Cari Blog Ini

Jumat, 19 Agustus 2011

RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DARI PERSPEKTIF POLRI SEBAGAI PENYIDIK

BAB I


A.      Pendahuluan
 Qua vadis Rancangan Undang-Undang tentang HAP” (mau dibawa kemana RUU Hukum Acara Pidana (disingkat RUU HAP). Tentu istilah ini bagi penulis menjadi sesuatu yang masih dipertanyakan, kemana arah dan kebijakan yang terkait dengan RUU HAP. Jelas hal ini menjadi bagian dari politik hukum.[1] Penulis tertarik dengan ucapan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.,: ”yang harus ditanggulangi terlebih dahulu ialah manusia pelaksana undang-undang, bukan undang-undangnya.”[2]

Kenyataan saat ini kita cenderung selalu ingin mengganti peraturan perundang-undangan (bukan sekedar merevisi pasal-pasal tertentu) kendatipun suatu undang-undang belum lama diberlakukan, seolah-olah kesalahan dan/atau masalah penegakkan hukum (law enforcement) di Indonesia yang jauh dari harapan para justiciabel semata-mata terletak pada substansi peraturan perundang-undangan. Bahkan ada ucapan yang sering diplesetkan beberapa kalangan tentang adanya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang tugasnya adalah membuat dan merumuskan satu undang-undang melalui mekanisme yang telah ditentukan, tetapi menjadi satu ”proyek nasional” (tanda petik dari penulis).

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sama sekali tidak alergi mengikuti dan mengantisipasi/setiap perkembangan zaman terutama perkembangan dalam era globalisasi dan informatika sebagai bagian dari revolusi kemajuan ilmu pengetahuan (iptek). Hal ini karena bila perkembangan tersebut tidak diikuti, Polri akan menjadi sasaran atau korban dari perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, Polri harus ikut mengambil bagian di dalamnya. Hal in perlu disikapi karena perubahan tersebut dikaitkan dengan eksistensi Polri[3] saat ini sebagai salah satu produk era reformasi (pemisahan Polri dari TNI), yang ditandai dengan berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dan menyikapi betapa perlunya juga dilakukan pembangunan hukum dalam tataran sistem hukum, karena Polri merupakan sub-sistem dari sistem hukum itu sendiri. Pembangunan sistem hukum tidak selalu merubah substansi hukum karena kebijakan penegakan hukum yang harus dilakukan dengan baik, tentu merupakan bagian pembangunan sistem hukum itu sendiri (membangun budaya hukum/legal culture)[4]. Tentu saja setiap perubahan yang akan dilakukan oleh stakeholder tidak saja hanya memperhatikan satu sektor saja, namun harus dilihat secara menyeluruh (the whole), termasuk berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dan yang sederajat, agar jangan sampai terjadi berbagai benturan maupun overlapping kewenangan antar instansi.

Terkait dengan RUU HAP, berbagai pandangan dalam masyarakat muncul. Apabila diklasifikasikan, terdapat tiga pandangan: pertama, tidak perlu dilakukan perubahan terhadap HAP, yang penting budaya atau perilaku para pelaksana penegak hukum diperbaiki (perilaku penyidik, penuntut umum (PU), hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat); kedua, menginginkan perubahan (revisi) beberapa pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan perlindungan HAM (tersangka maupun korban/saksi); dan ketiga, harus diganti atau dirubah secara total/menyeluruh, karena dianggap HAP yang ada saat ini kurang responsif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat internasional (terutama yang terkait dengan masalah-masalah perlindungan HAM tersangka/terdakwa maupun saksi/korban).

Antara pandangan pertama dan kedua tidak dimaksudkan untuk dipolemikkan, tetapi sekedar untuk memberikan gambaran dari kondisi saat ini yang terjadi di dalam masyarakat, namun bagaimanapun karena konsep RUU HAP sudah dibahas dan pilihan adalah bagian yang ketiga yaitu dilakukan perubahan secara total, substansi itulah yang nantinya menjadi fokus pembahasan penulis dalam seminar ini.

Tentunya pandangan-pandangan tersebut menjadi bagian dari permasalahan yang perlu diutarakan dalam makalah ini terutama dalam kaitannya dengan proses penyidikan sebagai bagian dari kewenangan Penyidik Polri/penyidik umum, dan terhadap pandangan tersebut perlu diberikan kritikan agar dalam melakukan perumusan suatu undang-undang tentunya harus dibuat yang responsif dan/atau dapat mengakomodir kepentingan pencari keadilan terutama terkait dengan perlindungan HAM.

B.       Pandangan Mempertahankan  UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang HAP
Tujuan HAP dibentuk adalah untuk memberikan batasan atau alur-alur yang harus dilalui oleh penegak hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang paling keras (ultimum remidium) dari berbagai hukum lainnya, karena sanksi yang ada di dalamnya mulai dari yang ringan sampai hukuman yang paling keras seperti sanksi pencabutan nyawa terpidana demi keadilan. Hukum dan hukuman secara konsepsional berakar dari gagasan tentang keadilan[5]. Itulah sebabnya materi hukum acara pidana harus diatur sedemikian rupa agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan pelanggaran maupun penyelewengan (abuse of power) yang mengakibatkan kepastian hukum dan sekaligus hak-hak para pencari keadilan (tersangka, terdakwa, saksi, korban dan masyarakat) terabaikan. Dengan demikian pijakan mendasar dalam hukum acara pidana adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial). Jaminan peradilan yang adil merupakan bagian dari HAM yakni hak untuk memperoleh proses peradilan yang adil (right to a fair trial). Itulah tugas negara, yaitu melindungi warganya dari segala perbuatan yang sewenang-wenang (abuse of power). Tugas dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap warganya merupakan bagian dari teori perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke dan Thomas Hobbes dalam teorinya du contract social dan  factum subjectionis[6].

Sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan terhadap tugas negara untuk melindungi warganya, perlu ada prinsip-prinsip yang harus diakomodir. Oleh karena itu HAP telah memuat beberapa asas-asas/prinsip-prinsip hukum yang merupakan bagian universal yaitu[7]:  (1) asas legalitas, (2) asas equal before the law (kesamaan di depan hukum), (3) asas penggeledahan dan penyitaan hanya dilaksanakan berdasarkan atas izin ketua pengadilan, (4) asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah), (5) asas pemberian ganti rugi, (6) asas pembatasan penahanan, (7) penggabungan perkara ganti rugi, (8) unifikasi, (9) diferensiasi fungsional, (10) koordinasi, (11) peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak yang harus diterapkan secara konsekuen pada semua tingkat peradilan, dan (12) pengawasan terhadap putusan pengadilan.

HAP yang sudah berlaku hampir 27 (dua puluh tujuh) tahun, sebenarnya telah mengakomodir sebagian besar perlidungan terhadap HAM utamanya HAM tersangka/terdakwa, baik menurut standar nasional sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi UUD Negara RI 1945 maupun standar-standar internasional, meliputi: (a) hak untuk segera diperiksa dan diadili (vide Pasal 50 HAP), (b) hak untuk diberitahukan tentang apa yang disangkakan/didakwakan (vide Pasal 51 HAP), (c) hak untuk memberikan keterangan secara bebas (vide Pasal 52 HAP), (d) hak untuk mendapatkan juru bahasa (vide Pasal 53 HAP), (e) hak  untuk mendapatkan bantuan hukum (vide Pasal 54 HAP), (f) hak untuk memilih penasehat hukum (vide Pasal 55 dan 56 HAP), (g) hak untuk menghubungi penasehat hukum (vide Pasal 57 HAP), (h) hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter (vide Pasal 58 HAP), (i) hak untuk pemberitahuan penahanan kepada keluarga (vide Pasal 59 HAP), (j) hak menghubungi keluarga untuk jaminan penangguhan penahanan (vide Pasal 60 HAP), (k) hak untuk menghubungi keluarga untuk masalah pekerjaan/keluarga (vide Pasal 61 HAP), (l) hak mengirim/menerima surat dari penasehat hukum atau keluarga, (vide Pasal 62 HAP), (m) hak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (vide Pasal 63 HAP), (n) hak untuk diadili dalam persidangan yang terbuka (vide Pasal 64 HAP), (o) hak untuk mengajukan saksi, ahli yang menguntungkan tersangka (vide Pasal 65 HAP), (p) hak untuk tidak dibebani pembuktian (vide Pasal 66 HAP), (q) hak untuk meminta banding (vide Pasal 67 HAP), dan (r) hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi atas tindakan yang tidak sah dari penyidik atau PU (vide Pasal 68 HAP).             
Disamping itu, dalam pelaksanaan sehari-hari HAP telah (semakin) melembaga di kalangan masyarakat maupun aparat penegak hukum. Itulah sebabnya dalam berbagai pertemuan ilmiah maupun forum-forum pertemuan penegakkan hukum selalu mengatakan bahwa HAP merupakan karya agung bangsa Indonesia. Hal ini karena produk hukum tersebut dianggap telah memiliki karakteristik hukum yang responsif, yaitu tumbuh dan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan HAM, sekaligus telah mengganti produk hukum kolonial Belanda (HIR/RIB) yang kita anggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, utamanya jelas telah bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan terhadap HAM tersangka/terdakwa dan korban, sebagai akibat, antara lain:  (1) tidak jelas memuat prinsip-prinsip penegakkan hukum sebagaimana yang telah ditentukan dalam berbagai ketentuan internasional, (2) tidak jelas batasan pengaturan kewenangan antara penyidik dengan PU dalam melakukan penyidikan, (3) tidak ada pengawasan yang jelas, utamanya pengawasan yang bersifat horizontal, antara unsur-unsur yang terkait dengan Integrated Criminal Justice System (ICJS), (4) tidak ada pengaturan batasan penahanan yang jelas pada setiap elemen penegak hukum utamanya antara kewenangan Penyidik Polri dengan PU, (5) tidak jelas batasan pemberian bantuan hukum, dan (6) tidak jelas adanya pemberian ganti rugi terhadap tersangka maupun korban.

Sebenarnya bila diperhatikan substansi UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang HAP dan juga beberapa substansi dari International Covenant On Civil Rights And Politic (ICCPR)[8],  pengaturan tentang prinsip-prinsip perlindungan terhadap HAM tersangka/terdakwa, saksi dan/atau korban sudah diakomodir, bahkan yang agak minim diakomodir adalah perlindungan terhadap korban dan/atau saksi, karena kalau diperhatikan dalam HAP hanya ada 3 (tiga) pasal yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban (vide Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 100 HAP).

Beberapa substansi yang sangat urgent sampai saat ini telah ditentukan dalam HAP, namun dalam kenyataannya masih banyak yang belum dijalankan oleh unsur-unsur penegak hukum yang terkait dalam ICJS walaupun pemberlakuan HAP sudah 27 (dua puluh tujuh tahun) antara lain: (1) Penyidik masih banyak yang belum melaksanakan dalam proses penyidikan berupa “segera menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada PU. Tujuannya agar PU lebih mudah melakukan koordinasi dalam hal pemberian petunjuk demi penyempurnaan berkas perkara. Namun hal ini sering tidak dilaksanakan oleh Penyidik Polri, bahkan SPDP baru diserahkan bersama-sama dengan penyerahan berkas perkara tahap satu. (2) Demikian juga dalam hal PU melimpahkan perkara kepada pengadilan untuk disidangkan wajib menyerahkan tembusan Surat Dakwaan kepada Penyidik Polri sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat 4 [9] Yo. Pasal 144 ayat (3)  HAP. (3) Demikian juga tentang penyediaan Rutan dan Rupbasan yang seharusnya ada pada tiap-tiap kabupaten dan kota, namun dalam kenyataannya sampai saat ini belum tersedia. Karena keterbatasan dana atau biaya. (4) Masalah bolak-balik perkara sudah jelas ditentukan dalam HAP, hanya satu kali, namun dalam praktek dilaksanakan beberapa kali, maka yang rugi adalah para pencari keadilan.

C.      Pandangan Melakukan Revisi/Perubahan Terhadap HAP

Sebagaimana penulis uraikan sebelumnya, jika disimak dari beberapa pendapat para pakar hukum, baik yang bergerak di bidang akademi, praktisi serta para pengamat atau pemerhati penegakkan hukum di Indonesia, menginginkan adanya perubahan (revisi) atas beberapa pasal tertentu yang dianggap selama ini menjadi pusat kelemahan dalam pelaksanaan HAP,  yang berdampak pada ketiadaan kepastian hukum dan keadilan bagi tersangka/terdakwa, saksi dan atau korban serta masyarakat lainnya. Namun perubahan yang dikehendaki tidaklah semata-mata melakukan perubahan secara total, karena subtstansi yang ada masih lebih banyak yang relevan jika dibandingkan dengan beberapa perubahan yang dilakukan oleh panitia RUU HAP, baik dilihat dari jumlah bab maupun pasal serta substansi yang dimuat.

Upaya untuk menyempurnakan HAP haruslah diawali dengan kajian efektivitas HAP itu sendiri, sehingga dapat dianalisis bagian-bagian mana yang kurang sempurna atau tidak jalan atau sering jadi benturan dalam mekanisme pelaksanaannya untuk diperbaiki. Perbaikan HAP bukan harus mengganti sistem yang lama dengan sistem yang baru, apalagi sistem yang baru belum teruji efektivitasnya. Betapun baiknya sistem dibuat  namun bila tidak dapat diterapkan dengan konsekuen, hasilnya pasti tidak optimal seperti yang terdapat dalam HAP selama ini.

Beberapa substansi yang perlu mendapat perubahan dari HAP, karena selama ini dianggap tidak efektif dilaksanakan, bila diidentifisir antara lain menyangkut hal-hal:

1.         Sistem kontrol yang lemah
Sistem kontrol terhadap penyidik dan PU dalam melakukan penyidikan dan penuntutan. Sistem kontrol yang selama ini dilaksanakan adalah melalui lembaga pra peradilan, yaitu untuk menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan, penuntutan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.[10]
Lembaga ini banyak yang berpendapat kurang efektif, karena:
a.         yang dipersoalkan hanya masalah formal administrasi di bidang penyidikan yang terkait dengan pelaksanaan upaya paksa; dan 
b.        terjadi berbagai rekayasa baik antara hakim dengan pemohon atau kuasanya maupun  antara penyidik dengan hakim;

2.         Bolak-balik perkara (ketentuan dalam HAP tidak dipatuhi)                
Tidak ada satu sistem yang ketat untuk mengawasi agar satu perkara tidak bolak-balik  antara penyidik dengan PU, kendatipun di dalam HAP tidak disebutkan pengaturan boleh bolak-balik secara tegas. Namun dalam kenyataannya satu perkara bisa beberapa kali bolak-balik. Jelas hal ini akan merugikan para pencari keadilan. Alasan dari PU antara lain, karena yang akan membuktikan di persidangan adalah PU oleh karena itu PU tidak mau membawa perkara ke persidangan kalau tidak kuat bukti-buktinya. Demikian juga ada alasan yang dikemukakan oleh penyidik, bahwa sebenarnya bukti-bukti yang diminta oleh PU sudah lengkap hanya saja PU-nya yang kurang memperhatikan/membaca. Jadi ada tolak-tarik kepentingan yang kurang sehat diantara kedua unsur penegak hukum ini, lebih-lebih bila terdapat saling keberpihakan yang bertolak belakang kepada pelapor atau kepada tersangka. Padahal prinsip yang telah ditekankan dalam HAP (ICJS) yang intinya telah ada pembidangan fungsi tugas dan wewenang, dan tidak boleh ada elemen-elemen yang merasakan lebih penting dari elemen yang lainnya, bahkan jangan sampai ada yang beranggapan bahwa satu elemen merupakan sub-ordinasi dari elemen lainnya[11], karena sifat sistem yang terintegrasi haruslah saling mendukung dan mengisi kekurangan yang satu. Indikasi ini menunjukkan ketiadaan koordinasi yang kurang baik antara PU dengan Penyidik Polri[12], hal yang sama juga disampaikan oleh  Romli Atmasasmita sebagai berikut:
Masalah kerja sama dalam bidang penyidikan dan penuntutan antara Penyidik Polri dan PU pada Kejaksaan Agung sejak diberlakukannya KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA dengan Undang-Undang 8 tahun 1981 27 tahun yang lampau, ternyata belum juga dapat diatasi secara baik antara kedua institusi penegak hukum tersebut. Ketidaksinergian dan ketidakharmonisan antara kedua institusi tersebut terutama sangat nyata dalam penyidikan kasus-kasus tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang bersifat nasional dan menarik perhatian masyarakat luas.[13]

3.         Belum ada pembatasan waktu penyelesaian perkara pada setiap tingkat pemeriksaan.
Di dalam HAP tidak diatur secara tegas tenggang waktu untuk menyelesaikan suatu perkara baik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan pengadilan. Batasan yang ada adalah jangka waktu penahanan yang diberikan terbatas pada setiap tingkat pemeriksaan. Kalau waktu yang diberikan terlampaui, maka  tersangka atau terdakwa harus dibebaskan demi hukum.

4.         Mengenai alat bukti supaya diperluas
Alat bukti yang terdapat di dalam Pasal 184 HAP sudah ketinggalan zaman terutama kalau dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti perkembangan informasi dan teknologi yang mengharuskan alat-alat bukti harus ditambah, sehingga tidak tersebar di berbagai peraturan seperti yang ada saat ini, antara lain dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang mengenai pemberantasan pencucian uang, dan undang-undang mengenai pemberantasan terorisme (walaupun sebenarnya telah dimuat dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi).[14]
5.           Pasal-pasal multitafsir.
Terdapat beberapa ketentuan yang sering menimbulkan multitafsir, berakibat menimbulkan masalah antara lain:
a.          Pengertian dalam ”keadaan mendesak” yang mengakibatkan penyidik melakukan upaya paksa berupa melakukan penggeledahan dan penyitaan tanpa ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan alasan sangat mendesak, berakibat mendapat protes dari pihak yang dirugikan dan akhirnya diajukan ke pra peradilan.
b.         ”Bukti permulaan yang cukup” tidak jelas batasannya sehingga menimbulkan salah  tangkap dan penahanan. Hasil Forum Mahkejahpol yang pernah dibuat awal berlakuknya HAP sering ditentang oleh penasehat hukum karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang mandiri.            
c.          ”Mengenai tertangkap tangan” yang diartikan sebagai perbuatan ”tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau segera setelah beberapa saat tindak pidana dilakukan atau sesaat kemudian ditemukan.... dst..., untuk penangkapan dalam keadaan tertangkap tangan tidak diperlukan adanya surat perintah, yang dipentingkan segera petugas menyerahkan tersangka dan barang bukti ke penyidik atau penyidik pembantu setempat.[15] Namun dalam keadaan tertangkap tangan sering dilakukan penangkapan dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan. Kalau dalam hal tertangkap tangan masih diberikan surat perintah penangkapan, menjadi tidak ada bedanya dengan perbuatan pidana biasa (di luar tertangkap tangan).

D.      Pandangan yang Menginginkan Pergantian Total HAP

Berbagai alasan yang menginginkan perubahan secara total terhadap HAP  memberikan berbagai alasan sbb:
1.           Untuk modernisasi, perlu mengadopsi berbagai perkembangan hukum internasional,[16] utamanya yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI dan erat kaitannya  dengan perlidungan terhadap HAM tersangka/terdakwa. Adapun berbagai konvensi internasional tersebut antara lain adalah: (1) ICCPR sebagaimana telah diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005.  Dalam Pasal 9 ayat (3)[17] Konvesi ICCPR yang intinya bahwa setiap orang yang ditangkap berdasarkan tuduhan pidana wajib segera dihadapkan kepada pengadilan yang  berwenang. Promtly atau secepatnya tidak ditentukan dalam limitasi waktu, tergantung pada kebijakan pengaturan dalam legislasi setiap negara. Di USA 2 X 24 jam, demikian juga di negara-negara Eropa Barat juga 2 x 24 Jam, kecuali kasus-kasus terorisme yang jauh lebih lama dari kejahatan biasa. (2) Konvensi internasional mengenai Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 5 Tahun 1998[18]. (3) Konvensi PBB tentang Peradilan Pidana Internasional (International Criminal Court) yang sampai saat ini belum diratifikasi Pemerintah Indonesia[19], dan masih banyak konvensi-konvensi internasional lainnya yang terkait dengan perlindungan terhadap HAM.[20]

2.           Perlu adanya penegasan pembedaan pengertian asas legalitas

3.           Pembatasan penahanan agar disesuaikan dengan konvensi-konvensi PBB perlu dilakukan
Hal Ini terkait dengan masalah penahanan yang dianggap selama ini telah menyalahi beberapa konvensi, misalnya Penyidik Polri mempunyai wewenang melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 (dua puluh)[21] hari dan dapat diperpanjang selama 40 (empat puluh) hari atas izin PU, kemudian dalam kasus-kasus dan dalam kondisi tertentu dapat diperpanjang selama 2 x 30 (dua kali tiga puluh)[22] hari atas izin PN.

4.           Penggantian lembaga pengawas
Memperkenalkan lembaga pengawas berupa Hakim Komisaris (HK)[23], yang kewenangannya merupakan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pra peradilan plus. Selama ini dianggap kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pra peradilan tidak efektif mengontrol tindakan penyidik maupun PU.

5.           Penekanan kerja sama/koordinasi
Untuk mengatasi berbagai kendala dalam pelaksanaan kerja sama antara Penyidik Polri dengan PU yang selama ini dianggap kurang berhasil, perlu dilakukan perubahan terhadap HAP, antara lain dalam hal melakukan upaya paksa berupa perpanjangan penahanan yang akan dilakukan oleh Penyidik Polri, penggeledahan, penyitaan,  penyadapan, koordinasi dengan PPNS (dihilangkan sifat pengawasan Penyidik Polri terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS), melengkapi berkas, dan pemeriksaan di persidangan untuk melengkapi pembuktian (karena dalam pemeriksaan di persidangan akan menggunakan sistem peradilan yang semi adverserial (semi adverserial system)).

6.           Perlu adanya pembatasan penyelesaian perkara Pidana
Selama ini tidak ada pembatasan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan (tingkat pertama, banding, dan Kasasi). Pembatasan ini perlu dilakukan demi kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

7.           Pembatasan yang tegas mengenai upaya hukum
Perlu ada pembatasan yang tegas mengenai upaya ”hukum luar biasa PK”, sehingga tidak terjadi seperti saat ini, bahwa terpidana, keluarganya atau kuasa hukumnya dapat mengajukan upaya hukum beberapa kali (ada yang dua kali bahkan ada yang tiga kali). Hal ini mengakibatkan tidak ada kepastian hukum. Termasuk juga kepastian hukum mengenai seseorang yang dibebaskan dari segala dakwaan atau tuntutan tidak boleh merugikan kepentingan hukum terdakwa sebagai akibat dikabulkannya upaya hukum ”luar biasa demi kepentingan hukum” yang diajukan oleh PU. Yurisprudensi ini bermula dari diterimanya oleh MARI upaya hukum luar biasa dalam kasus Muchtar Pakpahan di era Orde Baru, sehingga sampai saat ini menjadi suatu preseden bagi kasus-kasus lainnya.[24]

E.       Berbagai Tanggapan Atas Perubahan yang Mendasar Terkait Dengan Proses Penyidikan Dalam RUU HAP.

Mengacu kepada perubahan yang mendasar terkait dengan RUU HAP dalam konteks penyidikan yang dilakukan oleh Polri, terdapat beberapa hal yang sangat mendasar dan perlu disampaikan dalam makalah ini, sebagai berikut:

1.           Dihilangkannya lembaga penyelidikan dalam RUU HAP
Hal ini dilakukan oleh tim perumus, karena penyelidikan itu diserahkan sepenuhnya kepada ketentuan yang berlaku dalam instansi penegak hukum masing-masing. Padahal sebenarnya penyelidikan merupakan akses untuk memasuki proses penyidikan, sebaiknya tetap ada di dalam RUU HAP.[25] Tujuan penyelidikan adalah: (1) untuk mempertajam informasi sebelum penyidik melakukan penyidikan, (2) menghindari agar jangan salah dilakukan tindakan oleh penyidik, (3) menghindari agar jangan terjadi perbuatan yang berlebihan.

2.           Menghilangkan kewenangan pengawasan dalam hal PPNS melakukan penyidikan
Dalam Pasal 7 ayat 3 RUU HAP, pengawasan dalam hal PPNS melakukan proses penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang di bidangnya tidak diperlukan lagi, karena kedudukan PPNS dengan Penyidik Polri adalah sama, yang perlu dilakukan  adalah bagaimana koordinasi yang baik antara Penyidik Polri dengan PPNS. Tujuan koordinasi adalah untuk kelancaran proses penyidikan. Dengan kata lain adalah untuk menghilangkan kesan bahwa Polri seolah-olah atasan PPNS, serta menghilangkan kesan bahwa Penyidik Polri mempunyai kemampuan yang lebih dari PPNS. Oleh karena itu, sebaiknya harus ditambahkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat 3 RUU HAP ini bahwa tujuan koordinasi dikembangkan adalah: (a) agar sinergitas antara Penyidik Polri dengan PPNS, (b) menjamin kelancaran dalam memberikan bantuan taktis dan teknis antara Penyidik Polri dan PPNS, (c) untuk menangani perkara ganda yang berada di luar lingkup kewenangan PPNS.

3.           Koordinasi Penyidik Polri dengan PU sejak awal proses penyidikan 
Menurut Pasal 13 RUU HAP, yaitu dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan, memberitahukan kepada Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan, dua hari setelah dimulainya penyidikan. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan dalam melaksanakan penyidikan, maka penyidik berkoordinasi, berkonsultasi, dan meminta petunjuk kepada PU. Dalam hal ini koordinasi dan konsultasi penyidik dengan PU harus dimulai sejak awal penyidikan, tetapi penyidik tidak harus meminta petunjuk dari PU, karena penyidik bukan subordinasi dari PU. Oleh karena itu, klausul meminta petunjuk kepada PU tidak tepat dan supaya ditiadakan.

4.           Penghentian penyidikan
Pasal 14 RUU HAP, intinya adalah: ”Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus atas persetujuan dari PU”. Alasan tim perumus adalah untuk menghindari adanya kecurigaan antara PU dengan penyidik, dan bila ada permohonan pra peradilan, maka yang bertanggungjawab adalah Penyidik dan PU. Tanggapan mengenai hal ini adalah bahwa penyidik tidak perlu meminta persetujuan dari PU, namun sebelum melakukan penghentian penyidikan penyidik wajib menggelar perkara dengan menghadirkan PU. Apabila penyidikan dihentikan, dalam waktu 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penghentian penyidikan, dikirimkan kepada tersangka, pelapor/korban, dan PU.

5.           Penyerahan hasil penyidikan kepada PU
Pasal 15 RUU HAP, intinya adalah: ”Hasil penyidikan yang telah selesai disidik sebelum diberkas dikonsultasikan PU”. Substansi ini tidak perlu lagi karena proses penyidikan dari sejak awal sudah dikonsultasikan dan dikoordinasikan kepada PU. Tujuan konsultasi dan koordinasi adalah untuk menghindari agar jangan terjadi bolak-balik perkara, untuk itu PU cukup sebenarnya melakukan penelitian satu kali terhadap berkas perkara. Oleh karena itu, setelah selesai penyidikan kemudian diberkas dan berkas perkara dikirimkan kepada PU untuk dilakukan penelitian oleh PU.

6.           Tenggang waktu yang wajar untuk pemanggilan tersangka dan/atau saksi
Pasal 17 RUU HAP, intinya: ”Pemanggilan harus dilakukan dalam tenggang waktu yang wajar. Kalau  yang dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat dipanggil sekali lagi dengan membawa perintah”. Rumusan ini seharusnya dijelaskan dalam penjelasan pasal mengenai waktu yang wajar, karena dalam praktek sering menimbulkan multi tafsir. Dalam kota misalnya 2 (dua) hari sejak menerima surat penggilan, sedangkan di luar kota harus diperhatikan tenggang waktu untuk sampai ke kota tersebut. Di samping itu, setidak-tidaknya pemanggilan dilakukan dua kali dan kalau tidak hadir tanpa alasan yang sah disampaikan panggilan ketiga, kemudian meminta kepada pejabat yang berwenang untuk membawa tersangka/saksi kepada penyidik.

7.           Penasehat Hukum (PH) dapat mengikuti jalannya pemeriksaan
Pasal 20 RUU HAP: ”PH dapat mengiktui jalannya pemeriksaan tersangka”. Dalam penjelasan substansi ini sebaiknya dipertegas dalam penjelasan Pasal 20, yang intinya adalah bahwa PH dapat mengikuti pemeriksaan melalui kegiatan melihat dan mendengar tetapi tidak boleh melakukan intervensi, mempengaruhi, atau memberitahukan tersangka dengan cara memberikan jawaban.

8.           Penolakan ahli memberikan keterangan tentang keahliannya
Pasal 25 ayat (3) RUU HAP, intinya seseorang yang menolak memberikan keterangan ahli karena bertentangan dengan martabat, jabatan,....dst. Untuk itu seharusnya diberikan tambahan rumusan berupa, ”dalam ahli  menolak, dibuat berita acara penolakan”.

9.           Tersangka yang ditahan satu hari dan belum diperiksa
Pasal 27 dan 28 R. HAP, intinya bahwa bila tersangka sudah ditahan kemudian hari kedua wajib dilakukan pemeriksaan. Apabila belum diperiksa, tersangka, keluarganya/PH dapat mengajukan keberatan kepada atasan Penyidik yang melakukan penahanan. Sebaiknya ditambahkan agar dilakukan perlawanan berupa penangguhan penahanan kepada atasan penyidik atau HK atau dalam hal belum ada HK dapat diajukan kepada ketua PN setempat.

10.     Bedah mayat yang tidak mendapat izin dari keluarga
Pasal 39 ayat (4) RUU HAP, intinya bila untuk pembedahan mayat keluarga korban menolak, penyidik dapat meminta wewenang dari HK untuk melaksanakan bedah mayat. Dalam hal ini perlu ada penambahan satu ayat lagi. Inti terkait dengan pengaturan waktu, dalam hal ini batas waktu HK harus mengeluarkan surat untuk memberikan penetapan kepada penyidik melakukan bedah mayat.

11.     Pengaturan tentang hak-hak pelapor, pengadu, saksi dan korban         
Pasal 40 RUU HAP, intinya mengatur mengenai wajib pemberian perlindungan terhadap korban dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari segala macam ancaman yang implikasinya memaksa untuk melakukan sesuatu hal mengenai diperlukannya keterangan atau kesaksian pada semua tingkat pemeriksaan. Untuk lebih sempurna rumusan substansi ini perlu ditambah hak-hak korban dan/atau saksi sehingga perlu ada rumusan dalam pasal-pasal baru yaitu: (1) Pasal 41, yang rumusannya sebagai berikut: ”Hak-hak korban dan saksi: (a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya, (b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, (c) memberikan keterangan tanpa tekanan, (d) mendapatkan penterjemah, (e) bebas dari pertanyaan yang menjerat, (f) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, (g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, (h) mendapatakan identitas baru, (i) mendapatkan tempat kediaman baru/tempat berdiam, (j) mendapatkan biaya transportasi sesuai kebutuhan/dana yang dikeluarkan, (k) mendapatkan nasehat hukum, (l) memperoleh bantuan hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, (m) memperoleh bantuan medis, (n) memperoleh rehabilitasi fisik-sosial. (2) Pasal 42 yang rumusannya sebagai berikut: (a) Saksi dan atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara sedang diperiksa, (b) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada  huruf ”a” dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut, (c) saksi dan/korban sebagaimana dimaksud pada  huruf ”a” dapat juga didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

12.     Tugas dan wewenang PU
Pasal 42 RUU HAP, dalam huruf b mengatur penyampaian surat permohonan kepada HK untuk melakukan penggeledahan, penyadapan, dan langkah-langkah lainnya. Terhadap substansi ini supaya dihapus, karena surat permohonan dari penyidik kepada HK tidak perlu dikirim melalui PU. Oleh karena itu, rumusannya disarankan sebagai berikut: “b. menerima tembusan surat permohonan yang diajukan oleh penyidik kepada HK untuk melakukan penggeledahan, penyadapan, dan langkah-langkah lainnya.”

13.     Tentang Penahanan
Pasal 42 huruf d RUU HAP, memberi persetujuan atas penahanan yang melebihi 2 x 24 jam yang dilakukan oleh penyidik. Mengenai substansi ini, penyidik dari sejak awal menolak pengaturan seperti ini. Oleh karena itu, cukup rumusannya memberitahukan kepada HK dan tembusannya disampaikan kepada PU. Sehingga rumusannya disarankan menjadi: “d. menerima tembusan pemberitahuan dari penyidik kepada HK tentang pelaksanaan penahanan tersangka yang dilakukan oleh penyidik.”

14.     PU meminta penandatanganan surat perintah penahanan kepada HK dan perpanjangan penahanan kepada Ketua PN
Pasal 42 huruf e dan huruf f RUU HAP, penyidik untuk melakukan penahanan harus meminta penandatanganan surat perintah penahanan kepada HK, dan perpanjangan kepada Ketua PN. Oleh karena itu, rumusan ini menunjukkan bahwa PU sebagai atasan penyidik dan menambah panjang rantai birokrasi, sehingga menjadi inefisien.   Disarankan rumusannya sebagai berikut: “e. PU menerima tembusan surat permohonan persetujuan izin penahanan yang dikirim penyidik kepda HK; f. PU menerima tembusan surat permohonan izin penahanan yang dikirimkan oleh penyidik kepada hakim PN yang ditunjuk oleh Ketua PN.”

15.     Penentuan layak atau tidak satu perkara dilakukan penuntutan ke PN Hakim
Pasal 44 ayat (2) HAP, HK dapat memeriksa tersangka dan saksi, dan mendengar konklusi PU tentang layak atau tidak suatu perkara diajukan ke PN. Pertanyaannya siapa yang harus mengajukan layak atau tidak layak, apakah tersangka, keluarganya, PH, atau pihak ketiga yang merasa dirugikan?

16.     Tentang penangkapan
Pasal  56 ayat (5) RUU HAP, dalam waktu 1 hari setelah dilakukan penangkapan .... menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan. Perlu dirubah yaitu ”agar dalam waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak penangkapan, penyidik harus memberikan tembusan Berita Acara Penangkapan kepada keluarga tersangka atau walinya atau orang yang ditunjuk oleh tersangka.” Dalam penjelasan perlu dimuat tentang pemberitahuan dapat diberikan secara tertulis, atau melalui e-mail.

17.     Tentang penahanan
a.         Pasal 58 ayat (2) RUU HAP, jika PU yang melakukan penahanan dalam tahap penyidikan, persetujuan penahanan diberikan oleh Kajari, dst…. Sesuai asas diferensiasi fungsional, PU tidak berwenang melakukan penyidikan, yang berwenang melakukan penyidikan adalah jaksa selaku penyidik dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan.
b.        Pasal 58 ayat (3) RUU HAP, untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, HK atas permintaan penyidik, melalui PU berwenang memberikan persetujuan perpanjangan penahanan terhadap tersangka. Mengenai hal ini, permohonan dari penyidik ke HK tidak perlu melalui PU cukup tembusan diberikan. Sama halnya di Malaysia, Polisi Diraja Malaysia (PSRM) dalam melakukan penahanan tidak melalui kejakasaan atau Penguam Kerajaan Malaysia tetapi langsung ke Mahkamah. Oleh karena itu, ayat (3) perlu dirubah menjadi: “Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, atas permintaan penyidik atau jaksa yang melakukan penyidikan HK berwenang memberikan persetujuan penahanan dan/atau perpanjangan penahanan terhadap tersangka.”
c.         Pasal 58 ayat (4) RUU HAP, tidak mencantumkan penahanan terhadap orang asing. Oleh karena itu disarankan supaya ditambahkan rumusan satu ayat sehingga berbunyi : “Dalam hal tersangka  yang ditahan adalah WNA, tembusan Berita Acara Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kedutaan Besar Negara Asing yang bersangkutan dengan tersangka.”
d.        Pasal 58 ayat (5), penahanan dilakukan terhadap tersangka/terdakwa cukup ada kekhawatiran,…. e. untuk kepentingan keselamatan tersangka atau terdakwa. Untuk itu perlu ada penambahan substansi, yaitu: “f. menghambat/menyulitkan penyidikan”.
e.         Pasal 59 RUU HAP, dalam hal ini perlu ada penambahan ayat, untuk menampung rumusan sebagai berikut: “(3) Di tempat dimana belum terdapat HK dan/atau karena alasan lain yang tidak memungkinkan menghadapkan tersangka kepada HK dalam waktu 5 (lima) hari, penyidik yang melakukan penahanan tersangka cukup memberitahukan tindakan penahanan terhadap tersangka kepada Ketua PN yang terdekat atau HK yang terdekat melalui telepon/faksimili atau mengirim surat tembusan melalui pos.”
f.         Pasal 67 RUU HAP, dalam hal ini perlu ada penambahan ayat sehingga menjadi 4 (empat) ayat, dan rumusannya menjadi: “(4) Terhadap penangguhan penahanan yang dilakukan oleh PU pada tahap penuntutan, penyidik dapat mengajukan keberatan/perlawanan kepada Ketua PN yang bersangkutan.”
g.        Pasal 67 ayat (5) RUU HAP, dalam hal ini perlu perbaikan substansi pada ayat (5), sehingga rumusannya menjadi: “(5) Apabila Ketua PN menerima perlawanan Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam waktu 1 (satu) hari terhitung sejak setelah penetapan Ketua PN Hakim PN wajib mengeluarkan surat perintahan penahanan kembali.”
h.        Pasal 67 ayat (7) RUU HAP, dalam hal ini bahwa masa penahanan terhadap tersangka, terdakwa karena sakit dan dirawat... dst…, penahanan tetap dihitung. Disarankan diperbaiki sehingga rumusannya menjadi: “Masa penahanan terhadap tersangka/terdakwa karena sakit dan dirawat, masa penahanan tidak dihitung.” Tujuannya untuk menghindari orang-orang yang nakal, karena akan dapat dijadikan sebagai alasan sakit dan dirawat di rumah sakit sampai habis masa penahanan, akhirnya tersangka harus dilepas demi hukum.

18.     Penggeledahan
a.         Pasal 69 RUU HAP, dalam hal penggeledahan rumah, dst…, penyidik harus mendapat izin dari HK berdasarkan permohonan melalui PU. Permohonan melalui PU dihapus sehingga redaksinya: “…. dst, dan tembusannya dikirim ke PU.”
b.        Pasal 69 HAP perlu penambahan satu ayat untuk mengakomodir hak saksi/korban sehingga menjadi ayat (5), yang rumusannya: “(5) Pihak yang menjadi objek penggeledahan untuk penyitaan dapat melakukan perlawanan melalui HK/PN setempat atas tindakan penyitaan terhadap barang yang tidak berhubungan dengan perkara yang bersangkutan.
c.         Pasal 69 ayat (5) RUU HAP, intinya penggeledahan dst…,  harus dilaporkan kepada HK melalui PU dalam waktu 1 (satu) hari, dst…, untuk mendapatkan persetujuan HK. Dalam hal ini tidak perlu melalui PU, cukup tembusannya saja yang diberikan.

19.     Penyitaan
a.         Pasal 75 RUU HAP, dalam melaksanakan penyitaan menurut ketentuan ini hendaknya diperbaiki, sehingga rumusannya sebagai berikut: “(1) Penyitaan harus mendapat izin dari HK/Ketua PN setempat berdasarkan permohonan dengan tembusan kepada PU. (2)  Penyidik wajib menunjuk tanda pengenal, surat perintah penyitaan dan surat izin penyitaan dari HK/Ketua PN setempat. (3) Dalam  keadaan sangat mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin dari HK/Ketua PN setempat. (4) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan kepada HK/Ketua PN setempat dengan tembusan ke PU dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penyitaan, untuk mendapatkan persetujuan HK/Ketua PN setempat. (5) Dalam hal HK/Ketua PN setempat menolak dst. (6) Penyitaan harus disaksikan oleh dua orang saksi, yaitu pemilik atau yang menguasai barang/benda yang disita dan saksi lain yang melihat penyitaan.”
b.        Pasal 81 RUU HAP, yaitu penyitaan terhadap benda-benda yang lekas rusak atau membahayakan…dst. Kenyataan dalam praktek agar diakomodir mengenai pinjam pakai barang-barang sitaan jika dimungkinkan sepanjang tidak menyulitkan proses pemeriksaan.

20.     Ketentuan tentang penyadapan
a.         Pasal 83 ayat (3) dan ayat (4) RUU HAP, permintaan surat izin penyitaan tidak perlu melalui PU langsung ke HK dan tembusan ke PU. Oleh karena itu, perbaikan rumusan tersebut disarankan sebagai berikut: “(3) Penyadapan... dst… atas perintah tertulis dari atasan Penyidik… dst… izin dari HK/Ketua PN setempat. (4)  Penyidik menghadap kepada HK/Ketua PN setempat dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada HK.”
b.        Pasal 84 ayat (1) RUU HAP, dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan... dst… wajib memberitahukan kepada HK melalui PU. Disarankan rumusannya sebagai berikut: “Dalam keadaan… dst... tanpa surat izin dari HK/Ketua PN setempat dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut langsung kepada HK/Ketua PN setempat, tembusan PU.”

21.     Berita Acara
Pasal 109 RUU HAP, diperlukan penambahan satu ayat menjadi ayat (4), sehingga rumusannya: “(4) Hasil kegiatan penyidikan perkara disusun dalam Berkas Perkara sekurang-kurangnya berisi: a. sampul berkas perkara; b. daftar isi; c. pokok perkara; d. surat keterangan kelengkapan perkara; e. berita acara tindakan penyidikan perkara; f. resume penanganan perkara; g. analisis penanganan pasal-pasal yang dipersangkakan; h. kesimpulan/pendapat penyidik; i. daftar tersangka/saksi; dan j. daftar barang bukti.”

22.     Hakim Komisaris
Eksistensi HK ditentukan dalam Pasal 111 s.d. Pasal 113 RUU HAP.
Sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya, wewenang HK hampir sama dengan pra peradilan atau disebut ”pra peradilan plus”, tidak melakukan penyidikan, jadi menentukan layak tidaknya suatu perkara diajukan ke pengadilan atas permohonan jaksa (pre trial).[26] Tujuannya adalah mencari kebenaran materil dan melindungi HAM terdakwa, jangan sampai orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana, di samping itu juga perhatian kepada korban.
Adapun wewenang HK sebenarnya sudah penulis uraikan, namun dalam hal ini perlu disebutkan lebih lanjut tentang wewenang tersebut: (1) menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan, (2)  Pembatalan atau penangguhan penahanan, (3) bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka/terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri (self ingrimination), (4) alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti, (5) ganti kerugian atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah dan ganti rugi akibat penggeledahan atau penyitaan yang tidak sah, (6) tersangka/terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara, (7) penyidikan atau penuntutan dilaksanakan untuk tujuan tidak sah, (8) penghentian penyidikan atau penuntutan tidak berdasarkan azas oportunitas, (9) layak atau tidak suatu perkara diteruskan ke pengadilan, (10) pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama dalam proses penyidikan.
Konsepsi eksistensi HK dalam RUU HAP sangat idealis sekali, namun perlu harus diperhatikan bahwa pembentukan HK di seluruh kabupaten dan kota yang jumlahnya hampir 500 (lima ratus) setiap kabupaten kota minimal 2 orang Hakim, sehingga awalnya harus menyiapkan jumlah HK 2 x 500 orang sama dengan 1.000 (seribu) orang  Hakim. Belum lagi bangunan gedung, peralatan komputer, pegawai, kendaraan, telepon, dan lain-lain. Dapat kita bayangkan berapa banyak uang yang harus digunakan untuk lembaga HK tersebut. Di samping itu, dalam prateknya akan kesulitan bagi penyidik yang berada di Polsek-polsek terpencil dan/atau yang ada di kepulauan seperti yang ada di kepulauan Indonesia Bagian Timur, untuk membawa tahanan ke kabupaten atau PN setempat sementara belum ada HK. Jadi konsep yang ideal atau baik di negara lain, tidak mutatis mutandi harus diadopsi, namun harus diperhatikan aspek geografis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat bangsa Indonesia.


[1] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977, cet. pertama,  hal. 159, menguraikan bahwa politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Memberi petunjuk apakah perlu ada pembaharuan hukum, sampai seberapa jauh pembaharuan itu harus dilaksanakan, dan bagaimana bentuk pembaharuan itu.
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Univ. Trisakti, Jakarta 2002, cet. pertama, hal. iii. Lihat pendapat Hikmahanto Juwana dalam pidato ilmiahPenegakkan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problema dan Fundamen Bagi Solusi Di Indonesia”, disampaikan dalam  Acara Dies Natalis Ke-56 Univ. Indonesia, tanggal 4 Februari 2006 di Depok, mengatakan “berbagai media massa memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Mafia Peradilan marak dan dituduhkan karena putusan badan peradilan dapat diatur. Hukum seolah-olah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.” 
[3] Dalam Pasal 30 UUD RI 1945 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri telah dinyatakan secara formal terpisahkan dari TNI.
[4] R.M. Panggabean, Budaya Hukum Hakim Dalam Pemerintahan Demokrasi dan Pemerintahan Otoriter, Studi Tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI Periode Tahun 1950-1965, Universitas Studi Kajian Ekonomi, Jakarta, 2008, cet. pertama, hal. 1 s.d. 27. Dalam buku tersebut yang dimaksud dengan budaya hukum adalah ide, gagasan, kepercayaan, dan pengharapan masyarakat terhadap hukum. Budaya hukum dimulai dari nilai-nilai, sikap moral, kemudian diujukan dalam perilaku hukum.
[5] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung, 2008, cet. kedua,  hal. 13, (diterjemahkan oleh Raisul Musttaqien dari judul asli: The Philosophy of Law in Historical Perspective dan penyunting Nurainun Mangunsong).
[6] Theo Huijbers, Filasafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1988, cet. keempat, hal. 82 dan hal. 88.
[7] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, edisi kedelapan, hal. 35 s.d. 56.
[8] Dapat dibandingkan dengan substansi yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil Rights And Politic (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), sebagai ratifikasi dari International Covenant on Civil Rights yang disahkan oleh PBB pada tahun 1966. Pasal 2 ICCPR menentukan: (1) Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the right recognized in the present Convenant without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social  origin, property, birth or other status.(2) Where not already provided for by existing legislative or other measures, each State Party to the present Covenant understakes to take the necessary steps, in accordance with its constitutional process and with the provision of the present Covenant, to adopt such laws or other measures as may be necessary to give effect to the rights recognized in the present Covenant. (3) Each State Party to the present Covenant undertakes:
(a) To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity; (b) To ensure that any person claiming such a remedy shall have his right there to determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy; (c) To ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when granted. Jadi sebenarnya ICCPR sudah lebih dulu lahir baru 15 tahun kemudian dibentuk HAP. 
[9] Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri, termasuk turunan perubahan dari surat dakwaan harus diserahkan kepada penyidik, atau dilakukan perubahan terhadap surat dakwaan.
[10] Vide Pasal 1 butir 10 HAP jo. Pasal 77 s.d.  Pasal 83 HAP.
[11] Kata Sambutan Kapolri pada acara Lokakarya tentang “Reformasi Penatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, disampaikan di Kontor Menpan RI, Jakarta, 19 Agustus 2008.
[12] Laporan kegiatan Lokakarya Polisi dan Jaksa Mencari Solusi, Hotel Bumi Wiyata Depok, 22-23 April 2008, hal. 8.
[13] Romli Atmasasmita, “Sinergi Kerja Polri dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”,  Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi-Jaksa: Menuju Integrasi, Auditorium Bumi Putera Fak. Ilmu Sosial dan Politik Univ. Indonesia, Depok, 17 April  2008, hal.1.
[14] UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2): Setiap informasi elektronik dan dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan... dst… merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia dapat digunakan sebagai alat bukti dalam perkara pidana maupun perdata.
[15] Vide Pasal  1 butir 19 HAP jo. Pasal 18 ayat (2) HAP.
[16] Muladi, “Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Hukum Pidana di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Semiloka mengenai Reformasi Sistem Peradilan Pidana, Kementerian Menpan-Jakarta, 19 Agustus 2008, hal. 11. 
[17] Anyone arrested or deteined on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authrority by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be deteined in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.   
[18] Dalam pertimbangan angka 2 (dua) menyebutkan bahwa konvensi mengatur larangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/pengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya... negara pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif lainnya guna mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah juridiksinya.
[19] ICC walaupun belum diratifikasi pemerintah Indonesia namun dalam disimak subtansi dari UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.,  unsur-unsur pelanggaran berat HAM diambil dari substansi ICC.
[20] Universal Declaration on Human Rights, Vienna Convention on Consular Relations, UN Basic Principles on the Role of Lawyers, Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention  or Imprisonment (Body of Principles); UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials; Safe Guards Guaranting Protection of the Right of Those Facing the Death Penalty (Death Penalty Safeguards); UN Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, 
[21] Vide Pasal 24 HAP. 
[22] Vide Pasal 29 HAP.
[23] Istilah dan model Hakim Komisaris (HK) pada setiap negara berbeda-beda, baik kedudukan maupun wewenangnya, seperti di USA disebut Hakim Magistrate,  di Perancis di kenal sebutannya juge d’instruction, di Italia disebut guidece istrutore, di sponyol disebut juez de instruscion, di Belanda disebut Rechter Commosaris, (lihat Pendapat Prof. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., dalam ““Dwang Middelen”-Penahanan Perspektif Hakim Komisaris dan Pembaharuan Hukum Pidanan Formil, makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi RUU HAP, yang diselenggarakan oleh Dep. Hukum dan HAM pada hari Rabu, 30 Agustus 2006 , Hotel Acasia Jakarta, hal. 16).
[24] Bandingkan dengan ketentuan Pasal 259 HAP: (1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada MA, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung, (2) Putusan demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. 
[25] Bandingkan dengan pengertian dalam Pasal 1 butir 5 HAP: “penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” 
[26] Muladi, Op.Cit., hal. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan