Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

PERANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENEGAKKAN HUKUM DI LAUT (SUATU REFLEKSI PELAKSANAAN PENEGAKKAN HUKUM DI LAUT YANG TELAH DILAKUKAN OLEH POLRI)


BAB. XII

A.      Pendahuluan

Pemberlakuan hukum laut di Indonesia sampai saat ini jelas memerlukan evaluasi atau reevaluasi yang mendalam bagi Pemerintah Indonesia untuk me-review kembali bagaimana kita melaksanakan atau memanfaatkan ketentuan regim Hukum Laut Internasional PBB yang telah kita ratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 dan dengan sendirinya secara formal telah menjadi hukum positif kita, yang telah mengatur antara lain negara kepulauan, dan pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan.

Ketentuan United Nations Conventions on the Law of the See (UNCLOS) dikaitkan dengan regim hukum nasional yang lahir dari nilai-nilai budaya (culture) Indonesia sering ada benturan dalam penerapan norma-norma yang ada di dalamnya, sedangkan di pihak lain kita dihadapkan pada prinsip-prinsip kedaulatan hukum nasional yang mengharuskan kita mengutamakan wibawa hukum kita, terutama dalam kaitannya dengan penegakkan hukum pidana. Seperti dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja: …”Kedaulatan negara mempunyai akibat lain dalam bidang hukum yakni wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran, ketentuan-ketentuan perundang-undangan umum negara pantai  di bidang pidana maupun perdata”.[1]

Kita menyadari negara kita yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari timur ke barat, dengan demikian fenomena yang terdapat di dalamnya sangat banyak, baik persoalan menyangkut perbatasan, pengambilan (eksplorasi dan eksploitasi) berbagai kekayaan nasional baik yang dibawa ke luar negeri maupun yang dipasarkan di dalam negeri. Demikian juga lintasan bagi para pelaku kejahatan utamanya kejahatan terorisme memerlukan penanganan yang konprehensif, intensif dan integratif.

Berkaitan dengan permasalahan yang terdapat di wilayah perairan Indonesia, perlu dilihat peranan Polri selama ini dalam melaksanakan pengamanan dan penegakan hukum  baik dalam arti pre-emptif,  preventif maupun dalam arti represif untuk mengatasi ataupun mengaliminir segala bentuk ancaman yang ada di perairan Indonesia, hambatan-hambatan apa yang dihadapi. Tentu hal ini memerlukan evaluasi, kemudian dari evaluasi yang ada diperlukan kajian untuk perbaikan ke depan agar potensi kelautan dapat dimanfatkan semaksimal mungkin. 

A.      Potensi Kelautan dan Pulau-pulau Indonesia

Sebagaimana penulis telah singgung sebelumnya bahwa negara kita yang memiliki lebih dari tujuh belas ribu pulau, baik yang besar maupun kecil yang terhampar sepanjang garis khatulistiwa. Di samping itu, Indonesia memiliki luas laut yang demikian luasnya, bahkan luas laut mencapai dua pertiga dari luas wilayah negara (5,8 juta km persegi) dan memiliki garis pantai terpanjang  di dunia (81.000 km) sebagaimana telah diakui oleh UNCLOS 1982, dimana di dalam gugusan pulau-pulau dan lautan tersebut terkandung banyak potensi sumber daya alam yang demikian besarnya, dan secara ekonomi memiliki nilai yang sangat tinggi untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional ke depan, bahkan pemerintah tengah mengarahkan kelautan sebagai salah satu sektor andalan (leading sector) dalam memberikan pemasukan negara. Karena selama ini sumber pendapatan dalam menunjang pembangunan selalu dititik beratkan pada sumber daya kekayaan yang ada di darat, karena lebih mudah diolah dan biayanya relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan eksploitasi di laut. Kemudian karena sumber daya yang ada di darat sudah mulai menipis, maka eksplorasi dan eksploitasi mulai diarahkan ke sumber daya yang ada di laut, namun sudah jelas memerlukan modal yang lebih besar dan profesionalisme yang lebih  kredibel.

Kita menyadari  bahwa saat ini maupun untuk yang akan datang transportasi melalui sarana laut  memegang peranan yang sangat strategis dalam menunjang pembangunan perekonomian kita, bahkan posisi Indonesia yang berada dalam titik silang dua benua dan dua samudera sangat menentukan mobilisasi transportasi laut  dari suatu negara ke negara lain melalui perairan Indonesia.

Sejalan dengan perkembangan negara-negara di dunia dan perkembangan hukum Internasional khususnya yang menyangkut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) bagi suatu negara harus dijaga dan diamankan baik untuk kepentingan kedaulatan  maupun untuk kesejahteraan rakyat yang dilakukan melalui penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
        
B.       Perkembangan Lingkungan Strategis

Berkaitan dengan masalah-masalah pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan penegakan hukum di laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan lingkungan strategis, baik yang bersifat global regional dan nasional sebagaimana penulis uraikan di bawah ini: 

1.         Perkembangan global
Perkembangan global antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Penggeseran skala prioritas setiap negara di dunia, yang semula berupaya memperkokoh pertahanan, kini mulai berpaling untuk memacu pertumbuhan ekonomi domestik maupun merealisasikan kerja sama ekonomi regional. 
b.        Tampilnya Amerika Serikat sebagai negara Adidaya Tunggal, yang telah mengklaim dirinya sebagai Polisi Dunia, mencoba menyodorkan konsep moralitas seperti penegakan  HAM, prinsip-prinsip demokratisasi, lingkungan hidup, serta issue terorisme yang sesungguhnya mungkin, hanya dianggap sebagai alasan pembenaran (justificacy) untuk melakukan berbagai tindakan melalui penggunaan kekuatan militer, padahal dibalik  alasan-alasan tersebut ada beberapa hal yang terselubung untuk dicapai.
c.         Adanya ekspansi dari pemilik modal yang mulai mengarahkan sasaran kegiatan pencaharian  sumber daya alam ke laut/lautan, karena di darat sudah semakin menipis. Dalam rangka ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, maka ketentuan UNCLOSS sebagaimana telah diratifikasi memegang peranan yang penting untuk kelestarian  lingkungan hidup.    
2.         Perkembangan regional
Dari perkembangan regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara, antara lain:
a.        Masalah kerja sama di bidang keamanan termasuk keamanan di laut, khususnya yang melibatkan seluruh kawasan Asia Tenggara maupun yang bersifat bilateral antara Indonesia dengan negara tertentu.
b.        Pemanfaatan sumber daya kelautan khususnya yang berbatasan dengan negara lain dapat mendorong terjadinya konflik perbatasan dan pelanggaran hukum, baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh pemerintah dari negara lain.
c.         Permasalahan tertentu di bidang kerja sama ekonomi dan perdagangan karena aturan hukum yang berlaku pada masing-masing negara tidak sama, ini sering menyebabkan permasalahan, misalnya ketentuan yang mengatur barang legal dan illegal menurut hukum positif di Singapura dengan di Indonesia berbeda, demikian masalah penyelundupan.
d.        Perkembangan kejahatan penyelundupan dari satu negara ke negara lain.

3.         Perkembangan nasional
Pelaksanaan reformasi yang telah disertai dengan  partisipasi politik masyarakat yang berlebihan serta berbagai euphoria politik mambawa krisis dan telah mempengaruhi:
a.        Fragmentasi berbagai kepentingan perorangan dan kelompok makin memperuncing konflik yang terjadi termasuk friksi yang terjadi antara instansi dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan.
b.        Perjuangan dalam rangka memperebutkan kekuasaan diantara elite politik, dengan elite partai, termasuk juga adanya panatisme berlebihan dari daerah-daerah yang seakan-akan tidak perlu diatur lagi oleh pemerintahan pusat, hal ini berdampak pada beberapa daerah yang memiliki pantai yang menganggap bahwa pantai sebagai wilayah satu daerah saja.
c.         Penegakan hukum yang belum menunjukkan citranya sebagaimana yang diharapkan oleh para pencari keadilan (justiciabelum), karena berbagai tuduhan yang dilontarkan kepada para penegak hukum  dan adanya mafia peradilan masih terus ditemukan.
    
C.      Bentuk-bentuk Kerawanan/Kejahatan di Laut         

Sejalan dengan perkembangan lingkup strategis yang mempengaruhi kondisi kehidupan global/internasional, regional maupun nasional, maka laut menduduki peranan yang sangat penting dan sangat menentukan eksistensi suatu negara baik untuk tujuan positif maupun untuk tujuan negatif.

Bagi Bangsa Indonesia hal ini dapat dirasakan sebagai konsekuensi logis dari letak geografis Indonesia yang berada pada posisi silang diantara dua benua dan dua lautan sangat mempengaruhi kegiatan masyarakat dunia. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan nasional masing-masing negara, apakah itu bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan, serta kegiatan lainnya.

Dampak tersebut semakin terasa dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dengan segala bentuk phenomena yang menyertainya.

Data yang ada pada Polri bahwa gangguan Kamtibmas yang terjadi di wilayah perairan Juridiksi Nasional Indonesia dapat digolongkan seperti diuraikan di bawah ini:

1.           Ancaman dari dalam:
a.         pencurian benda purbakala;
b.        penangkapan ikan ilegal (illegal fishing);
c.         penyelundupan manusia (People smuggling);
d.        perompakan;
e.         pencemaran lingkungan;
f.         illegal loging;
g.        penambangan pasir ilegal;
h.        narkoba;
i.          penyelundupan bayi;
j.          imigrasi gelap;
k.        kecelakaan laut;
l.          perkelahian antar nelayan;
m.      peredaran senjata api/bahan peledak secara ilegal (Arms smuggling); dan
n.        perdagangan satwa yang  dilindungi.

2.         Ancaman dari luar:
a.         terorisme;
b.        narkotika;
c.         piracy;
d.        pencurian pasir laut;
e.         illegal fishing;
f.          illegal logging;
g.        penyelundupan senjata dan bahan peledak;
h.        penyelundupan manusia (people smuggling/trafficking in person);
i.          imigran gelap;
j.          pencurian benda purbakala; dan
k.        perdagangan satwa yang dilindungi.

Berbagai kejahatan sebagaimana disebutkan tersebut beberapa tahun terakhir ini dirasakan sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa-bangsa di dunia (internasional regional maupun Indonesia), umpamanya kejahatan-kejahatan perompakan di laut  telah  memberikan stigmasi kepada bangsa Indonesia sebagai suatu negara dimana di wilayah teritorialnya banyak dijumpai perompakan, dan dianggap negara yang tidak dapat memberikan jaminan keamanan kepada kapal-kapal asing yang berlayar  untuk memasuki atau keluar dari peraian Indonesia.

Penyelundupan senjata maupun narkotika dan physkotropika melalui kapal dari beberapa negara ke negara peminta telah menjadi salah satu bisnis yang illegal dan telah membawa keuntungan yang sangat besar bagi para pelaku-pelaku bisnis illegal tersebut seperti yang terjadi pada beberapa negara di belahan Amerika Latin, bahkan banyak yang melibatkan pejabat negara/para aparat hukum. Demikian juga dengan negara kita yang disinyalir pada perang Aceh dan Ambon diduga adanya senjata yang dibawa masuk dari luar untuk digunakan oleh gerakan pengacau keamanan.

Demikian juga sampai saat ini pengangkutan illegal logging melalui perairan Indonesia sangat  banyak dan sulit diatasi. Sehingga Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan alam terluas di dunia telah mendapat kecaman dari pecinta lingkungan hidup, karena diangap tidak berusaha secara sungguh-sungguh mengatasi berbagai perusakan lingkungan hidup, utamanya penebangan kayu tanpa ijin (illegal logging).

Adapun data kejahatan yang terjadi di laut teritorial Indonesia yang pernah ditangani oleh Polri mulai dari tahun 2000 s.d. 2004 adalah seperti tercantum dalam tabel data di bawah ini:

NO
JENIS PERISTIWA
JUMLAH KEJADIAN
JUMLAH
2000
2001
2002
2003
2004
1
2
3
4
5
6
7
8

1.
Perompakan
32
50
70
117
91
360
2.
Perikanan
96
51
88
86
73
394
3.
Gar Pelayaran
13
-
1
2
-
16
4.
Pencemaran Lingkungan
5
-
3
3
3
14
5.
Penyelundupan
2
10
-
20
45
79
6.
Imigran Gelap
3
2
6
7
5
23
7.
Narkotika
-
-
6
3
8
17
8.
Pencurian
5
4
22
25
16
72
9.
Minuman Keras
3
2
4
1
-
10
10.
Uang Palsu
-
-
-
-
1
1
11.
Harta Karun
-
5
-
-
-
5
12.
Laka Laut
55
19
111
52
54
291
13.
Laka Udara
1
-
-
-
-
1
14.
Orang Mati di Kapal
-
-
10
5
4
9
15.
Perjudian
-
-
-
-
-
-

16.
Penemuan Mayat
13
12
25
26
10
86

17.
Kehutanan
203
106
112
141
91
653

18.
Penganiayaan
6
6
8
5
-
25

19.
Pembakaran Kapal
1
4
8
-
-
13

20
Pembunuhan
-
2
8
5
1
16

21.
Penemuan Kapal
1
-
3
4
-
8

22.
BBM
-
-
8
6
12
26

T O T A L
439
273
493
508
414
2.127

Data diperoleh  dari Direktorat Pol Air  Mabes Polri













           
Apabila dilihat data kuantitatif di atas, gangguan Kamtibmas yang terjadi di laut selama kurun waktu 4 (empat) tahun, terhitung mulai tahun 2000 s.d. tahun 2004 terdapat lima penonjolan kejahatan atau peristiwa seperti :
1.         Kejahatan di bidang hasil hutan (illegal logging) sebanyak 653  kasus.
2.         Kejahatan di bidang perikanan (illegal fishing) sebanyak 353 kasus.
3.         Kejahatan di bidang perompakan sebanyak 360 kasus.
4.         Kejahatan di bidang penyelundupan sebanyak 79 kasus. 
5.         Kejahatan di bidang  pencurian sebanyak 72 kasus.

Apabila dilihat dari gangguan Kamtibmas berdasarkan jumlah kejadian pertahun, maka yang paling tinggi gangguan yang terjadi adalah pada tahun 2003 sebanyak 508, tahun 2002 sebanyak 493, tahun 2000 sebanyak 439,  dan tahun 2004 sebanyak 414.

D.      Tugas dan Kewenangan Polri Dalam Sistem Penegakan Hukum di Laut

Pelaksanaan penegakan hukum di laut, baik yang dilakukan oleh Polri maupun instansi lainnya tetap berpedoman kepada sistem ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Polri selaku alat negara penegak hukum, penganyom, pembimbing, dan pelindung masyarakat, karena sejak reformasi kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan kita mengalami pergeseran kedudukan secara kelembagaan.

Di samping itu sejak reformasi bergulir, berbagai reposisi kelembagaan di Indonesia banyak yang berubah, seperti eksistensi Polri telah dimasukkan dalam Amandamen UUD RI 1945, (vide Pasal 30) yang sebelumnya kedudukan Polri tidak pernah dimasukkan dalam Konstitusi.  Kemudian  perubahan dimaksud diakomodir dalam Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000, yaitu menyangkut pemisahan kelembagaan Polri dengan TNI dan tugas peranan Polri dan TNI. Selanjutnya diikuti dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Tugas dan kewenangan Polri sebagaimana dicantumkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 sangatlah luas, dan tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas Polisi secara universal, yaitu melindungi dan melayani masyarakat (to protect and services) serta memelihara hukum dan ketertiban (maintain law and order).

Indonesia sebagai suatu negara hukum yang dalam Konstitusi UUD RI 1945 telah meletakkan dasar-dasar supremasi sipil dalam konstelasi ketatanegaraan maupun kehidupan politik demokrasi, maka sejalan dengan itu Polri sebagai salah satu pengemban dan menjaga supremasi sipil dalam kehidupan negara yang berdemokrasi telah diberikan negara kewenangan yang cukup luas.

Pasal 6 UU Nomor 2 Tahun 2002 menentukan bahwa “Polri merupakan Alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.[2]
Dengan demikian tugas pokok Polri terdiri dari tiga elemen pokok yaitu (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan hukum, (c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[3] Tugas-tugas ini dilaksanakan dalam seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana terkait dengan asas-asas hukum pidana (asas teritorial), jadi tidak hanya di darat demikian juga di laut teritorial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Indonesia.

Apabila dilihat dalam struktural pendekatan fungsi dan tugas yang terdapat pada Polri maka pelaksanaan penegakan hukum baik dalam fungsi pre-emptif, preventif maupun fungsi represif pada prinsipnya diemban oleh Satuan Polisi Perairan.

Upaya pre-emptif dilakukan melalui berbagai penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat, demikian juga upaya preventif dilakukan untuk mengaliminir (mencegah)  niat-niat dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan berbagai kejahatan atau pelanggaran di laut, melalui pengaturan, patroli, penjagaan dan pengawalan oleh polisi perairan. Sedangkan upaya represif dilakukan dengan penindakan kepada pelaku kejahatan atau pelanggaran represif yaitu melalui proses penyelidikan, penyidikan secara projustitia maupun non-projustitia. Kemudian di dalam pelaksanaannya tetap berkoordinasi baik intern Polri maupun dengan lintas sektoral terkait di perairan teritorial Indonesia dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan daya guna dalam koridor menjunjung tinggi HAM.

Tindakan pre-emptif, preventif, dan represif selama ini dilaksanakan dalam bentuk operasi-operasi rutin maupun operasi khusus baik secara kewilayahan maupun terpusat.

Khusus dalam penegakan hukum di bidang perikanan, Polri telah ditentukan sebagai penyidik, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi: “(1) Penyidik tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil,  Perwira TNI AL, dan Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi. (3) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan, Menteri dapat mebentuk forum koordinasi. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; b. memanggil danmemeriksa tersangka dan/atau saksi; c. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunkan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; i. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; k. melakukan penghentian pentidikan; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”
Dapat juga dilihat dengan tugas TNI AL sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 yang menentukan bahwa TNI AL bertugas: “a. melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; b. menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yuridiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; c. melaksanakan  tugas  diplomasi Angkatan  Laut  dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; d. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan e. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.”

E.       Hambatan-hambatan/Kendala-kendala Penegakan Hukum di Laut 

Penegakan hukum di laut yang didasarkan pada UU Nomor 17 Tahun 1985 (UNCLOS)  maupun peraturan perundang-undangan lainnya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia, regional maupun masyarakat internasional karena penegakan hukum merupakan satu sistem yang terintegrasi dan bersinergi. Berjalannya  suatu penegakan hukum harus didukung berbagai komponen yang ada, sehingga menjadi satu kekuatan yang terpadu.

Hambatan-hambatan yang terjadi selama ini sehingga tidak dapat satu sistem berjalan dengan baik dibagi atas tiga bidang  yaitu:
1.         Hambatan instrumentalia/substansi peraturan perundang-undangan.
2.         Hambatan sarana dan prasarana.
3.         Hambatan karena kurang profesonalisme. 
4.         Kurang koordinasi antar intansi  yang terkait.         

Pertama, hambatan  instrumentalia atau substansi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu hambatan yang banyak menimbulkan permasalahan di lapangan, karena aturan yang ada sering tidak sinkron satu dengan yang lain bahkan tidak jelas, terutama peraturan-peraturan yang ditetapkan kemudian.
Sebagai ilustrasi dan sekaligus sebagai evaluasi atas kondisi masa lalu mengenai  penegakan hukum di laut utamanya yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perikanan (illegal fishing) ketika UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih  berlaku, kemudian Undang-Undang ini dicabut dengan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Dalam UU Nomor 9 Tahun 1985, menentukan bahwa penyidik adalah PPNS dari Dep. Perikanan dan Perwira TNI-AL dengan menunjuk pada UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, padahal dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 telah ditetapkan bahwa Polri adalah sebagai  Penyidik Umum.
Akibatnya kalau Polri melakukan penyidikan terhadap kasus perikanan, banyak PU yang tidak mau menerima berkas yang dibuat oleh Penyidik Polri, atau dalam pemeriksaan di persidangan Hakim Majelis menetapkan bahwa Polri tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus perikanan. Alasannya karena UU Nomor 9 Tahun 1985 merupakan Lex Spesialis  terhadap UU Nomor 8 Tahun 1981, padahal pengertian Lex Spesialis pada prinsipnya bukanlah meniadakan kewenangan yang ada dalam ketentuan umum tetapi mengutamakan yang ada dalam ketentuan khusus.
Ironisnya ketika itu MARI mengeluarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1990 tanggal 16 April 1990 yang intinya memberikan penegasan berupa, “hanya Perwira TNI-AL yang telah diangkat oleh Pangab yang berwenang melakukan penyidikan terhadap pelanggaran UU Nomor 9 Tahun 1985 di wilayah perairan Indonesia.” Sedangkan dalam fatwa Nomor KMA/114/1990 tanggal 17 April 1990, menentukan bahwa, “semua perkara penyidikannya harus diserahkan kepada Penyidik Polri terlebih dahulu, baru kemudian Polri menyerahkan ke Penuntut Umum untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.”
Jadi sangat ironis dan dilematis sekali Penyidik Polri tetap berwenang melakukan Korwas terhadap PPNS (PPNS dalam kasus perikanan) sebagaimana ditentukan dalm Pasal 7 ayat (2)  jo. Pasal 107 KUHAP, akan tetapi tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas UU Nomor 9 Tahun 1985.
Ini jelas sebagai akibat dari pembentuk hukum yang tidak jelas ketika merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang sering tidak sejalan dengan Konstitusi sebagai hukum dasar. Di samping itu kemungkinan besar adanya tekanan politik, karena kita tahu bahwa produk hukum tidak terlepas dari produk politik.
Khusus mengenai penerapan UU Nomor 17 Tahun 1985 yang telah meratifikasi UNCLOS telah menimbulkan kontradiksi atas berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersumber dari nilai-nilai budaya hukum yang berlaku di Indonesia. Karena kalau terjadi suatu pelanggaran hukum yang diduga dilakukan oleh sebuah kapal berbendera asing yang sedang berlayar di wilayah perairan Indonesia, misalnya pencemaran, penerapan hukumnya telah menimbulkan ambivalensi atau kontradiksi dengan hukum nasional RI. Hal ini karena Pasal 19 ayat (2) jo. Pasal 19 ayat (2)  huruf h UNCLOS menentukan bahwa lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan salah satu kegiatan, antara lain “setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan konvensi ini”.[4] Padahal ketentuan Pasal 292 UNCLOS pada intinya telah menentukan bahwa:
“Dalam hal pejabat suatu negara telah melakukan penahanan kendaraan air yang mengibarkan bendera negara peserta dan dituduhkan bahwa negera yang menahan itu tidak memenuhi ketentuan-ketentuan konvensi ini untuk segera membebaskan kenderaan air atau awaknya setelah penitipan sejumlah uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya, maka masalah pembebasan dari penahanan dapat diserahkan kepada Pengadilan atau Mahkamah manapun yang disepakati oleh para pihak dalam hal tidak tercapainya kesepakatan demikian dalam waktu 10 hari sejak waktu penahanan berdasarkan Pasal 287 Konvensi  atau Mahkamah Internasional Hukum Laut kecuali para pihak bersepakat dengan cara lain.”      

Sebagai  contoh yang terjadi di Balikpapan-Kalimantan Timur  pada bulan Juli-Agustus 2004 yang salau satu kapal asing MT Panos yang diduga telah melakukan pencemaran sepanjang 10 km di Teluk Balikpapan  membuang sebanyak 500 (lima ratus) ton sisa minyak mentah (crude oil) pada saat dipindah ke kapal yang lebih kecil tonesenya milik orang Indonesia. Dengan demikian tindakan dari kapal asing dianggap oleh Penyidik dari Direktorat Serse Polda Kaltim telah melanggar Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun Pasal 119 dan Pasal 65 UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Kemudian anak buah kapal milik domestik telah ditahan sebanyak 4 (empat) orang.
Timbul berbagai polemik mengenai penahanan kapal dan kapten kapal asing. Kapal  dilepaskan setelah membayar uang  jaminan sebesar Rp. 2 milyar, sedangkan kapten kapal masih tetap berada di Balikpapan dengan status wajib lapor. Penahanan tersebut dianggap suatu penahanan yang tidak berdasar, dan korespondensi antara Kedutaan besar negara kapal dengan Menteri Luar Negeri RI mengenai status kapal dan kapten kapal dan prinsip pemberlakuan UNCLOS dianggap tidak dipatuhi oleh Pemerintah Indonesia. Kalau tetap ditahan maka Indonesia akan diajukan ke International Tribunal for the Law of the Sea sesuai Pasal 292 UU Nomor 17 Tahun 1985.
Dalam Pasal 30 Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, menentukan: “(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.”

Menurut penulis, terhadap kasus seperti tersebut di atas dengan menerapkan ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup  jo. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang HAP terhadap kapten kapal dan penahanan kapal (istilah untuk kapal) yang dilakukan oleh Penyidik Polri sudah tepat, karena kita harus mengutamakan hukum yang berlaku dalam yuridiksi kedaulatan negara, karena para pelaku telah melakukan tindak pidana pencemaran.
Di samping itu, dalam penegakan hukum di laut masih terdapat tumpang tindih tugas dan kewenangan utamanya konsepsi penegakan antara kedaulatan dengan penegakan hukum sering menjadi menyimpang dari sistem yang berlaku, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, dan akhirnya maksud dan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri  untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan tidak dapat tercapai. Padahal konsepsi bidang pertahanan dan kemanan secara konstitusional sudah jelas ditentukan dalam UUD RI 1945 dan Tap Nomor VI dan VII Tahun 2000.

Kedua, hambatan dalam bidang sarana dan prasarana baik kuantitas maupun kualitas sampai merupakan problema utama dalam usaha untuk melakukan pengamanan dan penegakan hukum di laut.
Apabila dibandingkan dengan luasnya wilayah perairan RI yang menjadi wilayah sasaran tugas pengamanan dan penegakan hukum di laut, hal tersebut tidak seimbang antara luas wilayah yang menjadi sasaran tugas yang dihadapkan dengan sarana dan prasarana yang ada, sedangkan peralatan yang dimiliki para pelaku kejahatan seperti Kapal Penangkapan liar milik orang asing demikian majunya sehingga sulit bagi kapal milik Polri untuk melakukan pengejaran. Oleh karenanya faktor ini sebagai salah satu kendala belum optimalnya pelaksanaan tugas Polri di laut.

Ketiga, kurang profesionalisme, karena profesionalisme yang baik merupakan kunci sukses suatu organisasi dalam mencapai tujuan. Kurangnya profesionalisme tidak semata-mata karena kelemahan anggota tetapi merupakan perilaku dari suatu organisasi dalam membentuk dan mewujudkan sumber daya manusia yang berbobot, berdedekasi untuk melakukan tugas dan akuntabel.

Keempat, kurangnya koordinasi antara instansi yang menjalankan tugas kemanan dan penegakan hukum dilaut, sehingga sering berjalan sendiri-sendiri, bahkan ada beranggapan bahwa instansi tertentulah yang paling berkuasa di laut, dan menganggap dirinya bisa bergerak tanpa bantuan instansi lain. Itulah sebabnya didalam Pasal 73 ayat (2) dan (3) UU Nomor 31 tahun 2004 dicantumkan perlunya prinsip koordinasi dilakukan antara PPPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL dengan Penyidik Polri, yang berada dalam suatu forum yang diketuai oleh Menri Kelautan dan Perikanan.

Khusus antara  Polri dengan  Departemen Kelautan Dan Perikanan  RI  telah diadakan Kesepakatan Bersama  Nomor:  10/KB/Dep.KP/2003 dan No. Pol. :B/4042/III/2003, tanggal 21 Agustus 2003, tentang Penegakan Hukum di bidang Kelautan dan Perikanan, dan berlaku selama 3 tahun, dimana dalam Pasal 7 telah menenkankan adanya koordinasi dalam pelaksanaan penegakan hukum.

F.       Simpulan

1.         Regim hukum laut UNCLOS sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 15 Tahun 1985 telah membawa pengaruh dan keuntungan yang sangat besar terhadap konstelasi wilayah Republik Indonesia yang pertambahan luasnya sedemikian besar, dengan sendirinya sumber daya yang ada di laut, baik dalam wilayah teritorial Indonesia maupun dalam ZEE.

 

2.         Perkembangan strategis  baik global, regional maupun nasional sangat mempengaruhi regim hukum laut, karena pergeseran dalam mencari kehidupan mulai bergeser dari darat ke laut/lautan, karena dianggap bahwa sumber daya alam yang  ada di darat telah habis dieksploitasi oleh masyarakat atau negara.

 

3.         Kelemahan utama yang sering terjadi selama ini dalam menegakkan hukum di laut adalah akibat substansi pengaturan dari peraturan perundang-undangan saling  overlapping atau tidak harmonis antara yang  satu dengan yang lain, mengakibatkan pelaksanaan pengamanan maupun penegakan hukum di laut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Disamping itu kemampuan negara untuk pengadaan sarana dan prasarana baik kwantitatif maupun kwalitatif sangat terbatas padahal wilayah laut Indonesia demikian luasnya ditambah lagi ZEE, sehingga sulit untuk melakukan pemantauan secara ekstensif/maksimal.  



[1] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Badan Pembinaan Hukum, Jakarta, 1983, cet, ke 2, hal. 66.
[2] Lihat juga Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menentukan tentang Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 
[3] Lihat Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
[4] Ketentuan lengkap dari Pasal 19 ayat (2) UNCLOS adalah: “Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan  kedamaian negara pantai apabila kapal tersebut di laut teritorial salah satu kegiatan sebagai berikut: (a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai atau cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB, (b) setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun, (c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai, (d) Setiap perbuatan yang propaganda yang bertujuan untuk mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai, (e) Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal, (f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer, (g) bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal imigrasi atau saniter negara pantai, (h)  Setiap perbuatan pencemaran dengam sengaja dan parah yang bertentangan dengan konvensi ini, (i) Setiap kegiatan  perikanan, (j) kegiatan riset atau survey, (k) Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya negara pantai, (l)  Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan