Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB VII



A.      Pendahuluan

 

Keberadaan kekerasan terhadap sesama manusia di dunia ini pada prinsipnya hampir sama dengan keberadaan dunia ini. Fenomena ini dapat kita ingat kembali tentang kekerasan yang dilakukan oleh Kain terhadap adiknya Abel. Motif pembunuhan tersebut karena kecemburuan dari Kain terhadap adiknya Abel, karena ketika kakak dan adik ini menyerahkan persembahan kepada Tuhan, yang diterima  oleh Tuhan adalah persembahan Abel, sedangkan persembahan Kain tidak.

Menurut penulis inilah kekerasan pertama yang terjadi dalam lingkup keluarga, dan kemudian diikuti berbagai kekerasan lainnya. Seperti saat ini kita mengetahui kekerasan yang dilakukan antara suami dengan istri demikian sebaliknya, kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, demikian juga sebaliknya, bahkan kekerasan seks yang dilakukan oleh bapak terhadap anak kandung/anak tirinya, demikian juga berbagai kekerasan-kekerasan  dalam rumah tangga lainnya yang dapat kita lihat melalui media cetak dan elektronik, atau mungkin dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kita berada.

Karena keluarga merupakan lembaga ataupun pranata yang  anggota-anggotanya memiliki ikatan emosional paling kuat, jika dibandingkan dengan pranata-pranata lainnya dan sekaligus merupakan tempat bernaung satu dengan yang lainnya, perlu harus dilindungi atau diberikan perlindungan.

Barang kali prinsip yang paling utama yang harus kita pahami dan hayati bersama yaitu bahwa rumah tangga itu merupakan tonggak negara yang kuat dan sangat menentukan, karena sifat emosional yang terdapat di dalam rumah tangga sedikit banyak pasti membawa pengaruh terhadap efektivitas seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari apakah ia pelajar, pekerja kantor, buruh, tani maupun wiraswasta, dan lain-lain. Oleh karena itu, kekerasan dalam rumah tangga itu harus dihapuskan dan korban harus dilindungi. Namun yang perlu diperhatikan siapa yang harus memberikan perlindungan, bentuk-bentuk perlindungan apa yang harus diberikan atau harus diterima oleh korban, dan bagaimana caranya untuk memperoleh perlindungan yang dimaksud.

B.       Prinsip-Prinsip Perlindungan

 

Berkaitan dengan hakekat maupun prinsip perlindungan ini perlu kita simak pendapat John Locke  sebagai dasar adanya perjanjian penyerahan hak dari setiap individu kepada masyarakat yang terorganisir (negara) yang intinya mengatakan:
Dalam kehidupan bersama, setiap individu harus bersedia melepaskan sebagian haknya atas kebebasan atau miliknya demi hidup dan tujuan bersama itu sendiri. Individu yang bersedia membentuk masyarakat dan hidup bersama harus berani mengorbankan sebagian haknya. Disini ada dua hak yang diserahkan kepada masyarakat, yaitu pertama hak hukum untuk mempertahankan nyawanya dan kedua hak untuk menghukum sendiri pelanggar hukum. Ketentuan pelaksanaan hukum tersebut harus ada pada masyarakat itu sendiri karena individu sudah mempercayakan tugas tersebut kepada masyarakat. Hal itu merupakan konsekwensi logis terhadap pelepasan haknya untuk menghukum sendiri pelanggaran hukum.[1]

Menyingkapi hakekat perlindungan sebagaimana yang  dikemukakan oleh John Locke tersebut, terhadap korban kekerasan pada hakekatnya bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlindungan hukum dari negara, karena bagaimanapun negara melalui alat perlengkapannya harus memberikan perlindungan kepada warganya, karena perlindungan itu merupakan  hak dari setiap warga negara melalui perjanjian kontrak sosial antara rakyat (individu) dengan masyarakat yang terorganisir (negara), sebab  rakyat telah menyerahkan haknya kepada masyarakat terorganisir (negara) untuk diatur. Karenanya konsekuensi dari penyerahan itu negara harus menjaga dan melindungi rakyatnya sebagai bagian dari usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (prosperity).

Dalam filsafat Jawa bahwa perlindungan terhadap perempuan sama dengan perlindungan terhadap tanah air, yang harus dipertahankan dengan sekuat tenaga dan daya, karena istri dalam kaitannya dengan kelembagaan rumah tanggal merupakan belahan jiwa (garwa atau sigaraning nyawa), karena istrilah yang sangat menentukan bagaimana perkemangan anak mulai dari janin dalam kandungan sampai membesarkannya. Demikian juga jika suami meninggal dunia, maka tugas istri sangat berat, ia bertindak sebagai kepala rumah tangga dan sekaligus sebagai ibu rumah tangga.

Melihat bahwa fenomena kekerasan dalam rumah tangga begitu banyak bentuknya  dan meluas, utamanya sebagian besar menimpa kaum wanita, dan pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM,[2] dan selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai  perlindugan terhadap korban maupun saksi. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagian besar hanya memberikan perlindungan terhadap tersangka/terdakwa sebagaimana dimuat dalam Pasal 50 s.d. 74 KUHAP, sehingga dalam perkembangan jaman terasa substansi yang diatur dalam KUHAP kurang mengadopsi perlindungan terhadap korban atau saksi. Berbeda di beberapa negara yang maju bahwa perlindugan terhadap HAM cukup tinggi, dan telah mengatur secara tegas perlindungan terhadap korban dan  saksi dalam hukum positifnya seperti di Australia yang disebut Witness Protections Act 1994 No. 124 of 1994.

Dalam instrumen internasional antara lain Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993, yang mengharuskan adanya penghukuman atas kekerasan terhadap perempuan, dan negara segera merumuskan kebijakan di bidang penghapusan atas kekerasan terhadap perempuan, dan apabila perlu anak-anak mereka medapat  bantuan khusus, seperti rehabilitasi bantuan dalam pemeliharaan kesehatan dan pemeliharaan anak-anak, perlakuan dan pemberian nasihat, pemberian kesehatan dan pelayanan kesehatan, fasilitas dan program maupun strukur pendukung.[3]

Lebih lanjut Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 52/86 tanggal 12 Desember yang menerima strategi model berikut ini dan mendesak negara-negara anggota untuk berpedoman pada strategi tersebut dalam mengembangkan dan menjalankan strategi model dan langkah-langkah praktis mengenai penghapusan kaum perempuan di dalam sistem peradilan pidana.[4]

Dalam perkembangan selanjutnya ada peraturan perundang-undangan yang sifatnya tersebar dan khusus, misalnya PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang berat.

Melalui UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (PKDRT) telah dilakukan pengaturan yang jelas untuk perlindugan terhadap kaum rentan,  sehingga PKDRT merupakan bagian dalam perkembangan sistem hukum kita yaitu untuk memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat wanita Indonesia, dengan demikian secara formal keberadaan wanita semakin diakui dan dihargai.   

Dengan sendirinya eksistensi UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT ini diharapkan akan menjadi salah satu sarana yang sangat berarti untuk memberdayakan, menggerakkan/mendinamisir, kehidupan wanita kedepan (law is as a tool of social engineering) melalui pemberian perlindungan terhadap wanita sehingga keberadaan wanita semakin dihargai, karena adanya persamaan hak diantara kaum lelaki dengan wanita, sehingga bukan lagi kaum yang terpinggirkan seperti yang  kita jumpai dalam beberapa masyarakat di  daerah tertentu di Indonesia.

Perubahan dilaksanakan melalui sarana hukum yang tujuannya agar terdapat keteraturan dalam  masyarakat. Kadang-kadang perubahan yang tiba-tiba dilakukan tanpa bertahap walaupun melalui instrumen hukum dapat menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya sosialisasi atau penyebaran instrumen-instrumen hukum kepada masyarakat. Tujuannya agar para pihak mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya, terutama bila dikaitkan dengan beberapa substansi UU Nomor 23 Tahun 2004 diitinjau dari sudut agama tertenu maupun kultur ada dimensi-dimensi atau peruhan-perubahan yang  harus disesuaikan.

C.      Pihak-Pihak Yang Terkait Dengan Pelaksanaan Perlindungan

 

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang berkaitan dengan perlindungan telah digariskan tiga substansi yang berkaitan dengan masalah perlindungan yaitu: (1) pengertian perlindungan, (2) perlindungan sementara, dan (3) perintah perlindungan.

Pengertian perlindungan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 4 yaitu: “Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.

Perlindungan sementara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 5 yaitu:  “Perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan”. Sedangkan perintah perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 6 yaitu: “Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban”.

Sejalan dengan batasan pengertian yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban,  ada beberapa hak korban yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 2004 yang terdiri dari beberapa hak yaitu hak : (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) pelayanan bimbingan rohani.

Dalam substansi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT terdapat beberapa instansi atau lembaga pemerintah  atau non pemerintah yang wajib memberikan perlindungan apakah itu perlindungan secara pisik, maupun phisikis. Lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang memberikan perlindungan itu adalah keluarga korban itu sendiri, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Pemberian perlindungan untuk sementara dalam hal ini kelihatanya dipusatkan pada eksistensi kepolisian, karena sebagian besar dari ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian terdiri dari 12 pasal dari keseluruhan  yang khusus mengatur ketentuan perlindungan (mulai dari Pasal 16 s.d. Pasal 38), jadi hampir separuh dari ketentuan Undang-Undang ini mengatur tentang perlindungan terhadap korban. Di samping memberikan perlindugan kepada korban juga memiliki kewenangan untuk mengambil berbagai tindakan lainnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya pencegahan (preventive), maupun penindakkan (repressive), tujuannya antara lain agar korban terhindar dari pengaruh  atau tekanan yang lebih berat, baik dari pihak suami atau pihak-pihak lainnya sehingga tidak bebas dalam memberikan keterangan.

Di samping kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian  dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.

Demikian juga ada beberapa perlindungan dalam rangka pelayanan yang harus diberikan oleh lembaga-lembaga lainnya seperti pelayanan kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping advokat, dan rohaniawan, dimana menurut penulis masih memerlukan petunjuk atau mekanisme yang tegas dan sebaiknya disusun secara  terpadu, sehingga terlihat secara jelas: (1) kapan masing-masing harus bertindak, (2) bagaimana batasan-batasan tindakan yang harus diberikan, sehingga perasaan atau penderitaan korban tidak bertambah parah baik pisik maupun phisikis, (3) kapan suatu korban ditangani secara bersama-sama, dan lain lain.

Dalam kaitan pemberian perlindungan yang lebih intensip baik kepada korban dan atau anggota keluarga lainnya, dan bilamana dirasakan sangat perlu maka perlindugan sementara yang diberikan oleh pihak kepolisian kepada korban, dapat ditingkatkan menjadi perintah perlindungan dalam bentuk penetapan pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 UU KDRT, yang dapat diajukan oleh: (a) korban atau keluarga korban, (b) teman korban, (c) kepolisian, (d) relawan pendaping, dan (e) pembimbing rohani. Perintah perlindungan dalam bentuk penetapan pengadilan dapat diberikan dalam tenggang waktu 1 (satu)  tahun dan dapat diperpanjang dengan penetapan pengadilan.

Sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, bahwa yang paling banyak bersentuhan dengan UU PKDRT ini pihak kepolisian, hal itu merupakan refleksi dari tugas-tugas kepolisian yang bersifat universal yaitu melakukan  perlindungan (protections), melakukan pelayanan kepada masyarakat, (services), dan meneggakkan hukum serta memelihara tata tertib (law enforcement and maintain law and order).  Demikian juga tugas dan peran Polri tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas kepolisian secara universal sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya.

Fungsi dan peran maupun tugas-tugas Polri tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, karena tugas-tugas dillaksanakan oleh Polri khusunya dalam bidang penegakan hukum (repressive) selalu bersinggungan dengan HAM, bahkan dari beberapa unsur penegakan hukum yang terkait dalam sistem penegakakn hukum pidana terpadu (integrated criminal justices systeem) kepolisianlah yang selalu terdepan ataupun paling dahulu bersentuhan dengan HAM. Di samping itu, cukup banyak dan luas kewenangan yang  diberikan negara kepada kepolisian, sejalan dengan luasnya kewenangan yang diberikan negara kepada institusi kepolisian, dengan sendirinya tugas-tugas kepolisian selalu rentan dengan penyimpangan-penyimpangan kewenangan, yang dapat berakibat terjadinya pelanggaran HAM.

Salah satu penjabaran dari tugas pokok telah tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) huruf I UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menentukan bahwa Polri adalah melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi HAM.

D.      Simpulan


1.           Kekerasan dalam rumah tangga selama ini merupakan kejahatan yang diangap oleh masyarakat urusan pribadi (domain private), sehingga orang-orang dekat maupun tetangga yang mengetahui adanya  suatu kekerasan dalam rumah tangga sering tidak bertindak, namun melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT kultur yang demikian diharapkan mulai dikesampingkan dengan memberikan  hak kepada masyrakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang kalau mengetahui adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, walaupun sebenarnya dalam KUHP sudah ada norma yag melarang tindakan tersebut, namun dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ada yang harus diberikan syararat khusus penuntutannya demi keutuhan rumah tangga suami istri yaitu tentang kekerasan seks antara suami istri.
2.           Salah satu hal yang sangat menarik dari UU Nomor 23 Tahun 2004  adalah  pemberian perlindungan dari berbagai pihak kepada korban maupun keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga, apakah itu dalam bentuk perlindugan sementara ataupun perlindungan dalam bentuk perintah perlindungan yang di keluarga oleh pengadilan dalam bentuk penetapan.
3.           Dalam memberikan perlindungan dikaitkan dengan PKDRT, banyak lembaga-lembaga atau pihak-pihak (relawan) yang terkait di dalamnya, namun yang utama selaku pemegang fungsi preventive dan repressive adalah pihak kepolisian, dan di dalam menjalankan fungsinya dalam memberikan perlindungan  dapat bekerja sama dengan  berbagai lembaga atau relawan.


[1] Basuki Ismail, Negara Hukum Demokrasi Toleransi Telaah Filosofis atas John Locke, Intermedia, Jakarta 1993 , cet. 1, hal. 66. 
[2] Realita ini dijelaskan dalam Konsiderans UU Nomor 23 Tahun 2004 butir c.
[3] ELSAM, Op. Cit., hal. 289-293.
[4] Ibid., hal. 295-305.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan