Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA DI BIDANG COUNTER TERORISM

BAB II

A.      Pendahuluan

Kejahatan terorisme[1] bukanlah jenis kejahatan yang baru dikenal dalam dunia internasional, karena dari masa-masa yang lalu kejahatan terorisme telah terjadi dalam beberapa negara, baik dilakukan oleh satu orang maupun sekelompok orang tertentu. puncak dari segala kegiatan terorisme yang paling dahsyat adalah peristiwa peledakan Gedung World Trade Centre di New York - USA pada tanggal 11 September 2001, yang merenggut ribuan nyawa manusia. Setelah peristiwa di World Trade Centre tersebut, mungkin kegiatan kedua yang paling dahsyat adalah peledakan bom di Paddy’s Cafe dan Sari Club - Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Kemudian peledakan bom lain terjadi di depan Kedutaan Besar Filipina - Atrium Senen dan di Bursa Efek Jakarta.

Dalam perkembangannya, terorisme telah menjadi kejahatan yang meluas dan berkembang antar lintas negara, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, informasi, dan transformasi, sehingga mobilitas orang, uang/dana, persenjataan illegal (illegal arms trafficking), senjata kimia (chemical terrorism gun), bioterrorisme dari satu negara ke negara lain dapat dengan mudah dicapai atau dikendalikan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informatika dan transportasi. Perlu dipikirkan bahaya ke depan bila bahan-bahan pemusnah massal dan nuklir[2] sampai ke tangan seseorang dan dijadikan sebagai alat untuk melakukan tindakan terorisme, dapat kita bayangkan banyaknya korban yang akan jatuh. Oleh karena itu, bila kita lihat, dengar dan baca pada media elektronik dan media cetak, peristiwa-peristiwa bom bunuh diri sebagai bagian dari modus terorisme di beberapa negara seperti di Afganistan, Pakistan, Irak, India dan lain-lain menjadi sesuatu yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari dan terus dihantui rasa ketakutan yang mendalam.

Bagaimanapun ada karakter tersendiri/khusus dari kejahatan terorisme yang berbeda dari kejahatan biasa (kejahatan konvensional), yaitu kejahatan yang dilakukan secara dadakan, diam (silent), sulit dilancak, objeknya tidak ditujukan pada seseorang, akibat demikian luasnya tidak hanya korban manusia khususnya anak-anak dan perempuan sebagai kaum rentan, juga seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa dalam satu negara ikut rusak, serta meninggalkan rasa trauma dari masyarakat, dan membutuhkan waktu relatif lama untuk memulihkannya, serta timbul rasa kekhawatiran yang mendalam terhadap satu kelompok dengan kelompok tertentu bahkan antara satu negara dengan negara lain (bertetangga) yang menimbulkan fenomena tersendiri dalam tata pergaulan dalam masyarakat domestik maupun internasional.

Menyikapi karakter-karakter kejahatan terorisme, masyarakat internasional menjadikan kejahatan terorisme sebagai salah satu dari beberapa macam kejahatan yang digolongan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes) baik dilihat dari lingkup operasional antar lintas negara (transnational cimes)[3] yang dilakukan secara terorganisir (organized crimes) dan memakan korban secara luas. Sehingga masyarakat internasional saat ini menjadikan terorisme sebagai musuh bersama semua bangsa, Negara, dan agama. 

Untuk mengendalikan terorisme mutlak diperlukan kerja keras dari setiap komponen bangsa dalam satu negara yang dilakukan melalui langkah-langkah ataupun kebijakan yang bersifat strategis mulai dari perumusan pengaturan dalam berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan (kebijakan kriminal/criminal policy)[4], melakukan ratifikasi terhadap ketentuan konvensi internasional, membuat Standard Operational Procedure (SOP), dan sekaligus juga melakukan kerja sama secara internasional baik yang sifatnya regional maupun multilateral.

Dalam melakukan kerja sama antara lembaga dalam negeri perlu ditentukan satu format yang jelas antara siapa yang akan berbuat, apa yang akan diperbuat dan bagaimana hal tersebut harus dilakukan, kapan harus dilakukan sekaligus bagaimana cara-cara melakukan/mekanisme kerja, siapa yang akan dikedepankan dan bagaimana cara-cara mengkoordinasikannya, tujuannya sudah tentu menghindari berbagai overlapping tugas dan wewenang yang dapat berakibat tidak berjalannya mekanisme sistem sebagaimana yang diharapkan. Apabila diperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, terdapat beberapa lembaga yang diberikan kewenangan untuk ikut melaksanakan penanggulangan terhadap terorisme.


B.       Perkembangan Politik  Hukum Nasional Tentang Terorisme.          
       Politik hukum[5] dalam hal ini menyangkut pengaturan dalam rangka pencapaian suatu tujuan penanggulangan atau pemberantasan terhadap terorisme secara khusus telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (hukum positif). Adapun berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah terorisme antara lain adalah:

1.         UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang ini telah dijadikan dasar pemidanaan terhadap tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia,  khususnya sejak peristiwa pemboman I dan II di Bali pada tahun 2002, sehingga Undang-Undang ini merupakan lex specialis terhadap ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Substansi UU ini mengatur hukum materil sekaligus hukum formil namun sifatnya terbatas (khusus), karena dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kekhususannya  terkait antara lain dengan:
a.        masalah hasil penyelidikan dari unit intelijen dapat digunakan sebagai bukti permulaan setelah mendapat penetapan dari Ketua PN setempat;
b.        batasan jangka waktu penangkapan lebih lama (7 X 24) jam jika dibandingkan dengan tindak pidana biasa (1 X 24) jam;
c.         alat bukti diperluas dan dimasukkan bukti-bukti elektronik;
d.        seseorang yang mengancam penyelidik, penyidik, jaksa, dan hakim dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme dipidana;
e.        melakukan penyadapan;
f.          penyidik, PU, dan hakim dapat secara langsung untuk memblokir atas rekening yang diduga terkait dengan tindak pidana terorisme baik yang ada pada bank maupun pada lembaga keuangan lainnya;
g.        saksi/korban, penyidik, PU, dan hakim serta keluarganya, yang terkait pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme wajib dilindungi oleh negara dari segala ancaman yang membahayakan jiwa dan harta benda mereka;
h.        pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
i.          melaksanakan kerja sama secara internasional dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.

Awal kelahiran Undang-Undang ini relatif banyak mendapat resistensi atau penolakan dari beberapa pemerhati di bidang HAM karena dianggap sarat dengan pelanggaran terhadap HAM, dan tuduhan lainnya bahwa Pemerintah Indonesia dianggap rela  membentuk Undang-Undang tersebut hanya karena tekanan dari dunia internasional terutama negara-negara Barat, dengan maksud agar pemerintah Indonesia ketika itu mau menerima adanya aksi-aksi terorisme.[6] Padahal harus disadari  bahwa kengerian dari bangsa lain pasca bom di beberapa tempat di Indonesia ketika itu sangat mencemaskan, seperti menurunnya secara drastis kedatangan turis ke Indonesia, bahkan juga investor sangat takut menginvestasikan dana di Indonesia. Namun dengan berbagai pertimbangan yang lebih penting dan mendasar untuk kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat luas, akhirnya sebagian besar lapisan masyarakat dapat menerima kehadiran Undang-Undang tersebut, kecuali Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2003 guna penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelaku teror bom di Bali yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), karena dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945. Namun pembatalan yang dilakukan oleh MK tidak menyangkut perbuatan terorisme, sehingga perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dengan sendirinya dibebaskan.

2.           UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 jo. Pasal 3 menentukan: ”Tugas pokok TNI selain perang yaitu mengatasi aksi terorisme.” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik. Apabila diamati rumusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 ini, keterlibatan TNI dalam memberantas aksi teorisme tidak serta-merta langsung ikut menangani/menindak pelaku terorisme, diharuskan lebih dulu ada keputusan politik. Bentuk, macam, dan cara penerbitan keputusan politik yang bagaimana yang dimaksud oleh para pembentuk undang-undang tidak jelas diatur dan disebutkan dalam undang-undang ini. Apakah harus melalui mekanisme persetujuan atau sekedar pemberitahuan dari Presiden atau pejabat yang ditunjuk kepada DPR RI? Namun bila disimak, tujuan ketentuan ini muncul adalah untuk merespon tuntutan reformasi demi tercapainya prinsip-prinsip demokrasi dalam pilar negara hukum (rule of law) sebagaimana telah digariskan dalam Konstitusi UUD RI 1945 dan produk-produk politik yang telah diwujudkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPT/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Selanjutnya lebih dikonkritkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Pemisahan yang dimaksud di sini bukanlah melakukan dikotomi yang rigid, namun hanya sekedar memberikan pembidangan dalam kaitannya dengan fungsi kelembagaan yang harus dikedepankan. Karena bagaimanapun masalah terorisme menjadi tanggung jawab seluruh komponen negara dan bangsa bukan hanya Polri, karena akibat kerusakan yang ditimbulkannya sangat luas.

3.           UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
Dalam Pasal 64A UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, memberikan kewenangan untuk mengambil tindakan kepada petugas kepabeanan dalam hal barang yang berdasarkan  bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme. Tindakan yang dimaksud menurut UU ini tidak jelas diatur mekanismenya apakah boleh menyita atau melakukan  upaya-upaya khusus. Dalam hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam UU ini dapat meminta bantuan kepada Polri maupun TNI, namun kalau sudah ada ancaman faktual terkait dengan masalah terorisme, peran Polri dalam hal ini bukan lagi sekedar sebagai elemen pembantu tetapi sudah menjadi elemen utama/yang harus dikedepankan.

4.           UU Nomor 5 Tahun 2006  tentang Pengesahan United Nations Convention for Suppression of Terrorist Bombings (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris 1997)
Terhadap ketentuan konvensi ini Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ketentuan mengenai Pasal 6 akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah. Adapun yang ditentukan dalam Pasal 6 konvensi ini menyangkut bahwa negara pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang mungkin perlu untuk memberlakukan jurisdiksinya atas kejahatan-kejahatan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2.[7]

5.           UU Nomor 6 Tahun 2006  tentang Pengesahan United Nations Convention for Suppression of the Financeing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan  Pendanaan Terorisme, 1999)
Dalam penjelasan umum atas Undang-Undang ini, Pemerintah Indonesia dapat membuat perjanjian, baik bilateral maupun multirateral, khususnya berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan/pemberantasan tindak pidana pendanaan teorisme. Hal ini juga terkait dengan adanya UU Nomor 25 Tahun 2003 sebagai perubahan terhadap UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehubungan dengan hal tersebut dan sesuai dengan komitmen Pemerintah dan Rakyat Indonesia untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam setiap upaya pemberantasan segala bentuk tindak pidana, baik yang bersifat nasional maupun transnasional terutama tindak pidana terorisme, Bangsa Indonesia bertekad untuk memberantas tindak pidana pendanaan terorisme melalui kerja sama bilateral dan internasional. Di samping itu, faktor pendanaan merupakan salah satu faktor utama dalam kegiatan terorisme, karena kecil kemungkinan kegiatan terorisme dapat berhasil tanpa didukung oleh dana yang relatif cukup besar. Oleh karena itu, ratifikasi konvensi ini merupakan pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai anggota PBB terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 yang meminta pada setiap anggota untuk mengambil langkah-langkah untuk melakukan pemberantasan terorisme.

6.           UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
  
Sebagai salah satu wujud keaktifan Indonesia dalam masalah ketertiban dan keamanan dunia, pada tanggal 13 Januari 1993 di Paris Indonesia telah ikut manandatangani Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling, and Use of Chemical Weapon and Their Destruction, bersama-sama dengan 129 negara lainnya. Dalam perkembangan sampai dengan tahun 2007 menjadi 182 negara yang ikut menandantanganinya. Selanjutnya konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, oleh karena itu Indonesia sebagai negara pihak berkewajiban melaksanakan berbagai ketentuan di bawah jurisdiksi terotorialnya atau kekuasaannya untuk mengatur tentang penggunaan bahan kimia dan larangan penggunaan bahan kimia sebagai senjata kimia. Tujuannya adalah untuk mengurangi atau membebaskan resiko dari bencana atas penggunaan senjata pemusnah massal antara lain senjata nuklir, biologi, dan kimia.

Mendasari pertimbangan tersebut maka Pemerintah RI merumuskan dalam kebijakan legislasi nasional dalam bentuk UU (UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia).  Substansi dari UU Nomor 9 Tahun 2008 ini merupakan kebutuhan pengaturan yang demikian urgen-nya untuk melakukan penindakan terhadap penggunaan senjata kimia yang dapat digunakan oleh terorisme dalam menggunakan aksinya. Oleh karena itu, telah ditentukan sanksi-sanksi yang tegas bagi mereka yang menyanglagunakannya. Larangan-larangan yang ditentukan dalam UU ini antara lain menyangktu antara lain: (a) mentransfer bahan kimia dari dan keluar Indonesia, (b) memproduksi, (c) mengembangkan, (d) menggunakan senjatan kimia, (e) melibatkan diri pada persiapan militer untuk menggunakan senjata kimia, (f) membantu dengan cara apapun yang bertentangan dengan UU ini.

C.      Rencana Pengaturan Ke Depan (Ius Contituendum) 

1.           RUU Intelijen
RUU tentang Badan Intelijen mengatur tentang tindakan terhadap terorisme melalui suatu tindakan penangkapan selama 7 X 24 jam untuk dilakukan interogasi. Dalam hal hasil interogasi menunjukkan adanya alat bukti yang kuat bahwa seseorang yang diinterogasi, badan intelijen menyerahkan yang bersangkutan kepada penyidik untuk dilakukan proses penyidikan. Apabila hasil interogasi menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak terlibat, yang bersangkutan wajib dilepaskan.[8] Jadi pembahasan substansi yang terkait dengan masalah penangkapan untuk kepentingan interogasi banyak mendapat penolakan dari para perserta rapat ketika dibahas dalam  pembahasan antar departemen sebab sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip rule of law maupun azas presumption of innosence (praduga tidak bersalah).

2.           RUU KUHP[9]

Dalam RUU KUHP telah diatur dalam Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme, yang sebagaian besar substansinya diambil dari ketentuan sebagaimana yang diatur dalam:
a.         UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang;
b.        UU Nomor 5 Tahun 2006  tentang Pengesahan United Nations Convention  for Suppression of Terrorist Bombings (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris 1997); dan
c.         UU Nomor 6 Tahun 2006  tentang Pengesahan United Nations Convention for Suppression of the Financeing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan  Pendanaan Terorisme, 1999).

Pengaturan dalam RUU KUHP dapat dilihat dari beberapa pasal-pasal di bawah ini , beserta substansi yang akan diatur, adalah:
Paragraf 1:    Terorisme (Pasal 242-Pasal 243) yang intinya akan mengatur:
-            Unsur-unsur tindak pidana terorisme;
-            Unsur-unsur percobaan (dengan maksud)  untuk melakukan terorisme.
Paragraf 2:    Terorisme dengan penggunaan bahan-bahan kimia (Pasal 244):
Penggunaan bahan-bahan kimia untuk senjata biologis, radiologis, mikroorganisme, radioaktif, atau komponen lainnya untuk melakukan terorisme.
Paragraf 3:    Pendanaan untuk Terorisme (Pasal 245 - Pasal 246):
-            Pihak-pihak yang menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diduga untuk digunakan dalam kegiatan terorisme.
-            Pihak-pihak yang menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya untuk digunakan: (a) melakukan tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, bahan kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda, (b)   mencuri atau merampas bahan nuklir, bahan kimia, senjata biologis, radiologi, mikro organisme, radioatif, atau komponennya; (c)  menggelapkan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radioaktif, atau komponennya; (d) meminta bahan nuklir, bahan kimia, senjata biologis radioalogi,  mikroorganisme, radioaktif  atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; (e)  mengancam: (1)   menggunakan bahan nuklir, bahan kimia, senjata biologis,  radiologi, mikroorganisme, radioaktif  atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau (2)   melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada huruf  b  dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Paragraf 4:    Penggerakkan, Pemberian Bantuan, dan Kemudahan untuk Terorisme         (Pasal 247-Pasal 249):
-            Melakukan pembujukan/menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme.
-            Pemberian bantuan atau kemudahan kepada pembuat tindak pidana terorisme, dengan cara: (a) memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pembuat tindak pidana terorisme; (b) menyembunyikan tindak pidana terorisme; atau (c) menyembunyikan imformasi tentang tindak pidana terorisme.                      
Paragraf 5:    Perluasan Pidana Terorisme (Pasal 250-Pasal 251):
-            Apabila terorisme melakukan tindak pidana pembajakan pesawat udara.
-            Seseorang yang merampas dengan kekerasan/ancaman kekerasan untuk merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara  dalam penerbangan.
-            Permufakatan jahat, persiapan atau percobaan dan pembantuan dalam melakukan tindak pidana terorisme dipidana penuh sama dengan  dengan ketentuan pasal-pasal tindak terorisme yang dilanggar  pelaku.                                                   

D.      Pengaturan dalam Bentuk  SOP        

1.           Secara formal  dalam bentuk peraturan perundang-undangan, mekanisme yang mengatur tentang standar operasional penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi belum ada. Yang dipergunakan selama ini lebih dititikberatkan pada pemberantasan dalam bentuk repressif sesuai dengan hukum pidana formil (KUHAP) dan  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Padahal yang perlu dilakukan oleh seluruh komponen negara dalam mengatasi setiap kejahatan adalah melakukan pencegahan (preventif), sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakan kriminal bukan melakukan tindakan represif.

2.           Karena sifat dari aksi-aksi terorisme demikian berbahaya, Polri dan TNI berencana membuat acuan bersama dalam menangani tindak pidana korupsi melalui pendekatan fungsional. Polri sesuai dengan tugas, fungsi, wewenang, dan perannya antara lain selaku unsur penegak hukum, sekaligus sebagai komponen yang dikedepankan dalam menjaga dan memelihara keamanan dalam negeri akan menggunakan kekuatan di luar Polri antara lain melibatkan TNI dalam kaitannya dengan fungsi perbantuan kepada Polri, demikian juga dengan komponen-komponen negara atau masyarakat lainnya, antara lain pemerintah daerah, pemadam kebakaran, unsur TNI, dinas kesehatan, satuan pengamanan, BASARNAS, departemen sosial, dan lain-lain.

3.           Mekanisme perbantuan yang akan melibatkan berbagai komponen di luar Polri akan ditentukan dalam peraturan perundang-udangan, sedangkan mekanisme operasionalnya dapat dibentuk melalui Peraturan Bersama antara Kapolri dengan masing-masing instansi terkait, misalnya Peraturan Bersama antara Panglima TNI dengan Polri.


[1] Pengertian terorisme tidak hanya ada satu, misalnya menurut Encyclopedia of Crime and Justice, “terorisme adalah ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik oleh perorangan atau kelompok, di mana tindakan itu menentang kekuasaan pemerintah, ditujukan untuk menimbulkan intimidasi ketimbang menimbulkan korban.” Menurut Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977,  terorisme merupakan “perluasan pengertian crimes against state menjadi crimes against humanity yang meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana yang diteror.” Demikian juga ada pengertian menurut US Central Intelligence Agency (CIA) dan menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI), dan lain-lain. 
[2] TB.Rony Rahmah Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2006), cet. 1, hal. 140. Lebih lanjut dalam buku tersebut diuraikan bahwa masih kecil peluang penggunaan senjata-senjata pemusnah massal, khususnya nuklir untuk digunakan sebagai alat teror karena 4 alasan: (1) terbatasnya bahan-bahan untuk pembuatan senjata pemusnah; (2) terbatasnya kemampuan teknologi pembuatan senjata penghancur massal, (3) pengawasan yang ketat terhadap peredaran bahan-bahan dan teknologi pembuatan senjata berdaya rusak massif; dan (4) berfungsinya intelijen yang baik.
[3] Dalam Konvensi Palermo 2000, suatu kejahatan dapat disebut bersifat transnasional (kejahatan transnasional) apabila memiliki karakteristik: (1) dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara tetapi persiapan, perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain; (3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara atau; (4) dilakukan di satu negara tetapi secara substansial efeknya menyebar sampai ke negara lain.  
[4] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996, cet. 1, hal.2. Dalam buku yang sama Prof. Soedarto mengemukakan bahwa ada tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu: (1) dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; (2) dalam arti luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; (3) dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengemukakan norma-norma sentral dari masyarakat.  
[5] Sudarto, Op. Cit., hal. 159, mengatakan bahwa politik hukum adalah: (1) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan situasi tertentu pada suatu saat; (2) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

[6] Eep Syaifullah Fatah, Yusril Ihza Mahendra dan Todung Mulya Lubis, Mengenang Perpu Anti Terorisme, disunting oleh Sabar Sitanggang dan M. Ichwan Ridwan, Jakarta, Agustus 2003, hal.85).
[7] 1. Setiap orang melakukan kejahatan dalam pengertian Konvensi ini: jika orang tersebut secara melawan hukum dan secara sengaja mengirimkan, menempatkan, melepaskan atau meledakkan  suatu bahan peledak atau alat mematikan lainnya di, ke dalam atau terhadap suatu tempat umum, fasilitas negara atau pemerintah, suatu sistem transportasi masyarakat atau suatu fasilitas infrastruktur: (a)  Dengan sengaja menyebabkan kematian atau luka-luka serius, atau (b) Dengan sengaja menyebabkan kehancuran suatu tempat, fasilitas atau sistem, dimana kehancuran tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi secara besar; 2.  Setiap orang juga melakukan suatu kejahatan jika orang tersebut mencoba untuk melakukan kejahatan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1) dari Pasal ini; 3.   Setiap orang juga melakukan kejahatan jika orang tersebut: (a) Berpartisipasi sebagai kaki tangan dalam suatu kejahatan seperti yang ditetapkan dalam ayat (1) dan ayat (2) ini atau (b) Mengorganisir atau menggerakkan orang-orang lain untuk melakukan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam ayat 1 dan ayat 2 dari Pasal ini, atau (c) Dengan cara lain, memberikan kontribusi terhadap terjadinya satu atau lebih kejahatan seperti yang ditetapkan dalam ayat (1) atau ayat (2) dari Pasal ini yang dilakukan sekelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang sama, kontribusi itu haruslah merupakan kesengajaan dan dilakukan baik dengan tujuan untuk melanjutkan tindakan kriminal biasa atau maksud dari kelompok atau dilakukan dengan sepengetahuan atas kesengajaan dari kelompok untuk melakukan kejahatan tersebut.
 
[8] Pasal 2 ayat (2), (3) dan (4) RUU tentang Intelijen Negara. 
[9] RUU KUHP hasil rumusan terakhir antara departemen, jumlah pasalnya sebanyak 742 pasal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan