Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

PERANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

BAB. XI



A.      Pendahuluan

Peranan Polri dalam penanganan konflik sosial merupakan hal yang sangat menarik untuk dibahas dan dikaji terutama dalam kaitannya dengan politik hukum[1] dari Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial, karena bila kita lihat sampai saat ini fenomena kehidupan dalam masyarakat Indonesia antara lain ditandai dengan adanya konflik sosial yang relatif cukup luas, baik di kota-kota besar sampai ke- pedesaan.

Sebenarnya konflik sosial bila dilihat dari sejarah keberadaan umat manusia di dunia ini baik yang kita ketahui dari sejarah perkembangan berbagai agama, selalu ada konflik sosial yang berskala kecil sampai berskala besar yang melibatkan ratusan sampai ribuan anggota masyarakat, yang penyebabnya antara lain karena suku, ras agama, kepentingan ekonomi, politik, dan lain-lain, yang berakibat kehilangan nyawa, harta benda dan serta kerugian sosial maupun psikologi/trauma yang tidak gampang disembuhkan.

Menyadari akibat yang demikian besar dan meluas sebagai akibat dari adanya konflik sosial yang sering dilaksanakan maka sudah tentu diperlukan adanya satu payung hukum yang akan memberikan rambu-rambu untuk mengatasi berbagai persoalan di bidang konflik sosial demi terciptanya masyarakat yang aman tertib dan sejahtera. Namun  dalam hal ini perlu dilihat dan kaji apakah RUU tentang Penanganan Konflik Sosial tersebut sudah responsif maupun mengakomodatif berbagai persoalan yang akan dipecahkan dan bagaimana mekanisme pemecahan, sekaligus juga babagaimana memperdayakan berbagai unsur-unbsur yang terkait didalamnya kelak.

B.       Peranan Polri Dalam Penanganan Konflik Sosial

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri telah memberikan peran kepada Polri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1):
”Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.

Mendasari peranan Polri tersebut di atas, bila diperhatikan justru lebih banyak melakukan perannya dalam bidang-bidang non represif dari pada melakukan tindakan yang represif seperti memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,  karena bagaimanapun penegakan hukum  melalui pendekatan represif jika dibandingkan dengan non represif jauh lebih berhasil.

Selain peranan tersebut, juga telah ditentukan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 mengenai tugas pokok Polri yaitu:
1.         memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2.         menegakkan hukum; dan
3.    memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Polri memiliki kewenanganan secara umum di dalam Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2002. Salah satu dari dari kewenangan tersebut adalah membantu penyelesaian perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum. Untuk kepentingan tersebut Polri dapat melakukan upaya-upaya baik preventif maupun upaya represif untuk mengatasi perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum.

Terkait dengan peranan Polri dalam penangangan konflik, dalam hal ini Polri berangkat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui pre-emtif, preventif, dan represif.  Sebelum melakukan tindakan-tindakan yang bersifat pre-emtif.

Polri selalu melakukan upaya mengindetifikasi dengan menggunakan teori gunung es yaitu diusahakan mencari akar permasalahan yang mendalam dari pada setiap timbulnya  konflik sosial. Pekerjaan ini  bukanlah mudah, karena permasalahan yang ada di dalam masyarakat sebagai sumber terjadinya konflik sosial relatif cukup heteronom dan sekaligus memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan budaya, adat istiadat, pendididikan , dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam mencari dan mengetahui secara mendalam akar persamalahan timbulnya konflik sosial yang ada, harus dilakukan secara konprehensif dan terintegasi antara berbagai fungsi yang terkait/terpadu di dalamnya (tokoh masyarakat, pemerintah daerah/pusat, berbagai departemen, Polri, dan TNI), lembaga-lembaga peneliti (lembaga formal maupun informal) . Tujuannya  untuk mensinergikan secara sistematis sesuai dengan Tupoksi masing-masing.

Memang kita akui bersama bahwa tidak ada konsep tunggal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik sosial. Namun konsep yang paling baik bagi Polri adalah seperti yang penulis sebutkan di atas yaitu dilakukan secara sinergi dan sistematis dengan melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan legalitas dan oportunitas. Kedua pendektan ini dalam setiap tindakan kepolisian melaksanakan perannya tidak dapat dipisahkan. Pendektan legalitas akan memberikan dasar bagi tindakan kepolisian terutama dalam melakukan penyidikan yang terjadi dalam konflik sosial. Sedangkan pendekatan oportunitas akan memberikan pemahaman penyelesaian konflkik sosial dari aspek pendektan terhadap masyarakat, seperti saat ini Polri telah memiliki konsep yang sangat strategis melalui pelaksanaan program pemolisian masyarakat. Dengan menggunakan kedua penekatan tersebut, akan penyelesaian masalah konflik sosial dapat dilaksanakan dengan baik.   

Realisasi langkah-langkah peran Polri dalam menyelesaiakan konflik sosial dapat dilakukan pada tahap prakonflik, saat konflik dan pasca konflik. Pertama, pada tataran pra konflik. Tataran ini merupakan kondisi sebelum terjadinya konflik terbuka namun sudah ada potensi konflik dalam masyarakat. Bentuk tindakan kepolisian adalah pre-emtif dan preventif yang bertujuan untuk mengelola potensi konflik yang ada agar tidak berkembang menjadi konflik sosial secara terbuka. Kedua, pada saat kondisi konflik sosial terjadi. Tindakan kepolisian yang dilakukan berbentuk repressif baik bersifat yusticial maupun nonjusticial. Tindakan yusticial dilakukan merupa penyidikan tindak pidana yang telah mencul dalam konflik terbuka secara selektif. Sedangkan tindakan represif non yusticial dapat dilakukan untuk tujuan untuk menghentikan konflik sosial terbuka walaupun sifatnya sementara yaitu melalui tindakan melokalisasi areal konflik, membubarkan kerumunan massa, melakukan razia, dan lain-lain. Ketiga, pada kondisi pasca konflik sosial. Dilaksanakan setelah selesai konflik sosial terbuka. Tindakan kepolisian dalam situasi ini dilakukan dengan tujuan menciptakan kembali kondisi setelah konflik terbuka terjadi. Tujuannya adalah untuk menciptakan kembali kondisi sosial yang aman/kondusif, mewujudkan rasa keadilan dari masyarakat yang berkonflik.

Tindakan kepolisian yang dilakukan mulai dari tahap pre-emptif, preventif dan represif dalam penyelesaian konflik sosial pada dasarnya merupakan fluktuasi tindakan yang mengarah pada penciptaan ketertiban umum. Dikatakan sebagai fluktuasi tindakan, karena Polri dalam melakukan tidanakan pre-emtif dan preventif berawal dari adanya kondisi sosial dalam masyarakat yang menyimpan potensi konflik, namun belum muncul dalam bentuk konflik terbuka. Pada kondisi ini masyarakat masih dapat melakukan aktivitas sosial sehari-hari, kemudian ketika terjadi konflik terbuka, kondisi sosial tersebut menjadi terganggu dan memunculkan tindak pidana. Oleh karena itu, diperlukan tindakan represif yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi sosial masyarakat menjadi kondusif. Kondisi pasca konflik sosial yang menjadi sasaran upaya polri adalah kembalinya aktivitas sosial secara normal serta terujudnya ketertiban umum melalui upaya pembinaan ketertiban masyarakat.

C.      Tanggapan Terhapa Beberapa Substansi RUU

Terkait dengan peran Polri dalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial akan diberikan berbagai pendapat/saran masukan sebagai berikut:
1.           Pasal 6 huruf a RUU “meningkatkan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ... dst... sensitif lokal” dan penjelasannya belum lengkap dan boleh dikaitkan belum bahasa norma masih bahasa keslaitatif. Seharusnya diberikan contoh yang lebih konkrit di dalam penjelasan pasal, karena pembangunan yang dimaksud dalam perkembangan startegi pengembangan sumberdaya bukan hanya terkait dengan pembangunan ekonomi seperti pembangunan infrastruktur tetapi juga pembangunan berbagai sektor.
2.           Pasal 6 huruf j RUU “menyelenggarakan penegakan hukum dalam rangka tertib sipil.”  Norma ini kelihatannya juga sifatnya lebih kualitatif. Seharusnya lebih diberikan penekanan peningkatan itu dengan cara-cara bagaimana. Oleh karena itu diperlukan pengaturan lebih lanjut untuk merespon peningkatan tersebut, karena sampai saat ini peningkatan-peningkatan sebagaimana dimaksud dengan kalimat tersebut perlu ditekankan dengan pengaturan yang lebih konkrit melalui pengaturan.
3.           Pasal  9 ayat (2) huruf c RUU “Pengerahan TNI sumber daya TNI”.
4.           Pengerahan sumberdaya TNI harus mengacu kepada ketentuan yang terkait dengan perbantuan, karena perbantuan merupakan operasi militer selain perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kemudian sampai saat ini ketentuan yang mengatur mengenai perbantuan belum ada, baik perbantuan TNI kepada Polri maupun kepada Pemda. Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri ada perintah delegasi untuk membentuk Peraturan Pemerintah  dalam rangka Perbantuan TNI kepada Polri namun sampai saat ini belum jadi, karena Menhankam sedang menyusun RUU tentang Perbantuan namun sampai saat ini belum selesai, masih pembahasan antar  Departemen.
5.           Ketentuan dalam Pasal 10 dan Pasal 11 RUU  “Penghentian kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ..sd... di bawah koordinasi Polri. Kemudian dilakukan melalui “pemisahan  kedua kelompok yang berkonflik dan perampasan senjata tajam dan peralatan lainnya yang dapat merusak atau mencederai manusia ..dst... harta benda”.  Dalam hal ini ada norma di bawah koordinasi. Perlu juga ditegaskan siapa yang dikoordinasikan, karena koordinasi gampang diucapkan tetapi dalam pelakanaannya sangat sulit dilakukan, lebih-lebih kalau tidak jelas ditentukan dalam rumusan norma dalam ketentuan pasal ini. Disamping itu mengenai “perampasan”, adalah istilah yang kurang pas dari segi terminologi dalam proses awal, karena perampasan adalah  melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Oleh karena itu lebih tetap dipergunakan istilah melakukan “penyitaan” terhadap benda-benda yang membahayakan jiwa dan/atau harta benda. Kemudian dari segi legal draft sebaiknya Pasal 10 dan Pasal 11 digabung karena subtansi yang dinormakan masih satu bagian.
6.           Pasal 22 ayat (6) RUU mengenai penggunaan dan pemanfaatan bantuan TNI dalam penanganan konflik dilakukan dalam komando Polri. Istilah dalam kepolisian maupun TNI adalah Bawah Kendali Operasi/BKO atau Bawah Perintah/BP. Kedua istilah ini ada implikasinya terhadap pertanggungjawaban baik biaya operasi, logistik dan material, serta pertanggungjawabannya dalam kegiatan operasi. Kemudian dalam hal ini harus dijelaskan tugas-tugas TNI, jangan sampai overlaping dalam penanganan konflik dilapangan dapat berakibat atau menciptakan konflik baru.
7.           Pasal 32 ayat (2) RUU ”Dalam hal Lembaga Adat penyelesaian konflik menyatakan tidak mampu… menghentikan konflik pemerintah/pemerintah daerah dapat membentuk komisi. Memberdayakan lembaga adat untuk penyelesaian konflik adalah sangat baik, karena cara-cara seperti ini akan mengembangkan cara penyelesaian konflik tanpa melalui jalur formal (pengadilan),  bahkan penyelesaian perkara pidana tertentu melalui pendekatan keadilan restorative (restorative justice) saat ini telah dikembangkan dalam negara-negara maju, yaitu dilakukan dengan cara-cara rekonsiliasi antara pelaku kejahatan dengan pihak korban, yang penting pihak pelaku bersedia memberikan ganti rugi kepad korban dan korban mau menerima.  Sebenarnya penyelesaian konflik/perkara melalui lembaga adat sudah lama dikenal dalam mayarakat Indonesia bahkan sampai saat ini di beberapa daerah di Jayapura justru lebih banyak berperan dari lembaga-lembaga formal, bahkan sekalipun konflik yang telah menghilangkan nyawa dapat diselesaikan oleh lembaga adat.
8.           Pasal 33 RUU “Komisi Penyelesaian Konflik”, yang dapat dibentuk oleh pemerintah, gubernur, bupati/walikota. Bagaimana status dari Komisi Penyelesaian Konflik ini, tidak diatur dalam RUU, apakah akan dibentuk pada setiap provinsi, kabupaten/kota? Kemudian bagaimana mengenai penggajian atau pembiayaan dari komisi ini? Pemerintah saat ini sangat tidak setuju atas pembentukan dari berbagai badan-badan baru, karena pasti akan membutuhkan dana yang besar baik untuk penggajian anggota komisi dan stafnya  serta biaya operasionalisasi kegiatan. Disarankan komisi ini cukup dari aparat pemerintah/pemerintah daerah, yang pelaksanaannya berada di bawah koordinasi Presiden yang dalam pelaksanaan sehari-hari dilaksanakan oleh Menteri ... (apa) dan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bawah koordinasi gubernur/bupati/walikota.
9.           Pasal 42 huruf e dan f RUU, mengenai ”wewenang dari komisi”. Wewenang Komisi dalam hal ini menurut hemat penulis, merupakan kunci kekuatan dari komisi yang akan dibentuk. Dalam hal ini ada beberpa substansi yang bersifat memaksa seperti memanggil setiap orang yang terkait dengan untuk memberikan keterangan. Ketentuan ini disarankan dibuat kriminalisasinya, karena seseorang yang dipanggil (kalau panggilan menggunkan projustitia) tidak datang harus ada konsekuensi yuridis bagi pihak-pihak yang dipanggil, bila tidak ada, ketentuan ini akan mandul. Demikian juga mengenai penetapan jumlah restitusi. Bagaiaman cara pembayarannya, dan siapa yang harus membayar atau melaksanakan putusan restitusi ini. 





[1] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. 1, hal. 159, mengatakan bahwa politik hukum adalah: (1) usaha untuk meujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan situasi tertentu pada suatu saat; (2) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan