Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 DI BIDANG TUGAS DAN WEWENANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB VI



A.      Pendahuluan

Politik hukum yang menyongsong dibentuknya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, sebagai usaha untuk mengembangkan dan menyempurnakan institusional Polri, telah dimulai dari adanya pergerakan reformasi yang sifatnya sangat fundamental dalam kehidupan berdemokrasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bertujuan menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, karena kehidupan demokrasi merupakan pilihan yang lebih realistis dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik ke depan.

Pengaruh yang besar terhadap eksistensi Polri dimulai dari lahirnya berbagai kebijakan politik yang sifatnya sangat strategis, yaitu melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Polri Dengan ABRI. Kemudian diikuti dengan berbagai langkah produk hukum yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Polri, yang dinyatakan bahwa Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden. Berikutnya dipertegas dengan produk politik berupa TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keseluruhan kebijakan yang tertuang dalam berbagai produk politik tersebut di atas, telah diakomodir dalam  UU Nomor 2 Tahun 2002 (saat ini telah diberlakukan kurang lebih selama 4  tahun, mulai tanggal 8 Januari  2002),  yang secara yuridis formil telah membawa pengaruh yang besar terhadap eksistensi Polri, utamanya bila dilihat dari sistem ketatanegaraan pemerintahan Indonesia.Diharapkan dengan adanya UU Nomor 2 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan dari dari UU Nomor 28 Tahun 1997 tentang Polri, lebih mendukung tugas-tugas kepolisian ke depan.

Dari berbagai produk politik dan hukum sebagaimana disebutkan di atas, maka kedudukan, fungsi (function), tugas (task), dan peran (role) Polri sudah cukup jelas. Namun yang perlu dipertanyakan sampai saat ini adalah: Apakah kedudukan, fungsi, tugas, dan peran Polri sebagaimana yang telah diakomodir dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 telah terlaksana dengan baik atau tidak? Pengaruh-pengaruh apa saja yang saat ini ditemukan terhadap fungsi, kedudukan, tugas, peran, dan wewenang Polri setelah 4 tahun UU Nomor 2 Tahun 2002 dilaksanakan?

B.       Fungsi, Susunan dan Kedudukan, Peran ,Tugas serta Wewenang Polri

Berbicara mengenai fungsi, tugas, dan peran Polri dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, telah mengalami pasang surut sesuai dengan pergerakan perkembangan tatanan kenegaraan, sehingga eksistensi Polri sering berubah-ubah sesuai dengan perkembangan kehidupan politik yang terjadi.

Namun dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, reposisi eksistensi Polri telah ditentukan secara jelas baik mengenai fungsi, susunan, kedudukan, tugas, dan peran, hal ini dapat dilihat dalam uraian di bawah ini:

1.         Fungsi  Polri.                                  
Fungsi Polri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002, merupakan bagian dari pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan demikian, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan tidak terlepas dari tujuan yang telah ditentukan dalam Pembukaan UUD RI 1945, yaitu fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyangkut fungsi kepolisian dalam dimensi yuridis dan sosiologis.

a.        Fungsi kepolisian dalam dimensi yuridis meliputi:
1)        Fungsi kepolisian yang bersifat umum, yang dilaksanakan oleh Polri sebagai bagian dari lembaga pemerintahan.
Fungsi Kepolisian  umum, yaitu   merupakan bagian dari administrasi negara, dengan demikian melekat fungsi-fungsi utama administrasi negara yang meliputi:
a)         fungsi pengaturan, yaitu menyangkut perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas kepolisian;
b)        fungsi perizinan, yaitu fungsi yang berkaitan dengan fungsi pengaturan dalam rangka penerbitan/pemberian izin, termasuk prosedur dan unit organisasi atau satuan yang diberi wewenang untuk menerbitkan izin tersebut;
c)         fungsi pelaksanaan tugas pokok, berdasarkan kewajiban umum kepolisian dan ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu;
d)        fungsi pengelolaan pemilikan negara yang dipercaya kepada Polri yaitu melalui pengolahan inventaris Polri secara efisien yang berasal dari APBN;
e)         fungsi pengawasan tugas pokok Polri, yaitu untuk mengevaluasi tugas pokoknya;
f)         fungsi penyelesaian perselisihan, yaitu menyelesaikan perkara-perkara atau persengketaan-persengketaan administrasi yang bukan kompentensi pengadilan.

2)        Fungsi Kepolisian Khusus, yang merupakan tugas administrasi khusus sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. 

b.        Fungsi kepolisian dalam dimensi sosiologis, yaitu berupa rumusan fungsi  Kepolisian yang diemban, yang secara swakarsa dibentuk, tumbuh, dan berkembang dalam tata kehidupan masyarakat.
2.            Susunan dan Kedudukan Polri.
 Susunan Polri telah ditentukan dalam Pasal 7 UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja Polri disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.”
Dengan memperhatikan susunan Polri maka:
a.         Polri merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan RI, sehingga Polri merupakan Kepolisian Negara yang bersifat utuh.
b.        Pembagian daerah hukum Polri telah disusun menurut keperluan pelaksanaan tugas Polri dan diusahakan harmonisasi dengan pembagian administrasi pemerintahan.
Kemudian mengenai kedudukan Polri sebagaimana dalam Pasal 8 yang menentukan: “(1) Polri berada di bawah Presiden. (2) Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Dengan demikian, kedudukan Polri dalam mewujudkan sistem konstelasi hukum nasional telah melaksanakan kekuasaan kepolisian di bidang preventif dan represif serta mempunyai tugas utama dalam menyelenggarakan keamanan dalam negeri.
                     
3.           Peran Polri
Peran Polri ditentukan dalam Pasal 5 yaitu: “Polri berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban  masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharannya keamanan dalam negeri.”
Dengan demikian, peran Polri dalam hal ini difokuskan pada terpeliharannya keamanan dalam negeri melalui upaya menjaga ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

4.           Tugas dan Wewenang Polri
Tugas Polri pada prinsipnya menyangkut 3 (tiga) bidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menentukan: “Tugas Pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tugas-tugas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 tersebut, telah diperinci menjadi tugas-tugas yang lebih konkrit dalam arti tugas-tugas kepolisian secara umum. Demikian juga tugas-tugas pokok tersebut dibagi dalam bentuk-bentuk kewenangan umum kepolisian maupun dalam bidang kewenangan khusus di bidang proses penegakan hukum.

Apabila diidentifisir, jabaran-jabaran tugas dari Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 dalam bentuk tugas, peran, dan wewenang cukup luas, bahkan melebihi dari 40 (empat puluh) bagian, belum lagi tugas-tugas khusus seperti terlibat dalam pelaksanaan perdamaian dunia, kemudian yang diberikan oleh berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain perlindungan saksi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Teroris dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dengan demikian, garis besar rumusan tugas Polri meliputi fungsi kepolisian umum di bidang preventif dan represif, melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta sebagai Korwas PPNS, sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta peraturan-peraturan lainnya yang memberikan tugas penyelidikan dan penyidikan kepada Polri.

C.      Implikasi Susunan, Kedudukan, dan Pelaksanaan  Fungsi serta Tugas Polri

Dalam perjalanan UU Nomor 2 Tahun 2002 yang telah berjalan hampir 4 tahun,  berbagai faktor yang menimbulkan implikasi terhadap pelaksanaan eksistensi Polri utamanya dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya dapat diuraikan di bawah ini:

1.         Mengenai Susunan dan Kedudukan Polri
Kedudukan Polri sampai saat ini masih sering diperdebatkan oleh berbagai kalangan apakah itu datang dari kalangan politikus maupun birokrat yang mengatakan agar kedudukan/struktur Polri dirubah dari yang bersifat nasional (terpusat) menjadi desentralisasi (berada di bawah Gubernur), walaupun hal tersebut telah jelas diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, utamanya dalam UU Nomor 2 Tahun 2002. Wacana maupun konsepsi seperti ini kemungkinan besar merujuk kepada pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena bagi kalangan tertentu, masuknya Polri sebagai bagian dari urusan pemerintahan daerah dimaksudkan agar prinsip-prinsip pengamanan di daerah lebih mudah dikoordinasikan.
Kita menyadari bahwa susunan dan kedudukan Polri tidak selalu sama di seluruh dunia, ada yang bersifat sentral/nasional dan ada yang bersifat desentralisasi, tergantung pada sifat dan struktur pemerintahan, seperti di Amerika Serikat, selain Sheriff terdapat juga City Police, County Police, State Police, dan pada tingkat Federal terdapat FBI dan Narcotics Bureau. Kita tidak semata-mata dapat langsung begitu saja mengadopsi sistem yang ada di luar negeri mengingat sistem yang diberlakukan dalam masyarakat telah mapan dan masyarakat telah menerima sistem yang ada dengan baik. Kalaupun dalam pelaksanaannya yang kurang baik, menurut pendapat penulis bukan merupakan kelemahan dari sistem yang ada, tetapi lebih terletak pada penyimpangan perilaku individu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan ke arah menumbuhkan budaya hukum yang lebih responsif mengantisipasi berbagai tantangan ke depan, dan akomodatif memperhatikan berbagai kepentingan masyarakat.
Sampai saat ini terus diperdebatkan juga dan menjadi isu yang berkembang mengenai perbedaan antara prinsip-prinsip keamanan (security) dan pertahanan (defence), sehingga banyak pandangan beranggapan bahwa antara keamanan dan pertahanan merupakan dua bidang yang tidak bisa dipisahkan tetapi dapat dibedakan, karena dengan kuatnya keamanan maka akan berdampak terhadap kuatnya pelaksanaan pertahanan, dan kuatnya pertahanan akan berdampak kuatnya keamanan. Pernyataan itu adalah benar, namun perlu ada koridor khusus yang dibuat sehingga tidak terdapat kerancuan dalam melakukan suatu tindakan melalui sistem dan metode yang telah jelas. Bagaimanapun dan sampai kapanpun, fungsi keamanan negara (the security function of state) pasti tidak dapat dihilangkan sepanjang suatu negara masih ada.
Berkaitan dengan dengan prinsip keamanan dan pertahan yang menjadi salah satu konsumsi politik saat ini, maka Menhankam Juwono Sudarsono mencoba membuat Konsep RUU tentang Pertahanan dan Keamanan. Dalam Kosep RUU ini diharapkan dapat menjembatani payung hukum antara prinsip Keamanan (UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri) dan Pertahanan (UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara). Barangkali politik hukum yang akan diletakkan dalam Konsep RUU dalam tanda kutip “mencoba menjembatani peran TNI dalam hal keamanan”.
Sebenarnya bila diperhatikan ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD RI 1945 (pada  perubahan kedua), telah jelas menentukan bahwa: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Demikian juga dalam Pasal 5 UUD RI 1945 telah menentukan bahwa “Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.”

Mengenai keiikutsertaan atau pelibatan TNI dalam pelaksanaan keamanan telah diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002, yang menentukan: “(1) Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Dalam  keadaan darurat militer dan keadaan perang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam kenyataan sehari-hari, untuk kelancaran tugas-tugas perbantuan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) ini telah dilaksanakan, namun landasan formilnya yang belum terwujud, karena sampai saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang  diamanatkan oleh Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 ini belum selesai dibahas pada tingkat Antar Departemen, walaupun sudah lebih dari 3 tahun lamanya karena terdapat perbedaan prinsip antara Dep. Pertahanan dengan Polri.
Menurut Dep. Pertahanan, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menentukan: “Operasi militer selain perang, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.”

Terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 UU Nomor 34 Tahun 2004 tersebut, menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Polri dengan Dep. Pertahanan. Menurut Polri, bahwa ketentuan ini tidak mengharuskan dibuat lagi UU, tetapi cukup menunjuk pada peraturan yang ada yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002. Sedangkan dari Dep. Pertahanan memberikan penafsiran bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 UU Nomor 34 Tahun 2004 mengharuskan dibentuk undang-undang baru yang mengatur tata cara pemberian bantuan dalam tugas-tugas keamanan dan ketertiban. Padahal dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, rumusan pemberian delegasi untuk membentuk suatu aturan baru rumusannya adalah: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban diatur dengan UU”. 
                                 
2.         Implikasi Dalam  Berbagai Fungsi dan Tugas   Polri
Antara fungsi dan tugas merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena fungsi dijabarkan dalam tugas-tugas dan tugas-tugas lebih dijabarkan dalam barbagai peran maupun wewenang, dan dalam pelaksanaannya harus ditopang dengan sifat profesionalisme dari setiap anggota Pori, yang direfleksikan dalam sikap/perilaku yang terpuji dan trampil dalam melaksanakan tugasnya.

Dengan Kata lain, anggota Polri harus memiliki:
a.         pengetahuan tentang peraturan;
b.        pengetahuan untuk memahami dan menerapkan isi peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas Polri;
c.         sikap terhadap peraturan;
d.        perikelakuan terhadap peraturan itu sendiri.
e.          
Mengenai fungsi Kepolisian telah jelas ditentukan dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menentukan bahwa: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Selaku fungsi pemerintahan negara maka diberikan beberapa tugas dan peran sebagaimana yang tertera dalam Pasal 13 s.d. Pasal 17 UU Nomor 2 Tahun 2002, baik dalam melaksanakan tugas-tugas kepolisian dalam arti umum maupun tugas-tugas khusus, baik dalam bidang penegakan hukum secara projustitia maupun non-projustitia.

Dalam perjalanan kurun waktu 4 tahun ini, eksistensi tugas peran dan wewenang kepolisian sebagaimana yang terdapat di dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, dalam perkembangan politik hukum sudah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip harmonisasi dan sinkronisasi dalam berbagai bentukan peraturan perundang-undangan. Akibatnya, tugas dan kewenangan antara satu departemen dengan departemen yang lain saling overlapping bahkan cenderung melahirkan berbagai lembaga baru dan kewenangan baru.

Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H.,  mengatakan dalam Surat Kabar Harian Kompas, hari Senin tanggal 18 September 2006, bahwa saat ini lembaga penyidikan berjumlah 55 (lima puluh lima) yang tersebar dalam berbagai departemen dan komisi, berakibat terjadi overlapping kewenangan/kekuasaan, sehingga timbul indikasi merupakan rebutan kekuasaan atau bagi-bagi kue kekuasaan. Belum lagi bila diperhatikan berbagai ketentuan lainnya yang tidak konsisten lagi dilaksanakan di bidang proses penyidikan seperti pelaksanaan kordinator pengawasan dan pembinaan (Korwas) terhadap PPNS yang telah jelas-jelas diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun dalam berbagai ketentuan malah tidak konsisten dan tidak sinkron dengan ketentuan yang ada. Keadaan seperti itu jelas menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan keuangan negara. Dampak lainnya adalah akan mengarah pada tindakan korupsi, kekuasaan selalu dekat dengan penyimpangan-penyimpangan.

Demikian juga bahwa Polri selaku sub-sistem dari fungsi pemerintahan, senantiasa terlibat dalam pembinaan sistem hukum nasional dalam hal peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan fungsi dan tugas atau wewenang Polri. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menentukan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas turut serta dalam pembinaan hukum nasional.”

Mengenai mekanisme keikutsertaan dalam pembinaan hukum nasional, terkait dengan pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang dengan teknik penyusunan dan bentuknya mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, beserta peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, berbagai piranti lunak yang sifatnya mengatur, baik yang dikeluarkan oleh Kapolri maupun pejabat kewilayahan, setahap demi setahap telah dilakukan perubahan. Dengan demikian, Polri sebagai sub-sistem dari pemerintahan negara telah memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam pembangunan sistem hukum nasional.

Demikian juga mengenai pembinaan profesi Polri, sejak diberlakukan UU Nomor 2 tahun 2002, secara gradual telah dilakukan perbaikan, melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam berbagai piranti lunak, seperti  Kode Etik Polri dan Komisi Kode Etik Polri, termasuk pengaturan Peraturan Pemerintah tentang Pemberhentian Anggota Polri, Peraturan Pemerintah tentang Pelanggaran Displin dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelesaian Pelanggaran Pidana yang Dilakukan oleh Polri.
Anggota Polri yang melakukan satu perbuatan pelanggaran dapat dikenakan tiga tindakan sekaligus apakah diterapkan pelanggaran disipilin, kemudian penyelesaian pelanggaran kode etik melalui Sidang Komisi Kode Etik, dan melalui Peradilan Umum apabila dianggap melakukan suatu perbuatan pidana.

Berkaitan dengan masalah implikasi terhadap pembinaan personel melalui penetapan usia pensiun atau pemberhentian sebagaimana telah diatur dalam Pasal  30 UU Nomor 2 Tahun 2002, menentukan bahwa usia pensiun anggota Polri adalah 58 tahun. Dalam pelaksanaannya, ketentuan tersebut mendapat reaksi dari beberapa anggota Polri, karena dalam penjabaran usia pensiun, kapan diberlakukannya masih memerlukan kebijakan lebih lanjut dari pimpinan Polri, dan ada yang merasa dirugikan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan Polri ketika itu. Untuk mencari solusi masalah tersebut, ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, pensiun penuh setelah usia mencapai 58 tahun baru dapat diterapkan kepada anggota Polri yang lahir pada tahun 1950 ke atas.
                     
D.      Simpulan

1.           Reformasi yang bergulir pada tahun 1998 telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam konstelasi politik pemerintahan negara RI, yang berakibat  terjadi berbagai perubahan dalam sektor kehidupan terutama dalam tataran susunan ketatanegaraan. Demikian juga terhadap status, susunan, dan kedudukan Polri menjadi salah satu sub-sistem dari pemerintahan yang melaksanakan fungsi tugas dan peran sebagai aparat pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegak hukum, dan memberikan perlindungan, penganyom, dan pelayanan kepada masyarakat.

2.           Implikasi dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri terhadap fungsi tugas kepolisian tidak sebaik yang terdapat dalam berbagai rumusan yang terdapat dalam substansi Undang-Undang tersebut, tetapi sangat banyak dipengaruhi berbagai persoalan politik dan sosial, karena banyak kalangan beranggapan bahwa kewenangan yang diberikan kepada Polri relatif cukup luas, sementara institusi yang lain menganggap kewenangannnya selama ini merasa seperti dikurangi, padahal dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society) maka peran Polri harus luas.

3.         Persoalan yang terus menjadi isu yang bergulir adalah tentang kedudukan dan peran Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam memelihara keamanan. Banyak kalangan yang menyarakan agar Polri berada di bawah Gubernur (desentralisasi) dan perlu dibentuk Undang-Undang Keamanan sebagai sarana untuk menjembatani prinsip-prinsip pelaksanaan antara keamanan dan pertahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan