Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP PECANDU YANG MELAPORKAN DIRI UNTUK DILAKUKAN PENDATAAN SECARA NASIONAL GUNA KEPENTINGAN REHABILITASI DAN PENGAWASAN


BAGIAN IV


A.      Pendahuluan

Menurut penulis, ada dua hal yang menjadi fokus pembahasan yang terkait dengan judul, yaitu: (1) pecandu yang melaporkan diri untuk dilakukan pendataan, (2) pendataan tersebut perlu dilakukan untuk kepentingan rehabilitasi dan pengawasan.

Dalam kenyataan sampai saat ini walaupun UU Nomor 22 Tahun 1997 telah berlaku selama kurang lebih 11 (sebelas) tahun, namun beberapa ketentuan yang ada di dalamnya seperti yang terkait dengan thema/topik pembahasan tersebut di atas belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah atau pihak-pihak yang terkait. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua yaitu: (1) Mengapa ketentuan yang terkait dengan pecandu sangat sulit dilaksanakan, padahal tujuannya sangat bersifat strategis untuk rahabilitasi dan pengawasan atau bahkan boleh dikatakan tidak pernah? (2) Bagaimana usaha dari pemerintah untuk mengatasai berbagai permasalahan tersebut sehingga beberapa halangan atau rintangan yang ada bisa di atasi.  (3) Bagaimana politik hukum/kebijakan kriminal kedepan dalam mengantisipasi kelemahan yang terkait dengan permasalahan penerapan terkait dengan masalah pencandu tersebut?

B.       Ketentuan  Tentang Pencandu dan Permasalahan Dalam Penerapannya.

Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pencandu narkotika telah diatur mulai dalam Pasal 44 s.d. 51 UU Nomor 22 Tahun 1997.

Menyikapi berbagai subtansi yang ditentukan mulai dari Pasal 44 s.d. Pasal 51 UU Nomor 22 Tahun 1997, menurut penulis sampai saat ini belum dapat diimplementasikan kepada para pecandu narkotika,  karena:
1.         Ada  peraturan delegasi yang harus dibentuk seperti yang ditentukan dalam Pasal 46 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 1997. Hal ini terkait dengan “wadah” untuk penyampaian laporan dari orang tua pencandu narkotika yang belum dewasa maupun pencandu narkotika yang dewasa. Tujuannya untuk mendapatkan pengobatan/rehabilitasi. Terkait dengan ketentuan Pasal 46 ini diperlukan adanya kebijakan kriminal dari pemerintah untuk segera merealisasikannya agar usaha untuk mengatasi dan mencegah berbagai penyalahgunaan narkotika kedepan dapat dikurangi atau ditekan. Kebijakan kriminal disini adalah usaha rasional dari seluruh masyarakat/negara untuk mengatasi berbagai kejahatan yang timbul dimasyarakat baik melalui penal maupun non penal.[1] Oleh karena itu, penekanan politik hukum dari Pasal 46 ini adalah melalui non penal. Untuk itu sangat perlu dibentuk satu “wadah/lembaga” untuk menampung pengaduan dari orang tua/wali dari pecandu yang belum dewasa ataupun dari pencandu yang telah dewasa. Menurut penulis wadah tersebut cukup ditetapkan atau ditentukan oleh peraturan presiden, yang isinya menyangkut kedudukan, fungsi, tugas, wewenang,  dan koordinasi.
2.         Ketentuan Pasal 47 UU Nomor 22 Tahun 1997 yang intinya hakim memeriksa dan mengadili perkara pecandu narkotika … dst… memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan apabila … terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, diperhitungkan masa pengobatan sebagai masa menjalani tahanan. Apabila tidak ditemukan bersalah diperintahkan untuk menjalani pengobatan. Rumusan yang ditentukan dalam Pasal 47 ini sifatnya menurut penulis adalah tindakan represif, karena untuk sampai seseorang pecandu narkotika pada pemeriksaan Majelis Hakim  harus melalui proses criminal justices system (CJS), yang dimulai dari proses penyidikan (sebagai tersangka), penuntutan (sebagai terdakwa) dan pelaksanaan hukuman/penetapan pengadilan (terpidana).  Oleh karena itu apabila penyidik menemukan seorang pecandu narkotika, maka penyidik tidak memiliki pilihan hukum lainnya agar tersangka/pecandu tidak diproses sesuai dengan  hukum acara pidana.
3.         Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 1997 ini agak bertentangan dengan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 22 Tahun 1997, karena kalau dilaporkan oleh orang tua atau wali baik pecandu yang belum dewasa maupun oleh pecandu yang telah dewasa, maka ketentuan pidana tidak diberlakukan kepadanya maupun kepada keluarganya.[2] Bagaimana kalau penyidik yang mengetahui pencandu atau ditangkap oleh penyidik, maka penyidik dapat melakukan dua tindakan hukum sekaligus, yaitu  pertama, tindakan penyidik terhadap orang tua atau wali pencandu yang belum dewasa dapat diproses sesuai ketentuan 86[3] dan 88[4] UU Nomor 22 Tahun 1997; kedua, bagi pencandu yang belum dewasa maupun yang dewasa dapat diproses sesuai dengan hukum acara pidana (vide Pasal 47 UU Nomor 22 Tahun 1997).

Terlepas dari ketentuan Pasal 86 dan Pasal 88 UU Nomor 22 Tahun 1997 tersebut, perlu diberikan suatu keleluasaan kepada penyidik untuk memberikan penilaian tersendiri kepada seseorang pencandu yang ditangkap atau diketahui namun tidak dilakukan penangkapan dengan memperhatikan dari berbagai segi antara lain, keadaan keluarga pecandu/korban, usia pecandu/korban, pendidikan pecandu/korban, keadaan orang tua pencandu/korban, lingkungan pergaulan pencandu/korban dan tingkat kecanduannya. Terkait dengan penilaian tersebut maka penyidik dapat melakukan tindakan diskresi untuk kepentingan pencandu, khususnya pecandu yang belum dewasa. Dengan kata lain ada penyaringan bagi penyidik, kasus kecanduan yang mana yang harus diteruskan ke pengadilan dan mana yang diajukan untuk direhabilitasi.

Dari rumusan Pasal 46 dan 47 UU Nomor 22 Tahun 1997 ini sulit dibedakan siapa yang dikategorikan sebagai pencandu yang tidak  melakukan pelanggaran hukum dan  siapa yang disebut pencandu sebagai pelanggaran hukum, karena batasan-batasanya kurang jelas, walaupun sementara beberapa kalangan mengatakan bahwa antara pengguna/pecandu dengan pengedar sulit dibedakan, adakalanya  pengguna/pencandu, juga sebagai pengedar.

C.      Perkembangan Rumusan Kebijakan

Menyikapai rumusan yang terkait dengan rencana pengaturan mengenai pencandu narkotika juga akan ditentukan dalam RUU tentang Narkotika yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan di DPR, rumusannya tidak berbeda dengan rumusan yang telah ditentukan dalam Pasal 46 dan 47 UU Nomor 22 Tahun 1997, bahkan susunan  kata-katanya adalah sama. Oleh karena itu, dalam menyikapi bahwa pencandu merupakan korban dari perdagangan narkotika, sudah seharusnya rumusan yang terkait dengan pencandu harus dilakukan perubahan secara total dari yang telah ditentukan dalam rumusan UU Nomor 22 Tahun 1997. Perubahan terhadap subtansi antara lain:  Menyangkut pemberian keleluasaan kepada penyidik apabila menemukan pecandu, baik pencandu yang belum dewasa maupun pecandu yang telah dewasa menyerahkan ke pusat rehabilitasi tanpa diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku.

Menyikapi  RUU tentang Narkotika yang substansinya tidak berbeda sama sekali dengan substansi yang telah ditentukan dalam pasal-pasal pecandu dan rehabilitasi dalam UU Nomor 22 Tahun 1997, ke depan perlu dilakukan perbaikan sesuai hasil studi banding yang telah dilaksanakan beberapa tim dari Badan Narkotika Nasional  ke Malaysia dan Singapura, karena di kedua negara tersebut telah mengatur secara tegas mengenai kegiatan supervisi, perawatan dan rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh satu badan atau agen. Kesempatan  untuk mengakomodir hasil-hasil studi banding dari dua negara tersebut sangat besar kemungkinan dapat diadopsi oleh pemerintah Republik Indonesia, karena kita tahu bersama bahwa saat ini RUU tentang Narkotika sedang dibahas oleh Pansus di DPR RI.




[1] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996, cet. 1, hal.2. Dalam buku yang sama Prof Soedarto mengemukakan bahwa ada tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu: (1) dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan  polisi, (3)  dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengemukakan norma-norma sentral dari masyarakat. 
[2] Vide Pasal 86 dan Pasal 88 UU Nomor 22 Tahun 1997.
[3] Pasal 86 ayat (1):   Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor dipidana dengan pidana kurungan dst …
[4] Pasal 88 ayat (1):  Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan… Ayat(2)  Keluarga pencandu naskotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pencandu narkotika dst… dipidana dengan pidana kurungan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan