Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

KETERPADUAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM BINGKAI CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

BAB III


A.      Pendahuluan

Dari judul pembahasan ini terdapat kata kunci yang harus dijadikan sebagai tolak ukur untuk melakukan pembahasan yaitu “keterpaduan” dan “dalam bingkai criminal justice system”, yang dalam sisten penegakan hukum pidana di Indonesia sering disebut “Sistem Penegakan Hukum Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System/ICJS). Dua frase tersebut merupakan refleksi dari kesistiman yang telah ditentukan atau digariskan dalam politik hukum[1] sebelum KUHAP dibentuk dan setelah KUHAP dibentuk. Makalah ini akan membahas secara singkat berdasarkan pengalaman empiris penyidik kepolisian dalam menerapkan KUHAP yang sampai saat ini telah melebihi dari usia 28 tahun. Berangkat dari judul tersebut di atas, timbul pertanyaan bagi kita berupa:
1.    Apakah Penyidik Polri dalam melaksanakan penyidikan sudah terpadu secara baik dengan Penuntut Umum (PU)?
2.    Jika sekiranya keterpaduan tersebut belum berjalan lancar, apa kira-kira penyebabnya dan bagaimana usaha-usaha untuk mengatasinya ke depan?
3.    Apakah penyebabnya lebih terkait dengan kesisteman, faktor profesionalisme, atau kultur para pelaksana?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus sebagai masalah yang harus dicari apa yang menjadi akar pemasalahannya, sebab mengetahui adanya masalah dan tidak berusaha untuk mencari solusi atau jalan keluar dari masalah yang ada sama halnya kita menjadi bagian dari kesalahan itu, dan akhirnya juga kita menumbuh kembangkan perbuatan yang menciderai rasa keadilan dari pencari keadilan (justiciable), karena hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keadilan.

B.       Prinsip Diferensiasi Fungsional Dalam KUHAP       

Tujuan Hukum Acara Pidana dibentuk adalah untuk memberikan batasan atau alur-alur yang harus dilalui oleh penegak hukum pidana, karena  kita tahu bahwa sifat hukum pidana adalah hukum yang paling keras (ultimum remidium) jika dibandingkan dengan berbagai hukum lainnya, karena sanksi yang ada di dalamnya mulai dari yang paling ringan sampai hukuman yang keras seperti sanksi hukuman mati demi keadilan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hukum dan hukuman secara konsepsional berakar dari gagasan tentang keadilan. Oleh karena itu, pijakan mendasar dalam hukum acara pidana adalah prinsip peradilan yang adil  (fair trial). Jaminan peradilan yang adil merupakan bagian dari HAM yaitu hak untuk memperoleh proses peradilan yang adil (right to a fair trial process).

Menyadari bahwa pentingnya hukum acara pidana yang mengatur mengenai prinsip pelaksanaan sistem penegakan hukum pidana, badan pembentuk undang-undang telah membentuk KUHAP yang sedemikian akomodatif dan responsif menampung dan tanggap terhadap berbagai prinsip HAM. Itulah sebabnya KUHAP yang telah dibentuk dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia, sekaligus telah membuat sejarah baru yang sangat berarti dalam pembangunan sistem hukum Indonesia, yang telah berusaha membuat unifikasi hukum acara pidana yang berlaku di seluruh Indonesia, yang substansinya jauh lebih baik (karena memuat hal-hal yang baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam HIR)  jika dibandingkan dengan substansi yang terdapat di dalam HIR yang merupakan produk Kolonial Belanda.

Karena sifat hukum acara pidana merupakan hukum formil atau sering disebut sebagai hukum prosedur, sudah tentu dalam hal ini mengatur bagaimana negara melalui alat perlengkapannya melakukan penegakan hukum sesuai dengan mekanisme yang ditentukan dalam hukum formil tersebut. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya sering disebut terpadu dalam masing-masing fungsi yang berbeda. Artinya dalam hal ini ada hal-hal tertentu ada yang harus dikoordinasikan dengan instasi lain, tujuannya adalah untuk melakukan pengawasan satu sama lain (check and balance) sehingga tidak ada perasaan yang satu lebih penting dari yang lain, sebab prinsip sistem bekerja dalam tataran mekanisme yang harus bersinergi dari tiap-tiap elemen yang ada dalam sistem tersebut, demi tercapainya satu tujuan bersama, dalam hal ini mewujudkan rasa keadilan bagi pencari keadilan dan sekaligus memulihkan keseimbangan hukum, karena hukum merupakan bagian dari kedaulatan yang harus dijaga agar tetap terpelihara dengan baik.

Mengenai prinsip elemen, oleh Yahya Harahap disebutkan sebagai penegasan pembagian-pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan asas “penjernihan” (clarification) dan “modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.[2] Penjernihan pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain, sampai ke tahap proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi.  Jadi mulai dari tahap permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh kejaksaan harus selalu terjalin hubungan fungsional yang berkelanjutan, yang dapat menciptakan satu mekanisme cheking di antara sesama aparat penegak hukum dalam satu rangkaian integrated criminal justice system.

Terdapat beberapa elemen yang bekerja dalam sistem hukum pidana yang terpadu (integrated criminal system), yaitu dimulai dari penyidik, penuntutan, hakim/pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan (Dep. Hukum dan HAM). Hubungan di antara elemen ini saling terkait yang boleh digambarkan hubungan segi empat. Adapun hubungan-hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1.         Hubungan Penyidik dengan PU yaitu dalam hal:
a.         Penyidik telah memulai melakukan penyidikan maka segera memberitahukan kepada PU melalui Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Tujuannya agar dari sejak awal PU dapat mengikuti perkembangan kasus sehingga lebih mudah memberikan arahan atau masukan kepada penyidik sekaligus pada saat PU melakukan penuntutan di depan persidangan pengadilan negeri tidak banyak menemui hambatan terutama dalam segi pembuktian tindak tindak pidana yang terjadi (vide Pasal 109 KUHAP).
b.        Pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik kepadan PU (vide Pasal 109 ayat (2) KUHAP).
c.         Penyidik melakukan perpanjangan penahanan, harus mendapat persetujuan dari PU.
d.        Dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, berkas hasil penyidikan diserahkan kepada PU, kemudian PU memberikan petunjuk dalam hal terdapat kekuranglengkapan berkas yang disampaikan oleh penyidik, baik dari segi formal maupun material kelengkapan berkas berkara.
e.         Menyerahkan tersangka dan barang bukti dalam hal kelengkapan berkas perkara dinyatakan telah lengkap oleh PU.
f.         PU wajib memberikan tembusan surat dakwaan kepada penyidik apabila perkara telah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan (vide Pasal 143 ayat (4) KUHAP).[3]
2.         Hubungan antara penyidik dengan hakim/pengadilan, yaitu dalam hal:
a.         Penyidik melakukan penggeledahan terhadap seseorang, tempat tinggal atau pekarangan, dan penyitaan terhadap barang bukti yang harus mendapat izin atau persetujuan dari hakim.
b.        Melakukan perpanjangan penahanan dalam hal tindakan pidana tertentu dilakukan sedangkan pemeriksaan belum selesai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 KUHAP.[4] Walaupun dalam praktek ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan.
c.         Memberikan salinan putusan pengadilan kepada penyidik (vide Pasal 266 KUHAP).[5]
d.        Dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan (tipiring), penyidik langsung menyerahkan perkara ke pengadilan, karena penyidik dalam hal menyelesaikan perkara tipiring diberikan kuasa untuk menyelesaikan perkara secara langsung di pengadilan.

3.           Hubungan antara penyidik dengan Dep. Hukum dan HAM, yaitu dalam hal penampatan tersangka yang sedang ditahan oleh penyidik di Rutan untuk kepentingan pemeriksaan dan penyimpanan barang bukti dalam Rumah Tempat Penyimpanan Barang Bukti dan Barang Rampasan (Rupbasan).

C.      Permasalahan Dalam Keterpaduan Antara Penyidik Dengan JPU

Merujuk kepada pertanyaan sebagaimana disebutkan sebelumnya, “apakah keterpaduan antara penyidik dengan PU dalam proses penyidikan sudah dilaksanakan dengan baik atau belum? Jika sekiranya belum, apa sebab-sebabnya?”

Terpadu menunjukkan adanya kerja sama antara satu elemen dengan elemen lainnya, tentu dalam hal ini kerja sama sesuai dengan wewenang masing-masing antara Penyidik Polri dengan PU. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa sejak dibelakukannya KUHAP, ternyata belum juga bisa diatasi masalah kerja sama dalam bidang penyidikan dan penuntutan antara kedua institusi tersebut sampai saat ini. Ketidaksinergian dan ketidakharmonisan antara kedua institusi tersebut terutama sangat nyata dalam penyidikan kasus-kasus tindak pidana khusus, seperti tindak pidana  korupsi dan tindak pidana lainnya yang menarik perhatian masyarakat dan bersifat nasional.[6] Karena dalam kasus tindak pidana korupsi terdapat peran ganda yang diperankan oleh jaksa yaitu melakukan penyidikan dan sekaligus juga melakukan penuntutan, sehingga banyak yang beranggapan telah terjadi monopoli dalam satu tangan, berakibat banyak pihak mengatakan tidak ada kontrol dari luar kejaksaan sesuai kesistiman dalam penegakan hukum pidana terpadu. Hal ini juga sering menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara penyidik dan JPU.

Mengenai kekurangharmonisan yang terjadi selama ini juga dikemukakan oleh Andi Hamzah: Jika dibahas secara khusus hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum atau antara jaksa dan polisi, kita harus mengakui kenyataan sekarang bahwa terjadi ketidakserasian yang menjurus pada kerugian pencari keadilan. Akibat sistem dan pemahaman yang tidak memadai, terjadi tidak menentunya ribuan perkara pidana. Kesalahan ini tidak dapat dilimpahkan pada salah satu pihak jaksa dan/atau polisi, akan tetapi pada sistem.[7] Sejarah kekurangharmonisan ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1955, sebagai akibat perebutan kewenangan yang telah ditinggalkan oleh Kolonial Belanda, dan dimulai dari perpecahan antara Ikatan Hakim Indonesia dengan Kejaksaan, karena IKAHI menuntut gaji harus lebih besar dari jaksa.[8] Kemudian merembes kepada kepolisian yang membentuk organisasi “Persatuan Pegawai Kepolisian RI”, tujuan utamanya tidak mau menjadi “pembantu jaksa” (hulp magistraat), padahal istilah itu tidak benar dan seharusnya diterjemahkan menjadi magistraat pembantu. Akibatnya menggunakan kata sebagai pembantu maka dianggap merendahkan martabat dan kedudukan, sehingga ditolak. Hubungan yang antara jaksa dan polisi di negara-negara  Eropa dan Amerika Serikat sangat erat, kecuali di Indoensia.[9]

Dalam praktek saat ini, dapat kita lihat yang sering dijadikan sebagai polemik akibat kekurangharmonisan dalam proses penyidikan dan pra penututan dengan PU antara lain dalam hal adanya bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan PU. Sebenarnya dalam KUHAP istilah bolak balik tidak dikenal. Dalam hal ini saya tidak menunjuk apakah penyidik atau PU yang kurang profesional di bidang tugasnya masing-masing, karena masing-masing memiliki argumen yang logis dan dapat dibenarkan, namun belum tentu dapat dipertanggungwabkan.

Alasan penyidik pada umumnya adalah bahwa pengembalian berkas perkara dari JPU untuk diperbaiki oleh penyidik sesuai dengan pentunjuk yang diberikan oleh JPU kadang-kadang oleh penyidik dianggap sebagai mengada-ada, bahkan bila diteliti secara seksama petunjuk yang diberikan oleh PU kepada penyidik sudah tercantum dalam berkas pemeriksaan perkara namun barang kali tidak dibaca atau didalami materi pemeriksaannya. Bahkan ada penyidik yang mengatakan bahwa petunjuk yang diberikan oleh PU mengada-ada bahkan di luar dari konteks perkara. Yang lebih buruk lagi, bila masing-masing pihak baik penyidik maupun PU ataupun salah satu pihak penyidik atau pelapor, mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap pelapor atau terlapor, irama bolak balik perkara dari PU kepada penyidik akan terlihat dengan jelas. Apabila kasus-kasus yang terkait dengan tindak pidana korupsi ditangani oleh Penyidik Polri, ada kecenderungan lebih banyak bolak baliknya jika dibandingkan dengan kasus-kasus tindak pidana umum.

Di satu sisi alasan dari PU mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk diperbaiki sesuai dengan petunjuk PU adalah untuk memperkuat JPU dalam menyusun dakwaannya dan melakukan penuntutan di persidangan, agar jangan sampai ada terdakwa yang bebas di pengadilan karena dianggap PU tidak profesional dalam melakukan pembuktian terhadap dakwaannya dalam proses penuntutan. Di samping alasan tersebut, alasan lainnya yaitu bila PU tidak dapat mempertahankan dakwaannya, PU selaku pihak yang mewakili kepentingan publik dan korban sekaligus akan dituntut untuk mempertanggunjawabkannya, baik pertanggungjawaban dari aspek profesinya dan aspek yuridisnya, yang akan berpengaruh kepada pembinaan karier JPU yang bersangkutan.

Persepsi antara polisi dan jaksa tentang pra penuntuan sebagaimana yang telah diteliti oleh Topo Santoso dalam bukunya Luhut Pangaribuan tergambar dalam tabel di bawah ini:[10]

NO.
PANDANGAN POLISI
PANDANGAN JAKSA
1.
Jaksa sering memberikan petunjuk yang tidak jelas. Jaksa memberi tetapi agar mengubah soal X, Y, Z, tetapi sesudah itu diubah, malah meminta diperbaiki lagi agar menjadi soal A, B, C, dan seterusnya.
Polisi sering tidak melaksanakan petunjuk dari jaksa dengan benar, sehingga harus berkali-kali bolak-balik membuang waktu.

2.
Jaksa sering tidak mengerti penyidik pidana umum jauh lebih sulit daripada pidana khusus.

Polisi tidak mengerti bahwa penyidikan pidana khusus jauh lebih sulit dari pidana umum dan membutuhkan pengetahuan yang luas.
3.
Polisi seharusnya menjadi penyidik utama karena polisilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penyidikan.

Jaksa harus ikut serta dalam penyidikan karena menduduki posisi sentral dan yang paling bertanggung jawab di pengadilan.
4.
Jaksa sering mengubah isi pasal-pasal tuduhan dari polisi, sehingga melemahkan hasil pemeriksaan polisi, padahal polisi sudah bekerja keras untuk ini.

Polisi sering memberikan dasar hukum pemeriksaan yang kurang kuat, sehingga jaksa lemah di pengadilan. Untuk ini jaksa harus mengubah lagi, karena jaksa yang paling bertanggung jawab.
5.




Tidak ada yang mengawasi berkas perkara yang tidak dilanjutkan jaksa ke pengadilan, sedangkan polisi dapat di pra peradilan.

Tidak ada yang dapat mengawasi polisi jika berkas yang diminta jaksa untuk diperbaikinya tidak dikembalikan ke jaksa lagi. Jumlahnya sudah ribuan.
6.
Jika kemampuan polisi memang kurang yang perlu diperbaiki personel polisinya, bukan dengan mengubah sistem yang ada.
Kekurangmampuan polisi harus ditopang dengan sitem yang memberikan proses beracara secara cepat dan tepat.

Apabila permasalahan tersebut berlangsung/dibiarkan terus tanpa ada usaha untuk memperbaikinya maka dengan sendirinya tujuan politik kriminal penegakan hukum pidana masih jauh dari harapan para pencari keadilan, fungsi hukum sebagai alat untuk menyelesaikan masalah, dan sebagai kontrol sosial tidak dapat diujudkan, yang berakibat masyarakat para pencari keadilan dan korban tidak merasa dilindungi, masyarakat apatis, bahkan akan cenderung menyelesaikan masalahnya dengan main hakim sendiri. Cara-cara demikian jelas sangat bertentangan dengan tujuan hukum. Dengan demikian ternyata untuk melaksanakan/merealisasikan sistem peradilan yang terpadu tidaklah semudah sebagaimana ditentukan dalam KUHAP.
      
D.      Solusi Atas Permasalahan

Permasalahan kekurangterpaduan dalam tahap proses penyidikan antara penyidik dengan PU sudah lama berlangsung, bahkan dalam berbagai seminar, pertemuan ilmiah, diskusi-diskusi, dan rapat-rapat internal sudah sering dibicaran dan ditawarkan berbagai jalan solusi atau pemecahannya, namun kesalahan yang sama sering terjadi, dengan alasan-alasan yang saling tuding-menuding. Lebih ironis lagi ada satu institusi yang beranggapan bahwa dirinya jauh lebih hebat dari yang lain dan juga ada yang merasa bahwa satu elemen merupakan sub-ordinasi dari elemen yang lain.

Oleh karena itu, usaha-usaha yang perlu diperhatikan agar masalah-masalah yang saya sebutkan di atas dapat diatasi, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Penyidik  dari sejak awal hendaknya melakukan koordinasi dengan PU, jangan  ketika hendak menyerahkan berkara perkara, sebagaimana yang sering dilakukan oleh penyidik.
2.    Penyidik dalam hal menangani kasus-kasus yang berat agar mengundang PU untuk dilaksanakan gelar perkara atau dilakukan konsultasi melalui sarana komunikasi secara lisan ataupun tertulis.
3.    Jika berkas yang dari sejak awal sudah dikonsultasikan dan/atau ikut gelar perkara, penelitian terhadap kelengkapan berkas cukup dilakukan sekali saja oleh PU.
4.    Apabila PU beranggapan masih terdapat kekurangan atas kelengkapan berkas yang telah dilimpahkan kepada PU, penyidik dapat melakukan pemeriksaaan tambahan dengan dibantu oleh PU.

Keuntungan dari pemacahan masalah sebagaiman disebutkan di atas sebagai berikut:
1.    Menjamin keterbukaan dalam proses dan menghilangkan kecurigaan antara penyidik dengan PU demikian sebaliknya, serta menghilangkan saling menyalahkan.
2.    Lebih menjamin kelancaran penyelesaian berkas perkara dan kualitias berkas perkara yang dapat dijadikan sebagai bahan menyusun surat dakwaan.
3.    PU dapat mengetahui letak kesulitan yang dialami oleh penyidik dalam melengkapi berkas perkara.

Agar langkah-langkah di atas dapat diterapkan dengan baik, harus dituangkan dalam pedoman pelaksanaan tugas berupa undang-undang atau revisi/amandemen terhadap beberapa substansi KUHAP yang dianggap menimbulkan berbagai masalah dalam prakteknya. Namun mengingat untuk merubah suatu undang-undang waktunya relatif lama baik dalam proses pembahasan antar depertemen maupun di DPR RI, untuk mengatasi kendala-kendala tersebut dapat digunakan dengan cara lain yang lebih cepat, yaitu dituangkan dalam bentuk pedoman berupa Peraturan Bersama antara Kapolri dengan Jaksa Agung RI, dengan sendirinya bila terdapat Peraturan Bersama, dapat dijadikan pedoman oleh kedua instansi ini untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.


[1] Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, politik hukum adalah usaha untuk meujudkan peraturan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Memberikan petunjuk apakah perlu ada pembaharuan hukum, sampai seberapa pembaharuan itu harus dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaharuan itu. Lihat Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. Pertama.
[2] Yahya Harahap, Op. Cit., hal.  47
[3] Pasal 143 ayat (4) KUHAP: “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penyidik pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”
[4] Pasal 29 KUHAP:  “.... perkara yang diperiksa diancam dengan hukuman sembilan tahun penjara...”
[5] Pasal 226  ayat (2) KUHAP: “Salinan surat putusan  pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik ... dst.”
[6] Romly Atmasasmita, Op. Cit. 
[7] Andi Hamzah, “Hubungan Penyidik dan Penuntutan”, hal. 4, makalah disampaikan pada seminar Hubungan Polisi- Jaksa Menuju Integrasi,  Depok 2008.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 6.
[10] Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Ad Hoc Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2009, cet. 1, hal. 159. 

1 komentar:

  1. Sungguh makalah yang sangat bagus & berisi. Saya setuju sekali. Boleh tahu apakah mungkin sudah ada perubahan mengenai hal ini dalam KUHAP ?

    BalasHapus

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan