BAGIAN II
A. Pendahulun
Pembahasan tentang pembangunan hukum dalam perspektif menjalankan pemerintahan dan bermasyarakat di Indonesia dalam naskah ini lebih terfokus pembahasannya mengenai penegakan hukum pidana, dengan mengambil beberapa contoh permasalahan dalam penegakan hukum tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi. Pembahasannya menggunakan pendekatan empiris dan teoretis, yakni melalui mengkajian dari aspek praktis yang didasarkan pada pengalaman dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum dengan menggunakan teori hukum sebagai alat untuk analisis.
Diharapkan kajian ini dapat menjadi sarana untuk berbagi pengalaman dan dapat menambah wawasan kita dalam membahas permasalahan hukum serta dapat menambah pemahaman tentang masalah aktual yang terjadi di lapangan, agar kita dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan hukum ke depan dalam negara yang kita cintai ini. Untuk tujuan itu, pembahasan akan diawali dengan tinjauan singkat tentang sistem hukum nasional dan arah pembangunan hukum, dilanjutkan pembahsan tentang permasalahan dalam penegakan hukum tindak pidana dengan mengambill contoh permasalahan dalam penerapan KUHAP, dan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi.
B. Sistim Hukum Nasional
Semenjak Indonesia merdeka, cita-cita para pendiri bangsa adalah membentuk suatu Negara Hukum (Rechtsstaat). Hal ini tertulis di dalam Penjelasan UUD RI 1945 yang kemudian–setelah mengalami Amandemen Keempat UUD–dipertegas ke dalam rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Seiring dengan proses pembangunan yang dirintis oleh pemerintah mulai dari kepemimpinan Presiden yang pertama sampai Presiden yang ke enam saat ini, pembangunan hukum di Indonesia terus berjalan, sekalipun sampai saat ini hasilnya belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Bahkan banyak pengamat hukum yang menilai bahwa hukum di Indonesia ini masih carut marut, dengan kriteria yang sangat beragam, karena sangat kompleksnya permasalahan dan kelemahan hukum yang dapat diungkapkan baik dari kelembagaan hukum, aspek substansi hukum ataupun budaya hukum.
Untuk memahami kondisi hukum suatu negara, perlu tinjauan sistem hukum secara komprehensif yang meliputi tiga elemen yaitu (1) Elemen kelembagaan (elemen institusional); (2) Elemen kaedah aturan (elemen instrumental) dan (3) Elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang sitentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural).[1] Kajian terhadap ketiga elemen hukum tersebut mencakup berbagai kegiatan yang berkaitan dengan masalah hukum yaitu: (1) Kegiatan pembuatan hukum (law making); (2) Kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating); (3) Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating), dimana kegiatan ini mencakup kegiatan penegakan hukum (law enforcement), dalam arti sempit yang di bidang pidana melibatkan kepolisian, kejaksaan, advokad dan kehakiman; (4) Kegiatan pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education); dan (5) Pengelolaan informasi hukum law information (law information management). Kelima kegiatan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan Negara[2] (Montesquieu, 1914) yaitu (1) fungsi legislasi dan regulasi yang dilaksanakan oleh lembaga parlemen (di Indonesia DPR RI/DPRD); (2) fungsi eksekutif dan administratif yang dilaksanakan oleh lembaga Pemerintahan; dan (3) fungsi judikatif atau judicial yang dilaksanakan oleh organ birokrasi aparat penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Dalam konteks penyusunan Sistem Hukum Nasional, Sunaryati Hartono menggunakan pendekatan sistemik dengan menggambarkan ke dalam enam lingkaran konsentris sebagai berikut: (1) Pancasila diletakkan pada titik tengah lingkaran yang membentuk sistem hukum nasional; (2) lingkaran kedua adalah Undang-Undang Dasar RI 1945 yang menjadi landasan konstitusi dalam Sistem Hukum Nasional; (3) lingkaran ketiga meliputi peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis; (4) lingkaran keempat menandakan jurisprudensi dan (6) lingkaran keenam yang paling luar adalah hukum kebiasaan.[3] Pendekatan sistemik tersebut memudahkan kita untuk dapat melihat lebih jelas wujud sistem hukum nasional Indonesia yang tersusun dalam suatu hirarkhi peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling mendasar berupa nilai-nilai ideal yang merupakan sumber hukum di Indonesia dan merupakan landasan konstitusi, sampai dengan peratutan perundang-undangan yang tertulis dan bahkan hukum kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karenanya, analisis dan pendekatan sistem hukum tersebut dapat dijadikan acuan dalam pembahasan pembangunan hukum dalam perspektif berpemerintahan dan bermasyarakat yang menjadi tema seminar ini.
Penalaran kajian dari kedua perspektif tersebut menuntun kepada Bahwa arah pembangunan hukum tentunya tidak dapat terlepas dari fungsi dan tujuan hukum itu sendiri. Dalam hal ini dapat digunakan acuan pendapat pakar hukum tentang fungsi sistem hukum yang meliputi: (1) Fungsi kontrol sosial (social control); (2) Fungsi penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan konflik (conflict); (3) Fungsi redistribusi atau fungsi rekayasa sosial (redistributive function or social engineering function); (4) Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function) yang berguna untuk menegakkan struktur hukum, agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).[4] Dari rincian fungsi hukum tersebut, menambah kejelasan bahwa hukum bukanlah semata mengandung aturan-aturan yang berisi larangan dan keharusan dalam rangka untuk memelihara keamanan dan ketertiban di dalam suatu tatanan masyarakat, melainkan juga dapat berfungsi sebagai social engineering yakni sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu tata kehidupan bermasyarakat, menuju kepada tatanan yang dirancang oleh pemerintah melalui produk-produk hukum.
Dalam konteks penegakan hukum dan semangat untuk menegakkan keadilan, sejak jaman dulu telah terkenal adanya semboyan fiat justitia, ruat caelum (tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh sekalipun besok pagi). Semboyan ini bermakna bahwa dalam kondisi apapun, sesulit apapun dan betapa besar resiko yang harus kita hadapi, upaya penegakan hukum dalam rangka menegakkan keadilan harus tetap dilakukan. Semboyan tersebut telah mengelorakan semangat pengembangan sistem peradilan pidana yang merupakan sarana pengendali agar hak-hak individual tidak digunakan secara absolut, sehingga dapat melanggar hak-hak individu lainnya. Namun dari sisi lain juga harus diwaspadai bahwa penerapan sistem peradilan pidana, jika dilakukan tidak secara hati-hati, sangat berpotensi dapat membahayakan hak-hak individual.
Berkaitan dengan masalah kegagalan penerapan sistem peradilan pidana sebagai sarana penegakan keadilan dan perlindungan hak-hak warga negara, menurut Muladi, Miscarriage of Justice (MoJ)[5] yakni kegagalan dalam menegakkan keadilan yang dilakukan oleh negara dengan melanggar hak-haknya, disebabkan oleh beberapa hal, yakni: (1) Perlakuan yang tidak adil – beberapa perlakuan tersebut diantaranya: penahanan dan penangkapan tanpa alasan kuat; pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, pembelaan hukum oleh para penasehat hukum dibawah standar profesi, kesesatan hakim yang terlanjur membebaskan terdakwa karena kesalahan teknis; (2) Peraturan hukum yang tidak adil, semata-mata demi kepastian hukum; (3) Tidak adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang, yang tidak salah, akibat kesalahan dalam sistem pembuktian; (4) Perlakuan yang merugikan dan tidak proporsional terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana, dibandingkan dengan kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain; (5) Hak-hak orang lain (baik korban aktual maupun potensial) tidak dilindungi secara efektif dan proporsional oleh negara -- hal ini ditujukan terhadap keamanan umum yang secara preventif menjadi tanggung jawab polisi dan (6) Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kondusif. Butir-butir yang diungkapkan Muladi tersebut sangat bermanfaat untuk menambah kecermatan kita, agar dalam mengamati permasalahan tentang efektivitas penegakan hukum, hendaknya tidak hanya terbatas pada tinjauan terhadap perilaku dan tindakan aparat penegak hukum (yakni polisi, jaksa dan hakim) dalam menangani para pelaku pelanggar hukum, melainkan juga mencakup kajian terhadap faktor aturan yang tidak adil, termasuk aturan perlindungan hak-hak para korban.
C. Pembangunan Hukum Nasional
Pembangunan hukum nasional tentunya selalu diarahkan kepada upaya mewujudkan keadilan. Namun dalam kenyataannya pembangunan hukum tidak selalu dapat bersifat otonom, karena dalam proses penyelenggaraan negara, pembangunan hukum tidak dapat lepas dari kepentingan politik pemerintah atau kelompok penguasa. Secara teroritis, undang-undang seharusnya merupakan refleksi dari keinginan masyarakat yang dituangkan di dalam rumusan aturan dalam rangka mewujudkan keadilan, ketertiban dan keamanan agar dapat terpelihara suasana yang kondusif bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam kenyataannya undang-undang merupakan produk hukum yang dibuat oleh para pembuat undang-undang, sehingga tidak lepas dari pengaruh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Akibatnya, rumusan hukum yang dihasilkan sering lebih mencerminkan kepentingan para penguasa/pembuat undang-undang dari pada untuk kepentingan masyarakat pada umumnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk lebih menjamin agar proses penyusunan hukum nasional dapat menghasilkan produk hukum yang merefleksikan kepentingan dari berbagai pihak, pada Era Reformasi telah disyahkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya berisi pedoman bagi para pembuat peraturan perundang-undangan mengenai prosedur atau proses penyusunan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal sebagai berikut: proses penyusunan yang transparan; melibatkan segenap stakeholder; melibatkan seluruh departemen teknis yang terkait dengan pokok permasalahan; melalui proses harmonisasi antara Departemen dan berbagai pihak yang terkait; melalui proses sosialisasi sebelum peraturan diundangkan; serta proses penyusunan Undang-undang yang dapat menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan yang sedang dibuat dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajad lainnya.
Sekalipun pedoman penyusunan undang-undang tersebut sudah ada dan sudah cukup baik, namun dalam prakteknya masih saja terdapat penyimpangan ataupun kurangnya kedisiplinan dalam penerapannya, sehingga sering timbul silang pendapat dalam proses penyusunan rencana undang-undang, misalnya: prosesnya tidak melalui prosedur harmonisasi, sinkronisasi ataupun sosialisasi, ataupun silang pendapat mengenai produk Undang-undang yang kenyataannya masih belum menampung aspirasi berbagai pihak yang terkait. Akibat dari proses yang tidak sehat atau proses yang tidak melalui prosedur yang benar tersebut, sering mengakibatkan lahirnya undang-undang yang tidak konsisten atau mengandung substansi yang bertentangan dengan undang-undang lainnya, atau melahirkan undang-undang yang kurang efektif, dan bahkan menghasilkan produk Undang-undang yang dapat menimbulkan kerugian rakyat banyak.
Pembangunan hukum di Indonesia, khuhusnya di bidang hukum pidana, yang pada dasarnya diarahkan kepada unifikasi dan kodifikasi hukum, sejauh ini banyak mengalami hambatan karena berbagai faktor, terutama faktor kondisi masyarakat Indonesia yang sangat kompleks, baik ditinjau dari keanekaragaman budaya yang memiliki adat masing-masing, ataupun kesenjangan yang cukup besar akibat perbedaan kemajuan yang sangat mencolok antara masyarakat diperkotaan dengan masyarakat di pelosok/pedalaman. Upaya penyempurnaan atau upaya penggantian produk hukum peninggalan kolonial Belanda, misalnya KUHP, yang sudah sangat lama diproses, sampai saat belum berhasil melahirkan KUHP yang baru yang merupakan produk bangsa Indonesia sendiri. Sementara itu muncul produk-produk hukum pidana tertentu yang disertai dengan aturan tentang tatacara penegakan hukumnya, sehingga dalam penerapannya terkadang menimbulkan benturan antara aparat penegak hukumnya. Benturan yang terjadi dapat saja disebabkan oleh perbedaan penafsiran hukum ataupun kesalah pahaman aparat penegak hukum di lapangan, sehingga menambah kompleksnya permasalahan dalam penegakan hukum.
Meningkatnya aktivitas pembuatan undang-undang akhir-akhir ini menimbulkan kesan bahwa kita hanya cenderung membuat undang-undang, sehingga layaknya terjadi hujan undang-undang, namun kurang mempertimbangkan faktor efektivitas penegakan hukumnya. Penilaian tentang penegakan hukum, pada umumnya lebih ditumpukan kepada faktor kegiatan para aparat penegak hukum, dan bilamana penegakan hukum tidak berjalan efektif, maka yang ditunding adalah kesalahan aparat penegak hukumnya. Padahal faktor yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas penegak hukum bukan hanya terletak kepada unsur aparatnya saja, karena selain unsur aparat penegak hukum juga harus dilihat faktor-faktor lainnya yaitu: faktor materi hukum, sarana dan prasarana hukum serta kesadaran hukum masyarakat.[6]
Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, begitu undang-undang disahkan dan diumumkan di dalam Lembaran Negara, semua orang dianggap sudah mengetahui undang-undang tersebut dan diharuskan mematuhinya, dengan sanksi tertentu bila tidak mematuhinya. Padahal, setiap orang atau bahkan aparat penegak hukumnya sendiri belum tentu semuanya telah membaca undang-undang yang telah diumumkan melalui Lembaran Negara, apalagi memahami isinya. Dengan demikian bila yang diinginkan adalah penegakan hukum yang efektif maka paling tidak yang dibangun haruslah mencakup berbagai aspek, yaitu aspek perbaikan aturan hukum, peningkatan kualitas aparat penegak hukum, perbaikan sarana dan prasarana hukum serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
D. Permasalahan dalam Penegakan Hukum
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah penegakan hukum tersebut, sekedar untuk mengambarkan kondisi dan permasalahan dalam penegakan hukum saat ini, akan diungkapkan secara singkat kondisi hukum saat ini yang akan ditinjau dari aspek materi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana penegakan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat.
1. Dari tinjauan terhadap aspek materi hukum:
Kita maklum bahwa permasalahan yang paling menonjol dari aspek ini, adalah masih terjadi inkonsistensi hukum, yakni masih sering didapatkannnya substansi dalam suatu peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron atau bahkan bertentangan secara vertikal (dengan pertahuran perundang-undangan yang lebih tinggi atau lebih rendah) dan secara horisontal (yakni dengan peraturan yang sederajad). Kondisi ini menjadi semakin kompleks seiring dengan adanya ”hujan” undang-undang yang terjadi pada Era Reformasi, dimana terjadi upaya besar-besaran untuk merevisi produk hukum yang dibuat pada rezim pemerintahan lama yang dinilai bersifat otoriter, sehingga tidak sesuai dengan tatanan kehidupan demokratis dalam era reformasi. Inkonsistensi hukum yang ada saat ini tidak hanya didapati pada produk-produk hukum materiil (produk hukum tentang aturan bertindak dan sangsinya), melainkan juga produk hukum formil (produk hukum yang mengatur tentang tatacara penegakan hukum) Contoh adanya inkosistensi dalam produk hukum materiil, antara lain: (1) perbedaan aturan tentang kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hasil hutan (misalnya SKSHH dan IPK), pengawasan lingkungan hidup (misalnya batas standar baku mutu pencemaran lingkungan), (2) lahirnya Peraturan Pemerintah atau Perda yang mengacu kepada RUU yang belum disyahkan dimana substansnya bertentangan dengan UU yang masih berlaku (misalnya RUU LLAJ). Sedangkan inkonsistensi hukum dalam produk hukum formil, antara lain: (1) adanya perbedaan substansi tentang kewenangan penyidikan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus/tertentu antara yang telah ditetapkan di dalam KUHAP dengan aturan hukum di dalam beberapa poduk hukum pidana tertentu (misalnya UU Kerjaksaan, UU Perikanan, UU Tipikor, UU Kepabeanan, UU Perpajakan); (2) perbedaan substansi hukum tentang peran Koordinator dan Pengawasan Penyidik Pegawan Negri Sipil (Korwas PPNS) yang diatur di dalam KUHAP dengan yang diatur di dalam beberapa produk Hukum Pidana Tertentu (misalnya UU Kepabeanan dan UU Perikanan). Adanya inkonsistensi hukum tersebut, selain dapat membingungkan masayarakat juga membuat keraguan bagi aparat penegak hukum terhadap aturan mana yang dapat dijadikan pedoman daqlam penegakan hukum. Kondisi ini dengan sendirinya sangat menghambat perwujudan kepastian hukum.
2. Dari tinjauan terhadap aspek aparat hukum:
Selain kurangnya jumlah dan kualitas aparat, masalah klasik yang merupakan aparat hukum adalah yang berkaitan dengan moralitas, mentalitas dan profesionalitas aparat penegak hukum. Moralitas dan mentalitas aparat pada umumnya masih sangat sulit diperbaiki, karena hal ini sangat berkaitan dengan faktor kondisi lingkungan kehidupan aparat penegak hukum yang banyak mendorong kearah tindakan negatif, misalnya: kebutuhan ekonomi, atau gaji yang sangat jauh dari cukup, sehingga memaksa petugas mencari income tambahan. Kondisi ini juga dipacu dengan faktor kurangnya dukungan dana operasional dalam penegak hukum yang umumnya sangat kecil/kurang memadai sehingga memaksa petugas untuk mencukupi dana operasional dari sumber lainnya, dimana hal ini akan bermuara kepada penyimpangan atau pembebanan kepada para korban atau pihak lainnya. Selain itu kebiasaan sebagian warga masayarakat yang cenderung mempengaruhi aparat untuk melakukan tindakan yang menyimpang dalam menyelesaikan masalah penegakan hukum dengan sendirinya juga sangat menghambat perbaikan moral dan mental aparat hukum. Dari aspek profesionalitas, seiring dengan lahirnya peraturan perundang-undangan baru yang cukup banyak dan kompleks, dengan sendirinya membutuhkan tengang waktu yang tidak singkat untuk proses sosialisasi baik bagi masyarakat ataupun bagi para aparat hukumnya sendiri. Oleh karenanya peraturan perundang-udangan yang baru disyahkan belum tentu dapat diterapkan secara efektif, karena masih membutuhkan proses pemahaman dan pelatihan bagi aparat untuk menerapkannya. Di sisi lain, seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan penegakan perlindungan HAM tentunya juga menambah kepekaan warga masyarakat dan semua pihak dalam menyoroti kualitas profesional aparat hukum dalam menegakkan hukum, yang tidak lain merupakan bagian dari proses perlindungan HAM.
3. Dari tinjauan terhadap aspek sarana dan prasarana hukum:
Pada umumnya sarana dan prasarana penegakan hukum saat ini masih belum memadai dengan harapan atau tuntutan masyarakat. Contoh paling jelas adalah masalah Rumah Penyimpanan Barang Bukti Sitaan Negara, dimana sejak KUHAP diundangan Tahun 1981, sampai saat ini jumlah Rupbasan yang tersedia sangat sedikit. Demikian juga fasilitas Rumah Tahanan masih sangat kurang, sehingga selama ini sebagian besar menggunakan Rutan yang ada pada Polri. Fasilitas Lembaga Pemasayarakat pada mumnya juga sangat kurang memadai dimana hampir semua Lapas jumlah penghuninya selalu melebihi kapasitas Lapas. Ketidakmampuan dalam memenuhi sarana dan prasarana penegakan hukum ini, semestinya menjadi pelajaran yang harus selalu diperhatikan dalam proses pembuatan atau penyempurnaan Undang-undang, agar jangan sampai terulang lagi hal seperti ini. Sebagai contoh, pada RUU KUHAP, dalam rangka untuk memenuhi standar internasional dalam hal perlindungan HAM, direncanakan akan dibentuk Hakim Komisaris yang akan ditempatkan ”didekat” setiap Rutan agar dapat melakukan pengawasan yang efektif terhadap semua aparat penegak hukum. Rencana ini memang sangat ideal, namun dalam penerapannya akan banyak mengalami kendala, atau setidak-tidaknya membutuhkan masa transisi yang cukup panjang bila dikaitkan dengan kesiapan sarana dan pasarana yang harus dicukupi, baik yang meliputi rekrutmen Hakim, penyiapan sarana dan prasarana termasuk dukungan operasionalnya. Apalagi bila dibandingkan dengan sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi geografis yang sebagian besar masih sulit terjangkau, terutama lokasi-lokasi terpencil di pelosok tanah air. Belajar dari pengalaman tidak dapat dipenuhinya Rupbasan dan Rutan tersebut, maka apabila model Hakim Komisaris akan diterapkan, harus disertai dengan ketentuan peralihan untuk mengantisipasi kondisi dalam hal Hakim Komisaris yang dimaksud belum tersedia di suatu wilayah, terutama di daerah-daerah terpencil.
4. Dari tinjauan terhadap aspek kesadaran hukum masyarakat.
Efektivitas penegakan hukum dengan sendirinya tidak hanya ditentukan oleh kegiatan aparat penegak hukum yang umumnya sangat terbatas jumlah dan kualitasnya, bila dibandingkan dengan wilayah penerapan hukum yang harus di cover oleh petugas penegak hukum. Apabila kesadaran hukum masyarakat cukup baik, maka bukan saja dapat berpengaruh terhadap kecilnya peristiwa pelanggaran hukum, namun juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat baik dalam mengawasi berjalannya hukum di lingkungan masing-masing, termasuk partisipasi warga masyarakat dalam membantu upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tingginya partisipasi dan kesadaran hukum sangat tergantung kepada proses pemahaman masyarakat terhadap hukum yang berlaku, sehingga hal ini akan berkaitan dengan proses sosialisasi peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, berkenaan dengan maraknya kelahiran undang-undang yang baru, maka dapat diperkirakan bahwa kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi aturan yang baru tentunya membutuhkan tenggang waktu yang tidak sedikit. Selain itu kecepatan pemahaman hukum di kalangan masyarakat dengan sendirinya sangat dipengaruhi oleh efektivitas proses sosialisasi hukum. Faktor yang cukup krusial untuk dicermati di dalam era reformasi yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kesadaran hukum di kalangan masyarakat adalah situasi eforia pada era reformasi. Semangat demokratisasi yang demikian menggelora yang tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup tentang prinsip-prinsip demokrasi, telah membawa kepada suasana yang diwarnai maraknya tuntutan kebebasan berpikir, berbicara dan bertindak tanpa batas, sehingga justru menimbulkan kondisi yang banyak diwarnai oleh kebrutalan dan tindakan memaksakan pendapat/kemauan dengan dalih demokrasi. Perkembangan di lapangan menunjukkan sangat mudahnya terjadi benturan dan kerusuhan masal, pengrusakan saran ibadah, main hakim sendiri, yang semuanya belum mampu ditindak dengan tegas melalui proses penegakan hukum yang berlaku. Akibatnya kesadaran hukum masyarakat untuk mewujudkan ketertiban di lingkungannya semakin pudar dan bahkan kecenderungan melawan aparat semakin besar, karena tampaknya warga masyarakat juga mempelajari pengalaman bahwa perlawanan terhadap aparat ataupun tindakan anarkhis yang dilakukan secara masal sejauh ini tampaknya tidak mampu diatasi oleh sistem penegakan hukum pidana yang berlaku saat ini. Dengan demikian, apabila yang dikehendaki adalah penegakan hukum yang efektif, maka perkembangan kesadaran hukum di kalangan masyarakat merupakan faktor yang sangat penting untuk digarap.
E. Beberapa Masalah Aktual dalam Penegakan Hukum Pidana
Dari berbagai permasalahan yang sangat kompleks, pada kesempatan ini hanya akan disampaikan beberapa butir permasalahan untuk dapat dijadikan bahan diskusi dalam rangka mendapatkan solusi yang lebih efektif.
1. Pelaksanaan Pasal 284 ayat (2) KUHAP:
KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) yang merupakan karya agung bangsa Indonesia sesungguhnya telah mencanangkan semangat perlindungan HAM melalui penataan sistem hukum acara pidana yang dapat lebih menjamin perlindungan HAM dan menjamin kepastian hukum melalui ketentuan, antara lain: (1) Penerapan prinsip diferensi fungsional dalam sistem peradilan pidana yang terpadu, yang di dalamnya mencakup prinsip pemilahan fungsi penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di peidangan, dan pelaksanaan putusan pengadilan; (2) Pembagian/pemilahan fungsi penyidikan dan penuntutan tersebut, merupakan koreksi terhasap kelemahan sistim HIR sebelumnya.
Penerapan sistem deferensi fungsional dalam KUHAP mengandung maksud sebagai berikut: (1) mengurangi peluang terjadinya penumpukan kewenangan pada salah satu unsur penegak hukum; (2) mewujudkan sistem pengawasan silang antar unsur penegak hukum; (3) mengurangi peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh salah satu unsur penegak hukum; dan (4) agar setiap unsur penegak hukum lebih profesional di bidangnya masing-masing. Semenjak diberlakukannya KUHAP, diharapkan seluruh acara peradilan pidana akan dilaksanakan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, dengan masa transisi penerapan KUHAP selama dua tahun (Pasal 284 KUHAP), sedangkan semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah, atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun dalam prakteknya, arah pembangunan hukum yang menuju penerapan prinsip diferensi fungsional dalam hukum acara pidana, menjadi semakin kabur, berkenaan dengan bermunculannya ketentuan perundang-undangan yang tidak sinkron dengan prinsip deferensi fungsional yang dianut di dalam KUHAP, misalnya UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, terutama (Pasal 30 ayat (1) d yang saat ini digugat oleh pemohon untuk diuji di Mahkamah Konstitusi, karena dianggap tidak sesuai dengan azas perlindungan HAM khususnya mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum perlindungan sebagaimana yang dirumuskan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) di dalam UUD RI 1945.Alasan pemohon adalah, karena Pemohon yang pernah menjadi tersangka perkara penggelapan Asabri oleh Mabes Polri dan kemudian kasusnya telah dihentikan oleh Penyidik Polri, namun kemudian dilakukan penyidikan kembali oleh Kejaksaan untuk perkara yang sama. Hal ini dinilai telah menimbulkan kurangnya kepastian hukum dan tidak sesuai dengan asas perlindungan hukum sebagai bagian dari perlindungan HAM yang diatur di dalam UUD RI 1945. Peran ganda yang dimiliki oleh kejaksaan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana khusus, dalam prakteknya sering menimbulkan benturan antara penyidik Polri dan penyidik kejaksaan, serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan penyidikan, menimbulkan ”persaingan” kurang sehat antara penyidik Polri dan penyidik kejaksaan, sehingga dapat menghambat efektivitas penerapan hukum serta mengurangi kepastian hukum. Terlepas dari apa hasil yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konsitusi terhadap gugatan pemohon untuk menguji Pasal tentang kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan terserbut, peristiwa ini merupakan salah satu contoh permasalahan menahun yang perlu diluruskan atau ditegaskan agar arah pembangunan hukum ke depan menjadi lebih jelas dan tidak membuka peluang terjadinya benturan dalam penerapan hukum di lapangan.
2. Peran Korwas PPNS
Lahirnya beberapa undang-undang baru yang memberi wewenang kepada PPNS dalam proses penegakan hukum, mengandung konsekuensi terjadinya kekeliruan penerapan teknis penegakan hukum yang dilakukan oleh PPNS, apabila jumlah dan kemampuan PPNS tidap dipersiapkan dengan baik. Karena PPNS dalam melakukan tugas penegakan hukum di bidang tugasnya masing-masing, tidak hanya akan dihadapkan kepada permasalahan teknis yang berkaitan dengan pelanggaran pidana di bidang tertentu, melainkan juga akan dihadapkan kepada penerapan hukum yang sering berbenturan dengan kepentingan perlindungan HAM. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang baru yang juga mengatur tentang pemberian kewenangan kepada PPNS, mengandung konsekuensi yang tidak sederhana, karena tidak hanya berupa konskuensi adanya pelatihan ketrampilan PPNS agar mampu melakukan penyidikan di bidang tugasnya, melainkan juga harus disertai pembinaan moral dan mental seluruh PPNS agar dapat memahami masalah hukum dan juga masalah perlindungan HAM. Apabila hal ini tidak diperhatikan, niscaya yang akan terjadi adalah semakin maraknya penyalahgunaan wewenang dan semakin meluasnya kejadian pelangaran hukum, karena pelanggaran terhadap perlindungan HAM yang dilakukan oleh aparat, tidak didukung dengan kemampuan dan ketrampilan hukum yang memadai. Masalah yang cukup aktual adalah tentang semakin kaburnya peran Korwas PPNS sebagaimana yang dirumuskan di dalam KUHAP, yang menyatakan bahwa Penyidik Polri mengemban fungsi Korwas PPNS, berkewajiban memberikan bantuan teknis penyidikan dan memberikan pelatihan bagi PPNS. Selain itu juga dirumuskan bahwa Berkas Perkara hasil dari PPNS dikirimkan ke PU melalui penyidik. Dalam kenyataannya telah lahir beberapa Undang-undang (misalnya UU Kepabeanan dan UU Perpajakan) yang memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu tersebut kepada PPNS, sedangkan Polri tidak diberi kewenangan melalukan penyidikan tidak pidana tertentu tersebut. Berkenaan dengan maraknya kecenderungan timbulnya Undang-undang yang disertai dengan pemberian kewenangan penyidikan kepada PPNS tertentu yang diantaranya tidak memberikan kewenangan kepada Penyidik Polri, maka Polri menanggapi dengan mendasari prinsip sebagai berikut:
a. Sesuai dengan semangat reformasi yang menghendaki partisipasi yang lebih besar dari segenap lapisan masyarakat dan sesuai dengan pola pemeliharaan kamtibmas yang dalam penyelengaraannya membutuhkan pelibatan seluruh potensi masyarakat, maka Polri menyambut positip kehadiran PPNS yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu sesuai dengan keahlian tehnis di bidang tersebut, karena tentunya dapat meningkatkan efektivitas upaya penegakan hukum.
b. Namun kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu tidak boleh hanya diberikan kepada PPNS yang terkait, dan dengan menghilangkan kewenangan Polri, karena mengingat pertimbangan sebagai berikut:
1) PPNS hanya memiliki kewenangan penyidikan terbatas di lingkup tugasnya, sehingga bila terjadi tindak pidana yang berganda (tidak hanya melanggar pasal pidana khusus), maka PPNS tidak berwenang menanganinya, sehingga penindakan hukum menjadi tidak efektif.
2) Jumlah PPNS sangat terbatas sehingga tidak akan memadai untuk meng cover wilayah yang rawan pelanggaran tindak pidana tertentu, sementara petugas Polri telah tersebar sampai ke seluruh pelosok.
3) PPNS umumnya memiliki kemampuan dan ketrampilan penyidikan di bidang teknis tertentu tetapi tidak memiliki dukungan yang memadai untuk pelaksanaan penyidikan umum seperti yang dimiliki Polri, misalnya: sarana untuk pelacakan, pengejaran dan panangkapan pelaku, pencarian barang bukti dan pemeriksaan barang bukti yang mebutuhkan peralatan laboratorium forensi, identifikasi dan sebagainya.
4) Kegiatan penyidikan tindak pidana tertentu tidak hanya sekedar meliputi kegiatan pemberkasan dan pengungkapan pembuktian secara teknis di bidang terkait, melainkan mencakup kegiatan lainnya untuk tindakan umum dalam penyidikan, yang hal ini tidak selalu ada pada PPNS.
5) Penyidik Polri yang didukung personel yang sudah tergelar di seluruh wilayah Indonesia, juga disertai jaringan komunikasi dengan Interpol, sehingga merupakan potensi yang sangat besar untuk mendukung keberhasilan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS.
6) Kesiapan petugas Polri yang sudah tergelar di seluruh pelosok sesungguhnya merupakan unsur penyidik bersiaga dan berkemampuan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, misalnya penyelundupan, namun bila kewenangan penyidikan tidak diberikan, maka kekuatan terebut menjadi idle (tumpul tidak berguna), karena tidak dapat dimanfaatkan untuk melakukan penindakan hukum.
7) Di samping itu, efek pencabutan kewenangan Polri untuk melakukan penindakan terhadap kejahatan tertentu, dengan sendirinya mengakibat sikap petugas menjadi tidak memperdulikan peristiwa pelanggaran yang diketahuinya dan tidak menindak pelanggaran yang diketahuinya.
Oleh karenanya, koordinasi antara Penyidik Polri dan PPNS merupakan kebutuhan yang sangat mutlak guna menjamin terlaksananya penyidikan yang efektif, karena melalui koordinasi antara penyidik PPNS dan Polri memungkinkan terwujudnya sinergi yaitu antara unsur keunggulan PPNS yang lebih mahir di bidang teknis dalam bidang tugasnya, dengan unsur keunggulan Penyidik Polri yang memiliki kemampuan penyidikan umum, disertai dukungan teknis peralatan labotratorium dan identifikasi dan kesiapan personel Polri yan tergelar di seluruh pelosok wilayah.
Adapun untuk penerapan fungsi pengawasan terhadap PPNS, yang di dalam KUHAP antara lain dirumuskan melalui ketentuan bahwa Berkas Perkara hasil kegiatan PPNS yang dikirimkan ke PU harus melalui Penyidik Polri, dalam praktek dapat disederhanakan dengan cara hanya pengiriman tembusan Berkas Perkara yang telah dikirim ke PU. Penyederhanaan cara ini kiranya cukup berasalan karena selama proses penyidikan telah dilaksanakan koordinasi antara PPNS dan Penyidik Polri, dan dengan hanya mengirimkan tembusan Berkas Perkara berarti dapat merupakan sarana penyampaian infomasi yang diperlukan untuk pelaksanaan program Piknas (Pusat Informasi Kriminil Nasional) yang menjadi salah satu tugas Polri. Melalui penerapan koordinasi antara Penyidik Polri dan PPNS, maka akan dicapai hasil penyidikan yang jauh lebih optimal dari pada penyidikan hanya dilakukan oleh PPNS tersendiri. Dalam praktek, kewenangan penyidikan yang hanya diberikan kepada penyidik tertentu sangat besar memberikan peluang terjadinya kolusi antara penyidik/penegak hukum dengan para pelaku pelnggaran hukum yang tidak dapat dikontrol oleh pihak lain. Padahal, bila penyidikan tindak pidana dilakukan oleh PPNS yang bersinergi dengan Penyidik Polri, maka kedua unsur itu dapat saling melakukan pengawasn silang terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pelaksana di lapangan.Dengan demikian, dalam setiap ketentuan tentang pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu yang dicantumkan di dalam setiap Undang-undang Tindak Pidana Tertentu, semestinya dirumuskan kurang lebih sebagai berikut: ”...selain oleh penyidik Polri, penyidikan perkara tindak pidana yang diatur dalam UU ini juga dapat dilakukan oleh PPNS....”
3. Penegakan Hukum di bidang Tindak Pidana Korupsi
Pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi semakin marak semenjak era reformasi, dipacu oleh desakan masyarakat Internasional untuk memerangi korupsi, misalnya berupa tekanan untuk merevisi Undang-Undang Pencucian Uang. Keseriusan perang anti korupsi terwujud antara lain dengan revisi UU Pemberantasan TPK, Pembentukan Komisi Pemberansatan TPK, Pembentukan Pengadilan TPK, Prioritas Program Pemerintah dan bahkan disertai dengan Pembentukan Tim Tas Tipikor.Pembentukan lembaga baru KPK merupakan salah satu tindakan terobosan untuk mengefektifkan penanggulangan korupsi karena fungsi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sebelumnya dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian dianggap kurang berhasil/ efektif. Oleh karenanya agar program penanggulangan Tipikor berhasil, maka kepada KPK diberi kewenangan yang lebih besar, antara lain: (1) berwenang melakukan penyidikan dan mengambil alih penyidikan Tipikor yang dilakukan oleh Polri atau kejaksaan; (2) berwenang melakukan penuntutan; (3) Tidak mengenal penghentian penyidikan; dan (4) didukung dengan sistem dukungan dana operasional yang memadai, jauh lebih besar standar dana operasional untuk penyidikan ataupun penuntutan yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan. Bahkan di dalam prakteknya, KPK menerapkan kebiasaan untuk melakukan penahanan bagi semua tersangka/terdakwa yang ditangani tanpa adanya penangguhan penahanan sampai persidangan selesai. Dengan pemberian kewenangan yang besar tersebut, KPK dinilai menjadi lembaga yang ”super body” dan cukup berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi sehingga di satu sisi dapat menunjukkan kesungguhan bangsa Indonesia dalam upaya memerangi korupsi. Namun di sisi lain, upaya penanggulangan korupsi saat ini juga masih dinilai belum mendapatkan hasil yang signifikan, bahkan masih menuai banyak kritik baik dari dalam negeri maupun dari masyarakat internasional antara lain: (1) KPK belum mampu mengungkap korupsi kelas kakap; (2) KPK hanya melakukan sistem tebang pilih; (3) Cost untuk membentuk dan biaya operasional KPK sangat besar dan tidak berimbang dengan jumlah uang kerugian negara yang berhasil diperoleh kembali oleh KPK dari hasil penanganan Tipikor. Di samping itu, pemberian kewenangan yang sangat besar untuk melakukan penyidikan sekaligus penuntutan, tidak mengenal SP3 dan bahkan melakukan penahanan dan tidak mengenal penangguhan penahanan, telah mendatangkan kritik terjadinya inkonsistensi dalam penerapan prinsip diferensi fungsional, sehingga menambah kurangnya kepastian hukum. Kritik berlanjut dengan alternatif saran berupa pembubaran KPK dan menggantikannya dengan peningkatkan efektifitas atau memberdayakan jaksa dan polisi dengan sistem dukungan dana dan pemberian kewenangan istimewa seperti yang diberikan kepada KPK. Pro dan kontra dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang berllangsung selama ini merupakan tambahan gambaran betapa kompleksnya permasalahan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
F. PENUTUP
Dari uraian tersebut diatas kiranya dapat menambah kejelasan bahwa pembangunan hukum bukanlah merupakan tugas yang sederhana, karena tidak dapat dicapai hanya melalui pembenahan aparat hukum dan sarana penegakan hukumnya, melainkan juga harus mencakup penyempurnaan materi hukumnya, dan sebagai kunci yang paling utama adalah adanya partisipasi masyarakat baik dalam upaya mematuhi hukum ataupun dalam upaya penegakan hukum.
Selain itu juga dapat kita lihat bahwa dalam masa transisi dari model pemerintahan lama ke model pemerintahan yang demokratis di dalam era reformasi ini, upaya revisi produk hukum dan pola penanggulangan tindak pidana yang sedianya ditujukan untuk meningkatkan hasil yang lebih efektif dalam upaya penegakan hukum ataupun penanggulangan tindak pidana, namun tidak selalu dapat berjalan dengan mulus, karena harus menghadapi permasalahan yang cukup kompleks, sehingga hal ini membutuhkan kearifan semua komponen bangsa ini, mulai dari para pembuat undang-undang, pelaksana kebijakan pemerintahan, aparak penegak hukum sampai dengan segenap lapisan masyarakat.
Demikian beberapa masalah aktual dalam penegakan hukum yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan, ini semoga bermanfaat untuk menambah wawasan dan menjadi bahan diskusi agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam rangka pembangunan hukum di Indonesia.
[1] Jimly Asshiddiqie, Peran Advokad Dalam Penegakan Hukum, Bahan Orasi Pada Acara Pelantikan DPP IPHI Masa Bhakti 2007-2012, Bandung, 12 Januari 2008.
[2] Montesquieu, The Spirit of the Laws, Translated by Thomas Nugent, London, G.Bell & Sons, Ltd, 1914.
[3] Sunaryati Hartono, Pembinaan Hukum Nasional Dalam Globalisasi Masyarakat Dunia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum FH Unpad, 1 Agustus 1991.
[5] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, BP. Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hal. 274.
bos masa ya pelaku prostitusi di jadikan saksi harusnya pelaku itu dijadikan tersangka, kalo pelaku sbgai saksi bakalada nikita mirzani yg lain, trus tanpa persetujuan pelaku, mucikari gak bakal menjual pelaku karna sama" diuntungkan kenapa hanya mucikari yg jadi tersangka
BalasHapusinspiratif dan bermanfaat,makasihhh ..kunjungi juga Jadilah seperti air yang mengalir
BalasHapus