Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

PERAN HAKIM AGUNG, METODE BERPIKIR JURIDIS DAN KONSEP KEADILAN DALAM SPIRIT REFORMASI

B. Metode Berpikir Juridis Hakim Agung Dalam Menjalankan Perannya.

     Metode berpikir juridis sama dengan menggunakan metode Pada umumnya sebagaimana yang digunakan dalam ilmu pengetahuan tentang metodologi, yang membedakannya adalah objek dan pendekatanyang akan digunakan oleh peneliti yang disesuaikan dengan bidang disiplin ilmu yang akan dikaji atau yang akan diteliti.
     Dalam kontek metodologi pemikiran juridis, maka objek pembahasannya sudah
jelas menyangkut : (1) epistimotogi hukum, (2) metode penelitian ilmu hukum, (3) metode penerapan hukum, (4) metode penemuan hukum(5) teori argumentasi hukum (penalaran hukum) dan (6) ilmu   perundang undangan, (Hans Kelsen, 2006: xii-xiii). Kelima bidang pembahasan ini memerlukan masing-masing teori yang bertujuan agar pembahasan/analisis tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai, dan sekaligus merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain dalam kesisteman hukum.
     Untuk seorang hakim (agung), maka yang diperlukan untuk didalami secara komprehensif sesuai dengan profesinya untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara menunrt penulis adalah ilmu hukum, metode Penerapan hukum, metode penemuan hukum, argumentasi hukam dan ilmu penrndang-undangan, oleh karena itu bukan beberarti metode seperti epistimologi,tidak penting, namun biarlah itu diperdalam oleh para pakar akademisi.
     Teori menemuan hukum memerlukan atau berintikan cara perpikir tertentu yang disebut argumentasi hukum. Dengan demikian secara paradigmatik, ilmu hukum itu terdiri atas teori argumentasi hukum, dan teori
penemuan hukum. Ilmu hukum merupakan wadah yang menghimpun sekalian pemikiran dan perkembangan baru dalam pemiikiran hukum ilmu hukum tidak berhenti, melainkan berkembang dan bergerak dinamis.
     Menurut Pontier dalam Bunga RamPai Komisi Judisial tanggal2 Agustus 2007 dalam makalah Komariah Emong Sapardjaja penemuan hukum ditaklukan melalui metode: (a) interpretasi, penghalusan hukum, interpretasi restriktif dan ekstensif, (c) penalaran hukum, (d) teknik penemuan hukum lain berupa: (1) penerapan atau penafsiran undang-undang secara rasional, (2) penimbangan kepentingan. (e) motivering vonnis, (Bunga Rampai Komisi Yudisial Reformasi Peradilan, 2007 : 99)'.
     Seorang Hakim lebih-lebih yang sudah menyandang predikat hakim agung tidak lagi hanya berpikir secara sektoral, karena mempelajari hukum tidak lagi sekedar mempelajari pasal-pasal yang tersusun seperti kata-kata mati di atas kertas saja, tetapi harus mempelajari ilmu-ilmu hukum dan melakukan penalaran
hukum, dan menggali nilai-nilai yang ada di dalam hukum yang ada, di samping itu berbagai disiplin ilrnu lain utamanya ilmu-ihnu sosial seperti ilmu sosiologis, ekonomi, politilq dan antropologi karena hukum disebut juga
merupakan ilmu yang inturdisipliner bukan ihnu yang menutup diri terhadap perkembangan masyarakat.
     Hakim merupakan salah satu dari unsur penegak hukum yang paling banyak menggunakan argumentasi atau penalaran hukum secara konprehensif itulah sebabnya di USA ada suatu aliran yang disebut Aliran
Realisme Hukum yang menekankan bahwa peran hakim adalah sebagai "low is judgemade law", karenanya sistem hukum di USA menganut preseden, oleh karena setiap putusan hakim menciptakan hukum untuk masa depan(Ceramatr-ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, Ceramah Radio oleh Professor-Professor
Harvard Law School, (Jakarta-Indonesia,PT. Tatanusa, 1996: l5), dengan demikian bahwa di USA ataupun dinegara-negara menganut sistem hukum Anglo Smon hakim melalui putusannya menjadi salah satu sumber hukum yang utama dan pada prinsipnya selalu diikuti oleh hakim-hakim yang ada pada pengadilan yang lebih rendah. Jadi sistem hukum cepat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, karena hakim tidak dipatri atau dipasung atas dengan sumber-sumber hukum formal (yang dibentuk oleh badan legislatif), seperti yang terdapat di negara-negara yang mengikuti aliran sistem Kontinental.
     Untuk lebih jelasnya dibawah ini digambarkan dalam tabel perbedaan aliran' sistem hukum yang ada di Anglo Sacon sering disebut Common Low dengan Kontinental (sering disebut Code Law), (Charles F.
Abernanthy, 1999: I 8- I 9).Berkaitan dengan metode penemuan dan penerapan hukum merupakan pemikiran untuk mengembangkan hukum sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu pemikiran hukum (legal thought) sangat berpengaruh terhadap apa pemaknaan hukum itu dan dimana hukum itu tumbuh/basis sosial hukum, bagaimana hukum itu harus ditemukan, dicipakan atau dirumuskan, bagaimana agar hukum dapat di daya gunakan untuk mencapai kesejahrteraan masyarakat, (Satjipto Ratradjo, 2006: 1 70).
     Metode berpikir juridis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu penalaran ( Peius a Partanto dan M. Dahlan Albarry' 1994): 5 82), memberikan pengertian tentang "penalaran" artinya adalah proses pemikiran,secara logis untuk menarik suatu kesimpulan dari suatu kenyataan sebelumnya terhadap
hukum, dengan sendirinya juga termasuk hakim (agung) harus melakukan metode dan penalaran dalam menjalankan peran profesinya memeriksa dan mengadili suatu perkara, karena hakim merupakan bagian dari sistem hukum, (Lawrence Friendman: I 984:5-7) dalam tataran struktur hukum. Metode betpikir juridis menurut penulis tidak terlepas dari konten keilmuan dari suatu hukum itu sendiri,karena ilmu hukum bagian dari disiplin yang termasuk kelompok ilmu Praktis, ia menyandang kekhasan, yang intinya adalah, (B.Arief Sidharta t999:hal. 113): a. Tercatat sebagai salah satu ilmu yang paling dulu berkembang (bersama dengan
ilmu kedokteran); b. Sebagai ilmu normatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematiknya (masalah mendesak yang inheren dalam kehidupan sehari-hari manusia); c. Objek telaahnya berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat
dipaksakan oleh kekuasaan publik; d. Adanya tuntuan Perkembangan masyarakat masa kini agar tugas ilmu
hukum lebih banyak terarah pada penciptaan hukum baru yang diperlukan untuk mengakomodasi timbulnya
berbagai hubungan kemasyarakatan.
     Paling banyak terkait dengan masalah keilmuan hukum adalah substansi yang menyangkut pada huruf "d" yaitu terkait dengan tuntutan hukum yang responsip terhadap perkembangan hukum, hukum dalam hal ini tidak hanya semata-mata produk legislatif, tapi merupakan produk dari hakim terutamanya hakim agung, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Paul Scholten bahwa hukum tidak hanya yang dijumpai dalam norma-norma tetapi juga harus ditemukan oleh hakim, melalui kasus-kasus yang dihadapi, sehingga melahirkan putusan-putusan yang dapat dijadikan sebagai jurisprudensi. Jurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum banyak yang betul-betul mencerminkan rasa keadilan masyarakat, seperti: (1) Putusan MA' Reg' No. 302 K/Sip/I960, tanggal 8 Nopember 1960, dalam perkara Asih dan Njani v' Tami.Kaidah putusannya: "Janda perempuan selalu merupakan ahli waris dari suaminya". (2) Putusan MA. Reg'No' 179
K/Sip/1961, tanggal 1 Nopmber 1962, dalam perkara Lawang Siptepu v. Benih Ginting' Kaidah hukumnya: Kedudukan anak lakilaki sebagai ahti waris adalah sama dengan kedudukan anak laki-laki", (3) Putusan MA Reg. No. 242 WS|P/I958, dalam perkaraAdrianus Hutabarat dan ST. Osman Hutabarat v. Kristina Situmeang. Kaidah hukumnya: "Pembeli yang bertikad baik harus dilindungi", (4) putusan MA Reg. No. 3703 K/Pdt./1986, tgl. l0 Desember I 98 8. Kaidah hukumnya: "Mengenai pengembalian uang harus dinilai kembali menurut harga emas pada saat pembayaran dilakukan sebagai akibat nilai uang yang merosot". Dalam perkara pidana jugu ada beberapa putusan MA antara lain : (1) Reg. No. 133 K/Krl 1973, tgl. 15 Nopember 1975. Kaidah hukumnya: "Seorang yang menyerahkan cek padahal ia mengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya perbuatannya merupakan tipu muslihat sebagai termaksud di dalam Pasal 378 KUHP".,(2) Putusan MA. Reg. No. 8l WKr/1957,tgl. 9 Nopember 1957. Kaidah hukumnya:"Karena terdalrwa di sidang pengadilan mengaku atas segala yang dituduhkan kepadanya, maka hakim cukup mendengar seorang saksi saja."
     Metode pemikiran hukum bagi hakim (agung) dengan mendasarkan suatu putusannya hanya terhadap sumber-sumber formal seperti undang-undang, tercatat, dan perjanjian dalam bidang hukum keperdataan (kontrak), jurisprudensi, kebiasaan dan doktrin, menurut penulis merupakan pandangan yang masih mempertahan prinsp-prinsip klasik. Perkembangan saat ini sudah menunjukkan perkembangan sumber-sumber formal hukum yang tidak digali oleh hakim seperti nilai dan asas-asas hukum yang sudah sejak lama ada (Shidharta 2006: 8l). Asas-asas hukum urnumnya tidak dirumuskan dalam bentuk norma (walaupun ada yang dirumuskan seperti ketentuan Pasal 1 KUHP disebut asas legalitas) tersendiri di dalam undang-undang,
terwujudnya masih berupa nilai, ia berada dibalik ketentuan norma hukum positip. Dalam hukum intemasional sering disebut "principle of law recognized by civilized netions",(Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional) yang kerap digunakan sebagai sumber hukum utama dalam pembentukan hukum.
     Menurut Sudikno Mertokusuma mengatakan bahwa seorang sarjana hukum, khususnya hakim selayaknya menguasai menyelesaikan perkara juridis (thepower of solving legal problems) yang meliputi tiga kegiatan utama yakni merumuskan masalah hukum, (legal problem identification),memecahkannya (legal problem solving)dan terakhir mengambil keputusan (decision making).
     Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan 7 (tujuh) langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus (Shidhart4 Ibid: I 97):
l. meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta),artinya: memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus(menskematisasi);
2. menerjematrkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasikan);
3. menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4. menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukurn itu;
5. menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6. mengevalusi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7 . merumuskan (formulasi) penyelesaian.
     J. Vandevelda sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyebutkan bahwa ada 5 (lima) langkah penalaran hukum, yaitu (Shidarta,Ibid: 196):
l. mengidentifikasikan surnber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan Putusan pengadilan (identify the applicable sources of low); menganalisis sumber hukum tersebut umtuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
mensintesiskan aturan hukum tersebut kedalam struktur yang koheren, Yakni struktur yang mengelompokan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a cohorent structure);
menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the availqble facts);menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan
kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (opply the structure of rules to the facts);
     Menyikapi pandangan tersebut di atas, Shidarta menyimpulkan lani$ah-langkah yang harus dilakukan oleh hakim untuk penalaran suatu hukum, yaitu, (Sidhart4 Ibid: 198):
1. Mengklasifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stnrkhr kasus (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi,.
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapatmenetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan juridis (legal term),
3. Menyeleksi sumber hukum dan atau aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules),sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4. Menghubungkan strukur aturan dengan struktur kasus;
5. Mencari alternatif-altematif penyelesaian yang mungkin; menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
     Setiap langkah (1 s.d. 7) tersebut di atasjelas memerlukan suatu pemikiran yang deskriptif sesuai dengan karakteristik kasus yang dihadapi oleh seorang hakim. Melakukan langkah yang ketiga merupakan suatu pemikiran juridis yang sulit untuk dilaksanakan kalau tidak mendalami metode penafsiran hukum termasuk pengertian dari setiap istilah yang ada di dalam suatu aturan hukum yang akan diterapkan dalam suatu kasus tertentu,apalagi kalau dihubungkan dengan teori dari Fmcois Geny yang mengatakan bahwa sebuah undang-undang tidak pernah mampu dengan sempuna mempresentasikan keutuhan realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial (Bernard L. Tanya dkk, 2006: 165).
     Metode penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum (rechsviding). Di luar itu ada metode lain yang disebut metode konstruksi atau argumentasi, yang erat kaitannya dengan metode penafsiran. Diketahui ada beberapa macam metode penafsiran yaitu: metode penafsiran: (l)penafsiran gramatikal, (2) penafsiran otentik,(3) penafsiran teleologis (sosiologis), (4)penafsiran sistematis (ogis), (5) penafsiran histories
(subjektif (6) penafsiran comparative,(4 penafsiran puturistis, (8) penafsiran reshiktif dan (9) penafsiran ekstensif.
     Sudikno membedakan antara metode penafsiran dengan metode konstruksi (Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo ,_1993:21),sbb:Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya, tetapi tidak jelas untuk dapat  diterapkan dalam suatu peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan
mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim rnenghadapi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya (bandingkan Pasal 22 Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia/5.1847-23) dengan Pasal 14 UU No. 14
tahun 1970. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? untuk mengisi kekosongan hukum itu digunakan metode berfikir analogi, metode penyempitan hukum dan metode ocontrario.
     Ada doktrine yang disebut "sencleir", yang intinya jika kata-kata dalam suatu peraturan perundang-undang tidak diperkenankan untuk menyimpanginya dengan jalan penafsiran. Hal ini harus demikian adanya karena penafsiran diperlukan kalau memang setiap kata-kata atau rumusan yang terdapat dalam suatu undang-undang sudah jelas maksudnya.
     Metode penemrum hukum lainnya adalah konstruksi hukum, atau disebut juga metode argumentasi. Argumentasi hukum ini menyangkut analogi, penghalusan hukum, dan a contrario. Untuk melakukan konstuksi maka Paul Scholten memberikan tiga syarat yaitu: (l) meliputi materi hukum positif, (2) ajarannya tidak kontradiktif, (3) memenuhi syarat estestis (Shidarta, 2006:218).
     Dalam memutus suatu perkara hakim ada kalanya telah memiliki berbagai alternatif jawaban yang harus dibangun melalui suatu penalaran disiplin hukum, dan selanjutnya harus dipadtrkan dengan pertanggung jawaban moral. Kemudian tiap-tiap alternatif harus diverifikasi dengan argumentasi yang tepat. ',.Oleh karena itu kerja sama antara hakim-hakim yang duduk dalam satu majelis diuji kebenaran pendapat atau penalarannya,apalagi kalau dihubungkan dengan doktrin bahwa hakim adalah independen. Oleh karena itu sekalipun duduk sebagai anggota majelis diberikan kebebasan untuk berpendapat berbeda dengan anggota majelis lainnya, yang dalam perkembangan doktrin sering disebut " dissenting opihion" .
     Kemudian hakim dalam membuat suatu putusanya harus dibangun secara terstruktur dan diperlukan seni bernalar praktis, dan pembuktian merupakan sisi yang penting dalam suatu putus, karena putusan selain dari milik para pihak yang bersengketa demikian juga menjadi milik publik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan