Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

KONFLIK SOSIAL DITINJAU DARI ASPEK PENEGAKAN HUKUM

BAB. X


A.      Pendahuluan


Menyingkapi topik di atas, sangat menarik untuk dibahas karena fenomena sosial yang  menyangkut konflik sosial (social conflict) yang  telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia (di Ambon, Irian, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso-Sulawesi Tengah, Kabupaten Mamasa, dan lain-lain), dengan berbagai karakter maupun faktor-faktor pencetusnya pada umumnya berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan secara realitasnya sangat sulit diatasi dan dicari cara pemecahan yang konprehensif baik oleh masyarakat setempat melalui tokoh-tokoh masyarakat yang biasanya dapat diselesaikan melalui pendekatan adat-istiadat lokal,  bahkan oleh negara melalui lembaga-lembaganya.

Sebenarnya bila dilihat secara seksama dari topik, ada dua komponen yang menjadi tolok pikir untuk dijadikan sebagai dasar melakukan kajian, yaitu “konflik sosial” sebagai suatu fenomena masyarakat, kemudian konflik sosial yang telah terjadi disoroti dari “aspek penegakan hukum”, karena antara hukum dengan konflik terdapat hubungan yang erat[1].

Dengan  demikian timbul permasalahan atau pertanyaan bagi kita berkaitan dengan konflik sosial dam penegakan hukum yaitu: (1) Bagaimanakah penegakan hukum baik dalam arti pre-emtif, preventif dan represif telah dilaksanakan oleh negara melalui komponen-komponen penegakan hukum, baik yang terikat dalam supra struktur sering kita sebut sebagai Sistem Penegakan Hukum Terpadu (Integrated Criminal Justice Systeem/ICJS) maupun infra struktur seperti advokat dan pengacara dilaksanakan selama ini, atau bagaimana realita penegakan hukum yang diselesaikan selama ini dalam mengatasi konflik yang telah terjadi? (2) Mengapa sistem hukum tidak dapat berjalan secara efektif untuk mengatasi berbagai konflik sosial yang telah terjadi selama ini? (3) Benarkah telah terdapat komitmen penegak hukum guna mewujudkan supremasi Hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan (konflik sosial) yang sedang dihadapi oleh bangsa ini?

B.       Berbagai Konsepsi Tentang  Konflik Sosial

Webster mengatakan dalam bukunya Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin istilah “conflict” didalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi  fisik antara beberapa pihak.[2] Kemudian istilah “conflict” ini menjadi meluas dan tidak hanya terbatas pada konfrontasi fisik tetapi menyangkut aspek psikologis, dan konflik hampir ditemukan dalam segala aspek interaksi kehidupan umat manusia.

 

Lebih lanjut Webster memberikan batasan yang lebih luas yaitu bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.[3]

 

Kepentingan disini adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan, dan ini menjadi sentral pemikiran yang melandasi tindakan seseorang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niatnya. Kepentingan dimaksud ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat spesifik. Kepentingan yang bersifat universal dimaksud antara lain  kebutuhan, rasa aman, kebahagiaan, kesejahteraan. Keinginan yang bersifat spesifik seperti bangsa Palestina ingin untuk memiliki tanah airnya.[4]

 

Sebelum kepentingan satu pihak dapat bertentangan dengan kepentingan pihak lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi, yang didalamnya terkandung berbagai “tujuan” dan “standar”. Tujuan adalah akhir dari suatu perjuangan, sedangkan standard adalah tingkat pencapaian minimal yang lebih rendah, sehingga orang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak memadai.


Uger didalam bukunya Soerjono Soekanto, tidak memberikan pengertian konflik, tetapi membagi konflik atas tiga bagian, yaitu: (1) Konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, (2) konflik antara kebebasan dengan paksaan, (3) konflik antara negara dengan masyarakat.[5] Lebih lanjut Uger menempatkan studi hukum di dalam kerangka permasalahan umum dalam teori sosial seperti pada angka 1 s.d. 3.

Rony Hanityo memberikan pemahaman mengenai konflik, yaitu merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat, sedangkan setiap masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Perubahan sosial yang demikian terutama timbul karena adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di dalam setiap masyarakat.[6] 

Sebenarnya konflik tidak selamanya selalu membawa dampak negatif, namun juga membawa dampak yang positif dalam interaksi kehidupan sosial, oleh karena itu Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin memberikan pendapat dalam bahasa yang lebih konkrit berupa “beberapa kabar baik dan buruk tentang konflik”.[7]

Adapun yang dianggap baik adalah:
Pertama, karena konflik adalah persemaian yag subur bagi terjadinya perubahan sosial. Orang yang menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau menganggap bahwa kebijakan yang berlaku saat ini tolol yang biasanya mengalami pertentangan dengan aturan yang berlaku sebelumnya.
Kedua, fungsi positip kedua  dari konflik sosial adalah bahwa konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan pada  salah satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya beberapa tesis dari posisi kedua belah pihak yang bertikai,  beberapa diantaranya berupa kesepakatan yang bersifat integrated  yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi.
Ketiga,  konflik dapat mempererat persatuan kelompok, tanpa adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, solidaritas kelompok tampaknya akan merosot dengan membawa serta efektivitas kelompok dan kenikmatan pengalaman kelompok.

Demikian juga yang dianggap kurang baik, misalnya motivasi di dalam konflik yang mengalami eskalasi beranjak dari kepentingan awal salah satu pihak untuk mendapatkan yang terbaik, yang kemudian berkembang ke arah penyerangan terhadap pihak lain dan pada akhirnya kearah memastikan diri bahwa pihak lain lebih menderita daripada dirinya. Kemudian jumlah pihak yang berkonflik cenderung meningkat karena antara saya dan anda, kemudian antara keluarga dan kita, lalu cepat atau lambat akan melibatkan seluruh keluarga besar. Sekali konflik mulai mengalami eskalasi, maka transformasi yang menyertainya akan sulit untuk di de-eskalasi.[8]

Dengan demikian dalam konflik yang buruk atau kurang baik dapat mengakibatkan suatu akibat yang mengerikan karena dapat menimbulkan  kerusakan pada orang-orang yang terperangkap di dalamnya.

Beranjak dari beberapa teori atau pandangan dari beberapa sosiolog sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya, pendekatan pemahaman terhadap konflik selalu didasarkan pada pertentangan kepentingan diantara anggota-anggota masyarakat, semakain besar tingkat perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka kecenderungan timbulkan konflik akan semakin besar, demikian sebaliknya, termasuk dalam hal ini digolongkan konflik yang bersifat horisontal (masyarakat dengan masyarakat) maupun vertikal (masyarakat dengan pemerintah), demikian juga campuran antara konflik horisontal dengan vertikal.

 

C.      Hukum Dan Masyarakat

 

Ungkapan dalam sosiologi hukum yang lazim kita kenal berupa “Ubi Societas Ibi Ius”, artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum, yang gunanya adalah untuk menjamin pulihnya keadaan sesegera mungkin setiap kali setelah terjadinya pelanggaran (pelanggaran hukum  apa saja) terhadap hukum yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan demikian hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, karena hukum itu diciptakan dan tumbuh berkembang dalam masyarakat untuk mengatur tata pergaulan hidup agar tercipta ketertiban dan  harmonis sesuai dengan tatanan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam suatu negara yang mengutamakan perinsip-prinsip hukum seperti  asas rule of law, dirasakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam masyarakat haruslah sesuai dengan aturan main, agar masyarakat mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya (tidak terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat individu) dengan kata lain bahwa dalam hal ini hukum merupakan kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Kontrol sosial merupakan kehidupan normatif dari suatu negara beserta warganya. Sehingga diharapkan hukum sebagai sarana dapat  melakukan perubahan secara tertib (tanpa gejolak) dan bertahap atas perilaku manusia.

Demikian juga orang mentaati hukum semata-mata karena hukum itu adalah peraturan yang memang seharusnya ditaati, sedangkan dalam orientasi pelaksanaan orang taat karena yang dilihat atau diperhatikan adalah pejabat yang menjalankan hukum. Oleh karena itu, apabila norma hukum yang berlaku dalam masyarakat mulai kehilangan cengkeramannya, maka diperlukan peranan dari pemuka masyarakat.

Hukum dalam masyarakat juga harus menunjukkan segi formalnya mengenai kehidupan hukum itu sendiri, artinya disebut sebagai tulang-tulang yang menjadi kerangka bagi bangunan hukum itu sendiri, sedangkan kata “masyarakat” dalam kaitan ini bolehlah diibaratkan sebagai “dagingnya”.[9] Jadi ada kerangkanya dan ada dagingnya. Oleh karena itu unsur bangunan hukum dalam suatu masyarakat terdiri dari (1) sistem peraturan itu sendiri, (2) segi ideologisnya, (3) segi manusianya, (4) segi struktur kemasyarakatannya dan (5) segi fasilitas-fasilitas fisiknya.[10]

Bangunan hukum sebagaimana dimaksud oleh Satjipto Rahardjo di atas tidak lain merupakan sistem hukum sebagaimana dikatakan oleh Friedman yang yang terdiri dari tiga komponenn yaitu (1) struktur hukum (legal structure), (2) substansi hukum (legal substance) dan (3) budaya hukum (legal cultur). Ketiga komponen ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain, dan di dalam pelaksanaannya terdapat saling ketergantungan.

 

D.      Beberapa Konflik Sosial Dan Faktor Penyebabnya Di Indonesia


Sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya, konflik sosial yang sifatnya horisontal sudah banyak terjadi di Indonesia, dengan membawa akibat kerugian baik material maupun nyawa yang ribuan jumlahnya, sehingga membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia secara umum dan di wilayah konflik secara khusus.
Salah satu konflik sosial (kerusuhan) yang terbaru adalah yang terjadi di daerah wilayah Aralle, Tabulahan dan Mambi Sulawesi Selatan. Adapun faktor penyebabnya adalah:
1.           Bagi masyarakat yang kontra atau tidak mau masuk ke Kab. Mamasa menyatakan bahwa wilayah Kab. Mamasa yang mencakup antara lain seluruh wilayah  Kec. Aralle, Tabulahan dan Mambi sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kab. Mamasa adalah tidak sah dan cacat yuridis, karena dasar dikeluarkan undang-Undang tersebut adalah atas Ketetapan DPRD Kab. Polmas dan DPRD Prov. Sulawesi Selatan yang memberikan keleluasaan bagi desa-desa di tiga Kecamatan Aralle, Tabulan, dan Mambi yang tidak mau masuk ke Kabupaten Mamasa dan tetap berada pada kabupaten induk yaitu Kab. Polmas. Kemudian meminta agar dilakukan yudicial review terhadap UU Nomor 11 Tahun 2002.
2.           Bagi masyarakat yang pro atau setuju ke Kab. Mamasa menyatakan bahwa dengan diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2002 berarti Undang-Undang ini telah berkekuatan hukum, sehingga harus dijalankan dan ditaati, dan yang tidak mentaati supaya diproses sesuai dengan hukum.
3.           Pendapat masyarakat yang pro kontra ini didukung oleh kedua pemerintah kabupten, dan pemerintah Kab. Polmas mendukung masyarakat yang kontra dan pemerintah Kab. Mamasa mendukung masyarakat yang pro. 

Konflik-konflik lainnya yang terjadi adalah di Ambon, Poso-Prov. Sulawesi Tengah, Sampit Kalimantan Tengah dan di Kalimantan Barat. Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan Suku Madura dengan Dayak di Kalimantan Barat.

Adapun faktor penyebab konflik antara Suku Madura dengan Suku Dayak  adalah:
1.           Karena adanya paham etnosentrisme dan prasangka etnis dalam masyarakat Kalimantan Barat yang berwujud konflik antar individu dan meluas menjadi antar suku, karena dirasakan adanya ketidakadilan dari satu etnis kepada pihak etnis lainnya yang dianggap merusak kepentingan, kehormatan, kerugian materil, dan penderitaan atau ketidakpuasan secara umum.
2.           Karena peralihan hak kepemilikan yang secara perlahan-lahan dan pasti berpindah tangan dari anggota kelompok etnis, misalnya kebun karet, kebun kelapa sawit, faktor premanisme, dan bentuk kriminalitas lainnya telah bertahun-tahun dianggap merugikan etnis Dayak.

Apabila diperhatikan penyebab berbagai konflik pada dua daerah sebagaimana disebutkan  di atas ditinjau dari aspek kriminologi, sistem hukum itu sendiri dapat menjadi pencetus timbulnya konflik sosial, misalnya akibat perlakuan yang tidak adil dari suatu lembaga pemerintahan termasuk dalam memberikan pelayanan hukum yang tidak menempatkan seseorang sebagaimana disebutkan dalam idealisme hukum yaitu “persamaan di depan hukum (equal befor the law)”, dan menjunjung supremasi hukum (supremacy of law) terhadap etnis tertentu, maka terjadi ketidakpuasan dari satu pihak, dan dianggap sebagai potensi atau faktor pencetus timbulnya berbagai konflik kepentingan lainnya sehingga terjadi konflik yang lebih besar (anarkhi).

Dari dua konflik yang terjadi sebagaimana telah diraikan, bila dikaitkan dengan teori tentang konflik, pada prinsipnya terjadi karena ada pertentangan berbagai kepentingan antara seseorang/kelompok dengan orang tertentu/kelompok yang akhirnya meluas ke kelompok yang lebih luas lagi yang kepentingannya berbeda, dan berkembang terus ke arah yang lebih besar sampai anarkhi.

 

E.       Penegakan Hukum Dan Penyelesaian Konflik Sosial


Membicarakan penegakan hukum, dengan sendirinya harus membahas sistem hukum itu sendiri, karena penegakan hukum dapat dilaksanakan tidak terlepas dari peranan aparat hukum, substansi hukum, dan budaya hukum dari masyarakatnya itu sendiri.  Bahkan para sosiolog hukum cenderung menekankan  bahwa “budaya hukum” memegang peranan yang sangat penting dan menentukan berfungsinya hukum dengan baik, seperti yang dikatakan oleh J. Brady “ without  a culture respect and expect the rule of law, the system of justice will remain weak”.[11]  Jadi tanpa budaya hukum maka penghargaan dan penghormatan terhadapa rule of law maupun keadilan itu sendiri akan tetap lemah dan tidak berdaya.

Dengan kata lain bahwa budaya hukum merupakan roh yang membuat hukum itu bernafas dan bergerak. Di samping itu, hukum merupakan suatu ungkapan (expression) dari suatu budaya, gagasan tentang hukum, juga merupakan sejarah intelektual manusia. Ide-ide atau gagasan-gagasan tersebut sangat kuat dalam pembatasan dan pemikiran yang langsung tentang hukum, juga memiliki pengaruh besar terhadap sistem hukum dan pengoperasian sistem hukum,[12] dan menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai budaya.

George Fletcher mengatakan: “Law has become the American civil religion. The Newpapers filled with stories about trials, about pending legislation, about new decision by the courts… Law embodies our aspirations, our sense of ultimate justice, our commitments as nations of diverse ethnicities and religions”.[13] (orang Amerika telah memandang hukum sebagai agama, kemudian media surat kabar telah terbuka secara luas memuat berita-berita peradilan, penundaan pengesahan perundang-undangan, putusan-putusan baru peradilan).

Dari pandangan tersebut menjelaskan bahwa budaya hukum sangat perlu karena menentukan bagaimana hukum itu sebenarnya dijalankan di masyarakat, termasuk bagaimana dapat dioperasionalkan untuk mengatasi berbagai persoalan (konflik sosial). Karena dengan berlakunya suatu  hukum, biasanya terjadi suatu masalah hukum bilamana terdapat konflik antara dua pihak,  yang diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat berwujud bermacam-macam badan atau lembaga, apakah itu yang terkait dalam penegakan hukum formal maupun non formal seperti tokoh-tokoh masyarakat, rohaniawan, cendikiawan, dan lain-lain.

Pada prinsipnya kehadiran hukum berkaitan erat dengan salah satu bentuk penyelesaian konflik yang netral dan tidak memihak. Dengan demikian terdapat suatu hubungan yang erat antara hukum dengan konflik, sebagaimana telah dikatakan oleh Uger didalam bukunya Soerjono Soekanto,  yang telah  membagi konflik atas tiga bagian, yaitu: (1) konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, (2) konflik antara kebebasan dengan paksaan, (3) konflik antara negara dengan masyarakat.[14] Kemudian Uger menempatkan studi hukum di dalam kerangka permasalahan umum dalam teori sosial seperti pada ketiga konflik tersebut di atas. Sehingga dalam menyelesaian konflik  penegakan hukum sangat penting, (dengan sendirinya tidak mengabaikan betapa pentingnya juga penyelesaian melalui jalur non juridis).

Sebenarnya secara substansial berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi selama ini sudah tersedia, namun realitas yang kita temui sampai saat ini penyelesaian konflik sosial sulit diselesaikan melalui pendekatan judicial, seolah-olah hukum sudah mati sebagaimana dikatakan oleh M. Trubek dikala sistem penegakan hukum  dihadapkan pada konflik sosial yang sudah anarkhi, sehingga merupakan suatu tontonan atas  keresahan, dan kesenjangan yang setiap hari dapat  kita lihat  di negeri ini, sehingga prinsip-prinsip untuk menjunjung supremasi hukum demi terwujudkan keadaan dan kepastian hukum lebih tepat disebut sebagai retorika saja. Oleh karena itu ada  beberapa proposisi yang berkaitan dengan kekurang berdayaan penegakan hukum untuk mengatasi konflik sosial yaitu[15]: (1) aparat hukum memang tidak memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum, (2) komitmen yang ada ternyata  tidak cukup tinggi, sehingga supremasi hukum yang terwujud berbentuk setengah-setengah, inkonsisten,  dan atau diskriminatif, dan (3)  terdapatnya komitmen yang tinggi atau cukup kuat untuk mewujudkan supremasi hukum, namun banyak kendala yang dihadapi karena pengakan hukum tidak bisa hanya dilakukan tanda dukungan maupun kerja sama dengan pihak-pihak terkait, utamanya juga kesadaran dari masyarakatnya sendiri.

Polri selaku alat negara penegak hukum (formal) dan dalam sistem penegakan hukum pidana merupakan salah satu  unsur dari Sistem Penegakan Hukum Pidana Terpadu, yang bertugas sebagai alat negara memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya penegakan hukum. Tujuannya adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.[16]

Tugas Polri sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 pada prinsipnya sama dengan tugas polisi secara universal, yaitu (1) memelihara ketertiban umum (maintatenance of order), yaitu dilaksanakan dengan mempertahankan keteraturan melalui pencegahan perilaku yang mengancam ketenteraman masyarakat atau melibatkan konflik pribadi antara dua orang atau lebih, (2) penegakan hukum, (law enforcement), yaitu dilaksanakan untuk mengendalikan kejahatan dengan cara turun tangan dalam berbagai keadaan, apabila hukum telah dilanggar, dan (3) pelayanan (services), yaitu melakukan pelayanan dan bantuan yang biasanya tidak berhubungan dengan kejahatan.

Penegakan hukum dalam menangani masalah-masalah konflik tidak hanya mencakup penegakan hukum dalam arti represif (penindakan) tetapi penegakan hukum dimulai dari pre-emtif dan preventif.  Oleh karena itu Polri sebagai salah satu unsur penegak  hukum yang terkait dengan sistem penegakan hukum pidana merupakan line terdepan dalam menghadapi berbagai konflik sosial, (dan sekaligus juga aparatur hukum yang pertama bersentuhan dengan HAM) mulai dari tahap awal artinya sebelum timbul akibat yang bertentangan dengan hukum, misalnya dalam tarap penyampaian inspirasi melalui unjuk rasa, sebagai hak setiap warga negara.  Dengan demikian kehadiran Polri jelas dalam hal ini sebagai pengawal terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi yaitu kebebasan menyampaikan inspirasi secara aman dan tertib, walaupun didalmnya sudah terkandung konflik sosial.

Sebenarnya sebelum dilakukan penegakan hukum baik yang sifatnya preventif dan represif selalu dilakukan penegakan hukum yang sifatnya pre-emtif, melalui berbagai pendekatan pendidikan, penyuluhan, dan ceramah-ceramah agar tumbuh dan tertanam dalam diri masyarakat prinsip “jadilah menjadi polisi pada dirinya sendiri maupun lingkungannya” dengan kata lain mempolisikan masyarakat. Kemudian dilaksanakan kearah tindakan yang lebih real yaitu  mengaliminir berbagai kejahatan melalui tindakan preventif (pencegahan) yang dilaksanakan dengan berbagai tindakan polisi yang bersifat non justicial (non pro justitia). Bahkan dalam beberapa hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 butir a menyatakan bahwa Polri “Berwenang membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum”. Perselisihan dalam hal ini dengan sendirinya merupakan bagian dari konflik, karena timbulnya suatu perselisihan karena ada konflik interest didalamnya.

F.       Langkah-Langkah Pencegahan Konflik Sosial

 

Mengingat bahwa konflik sosial yang intensitasdan ekstensitasnya  sudah semakin dalam dan meluas, maka sangat perlu diambil langkah-langkah yang sifatnya strategis dan harus dilakukan  Polri dalam mengatasi berbagai konflik horisontal sebagai berikut:
1.           Menjamin kebebasan dan rasa aman masyarakat untuk bepergian kemana saja, dengan sasaran membongkar dan menghilangkan berikade (plang).
2.           Menjamin rasa aman masyarakat untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari, dengan sasaran tidak terjadi lagi sweeping, pengusiran ataupun pelarangan dari masing-masing kelompok yang bertikai di pasar, kebun, atau tempat-tempat lain  yang merupakan akses publik.
3.           Mengembalikan para penghungsi kerumahnya masing-masing dengan memberikan jaminan bahwa tidak akan ada yang akan mengganggu lagi.
4.           Memproses semua perkara yang terjadi sebagai dampak dari adanya konflik secara cepat dan tuntas dengan sasaran kasus pembunuhan, penganiayaan, pengrusakan, dan pembakaran.
5.           Menindak secara tegas masyarakat yang membawa dan menyimpan senjata api maupun senjata tajam serta benda-benda lain yang dapat membahayakan.
6.           Mencegah masuknya orang-orang dari luar daerah yang bertikai, agar tidak terjadi provokator-provokator yang memperkeruh keadaan konflik.
7.           Membantu kesulitan masyarakat terutama soal makanan, pakaian, dan obat-obatan selama pasca pengungsian.
8.           Melakukan koordinasi yang intensip dengan aparat terkait dalam mengatasi  konflik,  sekaligus memberikan jaminan keamanan bagi aparat terkait yang turun kelokasi konflik untuk menyelesaikan dampak konflik.
9.           Mencegah terjadinya ekses yang tidak perlu dari petugas Polri yang bertugas menangani konflik sosial seperti tidak melakukan kekerasan, kesalahan prosedur, tidak berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat konlik.
10.     Memberikan daya tangkal dan percaya diri kepada masyrakat agar tidak mau diadu domba oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Polri dalam kaitannya dengan penegakan hukum untuk mengatasi berbagai konflik sebagaimana disebutkan di atas, perlu ditentukan bagaimana cara bertindak, agar tindakannya terarah sehingga diharapnya tujuannya dapat tercapai dengan baik. Adapun cara bertindak dimaksud adalah:
1.    Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan seperti menutup jalan, pasar, sawah dan sebagainya. Meminta agar masyarakat membongkar berikade secara sukarela. Apabila masyarakat menolak maka dilakukan upaya paksa dengan membongkar barikade dan menangkap orang-orang yang melakukan perlawanan.
2.    Melakukan sosialisasi UU Darurat Tahun 1951 tentang Larangan Membawa Bahan Peledak, Senjata Api, Senjata Tajam, dan Barang-barang Berbahaya Lainnya Tanpa Izin. Meminta masyarakat untuk secara sukarela menyerahkan senjatanya kepada polisi dengan jaminan perkaranya (membawa senjata tersebut) tidak akan diproses dengan diberikan batas waktu 2 (dua) hari bagi yang membawa  dan 1 (satu) minggu bagi yang menyimpan. Setelah batas waktu tersebut dilewati, dilakukan razia dan terhadap pelanggarnya diproses sesusai ketentuan hukum yang berlaku.
3.    Melakukan upaya paksa berupa penangkapan tersangka, penggeledahan rumah, penyitaan barang bukti terhadap seluruh kasus-kasus yang terjadi (pembunuhan, penganiayaan, pengrusakan/pembakaran rumah) yang selama ini tertunda karena adanya perlawanan dari masyarakat. Setiap Polisi akan melakukan upaya paksa, masyarakat memukul kentongan dan berusaha menyerang Polisi.
4.    Melakukan penjagaan di setiap kampung yang berbatasan antara komunitas yang bertikai dengan cara mendirikan pos tetap termasuk melakukan penyekatan di pintu wilayah ATM.
5.    Melakukan patroli dan razia di seluruh rumah penduduk dan tempat-tempat umum untuk mencari dan menyita senjata.
6.    Melakukan pengawalan secara  tersamar kepada masyarakat yang merasa terancam dalam aktifitas sehari-harinya. Secara tersamar dilakukan agar jangan timbul kesan Polisi berpihak pada salah satu komunitas.
7.    Melibatkan Bhayangkari dan keluarga besar Polri untuk menggalang dan memberikan bantuan kepada masyarakat

Langkah-langkah pencegahan sebagaimana disebutkan di atas hendaknya diwujudkan dalam suatu program yang lebih nyata sehingga ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan dengan rentang waktu yang jelas (jangka pendek, sedang, dan panjang). Dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009 pada Bagian II yaitu mengenai Agenda Menciptakan Indonesia Yang Aman[17] dan Damai[18] diarahkan untuk mencapai 3 (tiga) sasaran pokok (namun penulis hanya mencantumkan sasaran pertama saja, karena erat kaitannya dengan konflik sosial) sebagai bagian dari prioritas pembangunan nasional sebagai berikut:
Sasaran pertama, adalah meningkatkan rasa aman dan damai tercermin dari menurunnya ketegangan dan ancaman konflik antar kelompok maupun golongan masyarakat, menurunnya angka kriminalitas secara nyata di perkotaan dan pedesaaan; serta menurunnya secara nyata angka perampokan dan kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas. Dalam rangka pencapaian sasaran tersebut prioritas pembangunan diletakan pada Peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antara kelompok masyarakat, pengembangan kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur serta peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas.

Secara khusus dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 pada Bab 4 tentang Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas, telah menjadikan suatu permasalahan yang harus diperbaiki yaitu “kurangnya profesionalisme lembaga kepolisian”. Oleh karena itu, diperlukan lembaga kepolisian yang memiliki profesionalisme yang efektif, efisien, dan akuntabel, yang mengintegrasikan aspek struktural (institusi, organisasi, susunan, dan kedudukan), aspek instrumentalia (filosopi, doktrin, kewenangan, konpetensi, kemampuan, fungsi, dan iptek), dan aspek kultur (sumber daya, manajemen operasional, dan sistem pengamanan masyarakat).

Dengan demikian kepolisian kedepan masih harus bekerja keras dalam mengatasi berbagai konflik sosial dan berbagai permasalahan lainnya yang sifatnya semakin kompleks, untuk mewujudkan rasa aman terhadap segenap komponen bangsa ini, karena keamanan merupakan faktor yang sangat menunjang atas berhasilnya sektor lainnya, walupun pada prinsipnya ada ketergantungan satu sama lain.

 

G.      Simpulan.


1.    Konflik sosial pada prinsipnya terjadi karena adanya pertentangan berbagai kepentingan, yang pada akhirnya dapat berkembang dengan melibatkan  kelompok masyarakat yang lebih luas, bahkan meluas sampai terjadi anarkhi.

2.    Konflik sosial yang telah terjadi selama ini di beberapa wilayah negara kesatuan RI  telah menimbulkan kerugian yang besar, dan bahkan telah memakan korban yang jumlahnya ribuan, demikian juga kerugian ekonomi, sosial dan budaya.

3.    Sebenarnya antara hukum dan konflik merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, satu dengan yang lain, karena hukum dibentuk antara lain untuk mengatasi atau menyelesaikan suatu konflik.

4.    Kenyataan yang ada sampai saat ini sulit bagi negara RI melalui alat perlengkapannya untuk mengatasi bahkan mengaliminir faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya konflik sosial, sekalipun itu dengan menggunakan pendekatan secara represif.

5.    Pemerintah telah memprogramkan dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 untuk dilakukan peningkatan kemanan, ketertiban dan penanggulan kriminalitas, yang arah kebijakannya antara lain perlu meningkatkan profesionalisme Polri dan meningkatkan kinerja pengawasan dan menisme kontol lembaga penegak hukum terutama kepolisian.  


[1] Ronny Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remaja Karya, Bandung, 1985, cet. 1, hal.  111.  
[2] Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, cet. 1, hal. 9-10, (diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto dari judul asli: Social Conflict).  
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal. 21.
[5] Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 44.
[6] Rony Hanitiyo Soemintro, Hukum Dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1985, Cet. 1, hal. 27.
[7] Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. Cit., hal.  12-117.
[8] Ibid., hal. 17.
[9] Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1977, cet.1, hal. 11.
[10] Ibid.
[11] J. Brady Anderson, Promoting The Rule Of Law Around The Wordl, Association of Tiras Lawyers of America, 2000, hal. 5.
[12] John Hnery Maryman, The Civil Law  Tradition And Lathin America, 127, 2nd ed., 1985, hal. 65.
[13] George P. Fletcher, Basic Comcept of Legal Thought, Oxford University Press, New York, 1996, hal. 4.
[14] Soerjono Soekanto, Loc. cit. hal. 44.
[15] Adrianus Meliala, Mewujudkan Supremasi Hukum di Tengah Perubahan Sosial, hal. 3, makalah disampaikan dalam pada seminar yang diselenggarakan oleh Puslit. Kemasyarakatan LIPI Jakarta bekerjasama dengan SESPIMPOL, Jakarta 17 Mei 2004.
[16] UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 13 dan Pasal 3. Lihat juga pendapat dari Artidjo Alkostar mengatakan dalam Tuntutan Polisi Dalam Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan: Dalam Polisi dan Masyarakat, Senat Mahasiswa H UII, Yogyakarta, 1995, hal. 93, bahwa sebagai aparat negara Polisi berfungsi protektif bagi masyarakat, sehingga dengan otoritasnya dan kewenangan yang dimilikinya Polisi wajib menangkal dan menanggulangi aksi dan sikap yang mengganggu atau merugikan masyarakat.
[17] Aman dalam Perpres dimaksud adalah bebas dari bahaya, ancaman dari luar negeri, dan gangguan dari dalam negeri. Selain itu aman mencerminkan keadaan tenteram, tidak ada rasa takut dan khawatir. 
[18] Damai mengandung arti tidak terjadi konflik, tidak ada kerusuhan, keadaan tidak bermusuhan dan rukun dalam sistem negara hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan