Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

PERJANJIAN KONTRAK DAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERSEROAN


BAGIAN II



A.      Pendahuluan

Menyikapi judul”Perjanjian Kontrak dan Undang-Undang (UU) tentang Perseroan Terbatas, merupakan dua hal yang berbeda walaupun tidak dapat dipisahkan. ”Perjanjian Kontrak” terkait dengan hukum keperdataan, sedangkan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas di samping terkait dengan hukum perdata juga terkait dengan hukum ekonomi[1] dan hukum administrasi negara.

Dalam perkembangan dunia ekonomi global, batas perkembangan ekonomi dan perdagangan  tidak hanya terjadi dalam suatu negara tetapi sudah meluas antar lintas negara, hal ini dapat kita lihat dari beberapa perjanjian internasional (bilateral maupun multilateral). Fakta  ini dapat dilihat dengan adanya kebijakan dalam perdagangan di wilayah North American Free Trade (NAFTA), Asean Free Trade Area (AFTA),  General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)  dan  Asian Pacific Economic Cooperation (APEC)  dan sebagainya.

Tataran kebijakan yang dicanangkan oleh masyarakat Internasional dalam bentuk-bentuk regional maupun multilateral dalam implementasinya tidak terlepas dari pelaksanaan teknis, artinya masuknya investor ke dalam suatu negara berkembang atau sebaliknya dalam perjanjian timbal balik, akan memberikan mandat kepada  para investor baik dalam bentuk penanaman modal asing (foreign investor) atau gabungan (joint venture) maupun swasta dalam negeri (domestic investor) yang dilakukan oleh pelaku ekonomi antara lain Badan Hukum (Perseroan Terbatas, Koperasi) yang  membuat  hubungan-hubungan hukum[2] antara lain dalam perjanjian kontrak.

Salah salah satu hubungan hukum dalam hal subjek hukum (manusia atau badan hukum)   mewujudkan berbagai kepentingannya adalah  melakukan  perjanjian kontrak[3]. Menurut  Soedjono Dirdjosisworo, mengatakan:
Kontrak merupakan perjanjian atau persetujuan yang melahirkan pengikatan yang berlaku dan mengikat bagi mereka yang mengadakan perjanjian tersebut. Berarti kontrak adalah ”hukum”, sehingga surat perjanjian merupakan salah satu tulisan hukum. Apabila salah satu pihak ingkar atau wanprestasi akan terjadi sengketa hukum.[4]  

Dalam Black Law Dictionary, Contract: An agreement two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing. As defined in Restatement, Second Contracts § 3: “A contract is a promises for the breach of which the law gives a remedy, or the performance of which the law in some way recognizes as a duty.” A legal relationship consisting of the rights and duties of the contracting parties; a promise or set of promises constituting an agreement between the parties that gives each a legal duty to the other and also the right to seek remedy for the breach of those duties. Its essentials are component parties, subject matter, a legal consideration, mutuality of agreement, and mutuality of obligation.[5]

Dengan demikian kata-kata kontrak dengan perjanjian merupakan dua hal yang sama yang lazim dikenal dalam bidang keperdataan atau sering disebut bagian dari suatu perikatan.

Subjek hukum dalam mengadakan hubugan hukum melalui perjanjian/ kontrak tentu ada syarat-sayaratnya sehingga perjanjian yang dibuat oleh para pihak  di samping itu kalau terjadi peristiwa hukum, maka sudah tentu menyangkut bagaimana penyelesaiannya dan bagaimana pertanggungjawaban dari para pihak (subjek-subjek  hukum)  yang terkait di dalamnya.

B.       Sekilas Sejarah Perkembangan Hukum Kontrak
  
Perkembangan hukum kontrak terjadi pada abad ke XIX sejalan dengan pengaruh doktrin pemikiran ekonomi laissez faire, kebebasan berkontrak menjadi prinsip yang umum dalam mendukung persaingan bebas. Kemudian kebebasan berkontrak menjadi penjelmaan hukum prinsip pasar bebas.[6]Perkembangan yang terjadi disebabkan, yaitu: (a)  pengembangan prinsip kontrak secara luas telah mengambil tempat selama periode tersebut, (b) pandangan ekonomi pada periode tersebut telah mengangkat kontrak pada suatu posisi yang memiliki arti yang sangat penting.
          Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak.[7]
          Gr. Van der Burg dalam bukunya Johannes mengemukakan bahwa selain teori kehendak  sebagai  teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:[8]
1.         Ajaran kehendak (wilsleer), yaitu dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara hati batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktor.
2.         Pandangan normatif van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikit pun tidak memainkan peranan, apakah suatu  persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada suatu penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama.
3.         Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuan bagi terbentuknya suatu persetujuan.

Dalam perkembangannya bahwa kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya pihak yang memiliki posisi tawar  lebih kuat cenderung menguasai pihak yang  memiliki posisi tawar yang lebih lemah. Fakta ini banyak kita lihat dalam berbagai praktek-praktek dalam jual beli property dalam bidang perjanjian melalui pembayaran secara kredit (cicilan), dimana posisi pembeli/debitur dalam kenyataannya tidak memiliki posisi tawar.

Kemudian pada abad ke-20 timbul berbagai kritik dan keberatan terhadap kebebasan berkontrak baik berkaitan dengan akibat negatif yang ditimbulkannya maupun kesalahan berpikir yang melekat di dalamnya. Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya bergeser ke arah kepatutan. Dengan demikian, walaupun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum kontrak, baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia  tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang seperti pada abad ke-19, sekarang kebebasan berkontrak bukan lagi kebebasan berkontrak tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah batasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan  dan putusan  pengadilan.[9]

Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik , dimana itikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak, (2)   makin berkembang ajaran penyalahgunaan keadaan (undue influence). [10]
           
C.      Garis Besar Sumber-sumber Perikatan dan Sahnya Suatu Perikatan.

Perikatan diatur dalam buku III KUHPerdata, lebih jelasnya ditentukan dalam Pasal 1233 (tiap-tiap perikatan lahir baik karena persetujuan, dan  karena Undang-Undang.[11]

Perikatan yang bersumber dari perjanjian ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu : (1)   perjanjian bernama, contohnya  perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dsb. (2) perjanjian tidak bernama, contohnya leasing.

Perikatan yang bersumber dari undang-undang di bagi atas dua bagian yaitu: (1) karena undang-undang saja, dan (2) karena perbuatan manusia. Perikatan karena  perbuatan manusia dapat dibagi atas dua bagian yaitu: (a) perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechmatig) dan (b) perbuatan yang melawan hukum atau disebut juga perbuatan melanggar hukum (ontrechtmatig).[12]

Dalam makalah ini penulis hanya menekankan perikatan  yang bersumber dari  suatu perjanjian; oleh karena itu syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah:
1.          Sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya.
Maksud dari pengaturan ini adalah bahwa para pihak yang akan membuat suatu perjanjian harus lebih dulu sepakat mengenai substansi yang akan dimuat dalam suatu perjanjian. Kata sepakat tidak akan sah kalau diberikan karena adanya kesilafan, paksaan ataupun penipuan/penyesatan (Pasal 1321 KUHPerdata).

2.         Kecapakan untuk membuat suatu perjanjian.
Pada dasarnya setiap orang memiliki kecakapan untuk membuat suatu suatu perjanjian, kecuali undang-undang menyatakan tidak cakap untuk itu (Pasal 1329 KUPerdata). Kemudian menurut Pasal 1330 KUHPerdata mereka yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: (a) orang yang belum dewasa, (b) mereka yang berada di bawah pengampuan, dan semua orang karena dilarang membuat suatu perjanjian sebagaimana telah ditentukan dalam suatu undang-undang. Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.

3.         Adanya suatu hal tertentu/objek tertentu.
Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian yang harus jelas ditentukan dalam suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata suatu perjanjian harus jelas mencantumkan objek barang atau sesuatu hal yang diperjanjikan, kalau suatu barang paling tidak menyebutkan jenisnya.  Pasal 1332 menentukan bahwa hanya  barang-barang yang dapat diperdagangkan  saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian, demikian juga barang-barang yang akan ada dikemudian hari dapat juga diadakan sebagai objek perjanjian Pasal 1334 (1) KUHPerdata.

4.         Adanya suatu sebab yang halal
Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian yang harus jelas ditentukan dalam suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata suatu perjanjian harus jelas mencantumkan objek barang atau sesuatu hal yang diperjanjikan, kalau suatu barang paling tidak menyebutkan jenisnya.  Pasal 1332 menentukan bahwa hanya  barang-barang yang dapat diperdagangkan  saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian, demikian juga barang-barang yang akan ada dikemudian hari dapat juga diadakan sebagai objek perjanjian Pasal 1334 (1) KUHPerdata.
                   
Persyaratan ”a” (sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya) dan ”b” (kecakapan untuk membuat suatu perjanjian) dalam suatu perjanjian disebut syarat ”subjektif”. Apabila syarat subjektif ini tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu  pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian dibatalkan.  Persyaratan ”c” (adanya suatu hal tertentu/objek tertentu) dan ”d”  (adanya suatu sebab yang halal)  dalam suatu perjanjian disebut syarat ”objektif”. Apabila syarat objektif tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya dari sejak semula perjanjian tersebut batal dan tidak mungkin menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Jadi perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum adalah perjanjian yang batal demi hukum.

Semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak memiliki kekuatan yang sama seperti undang-undang bagi mereka yang mengikatkan dirinya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 KUHPerdata[13].  
 
D.      Subjek Hukum Dalam Perjanjian Kontrak.

Subjek hukum secara universal adalah manusia  alami (natuurlijk persoon) dan  badan hukum (recht persoon), baik dalam hukum publik maupun hukum privat. Negara beserta komponen-komponennya termasuk bagian dari hukum publik. Dalam hukum privat atau keperdataan manusia atau badan hukum menjadi subjek hukum yang dapat tindakan hukum (membuat perjanjian/kontrak). Badan hukum dalam perkembangan istilah yang lebih luas sering disebut juga sebagai kooporasi (coorporate).[14]

Manusia alami sebagai subjek hukum dalam membuat kontrak tidak ada masalah, karena setiap manusia memiliki hak dan kewajiban. Hanya saja dalam menggunakan hak dan kewajibannya ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, misalnya tentang kecakapan dan kemampuan untuk bertindak secara hukum.

Walaupun istilah badan hukum sudah lama ada/disebut dan sering dipergunakan dalam hubungan-hubungan hukum, peristiwa hukum dan akibat hukum  namun pengertiannya belum tuntas. Menurut pendapat  Ali Ridho bahwa:
Mengenai perwujudan dari badan hukum sesudah berabad-abad lamanya menjadi perselisihan dan perjuangan pendapat dari para ahli hukum. Selama belum dapat dikemukakan suatu pandangan dan pendapat yang tepat dan benar di dalam metode dari bentuk-bentuk pengertian umum dan dalam nilai bagi ilmu pengetahuan pada umunya dan bagi tafsiran peraturan perundang-undangan pada khususnya, maka selama itu pula akan tetap merupakan perjuangan pendapat.[15]

Persoalan mengenai  badan hukum adalah persoalan teori hukum, oleh karena itu banyak ahli hukum yang mengemukakan teori tentang badan hukum, namun bukan persoalan tentang teori[16] yang diutamakan,  namun dalam lalu lintas hubungan manusia dalam masyarakat terkait dengan hak dan kewajibannya, sebagai prinsip yang tidak terpisahkan dari keberadaan manusia yang memiliki harta kekayaan, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi bagian dari objek suatu perjanjian.

Beberapa ketentuan yang menentukan suatu perkumpulan atau koorporasi sebagai badan hukum antara lain UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 27 Tahun 2004,[17]  UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.[18]

Dalam pembahasan lebih lanjut penulis akan menguraikan ketentuan yang terkait dengan Badan Hukum Perseroan Terbatas sebagai salah satu subjek hukum yang banyak terkait dengan usaha korporasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan dalam aktivitasnya untuk  mencari keuntungan (profit). Dengan kata lain  prinsip pendirian suatu Perseroan Terbatas adalah untuk mendapatkan keuntungan melalui transaksi-transaksi atau perikatan yang dibuat antara satu subjek hukum dengan satu subjek hukum yang lain (antara naturlijke persoon dengan recht persoon) dan dalam dunia perdagangan,  baik antara satu negara maupun dengan negara lain hampir tidak dikenal lagi perjanjian yang dibuat secara pribadi (naturlijke person).

E.       Badan Hukum Perseroan Terbatas.               

Ketentuan yang mengatur mengenai eksistensi Perseroan Terbatas adalah UU Nomor 40 Tahun 2007, yang mengganti UU Nomor 1 Tahun 1995. Salah satu alasan penggantian dari UU Nomor 1 Tahun 1995 dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 adalah telah diatur: (1)  sistem pendaftaran Badan Hukum PT. (2) pengajukan permohonan dan pemberitahuan persetujuan perubahan anggaran dasar,  dan (3)  penyampaian pemberian dan penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dan/atau pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan data lainnya, yang dilaksanakan  secara elektronik,  di samping tetap dimungkinkan menggunakan sistem manual dalam keadaan tertentu. Demikian juga dapat dilaksanakan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham  (RUPS) dengan menggunakan fasilitas elektronik seperti teleconference, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya.

Sebenarnya kalau dibandingkan substansi yang semula ditentukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tidak banyak berbeda dengan yang ditentukan dalam UU Nomor 40 Tahun 2007, namun untuk percepatan demi efisiensi dan keterbukaan maka perlu dilakukan penggantian untuk merespon dan mengakomodir perkembangan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat/duani bisnis.

Kalau diperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas[19], sebuah PT sebagai badan hukum harus memenuhi persyaratan yaitu: (1) merupakan persekutuan modal, (2)  didirikan berdasarkan perjanjian, (3)  kegiatan usaha yang dibagi dalam beberapa saham.

Dalam UU Perseroan Terbatas perlu kita pahami bagaimana dan kapan Perseroan Terbatas disebut sebagai suatu  badan hukum?
Bagaimana  pertanggungjawaban  pengurus dari suatu Badan Hukum Perseroan Terbatas dilaksanakan oleh pengurus baik dalam kasus perdata maupun kasus pidana.

Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT).

a.         Setiap PT adalah badan hukum.
Artinya badan yang telah memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. Perseroan memperoleh status badan hukum setelah diterbitkan Keputusan Menteri Kehakiman mengenai pengesahan badan hukum perseroan (vide Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 40 Tahun 2007). Suatu Perseroan Terbatas yang belum terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM untuk memperoleh status badan hukum, maka kalau ada perbuatan yang dilakukan oleh calon pendiri untuk kepentingan perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya. Kalau tidak mendapat persetujuan dari RUPS sebagaimana jangka waktu yang telah ditentukan, setiap calon yang melakukan perbuatan melawan hukum bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang ditimbulkannya.

b.         PT didirikan berdasarkan suatu perjanjian kontrak.
Setiap PT didirikan berdasarkan perjanjian kontrak, artinya bahwa harus ada dua orang atau lebih pemegang saham yang telah setuju untuk mendirikan satu PT, yang harus dibuktikan secara tertulis tersusun dalam bentuk Anggaran Dasar (AD), kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di muka notaris, dan setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Dengan demikian tidak ada PT yang hanya didirikan oleh satu orang pemegang saham dan tanpa akte notaris. Ketentuan ini merupakan asas dalam pendirian suatu PT.

c.         Substansi yang dimuat dalam Anggaran Dasar (AD).
Yang dimuat dalam AD adalah nama, alamat, dan tempat dan tanggal lahir, profesi tempat tinggal dan kewarganegaraan dari pendiri, para anggota dewan direksi dan komisaris yang pertama diangkat. Kemudian nama-nama pemegang saham yang mengambil bagian serta rincian jumlah sahamnya (ditempatkan, dan telah disetor pada saat pendirian.

d.        PT melakukan kegitan usaha.
Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi (industri, dagang dan usaha) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Oleh karena itu supaya kegiatan usaha itu sah harus memperoleh izin usaha dari pihak yang berwenang. Untuk melakukan kegiatan usaha harus ada modalnya, modal perseroan terbagi atas saham.

e.         Modal dasar PT.
Setiap Perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan yang terpisah dari harta kekayaan pribadi, pendiri, organ perseroan[20] atau pemegang saham. Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) (vide Pasal 32 UU No. 40 Tahun 2007).

f.          Asas publisitas.
Setiap Perseroan yang telah didirikan wajib didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan status badan hukum, dengan berbagai persyaratan yang telah ditentukan, kemudian diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Pengumuaman Perseroan ini adalah untuk  memenuhi prinsip publisitas, supaya umum mengetahui keadaan statu Perseroan. Dengan adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara setiap orang dianggap mengetahui menurut hukum sesuai asas bahwa “setiap orang dianggap mengetahui hukum kalau status hukum telah dimuat dalam Lembaran atau berita negara”.

g.         Tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Setiap Persero yang melaksanakan kegiatan usahanya dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, yang dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
                  
F.       Pertanggungjawaban Pengurus dalam Perseroan Terbatas.

Masalah  pertangungjawaban dalam Perseroan Terbatas sesuatu yang menarik untuk dibahas, karena  pertanggug jawaban yang terdapat di dalam Perseroan sebagai badan hukum berbeda dengan pertanggungjawaban  yang dibebankan kepada subjek hukum individu manusia (natuurlijke person) walaupun ada persamaannya  dengan badan hukum sebagai subjek hukum (recht person).

Pertanggungjawaban subjek hukum individu tidak banyak menimbulkan  persoalan bila dilihat dari segi pembuktian,  baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana, karena hubungan-hubungan hukum yang dilakukan dan peristiwa hukum yang terjadi tidak memerlukan dokumen-dokumen resmi atau akta-akta autentik dalam kaitannya dengan peristiwa hukum sebagai akibat dari perbuatan individu. Akan tetapi kalau menyangkut subjek badan hukum (recht person) akan menimbulkan banyak persoalan, karena akan terkait dengan pembuktian yang dibuat/diciptakan badan terkait dengan bukti-bukti surat autentik.

Dalam Pasal 92[21] UU Nomor 40 Tahun 2007 secara juridis formil telah dinyatakan siapa yang mengemban/memikul tanggung jawab, mekanisme pertanggungjawaban  Perseroan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam bertindak untuk dan atas nama Perseroan. Misalnya Direksi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi kalau dalam melaksanakan kewajibannya lalai/salah, kalau Direksi lebih dari tiga orang, maka beban tanggung jawab dilaksanakan secara tanggung renteng. Namun pada akhirnya juga yang paling berat menanggung bebas ganti rugi kalau Perseroan mengalami kerugian adalah para pemegang saham kecuali dibuktikan direksi salah/lalai dalam melaksanakan kewajibannya, (lihat Pasal 104).[22]

Pertanggungjgawaban Persero atau badan hukum/korporasi dalam peritiwa pidana menyangkut beberapa teori antara lain: teori strict liability, vicarious liability, delegations, identifications, agrregation dan corporate fault.[23] Dan dalam perkembangannya saat ini yang paling banyak dan kecenderungan yang digunkan adalah pertanggungjawaban strict liability. 














DAFTAR  PUSTAKA


DAFTAR BUKU
1.        Budiono, Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta, 1999, cet. 1.
2.        Soedjono Dirdjosisworo, Memorandum Hukum,  Ghali Indonesia, Jakarta, 2002, cet. 1.
3.        Esther Juniar Panggabean, Pemenuhan Kewajiban Adat Sebagai Bagian Dari Sanksi Pidana Dalam RKUHP Konsep 2008, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.
4.        Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pedekatan Restoratif  Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Ringkasan Disertasi Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Sistem Peradilan Pidana, 20 Juni 2009.
5.        Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Law School, Boston, 1997.
6.        Ibrahim Johannes, Hukum Bisnis, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, cet. 1.
7.        M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.
8.        Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, cet. 1.
9.        R.M. Panggabean, Budaya Hukum Hakim di Bawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter (Studi Tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI 1950-1965), Pusat Studi Hukum Ekonomi Universitas Indonesia Fakutas Hukum, Jakarta,Cet. 1
10.    R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1987, cet. iv.
11.    Ridwak Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Jakarta, 2003.
12.    Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. 1.
13.    Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, cet. 1.
14.    Sumantoro, Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta, 1986, cet. 1.


DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.             Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.             _______________, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
3.             _______________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4.             _______________, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1986 tentang Perikanan.
5.             _______________, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
6.             _______________, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
7.             _______________, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
8.             _______________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
9.             _______________, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
10.         _______________, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Kepabeanan.
11.         _______________, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Yayasan.
12.         _______________, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Cukai.
13.         _______________, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.




[1] Pengertian Hukum Ekonomi menurut Sumantoro dalam bukunya: Hukum Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 1986), cet. 1, adalah  “hukum yang mengatur kegiatan bidang ekonomi meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, hubungannya dengan bidang hukum yang lain serta bidang-bidang yang dikajinya , sehingga dirasakan tidak perlu diperdebatkan lagi.   
[2] Hubungan hukum adalah segala macam hubungan, yang terjadi di dalam pergaulan dalam masyarakat antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara seseorang dengan Negara dan antara orang dengan benda, hubungan-hubungan mana diatur oleh hukum dan menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa jika hubungan tersebut dilanggar oleh satu pihak yang bersangkutan dapat diajukan ke muka pengadilan. Akibat hukum yang timbul dari hubungan hukum, misalnya: perjanjian jual beli yang memberikan hak dan kewajiban bagi penjual maupun pembeli. Apa yang menjadi hak  pembeli merupakan kewajiban bagi penjual demikian sebaliknya. Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalamnya lalu diwujudkan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apabila dalam masyarakat timbul suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu sesuai dengan yang dilakukan dalam peraturan hukum, maka peraturan itu pun lalu dikenakan kepada peristiwa tersebut.
[3] Menurut  M. Yahya  Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), Tanpa (cet.)  hal. 6, memberikan pengertian tentang ”Perjanjian (verbintenis)”, yaitu suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak dan satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
[4] Soedjono Dirdjosisworo, Memorandum Hukum,  Ghali Indonesia, Jakarta, 2002, cet. 1., hal. 23.
[5] Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Law School, Boston, 1997, hal. 224.
[6] Ridwak Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Jakarta, 2003, tanpa cet., hal. 1
[7] Johannes Ibrahim, Hukum Bisnis, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, cet. 1., hal. 39.
[8] Ibid., hal. 40.
[9] Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal. 1 dan 2.
[10] Ibid., hal. 3. Mengutip juga pendapat  Purwahid, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit Univ. Diponegro, 1986), hal. 9-10, mengatakan bahwa terjadinya berbagai pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan: (1)   berkembangnya dalam lapangan ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum atau perseroan-perseroan dan golongan-golongan masyarakat  lain (misalnya golongan buruh dan tani); (2) terjadinya pemasyarakatan (vermaatschappelijking) keinginan adanya keseimbangan antara individu dan masyarakat yang tertuju kepada keadilan sosial; (3) timbulnya formalisme perjanjian; (4) makin  banyak peraturan di bidang tata usaha negara.  
[11] Lihat pendapat Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, cet. 1., hal. 1, memberikan defenisi tentang perikatan adalah suatu hubungan hukum, antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Lihat juga  R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1987, cet. iv., hal. 1. perikatan adalah suatu hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum.
[12] Lihat pendapat P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jembatan, Jakarta, 1999, tanpa cet., hal. 323.
[13] Pasal 1338 KUHPerdata menentukan: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik.  
[14] Koorporasi menurut UU Nomor 5 Tahun 1997 memberikan batasan adalah: kumpulan terorganisir dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.  Lihat juga UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 telah menentukan defenisi yang sama.
[15] Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,  Alumni, Bandung, 1991, hal. 9.
[16] Teori-teori tentang badan hukum adalah : (1) Teori fiksi dari Friedrich Carl von Savigny, (2) Teori Organ dari Otto von Gierke , (3) Teori kekayaan bersama dari Rudolf von Jhering, (4) Teori kekayaan bertujuan dari A. Brinz dan (5) Teori kenyataan juridis dari M.E. Meijers.
[17] Pasal 1 butir 1 menentukan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang social, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
[18] Pasal 1 butir 1 menentukan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjiam, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU ini serta peraturan pelaksanaannya. Dalam Black Law Dictionary ( 1979: 307)  diberikan penjelasan sbb: Corporation: An artificial person or legal entity created  by or under the authority of the law of state  or nation, composed, in some rare instances, of a single person and his successor, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of and association of numerous individuals. Lebih lanjut dikemukakan:  According to the accepted definitions and rules, a corporation are classified as public and private. A public corporation is one created by the state for political purpose and to act as an agency  as administration  of civil government, generally within a particular
[19] UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terdiri dari 161 Pasal; sedangkan UU Nomor Pasal 1 Tahun 1995, 129 Pasal.  Dengan demikian rumusan subtansi yang ditentukan dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 jauh lebih lengkap.
[20] Organ Perseroan menurut Pasal 1 butir 2 UU Nomor 40 Tahun 2007 adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.
[21] Pasal 92 ayat (1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Ayat (2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UU ini  dan/atau anggaran dasar.
[22] Pasal 104 ayat (4): Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan  perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila dapat membuktikan: (a)   kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; (b)   telah melakukan pengurusan dengan etikat baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; (c)   tidak mempunyai benturan baik langsung maupun tidak atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan (d) telah melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
[23] Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, cet. 1, hal. 77-113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan