terjadi kejahatan perang yang  dilakukan oleh Nazi dibawah pimpinan Hitler  kemudian di bawa ke peradilan Nuremberg. Dengan demikian ide tentang HAM yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Karena selama perang PD II dipandang dari segi apapun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia, karena kerusakan dahsyat yang ditimbulkan pada Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup merendahkan krisis internasional.[9]

Selanjutnya perkembangan yang secara konsisten dan konsekwen dilaksanakan  Mahkamah Internasional adalah  terhadap kejahatan perang yang telah dimulai sejak masa Mahkamah Nuremberg, masa International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan Interntional Tribunal for Rwanda (ICTR).[10]

C.      Pengertian Pelanggaran HAM Yang Berat    

Pengertian pelanggaran HAM yang berat pertama sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000[11], yang menentukan:
Pelanggaran HAM yang berat meliputi:
1.         kejahatan genoside;
2.         kejahatan terhadap kemanusiaan.

Penjelasan Umum UU Nomor 26 Tahun 2000 mencantumkan:
Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam Pasal 8 UU Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu: Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara:
1.         membunuh anggota kelompok;
2.         mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3.         menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
4.         memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5.         memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.  
Dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
1.         pembunuhan;
2.         pemusnahan;
3.         perbudakan;
4.         pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.         perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6.         penyiksaan;
7.         perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.         penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum;
9.         penghilangan orang secara paksa, atau
10.     kejahatan apartheid.   

Kalau dibandingkan rumusan sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000, dengan rumusan yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah lebih singkat, karena hanya mengambil 2 (dua) elemen dari yang terdapat di dalam ICC yaitu “kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut:
1.         kejahatan genosida (the crime of genocide);
2.         kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity);
3.         kejahatan perang (war crimes);
4.         kejahatan agresi (the crime of aggression).

Kejahatan Perang dan Agresi  tidak diatur  di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma digolongkan atas 4 (empat)  kategori yaitu:       
1.         Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa, terdiri dari 8 (delapan)  jenis kejahatan perang yang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Statuta Roma).
2.         Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat 2 huruf b).
3.         Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan perang spesifik, ( diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c).
4.         Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2)).

Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2004,  yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 392 sampai dengan Pasal 395.[12] Oleh karena itu kalau RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti  yang diatur dalam Statut Roma.[13]

Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan  telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan  ketika itu berkembang pandangan berupa: thec crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi  menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya,[14] oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan   dua pertiga dari anggota majelis negara pihak.[15]   

D.      Sekilas Pertanggungjawaban Komandan

Dalam kaitannya dengan hukum perang atau sengketa tentang bersenjata, doktrin tentang tanggung jawab komandan didefenisikan sebagai tanggung jawab komandan militer terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh prajurit bawahannya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya.[16] Kemudian perkembangan pembahasannya terus menjadi perdebatan yang menarik, baik dalam hukum internasional maupun dalam berbagai hukum nasional.

Di samping itu, masalah pertanggungjawaban komandan tidak sesederhana sebagai “military commanders are responsible for the acts of their subordinates”, dan bukan sesuatu yang baru, karena pada tahun 500 BC Sun Tzu menulis dalam “the Art of war”, bahwa: “When troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes”.[17]

Tanggung jawab komando yang diatur dalam hukum perang berkaitan dengan tanggung jawab pidana seorang komando (command criminal responsibility) dan bukan tanggung jawab umum dari suatu pemegang komando (general responsibility of command). Tanggung jawab umum dalam hal ini mengandung arti tanggung jawab setiap komando di setiap tingkatan komando kepada atasannya untuk: pertama, melaksanakan tugas pokok komandonya  atau satuannya, dua, penggunaan secara efisien semua sumber-sumber yang tersedia.[18]

Tanggung jawab komando bukan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan secara pribadi, tetapi merupakan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya atau tanggung jawab atas keputusan yang  diambil oleh komandan yang menimbulkan akibat terhadap orang lain. Untuk meminta pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh prajurit yang berada di bawah komando dan pengendaliannya perlu ada unsur keterlibatan (involvement), hubungan (connection) pengetahuan (knowledge)  atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut.[19]

Menurut Muladi dapat diidentifikasi elemen utama dari pertanggungjawaban komando, yaitu: (1) adanya hubungan antara atasan dengan bawahan; (2) atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan (3) atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasan dengan bawahan bisa de jure de facto.[20]

Pelanggaran terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya kejatan. Dalam hal ini,  kejahatan tidak akan terjadi kalau tidak terjadi pelanggaran  terhadap kewajiban dinas. Kemudian, komandan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/kejahatan tersebut.[21]

Berdasarkan batasan tentang pertanggungjawaban komando sebagaimana disebutkan sebelumnya, subjek yang harus bertanggungjawab adalah komandan militer, namun perkembangan dalam praktek, doktrin tanggung jawab komandan bukan hanya diberlakukan pada komandan militer saja, tetapi juga terhadap atasan atau penguasa sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan komando atau perintah kepada pejabat militer atau menggerakkan kekuatan militer. Sehingga muncul istilah tanggung jawab atasan (superior responsibility) disamping tanggung jawab komandan (commander responsibility). Selain itu, penerapan tanggung jawab komando dan tanggung jawab atasan tidak terbatas pada kejahatan yang terjadi di waktu perang belaka, tetapi menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan universal yang terjadi, baik di waktu perang maupun pada saat damai. Dengan demikian baik komandan maupun penguasa sipil dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas kejahatan perang dan/atau kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.[22]    

E.       Penerapan HAM Berat Dalam Peradilan di Indonesia

Mengenai penerapan hukum atas pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang bersifat “extra ordinary crimes” di Indonesia  yaitu menyangkut bagaimana penerapan dari unsur-unsur yang terdapat  di dalam kejahatan genosida dan kemanusiaan sebagaimana rumusan pidananya ditentukan  dalam UU Nomor 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM.  Untuk itu pernulis akan mengambil satu putusan Pengadilan Adhoch HAM sebagai bahan analisis, yaitu: Putusan Pengadilan Adhoc No. 02/PID/HAM/AD.HOC/2000/ PN.JKT.PST, tanggal 15 Agustus Tahun 2002, dalam Perkara X. Dalam Surat Dakwaan Ad Hoc tgl. 19 Januari 2002  Dakwaan Pertama: Terdakwa X didakwa melakukan  perbuatan yang melanggar Pasal 42 ayat (2) huruf a jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a Pasal 37 UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dakwaan Kedua: Terdakwa X didakwa melakukan perbuatan yang melanggar Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Adapun unsur-unsur dari Pasal 42 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah:
1.         Seorang atasan Polisi.
2.         Ada pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif.
3.         Atasan tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
-            atasan mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan
-            atasan tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntuan.
4.         Kejahatan terhadap kemanusiaan.
5.         Pembunuhan.

Mejelis membuktikan elemen-elemen tersebut di atas yang dimulai dari elemen ke lima  yaitu “pembunuhan”, dengan mengambil pengertian dari unsur-unsur Pasal 340 KUHP yang berbunyi: “barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain”.
Bahwa pertimbangan Mejelis Hakim berdasarkan fakta yang terungkap  di persidangan nyata dan terbukti bahwa para pelaku penyerangan telah melakukan pembunuhan yang dilakukan “dengan sengaja dan direncakan lebih dahulu” terhadap para korban di tempat-tempat peristiwa.
Bahwa salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “pembunuhan”, sedangkan unsur-unsur pembunuhan tersebut telah terbukti.
Bahwa unsur yang berikutnya yang dibuktikan oleh Majelis adalah pelanggaran terhadap HAM yang berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b sebagai berikut:
Ad 1.   Elemen seorang atasan Polisi. Unsur ini telah terbukti karena Terdakwa X adalah atasan dari beberapa anggota Polri.
Ad 2.   Elemen adanya pelanggaran HAM yang berat yang telah dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan  pengendalian yang efektif.
        Mejelis membuktikan unsur-unsur ini dengan pertimbangkan hukum dan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan berupa: Bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat menurut Pasal 7 UU Nomor 26 tahun 2000 meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan.  Kemudian menurut penjelasan Pasal 7  kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan” adalah sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court . Kemudian UU Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan suatu pengertian yang tegas kecuali dalam Pasal 9 disebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
        a.    Pembunuhan,
        b.    Pemusnahan, dst…
        Untuk menentukan ada atau tidak ada pelanggaran HAM yang berat dalam berbagai peristiwa pada tanggal 6 dan 17 April 1999 (Pasca Jajak Pendapat di Tim-Tim Tahun 1999) tergantung dari jawaban atas pertanyaan, apakah perbuatan serangan yang dilakukan termasuk sebagai bagian dari serangan yang meluas atau serangan yang sistematik (widespread or systematic attack), yang ditujukan terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan dan/atau penganiayaan. Apakah yang dimaksud dengan serangan yang meluas atau serangan yang sistematik (widespread and systematic attack). UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadian HAM tidak memberikan pengertian yang jelas, oleh karena itu majelis mengambil sandaran dari praktek dalam hukum internasional dan kepustakaan internasional.
        Majelis menyetir pendapat Arne Willy Dahl, adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is direct against a multiplicity of victims), selain itu ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis) dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (collective action- M. Charief Bassioni, Crime against humanity in the international law).
        Dalam pertimbangan mejelis menjelaskan pengertian serangan yang sistematis dengan mengemukakan pandangan berupa:
1.         Kata sistematik (systematic)  berasal dari suku kata system. Defenisi kerja (working definition) sistem selalu mengandung pengertian sebagai berikut:[23]
-            Purposive behavior the system is objective oriented;
-            wholism – the whole is more than the sum of all a large the parts;
-            Opennes – the system interacts with a large system, namely its  environment;
-            Transformation – the working of the parts creats something of value;
-            Interrelatedness –the various parts must fit together;
-            Control mechanism –there is a unifying force that holds the system together.
2.        Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatarbelakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Kemudian pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara.
3.        Pengertian serangan sistematik adalah suatu serangan yang  dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried out pursuan to a preconceived policy or plan – Are Willy Dah, Judge Advocate General Norway).    

Dari uraian sebelumnya, dihubungkan dengan fakta-fakta yang ditemukan di dalam persidangan, majelis berpendapat bahwa peristiwa pada tanggal 6 dan 17 April 1999 dan tanggal 5 dan 6 September 1999 termasuk pelanggaran HAM yang berat dengan alasan-alasan:     
1.         Serangan tersebut menimbulkan korban (massive jumlah korban), baik korban yang meninggal dunia maupun korban luka-luka yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan orang tua yang merupakan penduduk sipil serta telah terjadinya pembakaran beberapa rumah penduduk.
2.         Korban-korban tersebut terjadi dari akibat serangan di beberapa tempat.
3.         Peristiwa tersebut terjadi di beberapa tempat di wilayah Timor-Timur, yang ditujukan kepada kelompok tertentu yang sedang berada dalam jumlah yang besar dan terkonsentrasi di suatu tempat, yaitu kelompok pro kemerdekaan dan penduduk sipil dimana waktu dan keadaan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain mempunyai hubungan dan keterkaitan yang erat.
4.         Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan secara sistematis, tampak dari terorganisirnya kelompok penyerangan dari kelompok pro-intragi/otonomi menggunakan senjata api standar rakitan dan senjata tajam yang secara sadar melakukan pembunuhan dan penganiayaan dengan akibat kematian dan luka-luka yang mereka kehendaki terhadap kelompok korban, adanya tenggang waktu yang cukup bagi kelompok tersebut untuk berkumpul hingga jumlahnya ratusan bahkan sampai ribuan orang.
5.         Bahwa kelompok tersebut terorganisir, terbukti dari adanya pimpinan kelompok bahkan adanya pimpinan sub-sub kelompok (Aitarak, Besi Merah Putih, dan Pamswakarsa), dan ada pula hubungan secara defakto dari yang memerintah atau memberikan inspirasi melalui terror yang terorganisir.                                     

Bahwa kemudian mejelis berpendapat bahwa dalam konteks pembuktian pelanggaran HAM yang berat, untuk pembuktian adanya sejumlah korban apalagi jika peristiwanya sudah cukup lama dan terdapat beberapa tempat, maka menurut prakatek peradilan internasional pada beberapa Tribunal (Pengadilan Nuremberg dan ICTR) juga diterapkan  dalam pembuktian perkara ini. Dengan demikian penyerangan telah menimbulkan korban dari penduduk sipil.

Kemudian majelis juga mempertimbangkan mengenai persoalan tentang apakah korban sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh bawahan Terdakwa X yang berada di bawah pengawasan dan pengendaliannya? Untuk menjawab persoalan tersebut maka majelis harus membuktikan elemen ketiga.
Ad 3.   Elemen atasan tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar yakni:
-            atasan mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan
-            atasan tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangan untuk atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Fakta hukum yang terungkap dipersidangan ternyata Terdakwa X mengetahui adanya pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dibeberapa tempat berdasarkan laporan dari beberapa bawahannya, tetapi ternyata bahwa dalam peristiwa tersebut tidak terbukti adanya keterlibatan polisi sebagai pelaku, baik bawahan langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian tidak terbukti adanya kebijakan dari Terdakwa X dalam kedudukannya sebagai atasan baik lisan maupun tertulis kepada bawahannya untuk melakukan serangan.

Bahwa kemudian mengenai apakah layak dipertanggungjawabkan secara pidana   terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi? Tentu yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam hal ini adalah pertanggungjawaban dari atasan, dalam hal ini Terdakwa X.

Menurut doktrin, komando adalah  kekuasaan berdasarkan hukum untuk memerintah dan mengatur satuan prajurit di bawah komandonya atau terminologi komando digunakan untuk:
1.         satuan unit;
2.         aba-aba atau perintah; dan
3.         sebutan untuk satuan khusus TNI –AD.

Mejelis mengambil sandaran putusan ICTR dalam kasus Akayesu paragrap 458 (empat ratus lima puluh delapan) yang menyatakan, dimana terdapat berbagai pandangan mengenai mens rea yang diperlukan untuk tanggung jawab komando menurut satu pandangan dia berasal dari atasan legal dan kewajiban yang tetap bahwa atasan bertanggung jawab secara kriminal atas perbuatan yang dilakukan bawahannya tanpa perlu  dibuktikan maksud kriminal dari atasan.

Dalam tanggung jawab komando harus ada hubungan atasan dengan bawahan melakukan tindak pelanggaran dan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahan, misalnya kalau ada anak buah menyerang suatu perkampungan maka komandan harus diminta pertanggungjawaban.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-Timur tidak terbukti dilakukan oleh bawahan Terdakwa X, tidak relevan untuk mempertimbangkan elemen “atasan tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut  atau menyerahkan pelakunya yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dan penuntutan.

Dengan tidak terbuktinya bawahan Terdakwa X melakukan pelanggaran HAM yang berat, Terdakwa X tidak layak dibebani pertanggungjawaban Pidana HAM yang berat, atas perbuatan yang tidak terbukti dilakukan oleh bawahannya, oleh karena itu Terdakwa X dibebaskan dari segala dakwaan (vrijsprak).

Bahwa mengenai dakwaan kedua dari Jaksa Ad hoc, dengan merujuk Pasal 9 huruf h yaitu: Salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan adalah “penganiayaan terhadap kelompok tertentu.” Kemudian penganiayaan memang terbukti, tetapi kalau dikaitkan dengan elemen-elemen Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b Pasal 9 huruf h Pasal 40 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dinyatakan perbuatan Terdakwa X tidak terbukti. Dengan demikian bahwa Terdakwa X berdasarkan putusan Pengadilan Ad hoc tidak terbutki secara sah dan  meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu dan kedua.

Dari kasus Pelanggaran HAM yang berat yang anggota polisinya semula diduga terlibat melakukan pelanggaran HAM yang berat,  baik dalam peristiwa yang terdapat di Timor-Timur maupun dalam peristiwa Abepura di Jayapuran Dakwaan Jaksa Penutut Ad hoc selalu sama dan pembuktiannya juga sama. Kemudian para terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan. Namun bagaimanapun demi kepastian hukum masih lebih baik setiap kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat dibawah ke pengadilan dari pada didiamkan begitu saja,  tetap menjadi bom waktu bagi  generasi mendatang, namun bagaimanapun prinsip “without justice for the perpetrator , there  will be no peace.[24]

Kemudian menurut penulis pembuktian terhadap ketentuan sebagaimana diatur Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b UU Nomor 26 Tahun 2000 sebaiknya dilaksanakan  setelah lebih dulu memeriksa dan mengadili perkara bawahan, kemudian baru memeriksa dan mengadili pimpinan atau atasan. Dengan demikian dapat terlihat sejauh mana adanya pengabaian atau pembiaran itu dilakukan oleh atasannya terhadap tindakan bawahannya.  
 
F.       Penutup

Sejak Perang Dunia II perhatian masyarakat internasional terhadap penegakan dan pemeliharaan HAM terus meningkat, melalui berbagai pengaturan, tindakan, yang direalisasikan dalam berbagai bentuk, apakah dalam berbagai tindakan maupun melalui instrument-instrumen internasional. Termasuk di Indonesia sejak melalui berbagai peraturan perundang-undangan terus dilakukan upaya menegakan dan pemeliharaan terhadap   HAM.

Mempelajari prinsip-prinsip HAM sangat perlu menguasai berbagai sejarah perkembangannya karena akan terkait dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi berbagai kebijakan atau instrument hukum yang dikeluarkan pada saat suatu issue perkembang.

Berangkat dari pemahaman terhadap pelanggaran HAM yang berat terus mendapat perdebatan baik dalam tingkat nasional maupun internasional, namun dalam perkembangan dari beberapa peradilan yang telah dilaksanakan untuk kejahatan kemanusiaan pada masa lalu seperti Tribunal untuk kejahatan perang pada masa Hitler,  Nurember,  ICTY, dan ICTR, sangat banyak membantu terutama dalam kaitannya dengan kejahatan perang.

Penerapan kejahatan/pelanggaran HAM yang berat di Indonesia sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 belum sepenuhnya mengakomodasi pengertian tentang unsur-unsur kejahatan kemanusiaan yang  dilakukan secara meluas dan sistematis (widespread and systemaeically), sehingga dalam beberapa peradilan ad hoc yang dilaksanakan  ada ketidakpuasan dari para pencari keadilan.



[1] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 memberikan pengertian tentang hak asasi manusia yaitu: Seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
[2] Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, cet. 1, hal. vii, terjemahan dari judul asli: Human Rights.
[3] Peter R. Baehr, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998,  cet. 1, hal. 6. 
[4] Konferensi Diplomatik PBB di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 telah berhasil menetapkan Statute Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), dimana 120 negara menyetujui pembentukannya, 7 negara menentangnya dan 21 abstain.  Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional berbeda dengan ICC. Subjek dari Pengadilan Internasional adalah negara, dan sifatnya tidak permanent; sedangkan Mahkamah Pidana Internasional subjeknya bisa negara sebagai aktor maupun non aktor yang terlibat melakukan pelanggaran HAM yang berat,   dan sifatnya  permanen yang berkedudukan di Hugue, dan tidak menjadi bagian dari organisasi PBB, kemudian menjadi pelengkap dari sistem peradilan nasional, kecuali perailan nasional sungguh-sungguh tidak mampu.
[5] Scot Davitson, Op. Cit., hal. 2.
[6] Ibid., hal. 5.
[7] Ibid., hal. 6 dan 7.
[8] Ibid., hal. 6 dan 7.
[9] James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta, 1996, cet. hal.  1, diterjemahkan oleh Titis Eddy Arini, dari judul asli: Making Sense of Human Rights.
[10] Heru Cahyono, Kejahatan Perang yang Diatur Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1,  No. 1,  hal. 124.
[11] UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[12] Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (2004), hal. 95-99.
[13] Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional,  Jurnal Hukum Humaniter,  Juli 2005, vol. 1,  No. 1,  hal. 100.
[14] H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia Peradilan, Jakarta, April, 2000, Edisi XV No. 175, hal. 109.
[15] Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii.  
[16] Natsir Anshari, Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia,   Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1,  No. 1,  hal. 48, mengutip  pendapat Weston D. Burnett: “Command Responsibility and A Case Study of the Criminal Responsibility of Israel Militery Commanders for the Program at Shatila and Sabra”, 107 Militery Law Review, 1985, hal. 76.
[17] Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,  The Habibie Centre, Jakarta, 2002, cet. 1, hal. 280.
[18] Ibid., hal. 48 dan 49.
[19] Ibid., hal. 49, pendapat ini  dikutif dari: William G. Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard,  97 Militery Law Review, 1982, hal. 5.
[20] Muladi. Op. Cit. hal. 283.
[21] Natsir Anshari, Op. Cit. hal. 49.
[22] Ibid., hal. 50.
[23] Muladi, “Berbagai Dimensi Peradilan HAM”, Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi ASPEHUPIKI, bekerja sama dengan Fakultas Hukum UBAYA Surabaya, 14 Januari 2002.
[24] Howard Ball, Prosecuting War Crimes And Genocide, Pess University,Kansas, 1999, hal. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan