Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

KAPITA SELEKTA (MISCELLANEOUS) KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENERAPANNYA


BAGIAN I


Er is geen rust voor het recht”
“Er is geen rust voor jurisdiche opleiding”.
(Tiada istirahat bagi hukum, maka sebagai konsekuensi logisnya
tiada istirahat bagi pendidikan hukum)
(J.J. Loeff)

Hukum dan ilmu hukum sampai kepada kita  melalui perjalanan panjang mulai sebelum Masehi dan masih akan meneruskan perjalanannya ke masa mendatang. Perjalanan panjang itu meninggalkan jejak-jejak pergolakannya sendiri dengan manusia pada titik sentralnya. Sekarang ia lazim dibicarakan sebagai “the rule of law”.[1]

A.      Pendahuluan

Negara kesatuan Republik Indonesia secara Konstitusional kurang lebih dua minggu lagi akan memasuki usianya yang ke-64 (enam puluh empat) tahun. Untuk satu negara hukum (rechtsstaats)[2] sebagaimana telah dinyatakan oleh founding father kita adalah usia yang telah cukup matang dalam berbagai aspek hehidupan. Berbeda dengan usia manusia yang kalau memasuki usia ke-60 tahun sudah tentu akan semakin menurun dalam berbagai aspek (fisik maupun mental).

Menyikapi keberadaan negara kita dalam perjalanannya yang akan memasuki usia yang ke-64, maka dari sejarah pergerakan perjuangan untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia secara terus menerus mendapat tantangan baik dari dalam maupun dari luar, baik melalui berbagai pergerakan politik yang  berujung pada berbagai pemberontakan bersenjata, yang memakan korban jiwa relatif banyak dan pembangunan aspek-aspek politik ekonomi soal budaya dengan sendirinya terbengkalai, terutama pembangunan sistem hukum yang berakar dari budaya Indonesia untuk menggantikan hukum produk Kolonial Belanda terlambat dilakukan.

Terhadap berbagai kegiatan politik yang pernah terjadi di RI, dapat digolongkan dalam fase-fase pergerakan politik misalnya pergerakan perjuangan pada saat Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1945, pergerakan untuk memasuki era Demokarsi Parlementer sebagaimana ditentukan dalam UUD Sementara 1950, Era Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), Era Demokrasi Pancasila (Orde Baru) dan  Era Reformasi sampai saat ini.  Dalam era ini karakter pembangunan dan penerapan hukum selalu dipengaruhi situasi dan kondisi politik.

Dengan demikian hukum menjadi variabel yang dependent terhadap berbagai unsur, oleh karena itu apakah hukum itu sifatnya reformis, represif, responsif atau autonomous tergantung pada keadaan perkembangan politik yang berlaku pada saat itu. Seperti ketika pemerintahan Era Demokrasi Parlementer walaupun situasi negara tidak begitu aman (banyak terjadi pergolakan), namun karena kegiatan kehidupan politik yang demokratis, produk-produk hukum ketika itu sangat responsif dan akomodatif terhadap perkembangan kehidupan yang demokratis, terbukti pada era tersebut ada beberapa menteri yang diajukan ke persidangan dan diputus bersalah.[3]

Di era demokrasi terpimpin kehidupan politik pemerintahan berada di tangan satu orang presiden yang mengklaim dirinya sebagai presiden seumur hidup, dan beberapa produk peraturan perundang-undangan sifatnya menjadi represif yaitu dibuat untuk mempertahankan status penguasa, oleh karena itu cukup banyak produk hukum yang dikeluarkan oleh penguasa dengan dasar penetapan presiden yang isinya pembentukan atau pembubaran satu lembaga, bahkan kekuasaan kehakiman yang seharusnya merupakan satu kekuasaan yang independen dibuat berada di bawah kekuasaan eksekutif. Padahal dalam prinsip-prinsip konstitusional berbagai lembaga negara harus dibentuk dan dibubarkan berdasarkan kehendak rakyat. Untunglah bahwa situasi politik dalam era demokrasi tidak lama berlangsung, sehingga sistem pemerintahan kembali kepada prinsip-prinsip rule of law.

Kemudian dalam Demokrasi Pancasila (Orde Baru), awalnya sistem politik pemerintahan mengarah ke arah pemerintahan yang demokratis, dan rakyat telah menaruh harapan terhadap politik hukum yang akan dibentuk, namun harapan yang mulai membaik ke arah kehidupan yang demokratis hanya bertahan sekitar  tiga tahun, namun diharapkan pada saat pembentukan undang-undang kekuasaan kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970)  benar-benar kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang bebas dan mandiri, dan akan menjadi satu kekuatan yang bersifat check and balance terhadap kekuasaan lainnya. Ternyata tidak demikian halya dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena tolak ukur kepentingan politik pemerintah dengan DPR yang pada akhirnya dimenangkan oleh pemerintah sehingga karakter UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (telah dicabut dengan UU Nomor 4 Tahun 2004),  tidak populis/egaliter, dan ternyata  kekuasaan kehakiman tidak mandiri dan tetap berada di bawah kekuasaan eksekutif untuk urusan-urusan adminsitratif personalia, manajemen keuangan serta materiil logistik. Selanjutnya selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, semua produk-produk hukum sifatnya menjadi represif dan kekuasaan tetap dalam status quo, serta pemerintahan sarat dengan tindakan-tindakan dikreasi, tanpa dapat dipertanggungjwabkan  secara yuridis.

Lebih lanjut dalam era reformasi, yang dimulai dari pertengahan tahun 1998, rezim yang berkuasa turun dari kekuasaannya, kemudian dimulai kehidupan yang lebih demokratis. Para pejuang reformasi mulai melakukan reposisi terhadap hukum ketatanegaraan melalui revisi terhadap UUD Negara Republik Indonesia 1945 di mana di dalamnya sekaligus dilakukan berbagai pembubaran dan pembentukan lembaga-lembaga baru sesuai dengan prinsip-prinsip rule of law dan demokratis, seperti reposisi kedudukan kekuasaan kehakiman; pembentukan Mahkamah Kontitusi (MK)[4] untuk menguji satu produk hukum undang-undang apakah sesuai dengan konstitusi UUD RI 1945 atau tidak; serta pembentukan Komisi Yudisial (KY).[5] Sejalan dengan semangat reformasi tersebut, juga dilakukan pembangunan hukum yang diarahkan pada kehidupan yang demokratis.

Polri sebagai salah satu pengawal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip-prinsip demokrasi, melalui pembentukan budaya polisi yang beradab, merupakan satu lembaga yang telah mendapat reposisi kedudukan dan fungsinya secara fundamental, karena pada era Demokrasi Pancasila (Orde Baru) Polri telah dijadikan sebagai alat politik penguasa, sehingga penegakan hukum demi terwujudnya pelayanan dan perlindungan terhadap HAM, tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena produk hukum yang diciptakan pada era reformasi sifatnya sudah responsif, namun implementasinya masih jauh dari cukup.

Dengan sendirinya aspek penerapan hukum yang dilaksanakan selalu terdapat garis linear kepentingan-kepentingan politik yaitu: apabila kehidupan demokrasi dalam suatu negara baik, pasti produk hukum dan penerapanya akan berjalan lurus, sedangkan apabila situasi  keadaan politik  kurang baik , maka akan terdapat produk hukum yang kurang baik termasuk kebijakan dalam penerapannya. Itulah sebabnya hukum dan politik sering disebut dua hal yang tidak bisa dipisahkan namum bisa dibedakan. Hukum menjadi bagian dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sedangkan poltik merupakan penguatan untuk mendorong terlaksanaanya hukum dengan baik, di samping faktor-faktor lain tentunya.

B.       Politik Hukum Dalam Era Reformasi.

Manusia pasti membutuhkan hukum, dan tidak ada satu manusia pun yang menolak premis tersebut, perbedaan baru mulai muncul sesudah hukum itu ada. Fungsi apa yang akan kita berikan kepada hukum? Seberapa besar kekuasaan yang akan kita berikan kepadanya? Apakah hukum melindungi individu atau masyarakat? [6] Semuan pertanyaan tersebut terkait dengan politik hukum. [7]

Politik hukum dalam era reformasi sejalan dengan  perkembangan  kehidupan demokrasi yang demikian majunya, terutama jika dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya. Produk-produk hukum tersebut dapat diujudkan dengan baik antara lain karena: (a) sifat otoriter dari pemerintahan sudah mulai pudar sejalan dengan perkembangan prinsip-prinsip konstitusional; (b)  Banyak lembaga yang saling melakukan kontrol antara satu lembaga dengan lembaga lainnya; (c) Kekuasaan Mahkamah Konstitusi menjadi penyeimbang terhadap kekuasaan pembentuk undang-undang, sehingga undang-undang  sebagai produk politik tidak dibuat hanya sekedar kepentingan kelompok tertentu yang dianggap bertentangan dengan konstitusi (rule of law).

Produk hukum (undang-undang) yang dihasilkan di era reformasi secara kuantitatif relatif banyak jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, karena hampir setiap sektor kehidupan kita ada undang-undang (hukum positif) yang mengaturnya, mulai dari urusan-urusan yang terkait dengan kehidupan politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan, keamanan  dan kehidupan individu. Dengan mudah pula kita merubahnya dengan alasan tidak sesuai lagi dengan keadaan/perkembangan zaman, padahal kita mengetahui bahwa dalam membuat satu undang-undang biayanya tidak hanya ratusan juta rupia tetapi bilangannya mencapai milyaran rupiah. Di samping itu masih banyak  pihak elit/orang beranggapan bahwa dengan membentuk peraturan perundang-undangan semuanya persoalan dianggap dapat diselesaikan, padahal kita mengetahui dengan dibentuknya satu undang-undang  baru  merupakan satu permulaan dari rangkaian perbuatan yang lebih jauh dan harus dilakukan serta dipersiapkan ke depan, artinya bagaimana penerapan/implementasi satu peraturan diberlakukan dengan baik,  sehingga hukum itu  dapat menunjukkan  fungsinya yaitu:
1.         Hukum sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan (social control);
2.         Hukum sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering);
3.         Hukum sebagai sarana penegak keadilan;
4.         Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat; dan
5.         Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement mechanism).
Sosiolog hukum, Prof. Dr. Satjipto Rajardjo sering mengatakan bahwa ciri negara yang terlalu banyak melakukan regulasi secara formal terhadap berbagai kehidupan bangsa dan negaranya menunjukkan bahwa bangsa itu tidak tertib dan pada akhirnya menimbulkan banyak pelangaran-pelanggaran, karena setiap gerakan dalam kehidupan kita telah dibatasi, sedikit menyimpang dianggap telah melakukan pelanggaran dan harus dihukum melalui pendekatan hukum pidana. Padahal saat ini di negara-negara yang sudah maju pendekatan penyelesaian satu persoalan dalam kasus-kasus tertentu tidak lagi melalui penyelesaian jalur formal sistem peradilan pidana, melainkan melalui jalur non-formal, contohnya adalah pendekatan restorative justice, yaitu cara penyelesaian perkara dengan melibatkan korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya serta masyarakat, bila diperlukan juga turut hadir pihak dari pemerintah seprerti Kepolisian, Departemen Sosial dan pengacara dari masing-masing pihak. Outcome yang diharapkan dari proses restorative justice ini adalah pemulihan keseimbangan ketiga peran utama, pemenuhan hak-hak korban baik melalui pemberian biaya ganti rugi, biaya pengobatan atau permintaan maaf dari pihak pelaku[8]. Konsep penegakan hukum dengan model restorative justice telah berkembang sejak 30 tahun yang silam[9], di dalam RUU tentang Peradilan Anak konsep ini sudah dimasukkan dengan menerapkan konsep “diversi”.

Sebenarnya secara antropologi konsep penegakan hukum melalui pendekatan restorative justice sudah lama dikenal di Indonesia yaitu dalam masyarakat yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai adat dan lembaga adat khususnya dalam menyelesaikan persoalan dalam lingkungan kehidupan  mayarakat yang bersangkutan, seperti yang dapat dilihat di Irian, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bali (Penjuru Desa), Karo (Lembaga Runggun).  Hanya saja bila konsep tersebut kelembagaan tersebut berdihubungkan dengan hukum positif di Indonesia, maka harus ada hukum acara atau hukum formil yang mengatur tata caran kelembagaan tersebut untuk menjustifikasi penyelesaian tersebut, kalau tidak maka akan terjadi bias yang berujung pada ketidakkepastian hukum.                

Kebaikan dari penyelesaian perkara melalui pendekatan diversi adalah:[10]
1.         Untuk menghindari penahanan;
2.         Menghindari cap/label sebagai penjahat;
3.         Membutuhkan intervensi-intervensi yang dibutuhkan koban dan pelaku tanpa melalui proses formal;
4.         Menghindari anak mengikuti proses peradilan pidana dalam rangka menghindari pengaruh dan implikasi negatif dari proses tersebut. 

Berbicara mengenai baik-burunya implementasi terhadap satu peraturan perundang-undangan banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain faktor profesionalisme yang menjalankannya, sarana dan prasarana, anggaran, kesejahteraan, keluarga, sahabat (peer), penguasa/atasan dan kultur. Di negara-negara yang sudah maju dalam berbagai aspek kehidupan, membangun budaya hukum (legal leculture) baik masyarakat maupun para penegak hukumnya merupakan hal yang sulit dilakukan.

Realita hukum (undang-undang) yang dibangun saat ini banyak menimbulkan masalah dalam penerapannya, berakibat kepastian hukum mejadi terbaikan. Adapun berbagai faktor yang menyebabkan permasalahan dalam penerapan hukum antara lain adalah :
1.         Undang-undang yang dibuat tidak didasarkan pada penelitian yang mendalam, baik terhadap substansi yang akan diatur maupun terhadap harmonisasi dan sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sejenis.
2.         Overlapping dari berbgai peraturan yang dibuat, sehingga menyulitkan untuk diterapkan, bahkan justru menimbulkan perselisihan antara institusional karena dianggap sebagai perebutan kewenangan.
3.         Penonjolan kewenangana sektoral, sehingga kewenangan satu badan yang sudah jelas diatur dalam satu ketentuan ingin direbut, bukan juga berbagai peran tetapi saling menghilangkan dengan berbagai alasan bahwa undang-udang yang belakangan dibentuk akan menngesampingkan undang-undang/ketentuan yang terlebih dahulu dibuat.
4.         Para pembentuk undang-undang masih banyak yang tidak menguasai teknik pembentukan peraturan perundang-undngan, bahkan justru penonjolan politik yang dipentingkan daripada politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD Negara 1945.
5.         Undang-undang yang dibentuk diskriminatif, terutama dalam kaitannya dengan peraturan formalnya seperti Undang-Undang Tindak Pidana Tipikor  sebagaimana ditentukan dalam UU No. 30 Thn. 2002. Kewenangan Penyidik KPK dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, dengan kewenangan penyidik Polri dan Kejaksaan adalah tidak sama walaupun sama-sama menegakan hukum pidana materil yang sama (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi). Bahkan dengan bebas melakukan penyadapan tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang telekomunikasi
6.         Pembentuk undang-undang tidak menguasai substansi terkait dengan substansi apa yang boleh dijadikan sebagai domain undang-undang/diatur dalam undang-undang. Padahal ada sembilan materi yang harus dimuat dalam undang-undang:
a.         Tegas diperintahkan oleh UUD RI 1945.
b.        Mengatur lebih banyak ketentuan UUD RI 1945.
c.         Mengatur HAM;
d.        Mengatur Hak dan Kewajiban warga negara;
e.         Mengatur pembagian kekuasaan negara;
f.         Mengatur organisasi pokok lembaga negara;
g.        Mengatur pembagian wilayah/daerah;
h.        Mengatur siapa-siapa yang boleh menjadi warga negara dan cara untuk memperoleh warga negara;
i.          Diperintahkan oleh undang-undang untuk membentuk undang-undang.
  
C.      Permasalahan Dalam Penerapan Hukum      

Bagaimanapun baik suatu peraturan perundang-undangan, namun kalau substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu merupakan huruf-huruf mati. Oleh karena itu hendaknya kalau membuat peraturan memperhatikan 4 (emapat) hal penting yaitu: (1) Undang-undang yang dibuat harus jauh ke depan (predictability); (2) Dapat diimplementasikan (applicable); (3) Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) kepastian hukum (certainty).  Di samping itu menurut Ion Fuller ada 8 (delapan) asas yang harus diperhatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu:
1.         Harus mengandung peraturan;
2.         Peraturan yang telah diatur harus diumumkan;
3.         Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4.         Peraturan harus dirumuskan sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti;
5.         Suatu susunan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya;
6.         Peraturan tidak boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan;
7.         Tidak boleh terlalu cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum kehilangan orientasinya;
8.         Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan peraturan pelaksanaanya.                              
Suatu ketentuan sulit diterapkan karena:
1.         Substansi  saling overlapping misalnya: Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tata Ruang, Undang-Undang, Otonomi Daerah, Undang-Undang Pertambangan, Perda, dan lain-lain.
Sifat Undang-undang yang terkait dengan pengaturan di bidang kehutanan, lingkungan hidup, tata ruang, pertambangan, adalah admisntratif. Artinya sebagian besar substansinya adalah mengatur mengenai tugas dan wewenang pemerintah untuk mengatur tata pelaksanaan kegiatan di bidang kehutahan, lingkungan hidup, pertambangan, tata ruang, dan lain-lain. Oleh karena itu kriminalisasi dalam setiap ketentuan yang bersifat administratif sangat terbatas, dan perumusan norma yang dilarang selalu merujuk ke pasal-pasal yang telah diatur di depan. Demikian juga sanksi pada prinsipnya selalu didahulukan sanksi adminstratif, jika dibandingkan dengan sanksi pidana, itulah sebabnya sanksi pidana dalam hukum untuk kasus-kasus pelanggaran terhadap hukum adminstratif selalu disebut ultimum remidium.
Polri sering salah paham sehingga terjadi konflik dengan Pemda di satu pihak dan dengan Kehutanan atau Dinas Pertambangan di pihak lainnya, juga dengan subjek hukum (korporasi). Misalnya Pemda telah memberikan izin kepada seseorang/korporasi untuk melakukan sesuatu di satu tempat yang bersentuhan dengan urusan kehutanan, namun menurut kehutanan ada ketentuan yang dilanggar apakah itu mengenai izin untuk pemanfaatan lahan.  Hasilnya, yang menjadi korban adalah pengusaha/korporasi, karyawan, karena semuanya akan disita atau diberikan police line oleh penyidik Polri. Apalagi untuk menguatkan pembuktian kasus yang diajukan oleh penyidik melakukan pemeriksaan terhadap pegawai dari Kehutanan, maka pasti dia akan mempertahankan eksistensi kehutanan, padahal paradigma sudah berubah, dan saat ini kedaulatan sebagian besar telah bergeser dari pusat ke daerah (asas desentraliasasi).
Segala sesuatu yang terkait dengan  ketentuan perundang-undangan yang banyak bersentuhan dengan hukum adminstrasi pemerintahan, maka Polri harus hati-hati dalam melakukan penyidikan. Kalau sudah ada izin, dan izin diberikan secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka yang bersangkutan tidak dapat diproses secara pidana. Dianggap sudah lengkap oleh JPU, namun setelah diperiksa di pengadilan bahkan sampai ke MA banyak terdakwa dibebaskan secara murni atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum.  Pada akhirnya kita sering menyalahkan peradilan bahkan ada tuduhan yang agak miring (walaupun tidak sepenuhnya benar) bahwa peradilan tidak jujur dan tidak menghargai upaya berat yang telah dilakukan oleh penyidik dalam melakukan penyidikan. Bahkan penyidik sering tidak dapat membedakan kekuatan mengikatnya antara Perda dan Peraturan Menteri,  di samping itu ada yang mengatakan bahwa  bahwa Perda dianggap lebih tinggi dari Permen, karena Permen tidak mempunyai sanksi pidana sebagaimana yang ada dalam Perda.
Di samping itu masih ada penyidik yang sering mengakumulasi antara pelanggaran terhadap undang-undang kehutanan dengan menghubungkan dengan tindak pidana korupsi misalnya kasus illegal logging, jelas akan merugikan keuangan negara, dari teori pemidaan terkait dengan concursus realis berapa kali seseorang melakukan perbuatan yang sama harus dihukum. Oleh karena itu penyidik yang mengakumulasi seperti itu adalah tidak sah karena berdasarkan Pasal 14 UU No. 31 Thn. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi, yang intinya menentukan bahwa terhadap suatu perbuatan korupsi dapat dipersangkakan, kalau ketentuan yang dilanggar menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan juga dapat dikenakan tindak pidana korupsi.

2.         Antara Perbuatan Perdata atau Pidana
Terasa sangat sulit bagi penyidik untuk membedakan kasus yang terkait dengan kejahatan terhadap harta benda dalam kaitannya dengan tidak pidana penipuan/penggelapan atau kasus perdata. Tentunya untuk membuktikan kasus tersebut secara perdata atau tidak, maka harus diteliti secara mendalam sejauh mana ada perjanjian atau kontrak di antara seseorang dengan orang lain, subjek sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata.  Apalagi barang atau uang yang diperoleh telah dibayar dengan  cicilan, namun masih tetap diproses pidana.  Demikian juga dalam penerapan antara Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP. Cara penerapan ketentuan seperti ini memuat kumulasi satu perbuatan yang sangat berbeda secara kualitatif merupakan perbuatan yang batal demi hukum, karena unsur-unsur perbuatan penipuan dengan penggelapan sangat bertolak belakang. Jadi seharusnya kalau ada berkas pemeriksaan perkara membuat rumusan perbuatan pidana demikian, maka berkas tersebut batal demi hukum. Belum lagi kalau berbicara mengenai hukum perusahan terkait dengan masalah-masalah Badan Hukum dan pertanggungjawabannya dikatikan dengan akte-akte pendirian satu Perseroan dan bagaimana kedudukan dari pemilik saham.

3.         Mengenai kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran Kepabenan dan Cukai
a.         Polemik terkait dengan  peniadaan  wewenang penyidik Polri dalam UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Pasal 112) Jo. UU Nomor 17 Tahun 2006 dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Pasal 63) jo. UU Nomor 36 Tahun 2007, yang kemudian hanya memberikan wewenang kepada PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Kepabeanan dan Cukai sudah lama bergulir bahkan hingga saat ini. Polemik tersebut  bukan saja di kalangan Polri/penegak hukum lainnya , tetapi juga di kalangan praktisi hukum, akademisi  bahkan  di kalangan DPR, di mana tetap ada yang pro dan kontra.

b.        Secara doktrinal Indonesia menganut pandangan/aliran hukum yang positif, oleh karena itu substansi yang tertulis secara tegas tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan, kalau tidak akan menyebabkan pembatalan atas satu tindakan.

c.         Kewenangan PPNS Dirjen Kepabeanan dan Cukai dalam UU Nomor 10 Tahun 1995 jo. UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabenanan dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai  jo. UU Nomor 26 Tahun 2007  sama dengan kewenangan PPNS dalam UU Nomor 9 Tahun 1986 tentang Perikanan ketika  diberlakukan, dan di dalam UU Nomor 9 Tahun 1986 tersebut kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada PPNS dan Penyidik Perwira TNI AL. Ketentuan tersebut dipertegas dengan SEMA, yang intinya bahwa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1986 sudah final, jangan ditafsirkan lain, artinya karena wewenang penyidik Polri tidak ada dalam undang-undang tersebut, jangan dicari-cari pembenarannya.

d.        Secara teori/keilmuan disiplin hukum bahwa pihak-pihak selalu mencari pembenaran dengan menggunakan alasan sesuai dengan doktirn hukum berupa ”lex spesialis derogat lex generalis” (ketentuan khusus akan mengenyampingkan ketentuan umum). Doktrin tersebut bukan maksudnya untuk meniadakan hukum yang telah ada, tetapi mengkhususkan untuk diberlakukan yaitu melalui rumusan tambahan terhadap ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya dalam rumusan norma sering dikatakan: “hukum acara yang dipergunakan dalam ketentuan ini adalah hukum acara yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.  Jadi ketentuan yang lain adalah di luar rumusan yang ada di dalam undang-undang yang ditentukan, bukan yang telah ada, akibatnya akan terjadi kontradiksi antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.

e.         Jika rumusan seperti  tersebut pada huruf  c di atas disikapi, maka  dengan sendirinya ketentuan yang belakangan dibentuk akan meniadakan  ketentuan hukum positif yang telah ada lebih dulu, dalam hal ini misalnya UU Nomor 8 Tahun 1981 tentag HAP (KUHAP). Oleh karena itu yang dimaksud dengan kata “kecauli ditentukan lain” dalam setiap rumusan udang-undang adalah melakukan pengaturan yang bersifat tambahan atau perluasan dari rumusan yang ada dalam hukum positif yang terdahulu.

f.         Dalam proses penegakan hukum sangat bermanfaat demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum apabila kewenangan penyidik Polri ditentukan dalam berbagai undang-undang, yang sebenarnya bukan menjadikan Polri sebagai superbodi, namun sangat perlu untuk mengantisipasi perbuatan pidana yang dilakukan berbarengan dangan tindak pidana umum. Karena banyak seseorang/koorporasi lebih dulu melakukan tindak pidana umum baru kemudian melakukan tindak pidana khusus atau tertentu, misalnya yang sering terjadi melakukan pemalsuan surat-surat atau memberikan keterangan palsu.

g.        Penyidik Polri sudah banyak menangani kasus yang terkait dengan pelanggaran undang-undang kepabenan dan cukai yang dalam proses para penuntutan berkas perkara bolak balik dari Penyidik Polri ke PU, karena dianggap tidak berwenang melakukan penyidikan dan pada akhirnya harus diserahkan ke PPNS Dirjen Kepabeanan dan Cukai. Di samping itu ada yang diterima dan dilimpahkan PU ke pengadilan untuk disidangkan namun pada akhirnya dibebaskan oleh pengadilan karena dinilai penyidik Polri tidak berwenang untuk melakukan penyidikan seperti kasus penyelundupan mobil mewah di Jawa Timur sekitar tahun 2001 yang lalu.

h.        Dengan dikeluarkannya Surat Kejaksaan Agung yang sebenarnya tidak ditembuskan kepada Kapolri, hanya diperoleh berdasarkan hubungan baik dengan orang-orang tertentu di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta,  merupakan tindakan yang lebih mengkerdilkan wewenang Polri untuk melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran di bidang Kepabeanan, karena dalam surat tersebut Jaksa Agung telah memberikan petunjuk kepada Kejaksaan di seluruh Indonesia agar tidak menerima (menolak) Berkas Perkara dari penyidik Polri, dengan alasan untuk percepatan proses penyelesaian perkara. Dengan demikian sebagian dari substansi surat Kejaksaan Agung tersebut telah bertentangan dengan PP Nomor 55 Tahun 1995 tentang Penyidikan Tindak Pidana Kebabeanan dan Cukai, yang masih memberikan kewenangan kepada penyidik Polri sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) beserta penjelasan PP Nomor 55 Tahun 1996  apabila “dalam keadaan tertentu, yaitu tidak memungkinkan dilakukan penyidikan oleh PPNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena hambatan geografis, keterbatasan sarana, atau tertangkap tangan oleh penyidik Polri untuk barang-barang yang dikeluarkan di luar kawasan pabean”.

i.          Menyikapi substansi surat Jaksa Agung tersebut yang sebagian materinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 PP Nomor 55 Tahun 1996 (beserta penjelasannya) yaitu pada halaman 2 huruf c yang berbunyi “Dalam situasi tertentu ... dst... dan tidak memungkinkan barang-barang yang tertangkap tangan tersebut diserahkan kepada PPNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk dilakukan penyelidikan”.  Oleh karena itu dengan sendirinya materi pada huruf c tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum oleh kejaksaaan untuk menolak berkas perkara yang diserahkan oleh penyidik Polri kalau berkas perkara tersebut bermula dari tertangkap tangan, karena dalam PP tersebut tidak menyebutkan Penyidik Polri kalau tidak memungkinkan untuk menyerahkan barang-barang yang tertangkap tangan kepada  PPNS Dirjen Kepabeanan dan Cukai baru dapat disidik oleh penyidik Polri.

j.          Demikian juga sebenarnya bila diperhatikan ketentuan dalam PP Nomor 55 Tahun 1996, ada beberapa subtansi terkait dengan proses penyidikan yang tidak ditaati oleh PPNS Dirjen Kepabeanan dan Cukai antara lain:
1)        Dalam PPNS  Dirjen Kepabeanan dan Cukai penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada JPU, maka  tembusannya diserahkan kepada  penyidik Polri.
2)        Dalam  hal penghentian penyidikan dilakukan oleh PPNS Dirjen Kepabeanan dan Cukai diberitahukan kepada JPU dan tembusan disampaikan kepada Penyidik Polri; dan
3)        Dalam hal Jaksa Agung melakukan penghentian Penyidi keuangan, maka diberitahukan kepada PPNS Dirjen Kepabeanan dan Cukai dan penyidik Polri.

k.        Karena sistem yang dibangun dalam penegakan hukum pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang dalam mekanisme proses penyidikan dan proses pra-penuntutan kedudukan penyidik Polri dalam realita  perjalanan satu berkas perkara khususnya perkara pidana di luar tindak pidana umum seolah-olah penyidik Polri merupakan sub-ordinasi  dari JPU, oleh karena itu sulit untuk memberikan pemahaman yang konstruktif untuk membangun satu persepsi/pemahaman yang sama, karena selalu ada penonjolan sektoral.

l.          Pilihan jalan yang bisa ditempuh oleh penyidik Polri agar kembali Polri berperan aktif sebagai penyidik dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran pidana di bidang kepabenan dan cukai seperti masalah ketentun Ordonantie adalah  melalui pengujian undang-undang kepabeanan dan cukai yang ada saat ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pihak ketiga (tidak baik kalau Polri yang mengajukan seolah-olah Polri dianggap harus kewenangan), namun harus ditentukan hak-hak konstitusional yang dilanggar dengan diberlakukannya secara eksklusif undang-undang di bidang kepabeanan dan cukai tersebut.  

m.      Bagaimanapun juga Polri tidak boleh apatis karena tidak diberikan wewenang oleh pembentuk undang-undang untuk melakukan penyidikan terkait dengan pelanggaran pidana kepabenan dan cukai, kecuali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 PP 55 Thn. 1996.

4.         Tentang Penyitaan terhadap barang milik negara
Ada beberapa tindakan dari penyidik karena ketidaktahuannya melakukan penyitaan terhap milik negara, karena negara memuliki imunitas[11], tindakan tersebut tidak diperkenankan karena menurut undang-undang perbendaharaan, pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a.         Uang  atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b.        Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c.         Barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi pemerintah, maupun pada pihak ketiga;
d.        Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah; dan
e.         Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.



[1] Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Studi Hukum,  penyunting Rachmad Safa’at, Bayu Media Publishing, Malang, 2009, cet. Pertama hal. 59.
[2] Negara hukum sering disebut juga Rule of Law, mengandung elemen-elemen sebagai berikut: (a) ada pembagian kekuasaan; (b) adanya sistem peradilan yang bebas dan mandiri; (c) ada perlindungan terhadap hak asasi manusia/HAM. 
[3] R.M. Panggabean, Budaya Hukum Hakim di Bawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter (Studi Tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI 1950-1965), Pusat Studi Hukum Ekonomi Universitas Indonesia Fakutas Hukum, Jakarta, Cet. 1., hal. 129 dan 142. Ketika itu salah seorang menteri yang dihukum adalah Ruslan Adulgani, Ketia yang bersangkutan menjabat Menteri Luar Negri. Demikian juga Menteri Kehakiman yang bernama Mr. Djodi Gondokusumo.
[4] UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi.
[5] UU Nomor 22 Tahun 2004  tentang Komisi Yudisial.
[6] Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hal. 61.  Lihat juga pendapat dari Budiono dalam Ketertiban Yang Adil, (Jakarta: Grasindo, 1999), cet. 1. hal 121: bahwa bukanlah tanpa alasan, jika manusia untuk memberlakukan hukum sudah berusia setua dirinya sendiri.
[7] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. 1, hal. 159, menguraikan bahwa politik hukum adalah usaha untuk meujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Memberikan petunjuk apakah perlu ada pembaharuan hukum, sampai seberapa jauh pembaharuan itu harus dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaharuan itu.  

[8] Esther Juniar Panggabean, Pemenuhan Kewajiban Adat Sebagai Bagian Dari Sanksi Pidana Dalam RKUHP Konsep 2008, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hal. 14-15. Proses restorative justice telah sukese diterapkan pada negara New Zealand melalui penyelesaian perkasa Family Group Conference (FGC), yang merupakan proses penyelesaian youthful offences. Proses restorative justice di New Zealan juga sudah diterapkan pada kasus-kasus adult offences.

[9] Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pedekatan Restoratif  Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Ringkasan Disertasi, Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Sistem Peradilan Pidana, 20 Juni 2009, hal. 1.
[10] Ibid., hal. 84-85.
[11] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, cet. 1, hal. 231: lebih dalam negara melakukan tindakan komersial yaitu dalam ruang lingkup hukum private negara-negara itu dapat hak istimewa dalam perjanjian dengan individu, menuangkan klausula melepaskan dijelaskan bahwa seperti negara USA, Singapore, India yang menempatkan negara mempunyai imunitas terhadap tindakan pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan