Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

PERANAN POLRI DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB V

A.      Pendahuluan

Dengan disahkannya RUU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjadi UU Nomor 23 tahun 2004, pada tanggal 24 September 2004, dengan sendirinya melalui sistem hukum kita, penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat wanita Indonesia semakin diakui dan dihargai. Tidak dapat disangkal bahwa selama ini perlakuan terhadap wanita masih sering terpinggirkan perannya dalam berbagai aspek kehidupan, walaupun sebenarnya Konstitusi UUD 1945 sudah menetapkan pondasi yang kuat bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.[1]

Sejalan dengan ketiadaan perhormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat wanita selama ini, sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan korban utamanya adalah wanita dan pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[2]

Sebagaimana telah penulis sebutkan, bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah wanita, apakah itu korban perbuatan fisik, psikis, kekerasan seks , dan ekonomi. Korban haruslah dilindungi sehingga terhindar dari berbagai perlakuan yang tidak manusiawi. Perlindungan tersebut harus diberikan oleh negara terhadap semua manusia utamanya dalam konteks kekerasan ini pada wanita sebagai korban utama  kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam konteks UU Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, Polri selaku alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat telah dikedepankan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, oleh karena itu perlu dilihat bagaimana substansi pengaturan yang ditentukan dalam UU ini dikaitkan dengan fungsi tugas dan peran Polri dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

B.       Fungsi dan Peran Polri

Pada prinsipnya tugas-tugas Kepolisian secara universal adalah sama yaitu melakukan perlindungan (protections), melakukan pelayanan kepada masyarakat (services) dan menegakan hukum dan memelihara tata tertib (law enforcement and maintain law and order).

Demikian juga peran maupun tugas-tugas kepolisian di negara kita ini tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas kepolisian secara universal sebagaimana penulis sebutkan di atas. Fungsi dan peran maupun tugas-tugas Polri jelas tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, karena tugas-tugas yang dilaksanakan oleh kepolisian khususnya dalam bidang penegakan hukum (represif) selalu bersinggungan dengan HAM, bahkan dari beberapa unsur penegakan hukum yang terkait dalam sistem penegakan hukum pidana yang terpadu (integrated criminal justices system), kepolisianlah yang selalu paling dahulu maupun terdepan dalam  bersentuhan dengan HAM. Di samping itu, cukup banyak dan luas  kewenangan yang diberikan negara kepada kepolisian. Sejalan dengan luasnya kewenangan yang diberikan negara kepada institusi kepolisian maka dengan sendirinya juga tugas-tugas kepolisian selalu rentan dengan penyimpangan-penyimpangan tugas yang berakibat terjadinya pelanggaran terhadap HAM.

Menurut Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 menentukan bahwa tugas pokok Polri adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Ketiga tugas pokok kepolisian tersebut sebagaimana disebutkan di atas merupakan tugas-tugas yang terintegrasi dalam satu sistem, karena memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan bagian dari penegakan hukum baik bersifat pre-emtif maupun preventif. Demikian juga menegakkan hukum tidaklah selalu indentik dengan menegakkan hukum dalam arti repressif tetapi juga menegakkan hukum dalam arti preventif artinya aktif melakukan penjagaan agar niat dan kesempatan seseorang untuk melakukan suatu kejahatan tidak terlaksana, sehingga harmonisasi antara kehidupan masyarakat yang tertib dan terpeliharanya hukum dapat tercapai. Sama halnya juga dengan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat merupakan bagian dari kewajiban publik yang harus dilakukan agar perasaan masyarakat aman (secure) di manapun berada. Tentu perasaan aman ini bisa terwujud apabila masyarakat dan kepolisian secara timbal balik saling dukung-mendukung.

Salah satu penjabaran dari tugas pokok Kepolisian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dapat kita lihat pengaturannya  dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i yang menentukan: “Melindungi keselamatan  jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan  dan pertolongan dengan menjunjung tinggi HAM.”

Tugas-tugas kepolisian  sebagaimana disebutkan di atas adalah tugas-tugas yang bersifat umum artinya diberlakukan terhadap semua orang tidak terkecuali kepada korban karena kekerasan dalam rumah tangga, bahkan juga perlindungan terhadap pelestarian lingkungan hidup. Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2004, tugas-tugas perlindungan itu harus diberikan secara khusus baik oleh Polri maupun pihak-pihak yang terkait di dalamnya, yaitu pekerja sosial.


C.      Prinsip-Prinsip Perlindungan Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004

Dalam filsafat Jawa perlindungan terhadap perempuan sama dengan perlindungan terhadap tanah air yang harus dipertahankan, karena istri dalam kaitannya dengan kelembagaan rumah tangga merupakan belahan jiwa (garwa atau sigaraning nyawa) dari suami, karena istri-lah yang menentukan bagaimana perkembangan nyawa bayi dalam kandungan ibu. Demikian juga  jika suami meninggal dunia maka tugas istri sangat berat,  ia bertindak sebagai kepala rumah tangga dan sekaligus sebagai ibu rumah tangga.

Kita mengakui secara umum selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap korban maupun saksi. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagian besar hanya memberikan perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa, sebagaimana dimuat mulai dari Pasal 50 s.d. Pasal 74 KUHAP, sehingga dalam perkembangan jaman terasa substansi yang diatur dalam KUHAP kurang mengadopsi perlindungan terhadap korban atau saksi. Berbeda dengan di beberapa negara yang maju dan perlindungannya terhadap HAM cukup tinggi, dan telah mengatur secara tegas perlindungan terhadap korban dan saksi dalam hukum positifnya, seperti di Australia apa yang disebut Witness Protections Act 1994 No. 124 of 1994.

Demikian juga dalam instrumen internasional antara lain Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 Desember 1993, mengharuskan adanya penghukuman atas kekerasan terhadap perempuan dan negara segera merumuskan kebijakan di bidang penghapusan atas  kekerasan terhadap perempuan, dan apabila perlu anak-anak mereka mendapat bantuan khusus, seperti rehabilitasi, bantuan dalam pemeliharaan kesehatan dan pemeliharaan anak-anak, perlakuan dan pemberian nasihat, pemberian kesehatan dan pelayanan kesehatan, fasilitas dan program, maupun struktur pendukung .[3]

Lebih lanjut Mejelis Umum mengeluarkan Resolusi No. 52/86 tanggal 12 Desember 1997 yang menerima strategi model  berikut ini dan mendesak negara-negara anggota untuk berpedoman pada strategi tersebut dalam mengembangkan dan menjalankan strategi modal dan langkah-langkah praktis mengenai penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan dalam memajukan persamaan kaum perempuan didalam sistem peradilan pidana.[4]

Dalam perkembangan selanjutnya ada peraturan perundang-undangan yang sifatnya tersebar dan khusus, misalnya Peraturan Pemerintah  Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat. Bentuk-bentuk  pemberian perlindungan ini adalah: (a) atas keamanan terhadap  pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik, (b) perahasiaan identitas korban atau saksi, (c) pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah diatur secara tegas adanya perlindungan terhadap Korban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 s.d. Pasal 38 (jumlahnya  22 Pasal). Jadi hampir separuh dari substansi Undang-Undang ini sebenarnya mengatur tentang perlindungan terhadap korban.

Perlindungan yang dimaksud di sini adalah perlindungan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 4 UU No. 23 tahun 2003 yaitu: “Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.[5]

Dalam pemberian perlindungan  kepada korban PKDRT, Polri memegang peranan yang sangat  penting, utamanya dalam pemberian perlindungan sementara, karena di samping memberikan perlindungan kepada korban juga memiliki kewenangan untuk mengambil berbagai tindakan lainnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya penindakan maupun pencegahan baik dalam kaitannya dengan fungsi preventif maupun fungsi represif (proses penyidikan), tujuannya antara lain  agar korban terhindar dari pengaruh atau tekanan yang lebih berat, baik dari pihak suami atau pihak-pihak lainnya sehingga tidak bebas dalam memberikan keterangan.

Tindakan represif berupa penyelidikan dan penyidikan adalah untuk menegakan hukum dalam kaitannya dengan politik kriminalisasi yang telah ditetapkan dalam rumusan sanksi pidana terhadap pelanggar yang diduga telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 44 s.d. Pasal 53 UU Nomor 23 Tahun 2004, apakah itu menyangkut kejahatan berupa kekerasan fisik, phikis, seks, dan ekonomi.

Mengedepankan fungsi kepolisian dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga merupakan refleksi dari  strategi yang telah dicanangkan oleh Majelis Umum PBB tentang Strategi Model dan Langkah-Langkah Praktis Penghapusan Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan di bidang Kejahatan dan Peradilan Pidana pada Bagian III tentang Kepolisian dengan mengemukakan ketentuan sebagai berikut:[6] (a) untuk menjamin bahwa ketentuan undang-undang, peraturan, dan tatacara yang berlaku yang berkaitan dengan kekerasan terhadap kaum perempuan selalu ditegakan dengan konsisten dan dengan cara sedemikian rupa sehingga semua tindak pidana kekerasan terhadap kaum perempuan segera dapat diketahui dan ditindak seperlunya oleh sistem peradilan pidana; (b) untuk mengembangkan teknik penyelidikan yang tidak merendahkan martabat kaum perempuan korban kekerasan, dan meminimalkan gangguan, sementara itu tetap memelihara standar dalam mengumpulkan bukti-bukti sebaik-baiknya; (c) untuk menjamin bahwa prosedur kepolisian termasuk keputusan penahanan, pemenjaraan, dan syarat-syarat pembebasan pelaku harus mempertimbangkan keselamatan korban dan orang lain yang terkait melalui hubungan keluarga, masyarakat atau yang lain, dan harus memastikan bahwa prosedur ini mencegah tindak kekerasan lebih lanjut; (d) untuk memberikan kuasa pada polisi guna bertindak segera dalam peristiwa kekerasan terhadap kaum perempuan; (e) untuk memastikan bahwa pelaksanaan kuasa kepolisian dijalankan sesuai dengan aturan undang-undang dan peraturan perilaku, serta polisi dapat diminta bertanggung jawab jika ada pelanggaran mengenai hal-hal tersebut; (f) untuk mendorong kaum perempun masuk angkatan kepolisian termasuk jajaran operasional.

Berkaitan dengan pemberian perlindungan oleh kepolisian terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, mutlak dukungan yang kuat dari pemerintah maupun pemerintan daerah untuk menyiapkan  sarana maupun prasarana  sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 13 huruf a  yang menetapkan: “Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah, dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian”. Sudah tentu penyediaan sarana ini tergantung pada kondisi keuangan negara untuk penyediaannya.

Belum semua kantor kepolisian yang ada saat in memiliki ruang pelayanan khusus terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, kecuali di kota-kota besar, yang disebut  Unit  RENAKTA (Remaja , Anak Nakal, dan Wanita).

D.      Simpulan

1.         Kekerasan dalam rumah tangga selama ini merupakan kejahatan yang dianggap masyarakat urusan pribadi (domain private), sehingga orang-orang dekat maupun tetangga yang mengetahui adanya suatu kekerasan dalam rumah tangga sering tidak bertindak, namun melalui UU Nomor 23 Tahun 2004 karakter maupun kultur yang demikian mulai dibuka dengan memberikan hak kepada masyarakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, walaupun sebenarnya dalam KUHP kita sudah ada norma-norma yang melarang tindakan tersebut, kecuali kekerasan seks antara suami istri.

2.         Kebijakan  negara melalui pembentukan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan  langkah yang sangat maju, namun yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan ke depan bagaimana substansi yang ada dalam Undang-Undang tersebut dapat dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, karena hukum tidak hanya dass sollen tetapi juga dass sein artinya hukum sebagai dass sollen maupun sebagai dass sein harus dilakukan secara bersama-sama, sehingga hukum yang diciptakan menjadi hukum yang hidup, bukan hanya ketentuan yang tertulis di atas kertas saja.

3.         Kepolisian memegang peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam memberikan perlindungan sementara setelah Kepolsian menerima laporan dari korban. Di samping itu banyak pihak yang terlibat dalam memberikan perlindungan terhadap korban.                  


[1] Pasal 28A jo. Pasal 28G dan Pasal 28 ayat (2) UUD RI 1945.
[2] Fakta ini dijelaskan dalam konsideran UU Nomor 23 tahun 2004 butir c.
[3] ELSAM, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum, hal. 289-293.
[4] Ibid., hal. 295-305.
[5] Pasal  10 UU PKDRT memberikan hak-hak kepada korban yaitu: (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, (d)  pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (e) pelayanan bimbingan rohani.
[6] Op. cit., hal. 298.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan