Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

MEMBANGUN PERILAKU HUKUM DAN MORAL POLRI MELALUI PEMANTAPAN KULTUR POLISI SIPIL YANG PROFESIONAL

BAB  IV

            
A.      Pendahuluan

Berkenaan dengan topik ini,  terdapat tiga konsepsi yang dapat penulis tarik dan jadikan sebagai tolok ukur bahasan, yaitu Pertama, membangun perilaku (behaviour) hukum, artinya bagaimana Polri selaku penegak hukum meng-upgrade dirinya agar dapat mengimplementasikan hukum yang benar dan tepat dalam tugas masing-masing maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sifatnya sangat strategis. Kedua, implementasi hukum yang baik harus sejalan dengan pembangunan moral, karena hukum dan moral merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan demikian dilaksanakan melalui pendekatan cultural (legal culture). Ketiga, refleksi dari pembangunan perilaku hukum dan moral yang tertata dengan baik akan menghasilkan keluaran (out put) berupa terlindunginya masyarakat atau publik. Oleh karena itu, publik akan menilai bagaimana penegak hukum (Polri) mengakomodir dan merespon kepentingan rakyat. Dengan demikian tujuannya menghasilkan nilai tambah dalam mewujudkan keamanan, keadilan, dan kepuasan bathin, dan nilai itu bukan sesuatu yang dilihat tetapi sesuatu yang dirasakan, bukan dipikirkan.[1]

Dari ketiga konsepsi tersebut di atas, tanpa berpretensi buruk, kondisi real penegakan hukum  saat ini telah menunjukkan kepada kita bahwa reformasi di bidang hukum yang sesuai dengan cita-cita negara hukum dinilai berbagai kalangan belum menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi tantangan globalisasi, karena permasalahan hukum (legal problematical) yang dijumpai sampai saat ini sangat beragam, yakni mulai dari pembentukan sampai pengawasannya,[2] akibatnya masyarakat mengabaikan hukum, tidak menghormati sistem hukum, bahkan implikasinya meluas sampai kepercayaan dunia internasionalpun terhadap Indonesia menurun. Dengan demikian topik dalam tulisan ini baik langsung maupun tidak langsung mengajak kita semua untuk membangun kemampuan diri kita yang terkait dalam profesi apapun itu, agar menyadari secara seksama hak-hak  dan kewajiban-kewajiban kita selaku warga negara, baik yang terkait dalam supra struktur   maupun  infra struktur kekuasaan.                     

Sistem[3] penegakan hukum beserta fenomena yang menyertainya cukup luas dan sangat pradoksal sifatnya, pembahasan akan penulis fokuskan pada eksistensi Polri dengan menetapkan judul ”Membangun Perilaku Hukum dan Moral Polri Melalui Pemantapan Kultur Polisi Sipil (Civilian Police) Yang Profesional”. 

Berkaitan dengan judul tulisan ini, maka ada 4 (empat) permasalahan yang penulis  bahas/analisis, sekaligus dikaitkan dengan pengalaman empiris penulis selaku anggota Polri, yaitu: pertama, bagaimana mewujudkan Polri yang bermoral saat ini dalam menghadapi tugas-tugas yang berat dihadapkan dengan situasi negara yang mengalami krisis multi dimensi? Kedua, bagaimana kultur Polisi Sipil (Civilian Police) memposisikan diri dalam merespon dinamika demokrasi yang terus bergulir dan fluktuatif sifatnya dimasa yang akan datang? Ketiga, bagaimana kultur Polisi Sipil  yang professional dan modern dalam mengantisipasi dampak globalisasi? Keempat, bagaimana harapan masyarakat terhadap kultur Polisi Sipil pada era reformasi yang terus bergulir?

Adapun pendekatan analisis yang akan penulis pergunakan adalah melalui pendekatan pembenahan kultur dan etika moral sebagai cerminan dari prinsip-prinsip profesionalisme ke depan yang harus dimiliki setiap anggota Polri dalam mengantisipasi tugas-tugas yang semakin berat.

B.       Fungsi, Tugas Dan Peran Polri

Fungsi, tugas, dan peran Polri tidak terpisahkan dari sistem ketatanegaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Fungsi, tugas, dan peran Polri secara universal  tidak jauh berbeda antara satu negara dengan negara lain, yaitu to protect and serve (melindungi dan melayani) yang dirinci menjadi love humanity, help deliquence, keep them out of jail, and fight for crime (mengasihi manusia, membantu anak nakal, menjauhkan mereka dari penjara serta memerangi  kejahatan).

Penegakan hukum dalam hal  ini, tidak hanya terbatas pada tindakan represif, tetapi menyangkut tindakan preventif dan prempatif. Ketiganya merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan tujuan Polri, yaitu untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.[4] 

Seiring dengan tugas-tugas kepolisian secara universal tersebut di atas, awalnya merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu tujuannya adalah menciptakan perdamaian, kesejahteraan, dan kemanusiaan bagi umat manusia, sehingga tugas kepolisian diarahkan dan dikembangkan ke arah  human services dan human welfare[5] yaitu sebagai abdi masyarakat sehingga terdapat perpaduan yang erat antara negara hukum dan negara kesejahteraan.

Standar eksistensi Polri berdasarkan asas-asas dari human right, human welfare, human services, social welfare  telah ditetapkan dalam Kongres  PBB ke-IV tahun 1975 di Genewa yang memutuskan bahwa tugas polisi adalah bukan untuk penguasa yang tidak ramah (cold and distant representatives authority), melainkan menjadikan  dirinya  sebagai  sahabat,  baik bagi masyarakat (friends, partners, and defender of citizens) dan meningkatkan hubungan kerjasama dengan masyarakat (mutual trust between police and public) dalam menumbuhkan peran serta masyarakat (social participation) untuk mencapai cita-cita kesejahteraan sosial (social welfare). [6]

Symposium on The Role of the Police in Protection of Human Rights pada tahun 1980 di Den Haag,   memberikan rekomendasi bagi negara-negara anggota PBB dan polisi anggota-anggota Interpol berupa:
1.    kewajiban menempuh langkah-langkah “criminal policy, crime     prevention programs on the administrations of criminal justice”;
2.    mengutuk kebijakan yang bersifat extralegal execution of criminal justice;
3.    menjamin “the greater security and protection of the rights and freedoms of all people”;
4.    menghormati hak asasi manusia dengan memperhatikan “the prevention of torture and other forms cruel, inhuman or degrading treatment”;
5.    mengutamakan “the police were a part of and not separate from the community and than the mayority of policement’s time was spent on services-oriented task rather than on law enforcement duties”;
6.    mengembangkan “techno-prevention of investigation”.

C.      Pembahasan Masalah            

Permasalahan pertama, bagaimana mewujudkan Polri yang bermoral saat ini dalam menghadapi tugas-tugas yang berat dihadapkan dengan situasi negara yang mengalami krisis multi dimensi?

Permasalahan ini sebenarnya menyangkut tataran kebijakan di bidang pembinaan sumber daya manusia Polri yang terus diarahkan untuk peningkatan akhlak dan moral, tidak sekedar peningkatan ilmu pengetahuan (kualitas) dan kuantitas jumlah sumber daya manusia Polri.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan Polri, ada landasan filosofi kerjanya yang disebut dengan istilah vigilat quiscant yaitu polisi bekerja sepanjang waktu agar masyarakat dapat melakukan aktivitasnya dengan aman. Kemudian Polri menjabarkannya menjadi rastra sewakottatama yaitu abdi utama negara dan bangsa, dengan demikian ada tuntunan dan kewajiban moral dari setiap insan Bhayangkara untuk selalu mau berupaya menyiapkan potensi fisik, psikis, dan moral serta intelektualnya guna memainkan tugas dan perannya selaku hamba hukum, seiring dengan pesatnya dinamika masyarakat modern yang ditandai dengan perkembangan hasil-hasil teknologi yang memiliki dampak positif dan negatif dalam lintas pergaulan masyarakat. Dampak negatif dapat dilihat bahwa kejahatan  juga turut berkembang mengikuti perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan, sehingga sifat kejahatan yang terjadi juga  semakin  terstruktur dari segi metoda (modus operandi) dan cakupannya/lintasan negara (transnational crimes) seperti kejahatan narkotika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang (trafficking in person), korupsi, kejahatan perbankan, kejahatan di bidang lingkungan hidup, pertmbangan liar (illegal mining, kejahatan dalam penebangan liar (illegal logging), dan penangkapan ikan secara liar (illegal fishing).

Moralitas menunjukkan bahwa unsur-unsur moral terletak pada modus perilaku (perbuatan) yang dilakukan oleh manusia mengenai  apa itu baik atau apa itu buruk. Manusia menjadi penentu subjek yang bisa melahirkan stigma dan sekaligus posisi sosialnya. Harapan dan cita-cita manusia  dapat menjadi pendorong munculnya ragam moral ditengah-tengah masyarakat, tepatlah kalau dikatakan bahwa  intisari kehidupan  harus diletakkan pada konstribusi moral.[7] Ajaran-ajaran moral mengajarkan manusia untuk menjadi baik, sedangkan etika bertugas memberikan argumentasi yang rasional dan kritis dibalik ajaran moral tersebut.[8] Etika profesi baru dapat ditegakkan apabila ada tiga ciri moralitas yang utama yaitu: (1) berani berbuat dengan bertekad bertindak sesuai dengan tuntutan profesi, (2) sadar akan kewajibannya, dan (3) memiliki idealisme yang tinggi.[9] 

Polisi yang bermoral berarti polisi yang mempunyai prinsip, ajaran atau aturan main. Polisi yang bergairah, percaya diri, dan setia, baik secara perorangan maupun kelompok terhadap tugas yang diembannya, polisi yang sadar dan loyal pada tujuan polisi sebagai institusi dan kesatuan, dan polisi yang mempunyai keyakinan pada masa depan.

Kriteria norma-norma moral telah ditentukan dalam kehidupan Polri, apa yang disebut dengan Etika Profesi Kepolisian, sebagaimana secara normatif telah ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, utamanya dapat dilihat dalam  penjelasan Pasal 34 ayat 1 menentukan:
“Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara seutuhnya, yaitu pejuang pengawal dan pengaman Negara RI. Selain itu untuk mengabdikan diri sebagai alat negara penegak hukum yang tugas dan wewenangnya bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung, diperlukan kesadaran dan kecakapan teknis yang tinggi oleh karena itu setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Etika Profesi Kepolisian tersebut merupakan kristalisasi  nilai-nilai  yang  terkandung dalam Tribrata  dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila.”
         
Konsekwensi dari setiap pelanggaran terhadap kode etik profesi akan dipertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode Etik Polri. Tujuannya agar profesi kepolisian tetap dimuliakan, sedangkan pelanggaran hukum disiplin dan hukum pidana diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam jabaran norma-norma yang ditetapkan sebagai petunjuk (guidance) terhadap kode etik profesi kepolisian sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, tanggal 1 Juli Tahun 2006, telah ditetapkan bagaimana hubungan seorang anggota Polri dilihat dari segi pengabdianya,  kelembagaan,  kenegaraan, dengan masyarakat dan dengan sesama anggota Polri.  Tidak seperti banyak profesi lain, bila dibandingkan dengan profesi kepolisian, karena kepolisian diberikan mandat oleh undang-undang untuk menegakkan moralitas masyarakat secara konkrit dengan berbagai instrumen mulai dari yang halus sampai dengan tindakan yang lebih ekstrim, misalnya dengan menggunakan pentungan, borgol dan upaya kekerasan yang lain seperti senjata. Dari tindakan yang lebih halus yang dipakai membangun moral masyarakat yaitu melalui tindakan penegakan hukum yang bersifat pre-empatif yaitu antara lain melalui kegiatan pemberian penyuluhan-penyuluhan, ceramah-ceramah, simulasi-simulasi agar dalam diri masyarakat tumbuh kesadaran moral, diikuti dengan tindakan preventif, artinya tindakan yang lebih real untuk mengantisipasi suatu tindakan agar niat untuk melakukan sesuatu kejahatan atau tindakan yang kurang terpuji dapat dicegah. Dengan kata lain bahwa tindakan pre-emtif dan preventif sebenarnya bertujuan bagaimana menciptakan agar masyarakat menjadi polisi terhadap dirinya sendiri. Dalam istilah saat ini merupakan perpolisian masyarakat (Public Policing) agar masyarakat memiliki daya tangkal dan cegah dalam dirinya sendiri sebagaiaman telah ditentukan dalam Buku Panduan Pelatihan Untuk Anggota Polri, ”Perpolisian Masyarakat” yang diterbitkan oleh Mabes Polri bulan Juni 2006, menyebutkan bahwa ”Perpolisian Masyarakat” merupakan bentuk perpolisian yang dikembangkan banyak negara dan merupakan satu model perpolisian yang sangat penting di Asia.

Tantangan bagi anggota Polri dalam menghadapi era globalisasi yang bergulir terus dan semakin komplek sifatnya, Polri haruslah membangun moralitas lebih dulu sebelum membangun moralitas masyarakat. Di samping itu, suatu pandangan yang sangat penting kita hayati bersama secara mendasar bahwa karena anggota Polri merupakan bagian integral dari masyarakat, tingginya moralitas anggota Polri merupakan refleksi dari moralitas masyarakat secara umum. Oleh karena itu, membangun moralitas kepolisian berarti membangun moralitas masyarakat secara keseluruhan.

Pembahasan menyangkut persoalan kedua, bagaimana kultur Polisi Sipil memposisikan diri dalam merespon dinamika demokrasi yang terus bergulir dan fluktuatif sifatnya pada masa yang akan datang? Ketiga, bagaimana kultur Polisi Sipil yang profesional dan modern dalam mengantisipasi dampak globalisasi? Keempat, bagaimana harapan masyarakat terhadap kultur Polisi Sipil pada era reformasi yang terus bergulir?

Karena ketiga persoalan tersebut di atas selalu dikaitkan dengan masalah-masalah kultur, pembahasan penulis dalam hal ini dijadikan satu  kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain.

Polisi Sipil (Civil Police) merupakan satu konsep dalam suatu kelembagaan atau secara umum lebih sering disebut organisasi kepolisian. Isitilah ini pertama sekali populer setelah tidak lama Orde Baru terguling. Bahkan dalam seminar-seminar, diskusi-diskusi maupun interaktif di media massa elektronik  istilah ini menjadi sesuatu yang trend  saat ini.

Istilah Polisi Sipil (Civil Police) atau civilization police atau polisi yang beradab adalah yang menjunjung prinsip-prinsip demokrasi dengan peran masyarakat demikian sentral, ditandai dengan suatu ciri-ciri  kebebasan, keterbukaan (transparency), pertanggungjawaban publik (accountability).

Dengan demikian menurut penulis Polisi Sipil hanya dapat dibangun atau berkembang di negara-negara  yang menjunjung tinggi prinsip-rinsip demokrasi. Pandangan yang demikian sudah terus bergulir di negara kita ini, namun bagaimanapun perubahan dari sifat pemerintahan yang repressif termasuk produk-produk hukumnya kearah pemerintahan yang demokratis, dimana produk-produk hukumnya bersifat outonomous atau responsive [10] telah membawa pengaruh terhadap eksistensi Polri untuk tetap menjadi bagian dari masyarakat sipil dalam memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi melalui penegakan hukum yang adil dan beradab.

Konsep Polisi Sipil lebih berkaitan dengan bagaimana membangun budaya Polisi (Culture of Police) artinya bagaimana seharusnya Polisi berbuat dalam melaksanakan tugasnya. Kenyataan yang terjadi bahwa jarak antara Polisi Sipil yang berbudaya dengan masyarakat yang berbudaya di satu sisi masih jauh dalam tataran perkembangan demokrasi yang universal, namun konsepsi ini merupakan masalah strategis  yang bukan saja dihadapi oleh lembaga kepolisian  tetapi   bangsa dan negara RI.

Sebenarnya konsepsi tentang pemahaman budaya  merupakan hal yang baru dibicarakan di Indonesia, padahal konsepsi budaya itu sendiri sudah lama dikenal dan ditekankan  pentingnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD RI 1945 yang menentukan:
“Yang  penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara  ialah   semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin  pemerintah. Meskipun dibuat UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan bila semangat para penyelenggara, para pemimpin pemerintah itu bersifat perseorangan. UUD tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya, meskipun UUD itu tidak sempuna akan tetapi jika semangat para penyelenggara pemerintahan baik, UUD tentu tidak akan merintangi   jalannya negara. Yang penting adalah semangat…..” 

Pemahaman tentang budaya (hukum) sangatlah penting bukan hanya kepada setiap anggota Polri tetapi kepada semua lapisan masyarakat, apakah mereka yang terkait dalam birokrat (struktural), tenaga pendidik, pengusaha, para penegak hukum, maupun berbagai profesi lainnya. Mengenai pentingnya budaya hukum Satjipto Rahardjo[11] mengatakan dalam Media Indonesia:
”Sejak kapanpun jalannya hukum untuk sebagian penting juga ditopang oleh bekerjanya suatu kekuatan spiritual yang disebut budaya hukum. Kita belum dapat memahami hukum suatu bangsa dengan baik sebelum mengetahui dengan persis bagaimana hukum itu digunakan atau tidak digunakan oleh suatu bangsa terhadap hukumya dan seterusnya. Hal-hal yang disebut terakhir tidak dapat dianggap soal kecil atau sepele, karena akan sangat menentukan apa yang terjadi pada hukum suatu bangsa. Bangsa-bangsa boleh menggunakan hukum yang sama, tetapi dengan budaya hukum yang berbeda, maka penampilannyapun menjadi berbeda. Salahlah apabila kita berpendapat bahwa jalannya hukum hanya ditentukan oleh adanya peraturan dan kemudian menerapkannya terhadap kejadian sehari-hari di masyarakat. Masih ada kekuatan lain yang turut menentukan jalannya hukum, bahkan kekuatan ini bisa lebih menentukan daripada faktor-faktor peraturan dan penerepannya…masyarakat menjalankan hukum bukan karena adanya peraturan tertulis, melainkan karena diyakini bahwa suatu tindakan harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan…”

Pemahaman terhadap budaya harus dioperasionalkan dalam sikap dan perilaku hukum secara total. Hukum itu merupakan anasir kebudayaan, hukum itu juga memperlihatkan sifat dan corak kebudayaan yang bersangkutan. Dengan kata  lain sifat dan corak, juga isi dari hukum ditentukan oleh sifat corak kebudayaan yang bersangkutan.[12]

Kajian tentang budaya organisasi Polri sudah sering dilakukan oleh pakar di bidang kepolisian termasuk para purnawirawan Polri, seperti yang pernah dilakukan dalam seminar “membangun kultur baru Polri” pada tanggal 23 September 1999 di Universitas Gajah Mada-Yogyakarta, dalam kesimpulannya tentang ciri-ciri organisasi Polri (berarti  8 tahun yang lalu)  adalah:

1.           Sikap dan perilaku yang militeristik. Lihat sistem kepangkatan (walaupun sebutannya sudah berubah), proses  pengambilan  yang bergaya militer dan terutama dalam pola sikap dan perilaku sewaktu menghadapi warga masyarakat.

2.           Budaya feodalistik. Indikator yang paling menyolok adalah penghomatan yang sangat berlebihan kepada para atasan dan  senior yang mungkin menentukan nasib mereka dalam hal kenaikan pangkat dan kemajuan karier. Akibatnya, sikap dan perilaku mereka sewaktu menghadapi anggota masyarakat justru tidak seramah ketika  menghadapi atasan/seniornya.

3.           Sikap burung unta. Anggota Polri dianggap sangat  tidak responsif terhadap apa yang terjadi “di luar” sana. Kritikan dan keluhan masyarakat dianggap sebagai angin lalu seperti layaknya burung unta yang menanamkan kepalanya ke dalam pasir bila mendengar hiruk-pikuk dan menganggap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

4.           Integritas yang rendah. Integritas rendah diakibatkan oleh dua hal. Pertama adalah budaya feodalistik yang mengharuskan anggota untuk bersikap sangat melayani atasan, sehingga terpaksa mengirim “upeti” sebagaimana layaknya pejabat rendah memberi upeti kepada pejabat tinggi di jaman kerajaan dahulu kala. Alasan kedua adalah kebutuhan dana untuk mencukupi biaya hidup karena gaji yang dianggap minus.  

Rumusan hasil Seminar Nasional yang diselenggarakan di Univ. Parahyangan Bandung pada tanggal 14 Nopember 2005 telah menetapkan 7 (tujuh) dimensi konsepsi dalam membangun dan mewujudkan kultur Polisi Sipil  yang  diarahkan pada terwujudnya aspek pelayanan dan terpenuhinya 12 (dua belas) unsur-unsur kepuasan masyarakat. Adapun ke 7 (tujuh) dimensi tersebut adalah: (1) komunikasi yang berbasis kepedulian, (2) cepat dan tanggap tanpa pamrih, (3) kemudahan pemberian informasi, (4) prosedur yang efisien dan efektif, (5) biaya formal dan wajar, (6) kemudahan penyelesaian urusan, (7) lingkungan fisik tempat kerja yang konduktif.

Kemudian 12 (dua belas) index kepuasan masyarakat di bidang pelayanan yang mencakup: (1) prosedur pelayanan (2) atau persyaratan pelayanan, (3) kejelasan petugas pelayanan, (4) kedisiplinan petugas pelayanan, (5) tanggung jawab petugas pelayanan, (6 kecepatan pelayanan, (7) keadilan mendapat pelayanan, (8) kesopanan dan keramahan petugas, (9) kewajaran biaya pelayanan, (10) kepastian biaya pelayanan, (11) kenyaman lingkungan, dan (12) keamanan pelayanan.

Ketujuh konsepsi kultur Polisi Sipil (Civil Police) tersebutlah menurut penulis harus dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengantisipasi berbagai kelemahan kultur yang kurang responsip dan akomodatif mengantisipasi dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Apalagi Polri merupakan bagian dari unsur pemerintahan (sub-sistem Pemerintahan) dan sekaligus berperan sebagai aparat negara dalam tataran legal struktural, maka hendaklah selalu memperhatikan dan mencerminkan prinsip-prinsip dalam pembentukan “Pemerintahan yang baik” (General principle of Good Government) antara lain: (1) Menciptakan kondisi kepastian hukum (principle of legal security) kerja (2) membentuk suasana keseimbangan kerja (principle of proportionality), (3) pemberlakuan kesamaan sebagai warga negara dalam hukum dan pemerintahan (principle of equality), (4) melakukan tindakan yang cermat dalam pelaksanaan peran dan tugasnya (priniciple of carefuless), (5) melakukan upaya motivasi kepada berbagai pihak agar mereka mau berbuat segala sesuatunya sesuai dengan norma yang berlaku (principle of motivation), (6) tidak mencampuradukan berbagai kewenangan dalam pelaksanaan tugas (principle of non missue of competence), (7) melakukan berbagai pekerjaan sesuai dengan aturan yang berlaku  (principle of fair play), (8) pemenuhan aspirasi dan semua unsur masyarakatnya (principle of meeting raised excitation), (9) memberikan keadilan dan kewajaran (principle of reasonables or prohibition of arbitariness), (10) meniadakan berbagai macam resiko sehubungan dengan adanya keputusan yang dibatalkan (principle of undoing the consequences on annuiled decision), (11) memberikan perlindungan terhadap bermacam pandangan hidup masyarakatnya (principle of protecting the personal way to life), (12) menerapkan berbagai kebijaksanaan yang telah ditentukan dan disepakati bersama (principle of spientia), (13) menegakkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi (principle of public service).        

Terwujudkanya budaya Polisi Sipil tidak terlepas dari pembinaan profesinol. Kata “profesional”   berasal dari bahasa Inggris “profession” adalah sebagai sebuah “bidang kerja” atau pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang. Dengan demikian maka “Polisi” adalah sebuah profesi sebagaimana juga profesi dokter, notaris, wartawan, akuntan,  pengacara,  dosen,  pedagang, dan lain-lain.

Dalam pengertian akademik, istilah “professional” sebenarnya digunakan untuk menunjuk sekelompok orang yang dapat disebut sebagai “kaum spesialis”memiliki keahliah/kacakapan  khusus.[13] Orang-orang  ini menjalankan “profesi” tertentu setelah melalui pendidikan dan pelatihan yang lama baik pendidikan dasar pembentukan ataupun pendidikan lanjutan. Dengan pendidikan yang diperoleh, mereka dapat menjalankan fungsinya  dalam masyarakat dengan lebih baik jika dibandingkan dengan warga masyarakat umum lainnya.

Menurut Prof. Douglas Mc. Gregor dalam bukunya “The Profesional Maneger (1960) sebagaimana dikutip oleh Achmad S. Ruky menjelaskan bahwa seorang professional selalu menetapkan tujuan dan sasaran kerja yang tinggi yang ingin dicapai dan akan berusaha mencapai, yaitu: (1) Berorientasi Pada Prestasi Tinggi. Seorang menejer profesional mempunyai kecondongan (orientasi) pada pencapaian hasil dan prestasi yang tinggi. Seorang profesional akan selalu menetapkan tujuan dan sasaran kerja yang tinggi yang ingin dicapainya dan akan berusaha mencapainya. (2) Mempunyai Rasa Percaya Diri Yang Besar. Organisasi profesi merupakan wadah penting untuk pembinaan profesi. Pembinaan terutama diwujudkan kepada manusia-manusia yang menyandang profesi tersebut, yakni masyarakat atau komunitas profesi. Percaya pada diri sendiri berarti bahwa seseorang yakin akan kemampuannya untuk dapat melaksanakan kegiatan tertentu dengan baik dan mencapai sasaran prestasi yang ditetapkannya. Rasa percaya diri dimiliki seseorang karena ia memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kemampuan sesuatu dan  sekaligus mengetahui kekurangannya sendiri. (3) Kesediaan Mengambil Resiko. Tujuan dan sasaran tidak akan selalu dapat diraih dengan mudah karena ada kemungkinan berakhir dengan kegagalan. Seorang profesional, apakah dia seorang manager atau seorang anggota Polri akan bersedia mengambil resiko yang telah diperhitungkan dengan matang? (4) Keteguhan/ Konsistensi Pada Kode Etik Profesinya. Barangkali kriteria yang keempat ini seringkali terabaikan tanpa sengaja. Seorang profesional akan berusaha mencapai tujuan-tujuannya melalui upaya dan usaha yang keras tetapi ia akan selalu berpegang pada kode etik profesinya. Kode etik profesi yang harus dipatuhinya mungkin ditetapkan oleh organisasi dimana ia bergabung atau kode etik yang ditetapkan oleh kelompok profesinya. Semua profesi memiliki kode etik. Walaupun dewasa ini banyak orang-orang yang disebut kelompok profesional justru sudah menyimpang dari kode etik profesinya sendiri. (5) Memiliki Pengetahuan dan Keahlian Teknis Mumpuni Yang Dituntut Oleh Profesinya. Di samping sifat atu karakter yang disebutkan dalam butir 1 sampai 4 di atas seorang profesional dituntut untuk memiliki pengetahuan, kemampuan dan keahlian teknis.

Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vluegel vrij), dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikan lumpuh sayap (vluegel lam) dalam arti tidak maju dan tidak tegap.[14]

Berdasarkan uraian kultur tersebut di atas dikaitkan dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam mewujudkan Polisi Sipil, dan pengembangan profesionalisme dan etika kepolisian, yang terakhir dan kunci penilain yaitu berasal dari masyarakat selaku subjek-subjek  yang harus dilindungi, dilayani, diayomi, dan dijaga, dalam koridor hukum artinya eksistensi substansi hukum secara filosofis akan bisa diketahui dan dirasakan esensi kemanfaatannya bagi pelaku hukum dan masyarakatnya kalau polisi berhasil membumikan.[15]
Dengan demikian diperlukan anggota Polri yang sangat “peduli”, karena kepedulian merupakan sikap (attitude) atau komitmen terhadap tugas-tugas ataupun kewajiban-kewajiban.

Seorang  konsultan dari Universitas Hardvard bernama Prof. David H. Maister dalam bukunya: “The True Professionalism“ (Simom & Schuster dalam  Achmad S. Ruky, 2005) menulis dan mengajukan pertanyaan pada sejumlah perusahaan tentang perbedaan antara konsultan yang baik dan yang hebat. Mereka menjawab bahwa seorang konsultan yang hebat  akan memiliki ciri-ciri:
1.           bangga dengan pekerjaannya dan menunjukkan komitmen yang tinggi pada kualitas hasil kerja;
2.           memiliki rasa tanggung jawab yang sangat besar;
3.           melakukan antisipasi, tidak menunggu sampai diperintah (berinisiatif);
4.           melakukan apapun untuk menyelesaikan tugasnya;
5.           berpartisipasi dalam kegiatan tim, tidak hanya memusatkan perhatian pada tugas sendiri;
6.           selalu mencari cara untuk membantu mereka yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya;
7.           mendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang dibutuhkan oleh mereka yang harus dilayaninya;
8.           selalu bersemangat untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian baru;
9.           bersikap jujur,dapat dipercaya dan loyal; dan
       10   terbuka untuk kritik membangun dan bermaksud memperbaiki.

Dari ciri-ciri tersebut di atas, maka justru lapangan ilmu pengetahuan dan teknis ditempatkan pada  urutan nomor 5 s.d. 10, sedangkan urutan 1 s.d. 4 merupakan sikap atau kepedulian terhadap tugas-tugas.

Ciri-ciri tersebut berlaku bagi setiap anggota Polri maupun kepada setiap pejabat publik, kemudian label keberhasilan, kesuksesan, kebaikan bukanlah  yang kita buat-buat, tetapi pengakuan yang tulus dari lapisan masyarakat, khususnya yang kita lanyani (costumer).

Semuanya kriteria atau ciri-ciri yang disebutkan di atas perlu didasari pada metode yaitu perubahan  yang dilakukan secara konsisten dan konsekuen, dimulai  dari atas  sampai ke bawah (top-down).

D.      Simpulan  

Dari uraian tersebut di atas, penulis menyampaikan beberapa butir kesimpulan sebagai berikut: 

1.         Eksistensi Polisi Sipil (Civilian Police) merupakan dambaan setiap negara dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin kompleks sifatnya, oleh karena itu Polri harus dibangun dalam prinsip-prinsip demokrasi, karena hukum dan demokrasi merupakan dua sisi yang saling menopang satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan kerja keras dari semua elemen negara untuk mewujudkannya sehingga tidak semata-mata hanya dalam suatu tataran konsep.

2.         Perilaku atau kultur (hukum) merupakan nilai-nilai yang sangat mendasar  yang harus ada dalam suatu profesi, tidak terkecuali Polri, karena budaya/kultur membuat suatu profesi menjadi mulia dan dihargai oleh masyarakat atau publik.

3.         Tuntutan transparansi, akuntabilitas, sikap, dan perilaku yang profesional dari aparat penyelenggara lainnya saat ini semakin mengemuka. Oleh karena itu Polri selaku bagian dari aparat pemerintah dan penegak hukum dituntut untuk mengakomodir dan merespon dalam wujud perilaku dan sikapnya, agar menjadi bagian dari pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

4.         Sampai saat ini perilaku anggota Polri dalam mewujudkan tujuan kepolisian negara RI melalui tugas, fungsi dan perannya belum sepenuhnya mengakomodir dan merespon kepentingan masyarakat, sehingga diperlukan berbagai kiat-kiat dalam menumbuhkembangkan kesadaran yang tinggi agar menjadi insan-insan bhayangkara yang peduli dengan lingkungannya.

E.       Saran                          

1.         Budaya hukum menyangkut prinsip-prinsip penghormatan, penghayatan, dan kecintaan, kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum oleh karena itu aspek budaya hukum bagi Polri harus dibangun dan diinternalisasikan sejak dini agar nilai-nilai kepatuhan maupun disiplin dapat melembaga dalam diri seorang anggota Polri.           

2.         Perlu dilembagakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik terhadap setiap anggota Polri karena Polri merupakan bagian dari pejabat publik, sehingga bidang tugas masing-masing setiap elemen negara dapat dilaksanakan demi tercapainya prinsip-prinsip profesionalisme dari setiap angota Polri yang bermoral atau berbudaya.   


[1] Franz Magnis- Suseno, 12 Tokoh Etika Abab ke-20 , Gramedia, Jakarta, 2004),  cet. 4, hal. 37.
[2] Komisi Hukum Nasional RI., Kebijakan Reformasi Hukum, 2003, cet. 1, hal. v.
[3] C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, cet. 1, hal. 56. Lihat Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Struktural-Fungsional, SIC, Surabaya, 1998), cet. 1, hal. 2. Lihat juga Sri Sumatri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, cet. 1, hal 32. Lihat juga Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, cet. 2, hal. 52-53.
[4] UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 4, dapat juga dilihat dalam Pasal l3,  Pasal 12, dan Pasal 5 yang berkaitan dengan fungsi, peran, dan tugas pokok Polri.
[5] Bambang Poernomo, Perkembangan Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kumpulan artikel/karangan, hal. 66.
[6] Bambang Poernomo, Ibid., hal. 3.
[7] Abdul Wahid, dan Anang Sulistyono, Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum di Indonesia, Tarsita, Bandung, 1997, cet. 1, hal. 3.
[8] Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,  Refika   Aditama, Bandung, 2006, cet. 1, hal. 2.
[9] Franz Magnis-Suseno et. al, Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa, APTIK-Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 75.
[10] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition Toward Responsive Law, Harper Torchbooks, New York, 1978, hal. 53-54.
[11] Satjipto Rahardjo, Budaya Hukum Sebagai Kekuatan Alternatif, Media Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 12.
[12] Van Apeldorn,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1966, hal. 12.
[13] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius,  Yogyakarta, 1995, cet. 1, hal. 58.
[14] Chatamarrasjid, ”Eksistensi dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam Reformasi Lembaga Peradilan”, makalah disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia (Fokus pada lembaga Peradilan), Bapenas, Jakarta, 6 Februari 2006.
[15] Abdul Wahid, dan Anang Sulistyono, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, Tarsita, Bandung, 1997, cet., 1, 134.

1 komentar:

  1. Polisi sebagai pengayon masyarakat melindungi dan memberi rasa ketenangan, maka itu dalam penyeleksian polisi perlu ada prndidikan Moral yang harus ditanamkan kepada mereka, menjadi kenyataan sekarang bahwa terjadinya aparat malahan lebih buruk dari yang diayomi, ganas lagi dia memperofokasi kelompok.

    BalasHapus

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan