Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

KEJAHATAN NARKOTIKA DAN PENCUCIAN UANG

BAB VIII



A. PENDAHULUAN

Narkotika dan obat-obat terlarang pada satu sisi sangat berguna bagi kehidupan umat manusia antara lain dipergunakan sebagai obata-obatan, pencegahan, penelitian dan pengembangan dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan. Di pihak lain sangat merugikan kepentingan umat manusia apabila penggunaannya maupun peruntukannya disalahgunakan, karena sifat keber-bahayaannya sangat tinggi, antara lain merusak individu, keluarga, masyarakat, pendidikan, keamanan nasional dan lain-lain.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam era globalisasi dengan diciptakannya berbagai sarana transportasi dan komunikasi yang demikian canggihnya, sehingga dalam melakukan transaksi dalam bidang perdagangan dan keuangan boleh dikatakan hanya dalam hitungan detik atau menit, bukan lagi dalam hitungan jam. Oleh karena itu para pelaku kejahatan (sindikasi/organized crime) begitu mudah melakukan berbagai kejahatan khususnya yang berkaitan dengan kejahatan di bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan (commercial crime) antara lain korupsi, penyuapan (bribery), perdagangan narkotika menghindari pajak (tax evasion), perdagangan senjata api illegal (illict arms trafficking), penyelundupan tenaga kerja (termasuk perdagangan anak-anak di bawah umur) penjualan organ-organ tubuh dan sebagainya, selanjutnya mereka menyembunyikan hasil kejahatannya (dirty money).

Dalam perkembangan politik hukum Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PTTPU) telah dirumuskan berbagai substansi mengenai pencucian uang, antara lain dari penjualan narkotika dan Psikotropika, sebagai suatu langkah yang sangat strategis dalam upaya memberantas kejahatan yang ada kaitannya dengan PTTPU terutama dalam kaitannya dengan pemberantasan narkotika secara illegal. Karena Indonesia telah digolongkan oleh Financial Action Task Force (FATF) sebagai salah satu negara dari 15 negara yang tidak koperatif (non kooperartive countries and territories/NCCT) dalam memberantas praktek pencucian uang.

Disadari bersama bahwa penyalahgunaan narkotika dewasa ini tidak saja masalah nasional,melainkan juga masalah internasional, oleh karena itu komitmen bangsa Indonesia untuk memerangi peredaran narkotika sudah demikian tingginya. Hal ini terlihat dari pengaturan tentang penggunaan narkotika sudah diatur secara jelas, termasuk ancaman sanksi minimum dan maksimum bagi pelaku. Namun pengaturan yang ada kaitannya dengan masalah pencucian uang (money loundering) sebagai hasil penjualan dan perdagangan narkotika dan psikotropika belum diatur, seperti yang terdapat pada beberapa negara lain, padahal dampak yang ditimbulkan sangat besar sekali.

Para penegak hukum selama ini hanya dapat melakukan tindakan di hulu (to cut the linkage) yaitu secara preventif dan represif. Sedangkan pencucian uang boleh dikatakan sudah terjadi di hilir dan mempunyai modus tersendiri, pengusutannya lebih sulit, karena harus dilaksanakan secara integrated dan comprehensive dengan melibatkan instansi terkait, organisasi-organisasi internasional (NCB-Interpol) melalui kerja sama, baik bersifat bilateral, regional maupun multilateral, disamping itu memerlukan dana besar.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas sedikit banyak tentang pencucian uang dari hasil transaksi narkotika di beberapa negara dan berbagai peraturan dalam kaitannya dengan perdagangan narkotika, kemudian perkembangan kejahatan narkotika di Indonesia dan usaha-usaha untuk mencegahnya.

B. GAMBARAN SINGKAT PENCUCIAN UANG (MONEY LOUNDERING) DARI HASIL TRANSAKSI NAROTIKA DI BEBERAPA NEGARA, BERBAGAI PERATURANNYA.

Pengertian pencucian uang (money loundering) yang telah diberikan oleh beberapa kalangan pada prinsipnya hampir sama, yaitu kegiatan kejahatan untuk tujuan memperoleh kekayaan. Jadi kekayaan yang didapat berasal dari tindak pidana, atau sering disebut uang kotor, atau uang haram.

Menurut M. Giovanoli mengatakan bahwa “money loundering merupakan suatu proses yang dengan cara itu asset terutama asset tunai yang diperoleh dari tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga asset tersebut seolah-olah dari sumber yang sah.”

Sedangkan definisi yang diberikan oleh International Criminal Police Organization (ICPO/Interpol) adalah: “Denotes act or attempt to conceal or disguise the identy of illegally obtained proceeds so that they appear to have originated from legitimate source.”

Perdagangan narkotika secara illegal merupakan sumber keuangan yang mendatangkan keuntungan sangat besar bagi para pelaku. Praktek-praktek money loundering mula-mula dilakukan hanya terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotika (illegal drug trafficking) dan obat-obatan terlarang lainnya, yang jumlahnya besar, karena kalau jumlahnya kecil dapat diserap ke dalam peredaran secara tidak kentara.

Perdagangan illegal narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya selalu dibayar dengan uang tunai (tidak bersedia menerima kartu kredit, cek dll, dalam rangka menutupi sindikasi mereka), uang kontan yang dierima disusupkan kelembaga-lembaga keuangan (Placement).

Keuntungan dari perdagangan illegal narkotika terbesar dijumpai di Amerika Lathin, dan dalam perdagangan narkotika tidak ada perbedaan yang berarti pada negara-negara Amerika Latin, pejabat-pejabat negara maupun pemerintahan (penguasa militer, hakim, jaksa, polisi), banyak yang terlibat dalam perdagangan illegal narkotika. Korupsi di Peru sebagai akibat dari perdagangan narkotika. Di Colombia banyak juga pejabat yang mati ditembak (Jaksa Agung, Hakim-hakim, dan Polisi) oleh sindikat /kartel narkotika, dan mempunyai tentara sendiri yang dipersenjatai dengan senjata-senjata yang canggih yang mampu melawan angkatan bersenjata negara tersebut.

Amerika Serikat adalah negara yang paling terdepan dalam memerangi kegiatan “money loundering”, dan terus melancarkan perang terhadap perdagangan obat-obat terlarang, namun ulah kartel tetap sulit dibendung, karena kejahatan narkoba adalah kejahatan internasional/transnasional yang terorganisir rapi dan bergerak sangat cepat tanpa mengenal batas negara.

Menurut studi di USA ada bayi-bayi yang lahir sudah terkena/tergantung kepada kokain yang dipakai ibunya sewaktu mengandung, dan untuk merawat satu bayi diperlukan dana sebesar 125 ribu dollar AS., bahkan ribuan pecandu narkotika meninggal di negara adi daya ini karena overdosis. Disamping itu banyak juga yang tewas akibat kena AIDS, dan menurut PBB kira-kira 22% populasi positif mengidap penyakit HIV didunia adalah pengguna narkotika dengan menggunakan jarum suntik yang tercemar.

Treasury USA memperkirakan bahwa uang yang dihasilkan dari industry narkotika secara illegal melebihi 70 milyard dollar AS pertahun, dan yang dapat ditarik dari para pelaku dengan nilai uang adalah hanya 2 milyard, sedangkan menurut Raja Pande Silalahi mengatakan bahwa “menurut perkiraan volume perdagangan narkotika diseluruh dunia diperkirakan berkisar 500 milyard dollar AS setahun, yang berarti merupakan sekitar 2% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di seluruh dunia. Ada yang mengatakan bahwa diperkirakan rakyat AS membelanjakan tidak kurang dari 100 milyard dollar (Rp. 1.1 triliun) untuk obat-obat haram ini, 80% -85% uang haram tersebut masuk ke lembaga-lembaga keuangan melalui berbagai cara.

Di Canada besarnya pasar perdagangan gelap narkotika diperkirakan antara 7 s/d 8 milyard dollar, dan menurut para ahli bahwa antara 50% s/d 70% dari hasil penjualan narkotika untuk dicuci dan kemudian diinvestasikan. Dengan demikian apabila diasumsikan bahwa 50%-70% dari jumlah uang yang dicuci di Canada berasal dari perdagangan gelap narkotika, maka jumlah uang haram (illict funds) di Canada setiap tahun yang dicuci antara 45 dan 14 milyard dollar.

Mengingat bahwa dampak yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, maka PBB mensahkan suatu Konvensi pada tanggal 19 Desember 1988 di Vienna. Dalam Pasal 3 ayat (1) menetukan “United Nation Convention Against Traffick in Narcotic Drugs and Psychtropic Substance”. Kemudian memberikan definisinya juga mengenai apa itu pencucian uang sbb:
“The Conversion or transfer of property, knowing that (it is derived from a drug offence) for the purpse of concealing or disguising the illict origin of property or of assisting any person who is involed in the commission of (a drug offence) to evade the legal consequences of his action”.

Jadi anggota-anggota PBB yang telah meratifiikasi Konnvensi tersebut harus menggolongkan atau merumuskan tindakan pencucian uang sebagai tindak pidana dalam hukum nasionalnya masing-masing.

Konvensi berlaku secara efektif sejak November 1990, dan telah diratifikasi oleh 98 negara (Indonseia telah meratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1997), sedangkan Konvensi mengenai “Psiktropic Substance” tahun 1971 diratifikasi dengan UU No.8 tahun 1996. Sayangnya didalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika tidak mengatur masalah kejahatan pencucian uang, karena kemungkinan yang menyangkut otorisasi perbankan di Indonseia pada waktu itu.

Dalam konsideran United Convention tersebut antara lain telah menjelaskan bahwa perdagangan barang-barang terlarang dapat merusak stabilitas ekonomi, dan keamanan suatu negara (undermine the legitimate economics and threaten the stability,, security and sovereigntyof state), karena itu harus dieliminir akar penyebab penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (to elimante the root couses of problem of abuse of narcotic drugs an psychotrpic substances).

Inggris telah memiliki beberapa UU yang berkaitan dengan pencucian uang antara lain Drug Trafficking Act 1986, dan pihak yang menikmati dari hasil uang kotor diancam pidana maksimum 14 tahun. Hongkong juga telah memiliki Ordonance 1989 tentang Drug trafficking (Recovery) of Proceed yang memungkinkan aparat penegak hukum melacak, membekukan dan menyita kekayaan pelaku kajahatan dan memerintahkan pengembalian harta kekayaan. Demikian juga Nigeria telah memiliki UU yang mengatur mengenai penayalahgunaan narkotika yang disebut National Drugs Law Enforcement Ageny Decree No 48 tahun 1989, yang berkaitan dengan Money Loundering Decree No. 3 tahun 1995.

Salah satu substansi dari Money Loundering Decree No. 3 tahun 1995, yaitu”Kewajiban melaporkan setiap transaksi yang melebihi dari ketentuan kepada Badan Pengak Hukum Narkotika Nasional” (Transactions exceeding the prescribed maximum must be reported to National Drug LAW Enforcement Agency /NDLEA). NDLEA kemudian dapat melakukan pemberhentian sementara transaksi yang sedang berjalan selama 3 hari, jika diduga terlibat, maka dapat diblokir. Bank juga mengijinkan NDLEA untuk memeriksa rekening, mempunyai hak untuk mengakses computer, mendapatkan copy yang authentic.

Sanksi terhadap pelanggaran kewajiban petugas sangat berat (The breach of most the duties and obligations placed on banks constite offences punishable under Decree), hukumannya berkisar 15 s/d 25 tahun. Karena bagaimanapun peranan lembaga keuangan dalam menanggulangi adanya usaha-usaha dari para pelaku penjualan narkotika dalam jumlah besar sangat penting.

Dalam laporan terakhir International Narcotic Control Board (INCB) menyoroti secara tajam kegiatan money loundering di Indonsia, yang didasarkan antara lain kepada: Sampai sekarang di Indonesia berlaku ketentuan bahwa uang yang disimpan dalam bentuk deposito berjangka tidak diusut asal-usulnya sehingga dengan sendirinya diputihkan dan halal.

Undang-Undang Perbankan yang berlaku di Indonesia memberikan peluang besar kepada bank untuk merahasiakan kekayaan seseorang, dan perdebatan mengenai kerahasiaan bank sampai saat ini masih terus berlangsung.

Mencermati data yang diberikan oleh Sidhunata dalam harian Kompas 11 Juli 2001, pada halaman 15 yang didasarkan atas tarnsparancy international Juni 2001, peringkat corruption perception index (CPI) mencantumkan bahwa Indoneia merupakan negara yang menduduki peringkat nomor dua (2) paling korup di dunia.yaitu mencapai angka 88, yang tertinggi adalah Nigeria. Dengan demikian maka jelaslah bahwa dugaan keras peredaran uang dari hasil kejahatan (uang kotor/haram) untuk dicuci di Indonesia jelas ada.


C. PERKEMBANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA SAAT INI DI INDONESIA.

Perkembangan kejahatan narkotika di Indonesia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir ini (1997-2001 s.d. Maret) adalah meningkat,, baik dilihat dari jumlah tersangkanya orang Indonesia maupun orang asing, demikian juga barang bukti yang disita adalah meningkat jumlahnya.

Pada umumnya para pecandu mulai memakai narkotika maupun obat-obat terlarang lainnya yaitu antara umur 13-17 tahun sebanyak 97%, dan usia termuda 9 tahun. Dampak penyalahgunaan narkoba antara lain prestasi sekolah merosot (96%), hubungan keluarga memburuk (93%), perkelahian dan tindak kekerasan (65, 3%) dan kecelakaan lalu lintas (58,7%).

Demikian juga modus operandi dalam melakukan peredaran narkotika juga mengalami cara-cara yang lebih rapi, sehingga lebih sulit dideteksi oleh para petugas dan masyarakat, dan ada indikasi bahwa Indonesia yang semula posisinya hanya sebagai daerah transit, namun telah berubah menjadi daerah konsumen, produksi dan pengeksport. Untuk lebih jelas terlampir data dalam table di bawah ini , baik data jumlah tersangka dilihat dari warga negara Indonesia, warga negara asing, umur, jumlah barang bukti berupa ganja, heroin, morphin, kokain, hashish, termasuk psikotropika yaitu ectasy, shabu-shabu dan daftar G).





Data tentang Tersangka dan Barang Bukti



Sumber Data : Dit. Narkoba Koreserse Polri Thn. 2001

Bila diperhatikan jumlah angka tersangka dalam kasus narkoba yang berumur dibawah 15 tahun mulai dari tahun 1997 s/d 2001 (Januari-Maret) sebanyak 61 orang, berumur 16-19 tahun sebanyak 1.106 orang, dari 21-24 tahun sebanyak 3.256 orang, dari 25-29 tahun sebanyak 2.788 orang dan diatas umur 30 tahun sebanyak 3.850 orang. Jadi jumlah keseluruhan tersangka adalah sebanyak 11.061 orang.

Demikian juga jumlah pecandu narkoba yang dirawat ditiga tempat perawatan yaitu di Pamardisiwi, RSKO, dan Depso/BKSN mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tahun 1997 sebanyak 4.382 orang, tahun 1998 sebanyak 5.847 orang (naik3, 44%) dan pada tahun 1999 sebanyak 9.652 orang (naik65,01%), belum termasuk yang dirawat ditempat-tempat perawatan lainnya.

Mengenai jumlah barang bukti berupa narkotika mulai tahun 1997-2001 (Januari-Maret) terdiri dari: (1) ganja seberat 12.818.199,12 gr, (2) heroin seberat 92.893,04 gr, (3) morphin seberta 3.717 gr, (3) kokain seberat 25.984,35 gr dan hashish seberat 308.903, 08 gr.

Kemudian jumlah barang bukti psikotropika yang terdiri dari : (1) ectasy sebanyak 355.387 tablet, (2) shabu-shabu seberat 325.628,114 gr , (3) daftar G sebanyak 1.576.466 tablet.

Karena jumlah peredaran narkotika maupun obat-obat terlarang lainnya terus meningkat di Indonesia, maka dengan demikian Indonesia saat ini telah menjadi pangas pasar yang empuk bagi para pelaku bisnis illegal narkoba, dengan demikian bagaimanapun berlaku prinsip ekonomi dalam kaitannya dengan hukum supplay and demand.

Lebih lanjut kalau dilihat dari peredarannya, maka narkotika masuk ke Indonesia dari luar negeri (diselundupkan), karena produksi narkotika sampai saat ini belum dijumpai di Indonesia. Negara yang memproduksi narkotika ini diketahui antara lain dari negara Thailand-Laos-Birma (segitiga emas /triangle gold), Afganistan-Iran Pakistan (bulan Sabit Emas) dan Kolombia. Kemudian yang berasal dari dalam negeri yaitu ganja sebagai hasil penanamannya banyak dijumpai di Indonesia (hampir dijumpai kultivasi diseluruh Indonesia).

Mengenai psikotropika ada yang masuk dari luar negeri dan ada yang telah diproduksi di Indonesia. Negara yang memproduksi di luar negeri yang barangnya beredar di Indonesia berasal dari Guan Zhou yang dikenal dengan nama shabu-shabu. Di Indonsesia diketahui telah diproduksi di beberapa daerah antara laian di Medan, Jakarta, Tangerang dan Batam (telah disidik).

Mengenai jaringan-jaringan sindikasi di bidang narkotika yaitu terdiri dari:

1. Beberapa negara yang merupakan jaringan Internasional, dengan system sel/cut dan tidak saling mengenal satu sama lain, dan memiliki mobilitas yang tinggi.
2. Para pelaku peredaran gelap narkotika adalah sindikasi dari Black African (Nigeria, Ghana, Liberia) dan pengedarannya di Indonesia dilakukaan sebagian besar usia masih muda.
3. Para pelaku sindikasi Black African pada umumnya menggunakan paspor palsu atau asli yang dipalsukan dengan modus operandi menggantikan photo atau cap palsu.
4. Peredaran narkotika jenis ectasy dan shabu-shabu lebih didominasi kelompok China Hongkong di wilayah Asia , demikian pula Cina Indonesia, dan untuk peredaran di Indonesia dengan menggunakan infrastruktur bisnis di kalangan bisnis, tempat-tempat hiburan, diskotik dan panti pijat.

Modus operandi yang dipergunakan kalau barang berasal dari luar negeri yaitu:
1. heroin diselundupkan dalam tabung /usus/anus tersangka, dalam lapisan koper, jaket, mainan anak-anak serta hak sepatu,
2. hashish dikirim dan disembunyikan di dalam barang-barang tertentu melalui paket pos,
3. kokain dikirim lewat jasa pengiriman barang,
4. ectasy dan shabu-shabu diselundupkan dengan cara dimasukkan kedalam patung yang terbuat dari gips, mesin tekstil, dan peralatan olah raga.

Sedangkan modus operandi yang dipergunakan di dalam negeri yaitu:
1. ganja dikemas dalam amplop, kardus, karung goni, kantung semen, botol aua , lapisan double bak truk, dan dalam ban mobil.
2. Heroin disembunyikan dalam kartu ucapan selamat, sabun, kotak susu bubuk, tong sampah, belakang kulkas fortable,
3. Ectasy disembunyikan dalam kaleng permen, bungkus minuman, dos korek api, helm, diatas flatfon kamar mandi.

Selanjutnya jalur peredaran narkotika khusus yang berasal dari luar negeri meliputi:
1. Opium.
Melalui: (a) Penang - Medan (Belawan) – Jakarta, (b) Port Kelang - Selat Panjang – Bengkalis, (c) Pulau Ketam – Sinaboi, (d) Amsterdam – Jakarta.

2. Heroin/morphin.
Melalui: (a) Bangkok – Singapure – Denpasar, (b) Pontian (Malaysia) – Tg Balai Karimun (Riau), (c) Bangkok – Penang – Medan – Jakarta – Amsterdam, (d) Kuala lumpur – Jakarta, (e) Bangkok Singapure – Denpasar – Perth (Australia), (e) Singapura – Jakarta, (f) Singapure – Bengkalis – Tg.Balai Asahan – Medan, (g) Port Kelang – Pulau Ketam – Pulau Halang – Bagan Siapi-siapi (Bengkalis), (h) Bangkok – Samarinda – Korea – Japan, (i) Karachi – Singapure – Jakarta.



3. Kokain.
Melalui: (a) Blivia – Denpasar, (b) Colombia – Jakarta – Eropa –USA, (c) Peru –Denpasar, (d) Brazilia – Denpasar, (e) Mexico – Denpasar.

4. Hashish.
Melalui: (a) Khatmandu – Bombay – Kolombo – Bangkok – Singapure – Denpasar – Australia, (b) New Delhi – Singapure- Denpasar – Australia, (c) New Delhi – Singapure – Denpasar – Tokyo.

D. BERBAGAI LANGKAH DALAM PENANGGULANGAN

Sebagaimana penulis sebutkan diatas bahwa masalah penyalahgunaan narkotika saat ini merupakan masalah yang sangat serius dihadapi hampir semua negara didunia ini, karena jaringannya sudah mengakar sampai kemana-mana. Oleh karena itu bagaimanapun kuatnya sumber daya yang dimiliki suatu negara, tidak mungkin dapat melakukan pencegahan dan penanggulangan tanpa bantuan dari negara-negara lain. Demikian juga suatu negara melalui alat perlengkapan atau aparat penegak hukum tidak mungkin juga dapat melakukan pencegahan tanpa didukung oleh instansi terkait dan peran serta masyarakat.

Penanggulanagan suatu kejahatan menyangkut langkah-langkah/strategi, antara lain menyangkut upaya penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yang dimulai dari tindakan preempatif, preventif, represif.

Di samping upaya penegakan hukum, maka harus diikuti dengan berbagai usaha lainnnya, antara lain melakukan upaya treatment/rehabilitasi (medias dan sosial) dan strategi pengembangan sumberdaya manusia, prasarana dan dana.

Strategi pre-emtif (preventif tidak langsung), yaitu ditujukan untuk menghilangkan/mengurangi permintaan, dan diarahkan kepada sasaran generasi muda dan warga masyarakat yang tidak menyalahgunakan narkoba, serta kepada kelompok beresiko tinggi untuk mencegah mereka menjadi penyalahguna narkoba. Juga diarahkan kepada masyarakat, organisasi kemasyarakatan, mass media, organisasi agama, dan profesi, organisasi kewilayahan dan laian-lain.

Langkah-langkah pre-emptif ini bertujuan untuk mencegah secara dini di hulu dari pada muara dengan cara melakukan berbagai kegiatan yang bersifat mendidik sehingga dapat mempengaruhi faktor pencetus atau pendorong (faktor korelatif kriminogen) terjadinya kejahatan narkoba.

Strategi pre-emtif ini terdiri dari:
1. strategi nasional promotif,
2. strategi nasional informasi dan edukasi prevensi,
3. strategi nasional untuk golongan beresiko tinggi,
4. strategi nasional untuk partisipasi masyarakat.

Upaya penindakan (represif) dilakukan secara tegas dan konsisten dengan tujuan untuk memutus jalur peredaran, mengungkap jaringan sindikasi, mengungkap motivasi penyalahgunaan narkotika.

E. KERJA SAMA INTERNASIONAL

Sebagaimana telah disebutkan dalam pertimbangan “United Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988”sangat diperlukan kerja sama antar beberapa negara khususnya negara-negara yang memiliki sumber dayanya lebih baik (Development Country), negara-negara lainnya (Under Development Country). Oleh karena itu Majelis Umum PBB pada pertemuan khusus yang ke-21 pada tanggal 10 Juni 1998 telah menyatakan “perlawanan terhadap persoalan narkotika secara bersama-sama” (Countering the word drug problem together, dengan mengadopsi Deklarasi Politik dan Rencana Memerangi Pencucian Uang (Political Declaration and Action Plan Against Money Loundering) sejalan dengan programnya. Oleh karena itu Office for Drug Controle and Crime Prevention (ODCCP) menetapkan Pusat Pencegahan Kejahatan Internasional dan United Nations International Drug Controle (UNIDCP) Harus memainkan perannya yang sangat penting dalam memerangi tindak pidana pencucian uang, yang telah dibentuk sejak tahun 1997.

Polri dalam melaksanakan tugasnya selaku alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat, dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana di bidang narkotika telah melakukan kerja sama dengan beberapa negara baik Regional maupun Subregional, antara lain:

1. Dengan DEA-AS, Departemen Kehakiman USA. yaitu telah memberikan program-program bantuan kepada Polri. Program bantuan tersebut lebih ditiitik beratkan kepada:
a. Pembinaan sumber daya manusia antara lain, melakukan pelatihan terhadap perwira-perwira senior Polri (Senior Leadership Workshop),
b. Training manager Seminar,
c. Narcoba Counternarcotic Ssistance, yaitu dimulai dari Basic Enforcement School, kemudian dilanjutkan dengan Advanced Drug Enforcement,
d. Intructur Workhsop,
e. Teknologi for Trainers.

2. Dengan Internasional Law Academy (ILEA) Bangkok (Thailand) Lembaga ini mendapat bantuan dari FLET, FLEC, US DEA, FBI, USCS dengan pemerintah Thailand yang terdri dari Thai Royal Police dan ONCB. Kursus ini dilaksanakan 5 kali dalam satu tahun. Dari Indonesia selalu diikuti oleh instansi lainnya diluar Polri, antara lain dari Kejaksaan Agung, Imigrasi dan lain-lain.

3. UNDP, INTERPOL, ASEANAPOL telah melanjutkan kerja sama saling membantu dalam rangka mendukung program melawan perdagangan narkotika dan penyalahgunaan narkotika termasuk juga dalam meningkatkan kerja sama dalam penegakan hukum.

4. Dengan PBB sebagai pelaksanannya adalah ECOSOC dalam wadah Head of National Drug Law Enforcement Agencies Asia, dll

F. PENUTUP

1. Mengingat bahwa masalah penyalahgunaan narkotika saat ini bukan lagi hanya masalah satu negara akan tetapi sudah masalah Internasional karena jaringannya sudah sampai dimana-mana, disamping itu proses pengungkapannya cukup sulit dan penuh resiko, sehingga diperlukan kemampuan profesionalisme yang tinggi, biaya yang cukup besar, kerja sama antar instansi terkait dan partisipasi masyarakat.

2. Bisnis illegal perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang lainnya merupakan bisnis awal dalam kaitannya dengan kegiatan pencucian uang kotor (dirty money) yang dikejar oleh para mafia pedagang gelap narkotika, karena mendatangkan keuntungan uang yang cukup besar, sehingga kerja sama internasioanl mutlak diperlukan dan ditingkatkan baik regional maupun subregional.

3. Perlu ditingkatkan budaya hukum (legal culture) masyarakat untuk memahami betapa pentingnya kelak undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam melindungi bangsa dan negara, sehingga kalau nantinya RUU tersebut disetjui DPR, maka dapat diberlakukan secara efektif dan tidak hanya tertulis di atas kertas seperti beberapa peraturan yang ada saat ini.


DAFTAR PUSTAKA


DAFTAR BUKU

1. Abdul Wahid, dan Anang Sulistyono, Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum di Indonesia, Tarsita, Bandung, 1997, cet., 1.
2. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Univ. Trisakti, Jakarta, 2002, cet. pertama.
3. Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Struktural-Fungsional, SIC, Surabaya, 1998, cet. 1.
4. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996, cet. 1.

5. Basuki Ismail, Negara Hukum Demokrasi Toleransi Telaah Filosofis atas John Locke, Intermedia, Jakarta 1993 , cet. 1.
6. Butterworth Money Loundering Law, Butterword, London, 1999.
7. C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, cet. 1.
8. Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung 2008, cet. kedua, diterjemahkan oleh Raisul Musttaqien dari judul asli: The Philosophy of Law in Historical Perspective dan penyunting Nurainun Mangunsong.
9. E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, cet. 1.

10. Eep Syaifullah Fatah, Yusril Ihza Mahendra, dan Todung Mulya Lubis, Mengenang Perpu Anti Terorisme, disunting oleh Sabar Sitanggang dan M. Ichwan Ridwan, Jakarta, Agustus 2003.
11. Franz Magnis- Suseno, 12 Tokoh Etika Abab ke-20 , Gramedia, Jakarta, 2004, cet.4.
12. _______________, et. al, Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa, APTIK-Gramedia, Jakarta, 1991.
13. Komisi Hukum Nasional RI., Kebijakan Reformasi Hukum, Jakarta, 2003, cet. 1.
14. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, cet. 2.
15. Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Ad Hoc Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, Jakarta, 2009, cet. 1.
16. Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition Toward Responsive Law, Harper Torchbooks, New York, 1978.
17. R.M. Panggabean, Budaya Hukum Hakim Dalam Pemerintahan Demokrasi dan Pemerintahan Otoriter, Studi tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI Periode Tahun 1950-1965, Universitas Studi Kajian Ekonomi, Jakarta, 2008, cet. Pertama.

18. Satjipto Rahardjo, Budaya Hukum Sebagai Kekuatan Alternatif, Media Indonesia, Jakarta, 2003.
19. Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006, cet. 1.
20. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. pertama.
21. Sri Sumatri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, cet. 1.
22. Stewart J. Schwab, Limited Domain Positivism As Empirical Proposition, Cornel Law Review, 1997, Vol. 82.
23. TB. Rony Rahmah Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2006, cet. 1.
24. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1988, cet. keempat.
25. Van Apeldorn, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarata, 1966.
26. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, edisi kedelapan.

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. _______________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. _______________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
4. _______________, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
5. _______________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT (Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

6. _______________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. _______________, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan.
8. _______________, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
9. _______________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10. _______________, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
11. _______________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil Rights and Politic (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), International Covenant On Civil Rights disahkan oleh PBB pada tahun 1966).
12. _______________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention for Suppression of Terrorist Bombings (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris 1997).
13. _______________, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention for Suppression of the Financeing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).
14. _______________, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
15. _______________, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
16. _______________, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi.
17. _______________, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

18. _______________, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
19. _______________, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode etik Polri Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 1 Juli Tahun 2006.
20. _______________, Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
21. _______________, Rancangan Undang-Undangan tentang Hukum Pidana.
22. _______________, Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
23. _______________, Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

DAFTAR ARTIKEL

1. Ajayi Koyn, On the Trial of a Spectre Destabilisation of Developing and Transactional: Economies A Case Study of Corruption in Nigeria, makalah disampaikan pada Dickison Journal of International Law (1997), Vol. 15:1.

2. Andi Hamzah, Hubungan Penyidik dan Penuntutan, makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi–Jaksa Menuju Integrasi, Auditorium Bumi Putera–Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia, Depok, 17 April 2008.

3. Bambang Poernomo, Perkembangan Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kumpulan Artikel/Karangan.

4. Bambang Setiajoprodjo, Money Loundering Pandangan Dalam Rangka Pengaturan, makalah disampaikan pada Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta 1998, vol .3.

5. Chatamarrasjid, Eksistensi dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam eformasi Lembaga Peradilan, makalah disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia, Bapenas, Jakarta, 6 Februari 2006.

6. Hikmahanto Juwana, Pidato Ilmiah Penegakkan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problema dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia, makalah disampaikan dalam acara Dies Natalis Ke-56 Univ. Indonesia, Depok, 4 Februari 2006.

7. Hukum dan Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1998, Vol. 3.

8. Indriyanto Seno Adji, “”Dwang Middelen”-Penahanan Perspektif Hakim Komisaris dan Pembaharuan Hukum Pidana Formil, makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi R. KUHAP, Hotel Acasia Jakarta, 30 Agustus 2006.
9. Millaard Henry George, Drug and Corruption in Latin Amerika, makalah disampaikan pada Dickison Journal of International Law, 1997, vol. 15:3.

10. Muladi, Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Hukum Pidana di Indonesia, makalah disampaikan dalam Semiloka mengenai Reformasi Sistem Peradilan Pidana, Kementerian Menpan, Jakarta, 19 Agustus 2008.

11. Pande Raja Silalahi, Pencucian Uang Dan Sistem Keuangan International, makalah disampaikan pada Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1998, vol. 3.

12. Romli Atmasasmita, Sinergi Kerja Polri dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi–Jaksa Menuju Integrasi, Auditorium Bumi Putera–Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia, Depok, 17 April 2008.

13. Sutan Remy Syahdeini, Money Londering, makalah disampaikan dalam Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2000, vol. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan