Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

PERANAN ADVOKAT DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAGIAN I


A.      Pendahuluan

Menyikapi judul yang diberikan, sangat menarik untuk didiskusikan, mengingat bahwa penegakan hukum sampai saat ini di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat maupun para pencari keadilan (justiciable), dan terus menjadi bahan diskusi yang tidak pernah habis-habisnya dibicarakan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum, bahkan rakyat biasa pun merasakan hal tersebut. Oleh karena itu, terkait dengan judul tersebut maka yang menjadi inti (core) pembahasan adalah kata “peranan”. Kata “peranan” menunjukan apa yang dapat dilaksanakan atau bagaimana penulis menunjukan eksistensi saya baik sebagai diri pribadi maupun advokat[1] sebagai kelembagaan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Apakah betul-betul turut serta memberantas, atau justru “mempersulit”, karena bagaimanapun juga budaya penegakan hukum masing-masing instansi penegak hukum pasti berbeda dengan Advokat sebagai penegak hukum di satu sisi.

Apabila diperhatikan dari segi pondasi kefilsafatan dan prinsip-prinsip negara hukum RI sudah demikian lengkap, termasuk dengan berbagai hukum positif yang telah dibuat oleh para pembentuk peraturan untuk menjabarkan prinsip-prinsip yang terdapat di dalam konstitusi, namun dalam tatanan implementasinya sebagian besar masih jauh dari harapan bahkan sering menjadi cemohan dengan istilah-istilah yang diplesetkan serta bernada sinis.

Sebenarnya kalau dilihat secara teori dan konsepsi, kedudukan advokat dalam sistem kemandirian penegakan hukum yang paling mandiri (independency) adalah kekuasaan kehakiman (judiciary power) dan Advokat (lawyer)[2]. Perbedaannya bahwa advokat bebas memasuki setiap tahapan dan jenis-jenis perkara, apakah pidana, perdata, hukum administrasi pemerintahan, litigasi maupun non-litigasi dalam kasus-kasus keperdataan dan lain-lain. Sedangkan kekuasaan kehakiman terbatas independensinya, namun sangat menentukan warna hukum di tengah-tengah masyarakat, yaitu hanya kaitannya dalam mengadili dan memeriksa satu perkara yang dimintakan untuk diperiksa dan diputus oleh para pihak yang bersengketa.

Sejak dibentuknya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, status advokat telah ditetapkan sebagai penegak hukum, sehingga dengan sendirinya dalam sistem penegakan hukum di Indonesia unsur penegak hukum memiliki kaitan dengan supra struktur formal dan infra struktur informal. Advokat adalah bagian dari infra struktur informal, karena keberadaannya tidak berada dalam lembaga penegakan hukum baik judikatif maupun eksekutif (Polri, Kejaksaan, Kehakiman).

Dengan adanya predikat advokat sebagai penegak hukum, semakin menunjukkan prinsip keharusan dari advokat untuk turut serta menciptakan/mewujudkan dan memelihara sistem peradilan yang bersih dan berwibawa demi terwujudnya wibawa hukum. Tentu dalam mewujudkan idealisme tersebut, harus difokuskan pada pembersihan yang mendasar pada diri setiap penegak hukum, karena bagaimanapun tidak dapat dihindari bahwa keberadaan advokat dalam memberikan nasihat dan bantuan hukum dalam bentuk-bentuk tertentu, antara lain pembelaan terhadap tersangka/terdakwa pada semua tahap dalam kasus korupsi perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sifat keberbahayaan dari korupsi sangat luar biasa yang tidak hanya merusak sendi-sendi perekonomian negara tetapi seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terkait dengan pengantar tersebut di atas, dalam  pembahasan ini tentu akan mengaitkannya dengan status advokat sebagai penegak hukum dan sebagai anggota masyarakat dalam tataran budaya hukum (legal culture) yaitu bagaimana budaya (sikap) advokat dalam menangani (membela) perkara tindak pidana korupsi apakah memperlancar proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia baik pada tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di depan persidangan peradilan? Dalam pembahasan akan menggunakan pendekatan normatif sosiologis juridis yaitu mendasari pada norma-norma yang ada, kemudian dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi.

B.       Cita Negara Hukum dan Sistem Hukum Nasional

Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechstaat/The Rule of Law). Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 menegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum[3]. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide Negara Hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum.

Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjusting). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam arti sempit law  enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksaan, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibatkan peran Advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law information management) sebagai kegiatan penunjang. Kelima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial.[4] Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ yudikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.

Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki, dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah,[5] tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD RI 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan seluruh aspek, elemen, hirarki, dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, hukum sebagai suatu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing).  Bahkan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntuan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui secara universal, yaitu persamaan di depan hukum (equality before the law).

Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengetahuan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu.  Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikannya seperti Indonesia, sudah tentu sisten informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum kepada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan penegakan hukum (law enforcement), diperlukan kegiatan, yaitu pemasyarakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari hak dan kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.

Oleh karena itu, memahami hukum secara komprehensif sebgai suatu sistem yang terintegrasi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. 

C.      PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative disputes or conflicts resolution).  Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya-yang lebih sempit lagi-melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.

Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah Polisi, Jaksa, Pengacara, dan Hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan  kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri.  Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat keterkaitannya satu sama lain serta serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.

Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi)[6], (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya.  Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.

Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat.  Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini perlu dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Di samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dilakukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.

Di samping itu, agenda penegakan hukum juga memerlukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang memenuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemimpinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integritas kepribadian orang yang taat aturan.

Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education).  Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide Negara Hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait dengan soal ini adalah  (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan infrastruktur informasi hukum yang berbasis teknologi informasi (information technology); (b) peningkatan upaya publikasi, komunikasi dan sosialisasi hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.

D.      PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM

Bahwa keberadaan advokat sebagai unsur penegak hukum di Indonesia tidak perlu lagi diragukan, baik sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, dengan demikian perjalanan sejarah advokat yang panjang di Indonesia menandakan bahwa advokat telah memainkan perannya yang tidak kecil dalam mewujudkan penegakan hukum yang adil dan berwibawa, kendati pun bila dilihat dari dasar hukum yang ada, keberadaan advokat sebelum era reformasi belum diatur secara khusus, masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia, kemudian setelah era reformasi dibentuklah UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu MA dan MK, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab[7], sebagaimana selanjutnya diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, yaitu ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.” Oleh karena itu, organisasi advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.[8]

Profesi advokat sebagai profesi yang sangat mulia dan perannya yang begitu luas, karena tidak terbatas hanya dalam bidang litigasi atau beracara di pengadilan, tetapi berperan dalam segala sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena sistem hukum tidak hanya bekerja dalam lingkungan unsur penegakan hukum formal saja, namun memasuki seluruh sektor kehidupan masyarakat dan negara, karena kita tahu bahwa hukum ada dimana-mana dan mengatur segala aspek kehidupan kita. Oleh karena itu, peran advokat dalam usahanya untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat diabaikan atau dikesampingkan.

Bahwa profesi advokat merupakan profesi yang bebas dan mandiri, namun bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha membudayakan masyarakat untuk menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Demikian juga bahwa advokat sebagai salah satu unsur dari sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan HAM di Indonesia, bahkan sering juga disebut bahwa advokat merupakan pengawal (guardian) yang tangguh untuk Konstitusi.

Dalam proses litigasi diketahui bahwa advokat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan, sepanjang advokat yang bersangkutan diberikan kuasa untuk membela hak-hak kliennya dalam segala tingkatan pemeriksaan, apakah kliennya sebagai tersangka/terdakwa dalam perkara pidana maupun sebagai penggugat/tergugat dalam perkara perdata maupun dalam perkara-perkara lainnya yang diselesaikan melalui forum-forum khusus (Alternative Dispute Resolution/ ADR). Dalam eksistensi yang demikian penting dan luas, advokat tentu banyak atau bahkan selalu berhubungan dengan unsur formal penegak hukum, tergantung jenis dan kharater kasus yang ditanganinya.

Profesi advokat sebagai landasan idealisme telah dipatri dalam Kode Etik Advokat yang memiliki nilai-nilai persamaan secara universal yaitu pejuang keadilan, yang dalam pelaksanaannya antara lain mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa. Hal ini sangat penting terutama setelah dikaitkan dengan pernyataan dari seorang sosiolog Amerika Serikat yang bernama Lawrence Friedman yang mengatakan bahwa peranan advokat dan hakim dalam penegakkan hukum memegang peranan yang sangat penting,  karena di tangan hakim dan advokat-lah sifat dan warna hukum itu banyak ditentukan.[9] Dikatakan demikian karena dua lembaga ini sama-sama memiliki prinsip kemandirian (independency) dari berbagai kekuasaan, sehingga memiliki kebebasan yang luas untuk menerapkan dan menafsirkan hukum. Dengan demikian advokat harus dapat bertindak sebagai elemen untuk menjaga keseimbangan-keseimbangan dalam masyarakat yang di dalam teori politik sering disebut teori check and balance, kendatipun tidak melalui kekuasaan yang ada padanya tetapi melalui pressure-pressure moral dan argumentasi-argumentasi hukum yang kostruktif dan doktrin-doktrin hukum yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan konstitusi.

Sebenarnya bila dilihat dari teori kekuasaan maupun hukum ketatanegaraan, keberadaan Advokat sebagai  penegak hukum menimbulkan pro dan kontra, karena secara kelembagaan/ kekuasaan di bidang penegak hukum hanya terdiri dari 2 (dua) elemen, yaitu penegakan hukum di bidang judikatif dan eksekutif. Judikatif untuk Indonesia saat ini berada dalam tangan kekuasaan kehakiman yang puncaknya berada di MARI, sedangkan penegakan hukum dari judikatif meliputi Kejaksaan Agung dan Polri. Kedua organisasi ini merupakan organisasi yang keberadaannya bersifat nasional, yaitu tergelar mulai dari pusat sampai ke kewilayahan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu dalam hal unsur kewilayahan memerlukan back-up untuk melakukan suatu tindakan tertentu dari pusat (Kejaksaan Agung dan Mabes Polri) dapat turun ke bawah memberikan bantuan, baik bantuan secara teknis maupun bantuan taktis. Oleh karena itu keberadaan advokat kurang tepat kalau dikategorikan sebagai penegak hukum yang kedudukannya sama dengan penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan kehakiman[10], karena bila dilihat dari proses rekruitmen, penarikan uang dari masyarakat untuk biaya kursus untuk memperoleh sertifikat yang akan dijadikan sebagai persyaratan utama mengikuti seleksi bakal calon advokat, kemudian biaya untuk mengikuti seleksi. Penarikan biaya ini semua tidak ada pertanggungjawaban kepada masyarakat/publik. Padahal secara atributif advokat telah ditetapkan sebagai unsur penegak hukum (law enforcement) yang kedudukannya disamakan dengan unsur penegakkan hukum lainnya (Polri, Kejaksaan, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan) dan sampai ke pengangkatan, semuanya berada di tangan organisasi advokat, kecuali penyumpahan yang berada di tangan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaannya dilaksanakan oleh ketua pengadilan tinggi masing-masing advokat yang akan disumpah berdomisili.

Setelah advokat dinyatakan statusnya sebagai penegak hukum, seharusnya norma-norma yang ada wajib ditaati, namun dalam realita perkembangannya organisasi advokat hampir tidak luput dari perselisihan internal antara lain polemik saat ini yang demikian meruncing, yang masing-masing mengakui bahwa organisasi advokat “X”-lah yang sah dengan alasan-alasan tertentu, demikian juga dengan organisasi advokat “Y” lainnya juga mengklaim dirinya yang paling sah, dan ada lagi organisasi “Z”. Dengan demikian masalah menjadi tambah runcing dan kusut, sehingga sulit dilakukan pembenahan.

Menyikapi persoalan yang dihadapi organisasi advokat saat ini, secara sosiologis juridis menjadi kurang tepat pemberian sebutan sebagai penegak hukum, karena wadahnya sudah mulai pecah-pecah dan demikian menyulitkan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam berpartisipasi membangun sistem hukum yang responsif dan akomodatif mengikuti perkembangan zaman. Karena bagaimanapun eksistensi hukum haruslah diwujudkan dalam perilaku konkret, karena urusan hukum tidak hanya undang-undang atau urusan peraturan formal, tetapi berurusan dengan berbagai nilai, sikap, serta perasaan manusia baik perasaan  para pencari keadilan maupun  perasaan para penegak hukum itu sendiri.

Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi.  Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU advokat.

Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggung jawab masing-masing advokat dan organisasi profesi yang menaunginya.  Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
”Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
-                      bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
-                      bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
-                      bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
-                      bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;
-                      bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
-                      bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai advokat.”

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi advokat, kepada Tuhan, kepada diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.

Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran organisasi advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat.  Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
1.         mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
2.         berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
3.         bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
4.         berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
5.         melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela; dan
6.         melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

E.       TINDAK PIDANA KORUPSI, PERAN ADVOKAT, DAN BUDAYA HUKUM

1.         Sekilas Mengenai Korupsi di Indonesia

Bila dilihat dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dengan perkembangan politik hukum[11] dalam rangka melakukan pembaharuan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, maka persoalan korupsi di negara Indonesia bukanlah hal yang baru dibicarakan. Pembaharuan yang dilaksanakan adalah sebagai usaha untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena akibat dari tindak pidana korupsi sangatlah luas dan merusak segala sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam kenyataannya, korupsi di Indonesia sangat sulit untuk dibasmi, bahkan menurut pandangan Pengamat Transparansi Internasional, Indonesia termasuk negara yang tergolong paling korupsi di dunia, bahkan sempat menduduki urutan kedua. Hasil survey tersebut cukup mengejutkan dan memalukan kita semua, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan kenyataan bahwa Indonesia telah lama ditetapkan oleh founding father negara ini sebagai negara hukum (rule of law), namun prinsip tersebut masih tercatat hanya dalam tataran normatif, sedangkan implementasinya masih jauh dari yang diharapkan para pencari keadilan.

Demikian juga bahwa masalah korupsi dan segala akibat-akibat yang ditimbulkannya tidak hanya menjadi urusan-urusan satu negara saja, tetapi sudah lama menjadi urusan internasional (urusan PBB maupun organisasi internasional yang bersifat regional), yang telah mengeluarkan Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption/CAT) dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Dalam CAT banyak hal-hal baru yang belum diatur dalam perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi di Indonesia, namun harus dimasukkan dalam legislasi, terutama dalam kaitannya dengan kriminalisasi dari suatu perbuatan.

Adapun peraturan perundang-undangan yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, antara lain:
a.         Political Will:
1)        UU Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap.
2)        UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3)        Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4)        UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
5)        UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6)        UU Nomor 15 Tahun 2002 jo. UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
7)        UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan Korupsi.
8)        UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD/DPRD (Pasal 106: Izin Pejabat).
9)        UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pasal 36).
10)    UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations     Convention Against Corruption, 2003–UNCAC (Konvensi PBB Anti Korupsi–KAK, 2003).
11)    RUU tentang Pengadilan Tipikor.

b.        Kebijakan Pemerintah
1)        Inpres Nomor 30 Tahun 1998 tentang Pemberantasan KKN.
2)        Keppres Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pembentukan KPKPN.
3)        PP Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4)        PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5)        Keppres Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman
6)        Program Kerja 100 Hari Kepemimpinan Presiden SBY (Tahun 2004).
7)        Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
8)        RAN PK 2004 – 2009.
9)        Keppres Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
10)    Skep. Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas tanggal 14-04-2008 tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan RAN PK Th. 2008.

2.         Penegakan Hukum di Bidang Tindak Pidana Korupsi

Pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi semakin marak semenjak era reformasi, dipacu oleh desakan masyarakat Internasional untuk memerangi korupsi, misalnya berupa tekanan untuk merevisi Undang-undang Pencucian Uang.  Keseriusan perang anti korupsi terwujud antara lain dengan revisi UU Pemberantasan TPK, Pembentukan Komisi Pemberantasan TPK, Pembentukan Pengadilan TPK, Prioritas Program Pemerintah dan bahkan disertai dengan Pembentukan Tim Tas Tipikor.

Pembentukan lembaga baru KPK merupakan salah satu tindakan terobosan untuk mengefektifkan penanggulangan korupsi karena fungsi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sebelumnya dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian dianggap kurang berhasil/efektif. Oleh karenanya agar program penanggulangan Tipikor berhasil, kepada KPK diberi kewenangan yang lebih besar, antara lain: (1) berwenang melakukan penyidikan dan mengambil alih penyidikan Tipikor yang dilakukan oleh Polri atau Kejaksaan; (2) berwenang melakukan penuntutan; (3) Tidak mengenal penghentian penyidikan; dan (4) didukung dengan sistem dukungan dana operasional yang memadai, jauh lebih besar standar dana operasional untuk penyidikan ataupun penuntutan yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan. Bahkan di dalam prakteknya, KPK menerapkan kebiasaan untuk melakukan penahanan bagi semua tersangka/terdakwa yang ditangani tanpa adanya penangguhan penahanan sampai persidangan selesai.

Dengan pemberian kewenangan yang besar tersebut, KPK dinilai menjadi lembaga yang ”super body” dan cukup berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi sehingga di satu sisi dapat menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia dalam upaya memerangi korupsi. Namun di sisi lain, upaya penanggulangan korupsi saat ini juga masih dinilai belum mendapatkan hasil yang signifikan, bahkan masih menuai banyak kritik baik dari dalam negeri maupun dari masyarakat internasional antara lain: (1) KPK belum mampu mengungkap korupsi kelas kakap; (2) KPK hanya melakukan sistem tebang pilih; (3) Cost untuk membentuk dan biaya operasional KPK sangat besar dan tidak berimbang dengan jumlah uang kerugian negara yang berhasil diperoleh kembali oleh KPK dari hasil penanganan Tipikor.

Di samping itu, pemberian kewenangan yang sangat besar untuk melakukan penyidikan sekaligus penuntutan, tidak mengenal SP3 dan bahkan melakukan penahanan dan tidak mengenal penangguhan penahanan, telah mendatangkan kritik terjadinya inkonsistensi dalam penerapan prinsip diferensi fungsional, sehingga menambah kurangnya kepastian hukum. Kritik berlanjut dengan alternatif saran berupa pembubaran KPK dan menggantikannya dengan peningkatkan efektifitas atau memberdayakan jaksa dan polisi dengan sistem  dukungan dana dan pemberian kewenangan istimewa  seperti yang diberikan kepada KPK. Pro dan kontra dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlangsung selama ini merupakan tambahan gambaran betapa kompleksnya permasalahan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia

3.         Peran Advokat  Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi           

Bagaimana sesungguhnya peran advokat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi? Tentu yang lebih tahu apa peran advokat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah para advokat sendiri.  Karena secara tegas (atributif) dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan atau tidak diatur mengenai apa peranan dari advokat sebagai penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi, namun bagaimanapun juga karena advokat adalah penegak hukum sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Advokat, seharusnya advokat ikut berperan secara aktif melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri, tinggal bagaimana cara dan metodenya.

Sebagai lembaga yang tahu dan berkecimpung di bidang hukum, sulit melihat dalam kenyataan (secara sosiologis juridis) bahwa advokat dalam memberantas tindak pidana korupsi cukup berperan. Misalnya apakah pernah seorang advokat yang bertindak sebagai kuasa hukum dari tersangka/terdakwa yang diperiksa/dituntut dalam kasus korupsi menanyakan uang yang diberikan sebagai jasa pembela (pengacara). Pasti jawabannya itu tidak etis menanyakan hal itu, dan semuanya dianggap sebagai uang jasa. Oleh karena itu, dalam perkembangan pengaturan di bidang tindak pidana pencucian uang, telah dimasukkan penyembunyian (conceal) sejumlah dana dari hasil suatu kejahatan yang “dicuci” dengan alasan untuk bayar  jasa pengacara, sehingga sulit untuk melacak.

Dalam beberapa hal terkadang banyak tindakan dari advokat yang justru menyulitkan tindakan penegak hukum (penyidik, PU, dan hakim), dalam melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing dari unsur-unsur penegak hukum tersebut, karena kurang ada kerja sama yang baik antara advokat selaku kuasa hukum dari tersangka/terdakwa, bahkan dalam hal-hal tertentu justru menyembunyikan kelemahan-kelemahan dari kliennya, sehingga menyulitkan untuk dilakukan penyidikan demi pembuktian (membuat terang suatu perkara yang diduga merupakan tindak pidana).

Seharusnya advokat selaku penegak hukum hendaknya membantu para penegak hukum lainnya yang terkait dalam struktur formal dalam memberantas kejahatan, apalagi kalau dilihat bahwa kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan sekaligus termasuk kejahatan yang dapat dilaksanakan secara lintas batas (transnational crime), sehingga haruslah ditangani dengan cara-cara yang luar biasa juga.[12]

Dengan demikian kalau diperhatikan kasus per kasus kehadiran seorang advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi justru secara fungsional tidak banyak yang dilakukan jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kecuali tidak dalam kaitannya membela kliennya, dengan demikian kedudukannya bukan dalam kapasitas advokat sebagai penegak hukum,[13] tetapi sebagai pribadi misalnya duduk dalam kepanitiaan pembahasan rumusan perundang-undangan dan juga sebagai pembicara dalam seminar-seminar atau pertemuan ilmiah yang substansi pembahasannya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Padahal advokat seharusnya menjalankan peran sebagai akselerator reformasi hukum. Dalam menjalankan tugasnya, advokat yang posisinya independen, seharusnya bisa menjadi penyeimbang antara peran yang dijalankan hakim dan jaksa. Bukannya justru menjadi akselerator korupsi. Dari investigasi yang pernah dilakukan, banyak advokat yang ternyata ikut bermain menyusun dakwaan jaksa. Dakwaan sengaja dibuat lemah sehingga dalam persidangan, advokat bisa dengan mudah membebaskan terdakwa kasus korupsi dari jeratan hukum.

Sebagai organisasi profesi tentu kepentingan profesi harus tetap menjadi yang utama. Namun, tugas advokat dalam menegakkan hukum harus tetap memperhatikan keadilan. Advokat tidak bisa hanya melihat penegakan hukum tanpa mau melihat dimensi keadilan.

Selain itu, perlu ditegaskan pula bahwa advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.

4.         Budaya Hukum (Legal Culture)

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sistem hukum secara normatif dan secara mendasar terdiri dari 3 (tiga) elemen yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan  budaya hukum (legal culture). Ketiga elemen tersebut dalam kesisteman hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu elemen dengan elemen lainnya, dengan kata lain agar terlaksana sinergitas/keterpaduan di dalam elemen-elemen tersebut demi tercapainya tujuan hukum.
Apabila dilihat dari pembangunan sistem hukum dalam negara kesatuan RI membangun struktur hukum sudah lama dilakukan dan telah tertuang dalam Konstitusi UUD RI 1945, yang jabaran-jabarannya telah direalisir dalam berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan, baik yang dibentuk oleh badan pembentuk undang-undang (DPR RI dengan Presiden) maupun yang secara langsung dibentuk oleh pemerintah yang tujuannya untuk melaksanakan kegiatan di bidang administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, pembangunan sub-sistem struktur hukum dan substansi hukum secara fisik tidak begitu banyak menimbulkan masalah, karena secara umum sudah ada dan telah lama dibentuk tinggal penyempurnaan dalam beberapa hal seperti sinkronisasi dan harmonisasi dari berbagai substansi/kebijakan yang telah ditentukan agar sesuai dengan kepentingan masyarakat (tidak terdapat overlapping pengaturan di bidang tugas wewenang dan peran) maupun tuntutan era globalisasi dan kemajuan teknologi ilmu pengetahuan.

Terkait dengan masalah substansi hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dengan masalah ketentuan formal (hukum acaranya) sedangkan hukum materilnya sama, yaitu dalam menangani tindak pidana korupsi diberikan kewenangan kepada tiga instansi, yaitu penyidik kepolisian, penyidik kejaksaaan dan penyidik dari KPK. Dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK, maka ada kemudahan atau authority yang plus diberikan oleh pembentuk undang-undang, seperti menghilangkan hak-hak privilege dari pejabat negara dan ketiadaan rahasia bank dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana korupsi. Sedangkan kalau yang melakukan itu adalah Penyidik Polri atau Penyidik Kejaksaan, hak-hak khusus terkait dengan penindakan yang akan dilakukan oleh Penyidik Polri maupun penyidik dari kejaksaan kepada seorang pejabat negara tetap memperhatikan hak-hak previlege demikian juga mengenai rahasia bank yang tetap tunduk pada adanya izin dari Bank Indonesia.

Pembangunan sub-sistem budaya hukum merupakan pembangunan yang paling sulit jika dibandingkan dengan pembangunan terhadap elemen pertama dan kedua (sub-sistem struktur hukum dan substansi hukum) sebagaimana telah disebutkan di atas, masalahnya adalah banyaknya faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, kalau dikatakan membentuk undang-undang jauh lebih sulit dari pada menegakkan hukum, maka menurut tesis tersebut merupakan tesis yang terbalik. Jauh lebih sulit menegakkan hukum daripada membentuk undang-undang atau peraturan lainnya. Karena dalam membentuk undang-undang faktor-faktor penyebab kesulitan/hambatan lebih terkait dengan masalah-masalah politik diantara para fraksi-fraksi yang terlibat dalam pembahasan, karena sering terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan (politik) demi kekuasaannya masing-masing fraksi. Sedangkan dalam penerapan hukum banyak faktor yang mempengaruhinya apakah politik, kesejahteraan anggota/ pegawai, pendidikan, biaya operasional kegiatan, intervensi atasan/pimpinan, faktor keluarga, sahabat, ras, suku agama, dan lain-lain. Dengan demikian berbicara mengenai masalah berbagai pengaruh tersebut, kesemua faktor tersebut menjadi kendala dan dapat membentuk perilaku seseorang/petugas penegak hukum, dan menjadi faktor-faktor yang pada umumnya terkait dengan pembahasan budaya hukum itu sendiri.

Marc Galanter mengatakan bahwa budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu menentukan isi dan gaya yang sepantasnya bagi berbagai peranan hukum dan proses-prosesnya[14], terkait dengan proses-proses hukum tersebut, agar berjalan dengan baik, diperlukan adanya dorongan moral sebagaimana dikatakan oleh Lon L. Fuller yang mengatakan bahwa hukum pada akhirnya harus diilhami oleh aspirasi kewajiban moral.[15] Demikian juga Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “perilaku hukum yang ideal merupakan fungsi dari: (1) pengetahuan hukum, (2) penghormatan hukum, (3) pendidikan, dan (4) disiplin. Perilaku hukum itu tidak jatuh dari langit begitu saja.[16]

Dalam masyarakat kita dijumpai banyak budaya hukum, demikian juga dalam profesi bidang penegakan hukum. Sudah tentu masing-masing kelompok masyarakat maupun kelompok profesi memiliki budaya hukum yang berbeda dengan budaya hukum kelompok profesi yang lain. Misalnya budaya hukum hakim berbeda dengan budaya hukum advokat/pengacara, demikian juga pasti berbeda dengan budaya hukum kepolisian. Budaya hukum Jaksa Penuntut Umum (PU) juga pasti berbeda dengan budaya hukum hakim, juga dengan budaya hukum advokat/pengacara. Perbedaan itu senantiasa terkait dengan tugas, fungsi wewenang dan peranan mereka dalam bidang profesi masing-masing.

Ide-ide dan norma-norma yang menjelma dalam aturan-aturan hukum dapat menunjukkan kepada kita sejumlah hal yang berbeda-beda, tergantung kepada cara kita atau bagaimana kita mempercayai hukum, bagaimana sikap kita kepada fakta-fakta. Sikap dalam hal ini tidak berhubungan dengan tujuan, akan tetapi untuk menggambarkan tentang unsur-unsur yang membentuk kesadaran kita tentang hukum, dan menunjukkan cara kita memandang hukum.

Seorang advokat maupun pengacara tidak akan pernah mengatakan kepada hakim maupun kepada PU, supaya kliennya dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya karena sudah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang berat seperti misalnya pembunuhan berencana. Pasti selalu mengatakan mohon dibebaskan dari segala dakwaan atau tuntutan dan kalau Majelis Hakim berbeda pendapat dengan kami mohon dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya.

Demikian juga dengan PU bagaimanapun senantiasa membuktikan bahwa apa yang didakwakan terhadap terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan mohon mejelis supaya menjatuhkan hukuman, dan dalam kenyataannya sangat jarang PU membebaskan terdakwa dari segala dakwaan maupun tuntutan.

F.       INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK ADVOKAT

Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organisasi masyarakat juga selalu terdapat anggaran atau pedoman dasar dan anggaran atau pedoman umah tangga organisasi. Namun, baru sedikit di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat kode etik yang disertai oleh infra struktur kelembagaan dewan kehormatan ataupun komisi etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud.  Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya biasa dilakukan.

Demikian pula halnya UU Advokat telah menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh organisasi advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan organisasi advokat.

Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk AD dan ART serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan dewan kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif. Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.

Kode Etik Advokat sebagaimana yang telah disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, di dalam Bab II tentang Kepribadian Advokat, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 mengatur tentang tentang persyaratan profesi Advokat, yaitu:

Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3:
·           Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan politik dan kedudukan sosialnya..
·           Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan.
·           Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam negara hukum Indonesia .
·           Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.
·           Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).

G.      MASALAH PENANGANAN KORUPSI

Permasalahan dalam penanganan korupsi, antara lain:
1.         Banyak informasi, namun terdapat kendala yaitu jumlah Penyidik yang terbatas, dan juga banyak kasus yang belum tuntas. 
2.         Informasi palsu, fitnah untuk menjatuhkan pejabat tertentu. 
3.         Pelapor meminta respon cepat/ upaya paksa dengan jalan unjuk rasa, padahal Penyelidik harus obyektif, teliti dan penuh dengan kehati-hatian namun dituntut cepat, bila lambat dianggap tak serius/ kolusi.
4.         Perkara korupsi belum jelas, namun dimanfaatkan diblow-up beritanya.
5.         Pejabat publik sering memicu massa sehingga menghambat penyidikan.
6.         Akibat dari permasalahan tersebut mengakibatkan:
7.         Timbulkan hambatan dalam penanganan kasus korupsi.
8.         Upaya mengalihkan perhatian.
9.         Terkadang menimbulkan masalah baru.

H.      HAMBATAN PROSES HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

Hambatan yang sering dijumpai dalam praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, antara lain:
1.         Masalah Materi Hukum/Perundang-undangan:
-            Inkonsistensi UU: vertikal dan horizontal
-            Legalisasi Korupsi dengan UU: Kebijakan dinilai melawan UU.
2.         Masalah Praktek Hukum:
Masih terdapat Perbedaan Penafsiran tentang:
-            Alat bukti, kelengkapan bukti dan kerugian Negara.
-            Unsur “dapat” timbulkan kerugian/Ekonomi Negara.
-            Benturan Ranah Peradilan Pidana dan Administrasi Negara.
3.         Masalah Politis dan Birokrasi:
-            Izin periksa Pejabat dinilai sebagai alat untuk menghambat proses.
-            Dugaan KKN di peradilan sehingga putusan ringan/ bebas.
-            Perang Opini: kebijakan pemerintah V.S. penerapan UU.

Akibat dari hambatan tersebut menimbulkan kesan:
1.         Pemberantasan korupsi tebang pilih.
2.         Pemberantasan korupsi kurang konsisten.
3.         Kurang serius memberantas korupsi.
4.         Kepastian hukum kurang jelas.

I.         SIMPULAN 

Dari uraian tersebut di atas, maka penulis mencoba menarik beberapa simpulan terkait dengan peran advokat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai berikut:

1.         Kondisi penegakan hukum sampai saat ini masih memprihatikan kita semua, karena mayarakat maupun para pencari keadilan masih belum merasakan kepuasaan dalam berurusan dengan para penegak hukum baik yang terkait dengan penegakan hukum dalam tataran formal maupun penegak  hukum non fomal.

2.         UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah menentukan bahwa advokat merupakan penegakan hukum disamping penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, hakim, kedudukan sebagai penegak hukum melekat pada individu advokat yang bersangkutan sejak menerima kuasa dari pemberi kuasa.

3.         Peran advokat dalam pemberantasan korupsi lebih terkait dengan sikap dari setiap masyarakat melalui kebijakan kriminal dengan pendekatan non penal, yaitu sebagai pembicara dalam seminar yang terkait denan masalah-malah korupsi, dilibatkan dalam perumusan ketentuan dalam kapanitiaan lintas sektoral. Kalau melalui pemberian pembelaan masih banyak yang kurang  berpartisipasi dalam membantu para penegak hukum dalam struktur formal, justru ada yang menyulitkan dengan tidak memberikan fakta-fakta yang sebenarnya.

4.         Perbedaan selalu terdapat diantara para unsur penegak hukum dalam melihat dan penerapan hukum, ini terkait dengan masalah budaya hukum atau sikap seseorang terhadap sistem hukum yang berlaku.

5.         Permasalahan dalam penanganan korupsi, antara lain terbatasnya jumlah penyidik, banyaknya informasi palsu; pelapor meminta respon cepat dengan jalan unjuk rasa, bila penyelidik/penyidik lambat dianggap tak serius/kolusi padahal penyelidik harus obyektif, teliti, dan penuh dengan kehati-hatian; perkara korupsi belum jelas, namun dimanfaatkan di blow-up beritanya; pejabat publik sering memicu massa sehingga menghambat penyidikan, akibatnya: timbulkan hambatan dalam penanganan kasus korupsi; upaya mengalihkan perhatian dan terkadang menimbulkan masalah baru.

6.         Hambatan yang sering dijumpai dalam praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, antara lain dalam: masalah materi hukum/perundang-undangan; masalah praktek hukum; dan masalah politis dan birokrasi, sehingga menimbulkan kesan bahwa: pemberantasan korupsi tebang pilih, kurang konsisten, kurang serius memberantas korupsi dan kepastian hukum kurang jelas.

7.         Advokat harus menjalankan peran sebagai akselerator reformasi hukum. Dalam menjalankan tugasnya, advokat yang posisinya independen, harus bisa menjadi penyeimbang antara peran yang dijalankan hakim dan jaksa. Bukannya justru menjadi akselerator korupsi. Dengan kata lain hendaknya advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan.



[1] Pengertian Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan UU Advokat. Selanjutnya dalam butir 2 disebutkan “jasa hukum” adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
[2] Lawyer menurut pengertian yang dimuat dalam “Black Law Dictionary”, oleh Henry Campbvell Black, West Group, St. Paul, 1991, hal 614 adalah: “A person learned in the law; as an attorney, councel, or solicito; a person licened to practice law. “Any person who presecutes or depends cuases in courts of record or other judicial tribunals ot the United State; or of any of the states, or whose business it is to give legal advice or assistance in relation to any cause or matter whatever. 
[3] Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil perubahan keempat UUD RI 1945.
[4] Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.
[5] Hans Kelsen, General Theory of The law, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115 dan 123-124.
[6] Untuk sementara ini, para politisi sebagai legislator di lembaga perwakilan memang belum dapat dikategorikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan sistem politik yang sudah mapan dan peran-peran profesional telah terbagi sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat berkembang makin lama makin professional. Politisi lama-kelamaan menjadi profesi, karena menjadi pilihan hidup dalam masyarakat.
[7] Huruf b Konsideran Menimbang UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
[8] Lihat pertimbangan hukum putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai pengujian UU Advokat.
[9] Lawrence Friedman, American Law,  W.W.Norton & Company, New York-London, 1984, hal. 7.
[10] Dalam Term of Reperence (ToR) tanggal 16 Maret 2009 yang disampaikan oleh panitia bahwa advokat disebut sebagai penegak dalam tataran  “Catur Wangsa Penegak Hukum”.
[11] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. 1, hal. 159, mengatakan bahwa politik hukum adalah: (1) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan situasi tertentu pada suatu saat; (2) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.  
[12] Dalam Konvensi Palermo 2000, suatu kejahatan dapat disebut bersifat transnasional (kejahatan transnasional) apabila memiliki karakteristik: (1) dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara tetapi persiapan, perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain; (3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara atau; (4) dilakukan di satu negara tetapi secara substansial efeknya menyebar sampai ke negara lain.   
[13] Beberapa orang mengatakan bahwa advokat sebagai penegak hukum ketika advokat yang bersangkutan telah menandatangani surat kuasa dari kliennya, sebelum menandatangi surat dari kliennya, advokat tidak dapat disebut sebagai penegak hukum.
[14] Marc Galanter, Keadilan di Berbagai Ruangan Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat Serta Hukum Rakyat,  ed., T.O. Ihromi, dalam: Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001,  hal. 136.
[15] Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Pres, New Haven And London, 1968, hal. 69. Lihat juga pendapat Masaji Chiba dalam: Legal Pluralism: Toward  A General  Theory Through Japaness Legal Culture, Tokai University Press, Tokyo, 1989, hal. 75,  mengatakan: “Law is the last resort to maintain social order depending upon the sosial and culture properties of a country”.
[16] Satjipto Rahardjo, “Pembangunan Budaya Hukum Pada Pelita VII”, makalah disampaikan dalam seminar Kepolisian Negara RI tentang Perspekif Pembangunan Bidang Hukum Pada Pelita VII, Jakarta, 18 Juni 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan