Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM


BAB II



Mengingat filsafat hukum adalah cabang dari filsafat, dalam banyak hal, sejarah filsafat hukum ini berjalan seiring dengan sejarah filsafat pada umumnya. Untuk itu pembicaraan pun akan dimulai dari zaman (yunani) kuno sampai pada zaman sekarang.

Zaman Kuno

Zaman (yunani) kuno bermula pada abad ke-6 SM sampai abad ke-5, tatkala Kekaisaran Romawi runtuh. Pada masa awal zaman kono ini rakyat Yunani sudah hidup dalam polis-polis yang Satu sama lainnya memiliki penguasa, system pemeintahan, dan system hukum tersendiri.
Semula penguasa polis memegang kekuasaan tunggal. Baru pada abad ke-5, setelah munculnya kaum Sofisme,polis-polis tersebut menerapkan prinsip demokrasi. Tentu saja prinsip itu belum matang karena kepercayaan manusia yang masih sangat besar terhadap kekuatan supranatural, seperti keyakinan terhadap dewa-dewi olimpus. Proses pematangan itu berlanjut pada masa keemasan filsafat yunani (zaman Sokrates, Plato, dan Aristoteles)
Jika hukum telah ada sejak adanya masyarakat, berarti filsafat hukum pun secara embrional sudah ada jauh sebelum zaman yunani kuno.

                Para filsuf alam seperti anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475) dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Agar tercipta keteraturan dan keadilan, manusia harus hidup selaras, dengan nomos itu. Tentu saja sumber nomos di sini tidak lagi para dewa, tetapi rasio (logos). Ketika Sokrates muncul, kehidupan masyarakat Yunani sudah cukup lama terkonsentrasi dalam polis-polis. Dalam dua hal ini dapat dibayangkan bahwa interaksi antar individu dalam polis-polis.

Menurut Aristoteles meyakini bahwa manusia akan dapat hidup berbahagia apabila ia berada dalam polis. Manusia tidak dapat hidup; manusia adalah mahkluk polis, mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Ia juga menekankan pentingnya penataan terhadap hukm yang di buat oleh panguasa polis. Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta alam, dan sekalugus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat kaum solis, hukum alam ditafsirkan sebagai hukum, dari yang paling kuat, yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut hukum alam di sini tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan. Pada Aritoteles hukum alam di tanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak lenyap, dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi. Melihat sumbernya, hukum alam ini ada yang bersumber dari tuhan (irasional) dan ada yang bersumber dari akal (rasio) manusia. Hukum alam itu sebenarnya bukan merupakan satu jenis hukum tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama yaitu hukum alam.

Hukum alam sebagai substansi atau isi berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas yang mutlak yang lazim di kenal dengan peraturan-peraturan hak asasi manusia. Cirri hukum alam seperti ini merupakan cirri dari abad ke-17 dan ke-18 untuk kemudian pada abad berikutnya di gantikan oleh positivisme hukum.
(Terjemahan Filfafat Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI)

Abad Pertengahan

Abad pertengahan muncul setelah kekuasaan Romawi jatuh pada abad ke-5 SM. Masa ini ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (dan mulai berkembangnya agama islam), sehingga pemikiran yang berorientasi kepada hukum alam pada zaman kuno mengalami perubahan motivasi. Tokoh-tokoh filsafat pada Abad Pertengahan seperti Augustinus (354-430) dan Thomas Aquinas (1225-1275), dalam mengembangakan pemikirannya ternyata tidak terlepas dari pengaruh filsuf-filsuf zaman (yunani) kuno. Augustinus, misalnya, banyak mendapat pengaruh dari pemikiran Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.

                Pada abad pertengahan ini, muncul pemikiran tentang adanya hukum yang abadi yang berasal dari rasio Tuhan, yang disebut lexaeterna. Melalui inilah Tuhan membuat rencana-Nya terhadap alam semesta ini. Pemikiran ini jelas mirip dengan Stoisisme pada zaman kuno. Selanjutnya hukum abadi dari tuhan iyu mengejawantahkan pula dalam diri manusia, sehingga manusia dapat merasakan, misalnya, apa yang disebut keadilan itu. Inilah yang disebut dengan hukum alam (lex naturalis). Pada tingkat lebih lanjut, dibedakan pula adanya hukum positif yang dibentuk oleh penguasa. Sampai di sini, kemudian muncul persoalan tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum positif itu. Permasalahan ini dapat dikatakan menjadi pertanyaan yang abadi dalam sejarah filsafat hukum.

Zaman Modern

Pada zaman modern, hukum positif tidak perlu harus bergantung pada rasio tuhan lagi, tetapi dapat sepenuhnya bergantung pada rasio manusia sendiri. Untuk mempersatukan rasio-rasio manusia yang demikian banyaknya, ditempuh cara perjanjian (konsensus), sehingga di kenal berbagai teori perjanjian. Pemikiran lain pada zaman modern yang juga pengaruhnya bagi filsafat hukum adalah idealisme. Aliran idealisme pada zaman modern ini di antara lain di dukung oleh Immanuel Kant (1724-1804). Aliran ini bertentangan dengan empirisme, sebab pengetahuan empiri itu bersifat konkret dengan dibatasi ruang dan waktu. Pengetahuan yang mutlak dan umum tidak boleh dimasuki unsure-unsur pengalaman. Rasio murni manusialah yang membentuk pengetahuan itu.

Zaman Sekarang

Zaman sekarang yang dimaksud di sini adalah zaman mulai abad ke-19. jika pada zaman modern berkembang rasionalisme, pada zaman sekarang rasionalisme itu dilengkapi dengan empirisme. Pemikiran empirisme sendiri sebenarnya telah di rintis sejak zaman modern, seperti oleh Hobbes, tetapi pemikiran ini baru mengalami perkembangan yang pesatnya pada abad ke-19
Hegel sangat mementingkan rasio. Rasio di sini tidak hanya rasio individual, tetapi terutama rasio dari keilahian, Delfgaauw (1992:140) menjelaskan pemikiran hegel sebagai berikut :

“Filsafat hegel hendaknya menemukan kembali yang mutlak pada yang nisbi. Yang mutlak ialah kesadaran menjelma dengan alam, dengan maksud agar secara demikian menyadari dri sendiri. Pada hakeketnya kesadaran adalah idea, artinya pemikiran. Di dalam sejarah umat manusia pada suatu masa pemikiran ini menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian umat manusia menjadi peserta dalam idea mutlak, yaitu keahlian. Pada hakikatnya idea yang berpikir ini merupakan suatu kegiatan, suatu gerak. Hanya saja gerak ini bukan gerak lurus. Gerak ini senantiasa terjadi dalam bentuk gerak serta gerak perlawanan secara silih berganti. Tetapi secara demikian berdasarkan tesis dan antitesis timbul suatu gerak baru yang mencakup kedua gerak sebelumnya dalam suatu jenjang yang lebih  tinggi sebagai sintesis. Proses ini yang berlangsung menurut hukum-hukum akal budi, oleh hegel disebut dialektika. Bagi segala sesuatu berlaku aksioma: apa saja yang bersifat akali pastu nyata; apa saja yang nyata pasti bersifat akali. Didalam gerak dialektik itulah mau tak mau dapat di pahami gerak kesadaran dan sejalan dengan itu juga gerak alam dan gerak sejarah.
Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat umum, Pandangan  mengenai landasan hukum umum. Pandangan bisa berasal dan pendapat filosofi. Tidak semua filsafat mengarah kepada filsafat hukum, atau berupaya ke arah itu.  Sehingga  tidak banyak berfilsafat tentang hukum. Juga  banyak ahli hukum yang puas dengan mengkaji sekian banyak norma hukum yang mereka jumpai. dan memasrahkan kepada yang lain untuk meng­eksplorasi filsafat umum dunia ini dan sudah merasa cukup dengan pengetahuan umum yang lazim disyaratkan untuk profesi itu. Hukum adat, yang umumnya bersifat tradisional, bersandar pada pengetahuan umum tentang hukum tersebut. Untuk menjadi praktisi atau ahli hukum yang baik harus mema­hami filsafat hukum dengan jelas, sebagaimana orang dapat menjadi filsuf yang baik tanpa berbekal filsafat hukum. Jika kalangan positivis, pragmatis, dan formalis berbicara tentang hukum seakan ia berada dalam kevakuman, tidak terkait dengan nilai-nilai, opini atau ke­yakinan, berarti jenis sudut pandang ini secara aktual mengimpli­kasikan pendapat filosofis. Filsafat tidak dapat menyatakan bahwa dirinya tidak menaruh perhatian terhadap filsafat hukum, dan kalau pun filsuf tertentu tidak membangun sebuah filsafat hukum, hal ini tidak menghambat pihak lain untuk menerapkan filsafat itu pada hukum.

Dua sudut pandang yang mesti dipertim­bangkan dalam membahas filsafat hukum agar pertimbangan itu menjadi ilmiah dalam arti luas. Kata ilmu membahas keteraturan, aturan, atau bahkan hukum, yang bermakna hukum alam dari ilmu pengetahuan alam. Di bagian  kita mesti selalu menggunakan istilah ilmu dengan makna yang lebih umum. Menurut makna ini, sudah menjadi sifat dari karya ilmiah berbeda dengan pendapat orang awam, dogma agama, puisi dan sebagainya  bahwa karya itu terkait dengan inti pembelajaran yang kian lama kian banyak membahas kumpulan pengalaman tertentu dan yang dengan demikian diperbanyak oleh manusia yang peduli terhadap pokok bahasan khusus ini, akademisi atau ilmuwan, dengan bantuan metoda yang disepakati, potensial atau aktual, di kalangan mereka yang bekerja di bidang pembelajaran

Pertama, filsafat hukum "ilmiah" mesti membahas perkembangan doktrin-doktrin filsafat guna menetapkan problema mana yang telah diklarifikasi secara signifikan agar kita dapat membangun di atas fondasi yang sudah disediakan oleh pemikiran sebelumnya. Kedua, diperlukan uraian singkat tentang landasan filsafat mana yang mendasari tiap kontribusi tertentu, dari filsafat umum manakah ia muncul. Kami bermaksud membahas yang pertama dari sudut padang ini di bagian pertama buku ini, yang menyajikan sejarah singkat filsafat hukum.
Semua pemahaman dan pengetahuan ilmiah bersandar pada pengalaman. kalangan sensasionalis atau empirisis, keliru ketika mereka mencoba mereduksi semua pengalaman manusia menjadi pengalaman inderawi. Kehidupan-intelektual dan spiritual manusia merupakan bagian dari pengalamannya. Berfikir itu sendiri merupakan jenis pengalaman, seperti halnya berperasaan, berkemauan, dan lebih khususnya, berkarya cipta. Semua jenis pengalaman ini sangatlah penting bagi hukum.

Akan jauh lebih mudah untuk mencapai kejelasan filsafat jika beberapa jenis pengalaman ini bisa dipandang sebagai suatu kesa­tuan yang logis dan koheren. Pengalaman mengamati rangkaian kesan inderawi akan berujung pada hipotesis sebab­akibat. Hume menganalisis sifat hipotesis hukum sebab-akibat; sedangkan Kant menunjukkan betapa pentingnya hukum ini bagi tertatanya semua pemikiran. Tanpa mengasumsikan penyebabnya, mustahil untuk berfikir tentang pengalaman inderawi (atau tentang sejumlah hal lain terutama tentang sejarah, yang ada di hadapan pengamat dalam bentuk laporan peristiwa yang dinyatakan telah terjadi). Dari hipotesis sebab-akibat ini kita sampai pada pendapat filosofis yang dikenal sebagai determinisme.

Pengalaman tentang kemauan, pengambilan keputusan dalam situasi yang memungkinkan adanya alternatif, bermuara pada hipotesis tentang kebebasan. Setiap  tindakan berlandaskan niat jika seseorang tidak berasumsi bahwa dirinya dapat bertindak dengan suatu cara. sifat hipotetis kebebasan ini dirumuskan dengan sangat jelas oleh Hobbes, namun Kant mampu menun­jukkan hipotesis kebebasan diperlukan bagi seseorang yang bertindak. Ini merupakan makna imperatif kategoris yang terkenal untuk menunjukkan sifat utama dari semua penilaian normatif.

Konsekuensi logis dari hipotesis kebebasan adalah muncul­nya filsafat indeterminisme.

Karenanya, Sistem filsafat monistik dibagi menjadi dua kelas:
(1)    yang menolak hipo­tesis kebebasan
(2)     yang, tidak menolak hipotesis sebab-akibat, sangat membatasi cakupannya, dan yang bersifat voluntaristik , ketika penolakan atas hipotesis sebab­akibat dikaitkan dengan semacam ketuhanan (sistem teologis).
Kemungkinan lain yang terkandung dalam upaya untuk menghipotesis dua dunia yang sangat terpisah, yakni untuk memisahkan dunia norma dari dunia peristiwa alam, sebagaimana dilakukan oleh Kant (sistem dualistik). Sekalipun begitu, sisa-sisa inkoherensi filsafat selalu saja ada. Komponen logika perilaku manusia merupakan bagian dari pengalaman manusia, maka kita tidak dapat menjadikan seluruh pengalaman itu konsisten secara logis. Kami mengembangkan pemikiran ini dengan mengacu pada pertanyaan sebab-akibat dan kebebasan, yang terkait dengan pertanyaan tentang pengamatan dan pengambilan putusan. Namun kesulitan yang sama akan muncul jika kita membahas problema pengalaman kreatif, dan, lagi-lagi, jika seseorang kembali kepada perasaan, yang juga merupakan pengalaman yang hanya bisa dipersamakan dengan jenis pengalaman lain dengan konstruksi yang sangat semu.

Karenanya filsafat radikal tentang pengalaman merupakan pandangan umum terhadap dunia yang menekankan problema, pandangan tersebut memiliki kaitan dengan pragmatisme, sedangkan problema pragmatisme tidak bersumber dari gagasan operasional, tetapi dibangun ke dalam struktur yang sudah ada. Problema itu merupakan tatanan pertama. Filsafat pengalaman merupakan filsafat problema  istilah problema dalam pengertian yang sangat konkret, kata problema bermak­na sesuatu yang menghalangi jalan yang kita tempuh. Problema yang selalu muncul adalah bagaimana semua pengalaman manusia bisa bermanfaat untuk secara progresif memahami obyek pengetahuan tertentu. Hukum sebagai obyek, dan berdasarkan filsafat pengalaman, kita mula-mula mengajukan hipotesis dasar bahwa tanpa pemahaman menyeluruh tentang problema semua pengalaman - hukum hanya bisa diberlakukan dengan cara yang semu dan bertentangan. Kita hanya dapat mem­berikan gambaran tentang hukum yang memadai sekaligus bersifat umum bagi realita dengan mempertimbangkan berbagai jenis pengalaman.

Sejarah merupakan bagian tak terpisahkan dari pendekatan filsafat dan sistematis, karena berbeda dengan kalangan historisis dan positivis, sejarah intelektual memiliki disain dan filsafat hukum  membentuk wawasan progresif sebagai bagian dari kebenaran yang kita cari. Juga sebagai konsensus tentang sejumlah persoalan. Pencarian sesuatu muncul dari ke­sadaran akan kebenaran kuno. Sebagian besar pememuan baru merupakan apa yang sudah lama ada yang berbalutkan tata bahasa baru. Pengalaman sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi secara umum pendapat yang muncul dari situasi sejarah akan menjelaskan filsafat hukum, bila diimplementasikan dengan pengamatan sistematis tambahan. Ini pandangan tentang hukum dan keadilan  fakta dan nilai­nilai dianggap berkaitan erat dalam semua pengalaman politik manusia.

            Secara lengkapnya penjelasan tentang sejarah perkembangan hukum dapat dilihat uraian dalam kutipan berikut:

Hukum Sebagai Kehendak Tuhan Warisan dari Perjanjian Lama

Yudaisme kuno berperan sangat besar dalam membentuk asal­muasal konsep hukum Barat. Karelia Tuhan yang Esa menun­jukkan diriNya secara sangat berbeda dari dewa-dewi Yunani. Yahwe, dewa tanpa nama Israel, dibedakan dari dewa-dewi masyarakat lain di sekelilingnya berdasarkan perhatiannya terhadap hukum. Perjanjian Lama berisi tindakan penetapan perundangan, dengan upaya Tuhan untuk menjaga ditaati dan diberlakukannya hukum ini, dengan pahala bagi orang yang bertindak sesuai, dan hukuman bagi orang yang bertindak tidak sesuai, dengan hukum ini. Semua tahu bahwa dua kewajiban umat Nasrani didapatkan dari warisan tradisi ini. Di satu sisi, Sepuluh Perintah Ilahi; di sisi lain, larangan kepatuhan membabi­buta terhadap hukum, yaitu farisaisme atau tindak sok suci. Dalam Sociology of Religion, Max Weber menunjukkan betapa eratnya kaitan antara pendapat pendeta di Israel kuno dengan tuhan yang ini, yakni sang pembuat hukum. Bahkan, keyakinan itu sendiri berkembang dari pendapat pendeta sebagai penafsir hukum.

Sudah seringkali diamati betapa luar biasa kuatnya pengaruh konsepsi religius ini terhadap pemikiran Barat dan sejauhmana konsepsi itu membentuknya. Kaitannya begitu nyata dalam pemikiran Calvinisme dan Puritanisme. Tentunya bukan kebetulan jika Calvin sendiri berprofesi sebagai praktisi, atau ahli hukum.

Ditegaskan bahwa Calvin mempertajam doktrin Protestan dengan menghilangkan kecondongan anarkis Lutherian dan patriarkis Lutherian; pada saat bersamaan, ia mengubahnya ke dalam bentuk yang jelas namun bersifat yuridis. Dampak Calvinisme di Perancis dan Netherlands, dan terutama di Inggris, sangat dipengaruhi oleh gerakan untuk kembali kepada Perjanjian Lama beserta konsep ketuhanannya. Dan tentunya juga bukan kebetulan jika kaum Puritan, yang memperjuangkan terbentuknya pemerintahan konstitusional, memilih kalimat "Untuk Perlindunganmu Ya Israel", sebagai sandi revolusi mereka di tahun 1648; mereka sungguh merasa sebagai suku Israel yang hilang. Ditekankannya hukum dalam pembangunan politik dan pemerintahan Inggris, dan kemudian pemerintah Amerika, meski mendahului gerakan ini, mendapatkan dukungan dan penguatan religius dalam gagasan-gagasan ini.

Karena hukum sangat perlu menanamkan kewajiban norma­nya ke dalam suatu keyakinan mengenai legitimasi kekuasaan yang menciptakan hukum, entah itu Tuhan ataupun amanat rakyat. Arti penting norma hukum dalam kehidupan sosial akan selalu dipengaruhi oleh keyakinan terhadap legitimasi pemerintah yang memberlakukannya dan siapa yang menciptakannya. Nomos (hukum) dan jus (undang-undang) Yunani dan Romawi diber­lakukan selama keyakinan dalam masyarakat polis masih ada, karena polis dibentuk oleh nonios dan jus lantaran tetap adanya keyakinan manusia terhadap kearifan heroik seorang legislator masa silam, baik itu Solon, Lycurgus, maupun 12 murid Yesus.

Namun bagi kaum Yahudi dalam Perjanjian Lama, bukanlah Musa, apalagi para rasul, melainkan Tuhan yang Esa yang berbicara kepada Musa dan menitahkannya untuk menyampaikan Hukum-hukumNya kepada umatNya (Leviticus 19:1-2). Dan umatNya-lah yang menjadi jemaat suci berkat penyampaian wahyu itu lantaran Tuhan yang telah memberi mereka hukum dengan sendirinya merupakan Dzat Yang Maha Suci. Selain dari pensakralan dengan cara mentaati dan mematuhi hukum, ber­kembanglah doktrin tentang orang-orang terpilih. Doktrin inilah yang, melalui transformasi, mengarah kepada doktrin .tentang gereja ghaib bagi semua umat yang beriman, yang dieskpresikan hanya sebagai gereja nyata (maujud) di dunia ini dan yang karena­nya menunjukkan bahwa pensucian melalui hukum dalam pemi­kiran Perjanjian Lama bisa menjadi komponen penting dari pemikiran hukum di Barat. Ini sebagian memang benar karena pemikiran hukum Romawi, yang biasanya dianggap sebagai satu­satunya landasan bagi wawasan Barat, merupakan hasil perkem­bangan dari tradisi yang dalam beberapa hal penting menyerupai tradisi Yudaisme kuno (buka bab iv dan v).

Pensucian tiap anggota jemaat yang mematuhi hukum Yahweh mengimplikasikan kesetaraan semua manusia. Hukum Perjanjian Lama bisa dipatuhi oleh siapa pun yang berkemauan baik. Sikap spiritual yang sangat egaliter terhadap hukum yang terkandung dalam Yudaisme kuno tersebut bertolak-belakang dengan pemikiran hukum Yunani, minimal seperti terungkapkan dalam filsafat hukum Plato dan Aristoteles, yang amat sangat mencirikan elit spiritual.

Sikap egaliter diambil alih oleh Kristianitas dari Yudaisme terlepas dari penolakannya terhadap etika hukum farisais. Sehubungan dengan hal ini, kita ingat apa yang disab­dakan Yesus dalam Perjanjian Baru, "Aku datang bukan untuk menghancurkan hukum, melainkan untuk menerapkannya." Penerapan ini benar-benar tercermin dalam permintaan akan sikap etis rnurni di luar jangkauan manusia. Karena memang dalam hal inilah semua manusia setara. Sikap semacam itu bisa digabung­kan dengan penekanan pada hukum yang bebas dari bahaya kemunafikan, karena ia memberikan wewenang spiritual baru kepada hukum. Untuk lebih pastinya, tidak ada perbedaan yang lebih tajam yang dapat dibayangkan dibanding antara kebaha­giaan Khotbah di atas Bukit dengan kutukan Perjanjian Lama (Bible 2:27, 15 dst.). Kebahagiaan ini tampaknya merupakan bentuk murni dari etika kebajikan, dan meski demikian pemikiran tentang Khotbah di atas Bukit nyata-nyata berasal dari sikap dasar Yahudi terhadap manusia dan harga dirinya, dan perkembangan Yudaisme talmud menunjukkan kesejajaran yang sangat jelas dengan kisah Nasrani.

Pemikiran Yudaisme kuno yang membentang di seluruh Perjanjian Lama layaknya benang merah adalah bahwa Yahudi yang beriman membuktikan dirinya baik dengan mematuhi hukum dan bahwa hanya dengan kepatuhan terhadap norma-norma yang sudah sangat mapan semacam itulah nilai diri manusia dapat ditunjukkan. Pemikiran dasar ini sangat mempengaruhi Kris­tianitas, lantaran pemikiran Kristen tentang Kemahamurahan Tuhan dan keimanan manusia terhadapnya. Katolikisme dan Protestanisme sama-sama setia kepada sikap dasar ini yang oleh karena itu pengingatan akan Sepuluh Perintah Ilahi (Ten Com­mandments) bolehjadi merupakan bentuk ungkapan eksternal yang tidak kalah penting. Dengan demikian, seorang anak telah menyerap sikap khas komunitas hukum Barat bila semenjak dini dia meinahami bahwa seseorang dapat meniatkan agar dirinya menjadi baik, memastikan dirinya menjadi manusia berguna, dengan mematuhi perintah ilahi ini.

Hukum dan hukuman secara konseptual berakar dari gagasan tentang keadilan. Dan, karena itu, Tuhannya Yudaisme kuno umumnya merupakan dewa keadilan. Dari gagasan utama keadilan dalam pemikiran Yudaisme kuno ini, berkembanglah sikap yang diekspresikan secara mengerikan dalam kutukan Perjanjian Lama. Ketika dihadapkan pada sang hakim sejati, yakni Tuhan, manusia mesti membela dirinya dengan mematuhi hukum, dan dia harus menebus dosa-dosanya dengan hukuman yang setimpal. Paulus pada akhirnya menekankan jenis keadilan ini melalui ampunan Kristus dengan doktrin penebusan dosa. Karena lagi­lagi Kristus lah yang mewujudkan semua tempat penting yang meliputi kepatuhan terhadap Tuhan yang Esa, kehendakNya, dan hukumNya, dengan mengambil tempat orang-orang yang membangkang. Karena itu, dalam konteks yang menentukan ini, kita sekali lagi melihat pentingnya tradisi Yahudi tentang Tuhan yang maha adil yang menciptakan hukum, karena, jika tidak ada hukum, penebusan akan kehilangan maknanya yang sejati. Bukan rahasia lagi bahwa jenis keadilan yang ditekankan oleh Paulus ini di kemudian hari menjadi sangat penting dalam teologi Luther dan Calvin, yang dengan demikian menunjukkan luar biasa pentingnya pemikiran hukum Perjanjian Lama bagi gagasan hak dan keadilan Barat.(Carl Joachim Frederich – 2004)

HUKUM SEBAGAI PARTISIPASI DALAM  MENEGAKAN GAGASAN TENTANG    KEADILAN
PLATO DAN ARISTOTELES

Di era pencerahan sofistik, filsafat hukum Yunani menemukan problema tentang hukum dan alam, tentang nomos dan physis. Pada rnulanya nomos merupakan adat kebiasaan sakral, yakni yang diberlakukan dan dianggap benar di polis (negara kota Yunani Kuno). Ini merupakan aturan hukum yang mencakup se­galanya. Penyair Pindar memberikan rumusan yang menyeluruh, nomos hasileus pantom: hukum dari adat sakral ini dijelaskan sebagai penentu atas segala sesuatunya. Namun meredupnya keimanan yang melandasi pendapat ini secara berangsur meng­akibatkan memburuknya nomos.

Doktrin kaum Sofis, terutama doktrin Protagoras, bahwa manusia merupakan ukuran dari segala sesuatu, mengemukakan bahwa nomos kini lebih tampak dalam perspektif kebiasaan di satu sisi, dan undang-undang di sisi lain. Orang mungkin bertanya-tanya mengapa nomos tidak ditafsirkan begitu saja sebagai sekumpulan kebiasaan khas pada tiap komunitas polis tertentu. Apa pun penjelasannya, gagasannya sepertinya ialah bahwa hukum sebagai aturan masyarakat meru­pakan ciptaan manusia dan sebuah ciptaan yang sesuai dengan wataknya, bahwa manusia pada dasarnya memiliki watak yang sama, dan karena itu nomos sangatlah berarti bagi semua manusia. Ini merupakan satu pendekatan yang mungkin dilakukan. Pendekatan lain adalah dengan memandang bahwa watak manusia sangat berlainan. Dalam hal ini, nomos berbeda dengan physis, dan karenanya orang yang secara alami lebih baik dan lebih kuat berada dalam posisi menolak nomos.

Dengan demikian, banyak terjadi persimpangan gagasan ketika Plato memberikan pembahasannya. Yang sepertinya khas bagi Plato dalam semua argumen ini dan yang sangat menentukan dari sudut pandangnya adalah kecenderungan umum untuk mengaitkan norma-norma itu sendiri yang mesti memiliki daya ikat mutlak. Karena itu, pandangan sofistik Callicles, kendati jauh lebih sinis ketimbang pandangan Protagoras atau bahkan Georgias, baginya merupakan konsekuensi alami atau logis dari pendapat fundamental kaum Sofis.2 Posisi atau pendapat ini memang dipandang Plato dengan cara yang agak sepihak dan berlebihan, namun tidak diragukan bahwa ini merupakan titik-awal yang menentukan bagi Plato. Di sini dapat kita ketahui bahwa nomos, mengutip pernyataan pakar sebelumnya, telah mengalami per­ubahan mendasar: "Di bawah pengaruh pemikiran rasionalis yang menyebarluas pada pertengahan abad ke-5, konsep asli nomos sebagai aturan ketat kewajiban universal telah menjadi pendapat yang keliru namun dianut oleh banyak orang." Nomos sebagai sekadar kebiasaan bukannya adat sakral tentunya bersifat relatif, sebuah ungkapan pendapat umum di waktu dan tempat tertentu.

Bagaimanapun, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka sejalan dengan tradisi Yunani, bahwa hukum dan per­undangan (nomos dan nomoi) sangatlah penting untuk menata polis. ('Polis' acapkali dialihbahasakan menjadi "negara", sebuah istilah modern yang sangat menyimpang bila diterapkan pada tatanan politik Yunani.) Sejalan dengan keyakinan mereka, kita mendapati bahwa tatanan atau bangunan politik yang baik (politeiai) selalu berupa aturan hukum, yakni aturan yang sesuai hukum. Bentuk positivisme hukum apa pun yang menyatakan bahwa perintah sewenang-wenang penguasa tiran bisa dianggap sebagai hukum­sebuah pandangan yang seringkali dipertahankan di bawah rezim diktator modern akan mereka tolak mentah-mentah.

Namun ada pandangan lain yang mengajukan pertanyaan penting ini: Apa gerangan yang menjadi sumber hukum kalau bukan kehendak orang yang memiliki kekuasaan riil di dalam negara? Jawaban atas pertanyaan ini sangatlah penting bagi pemikiran hukum Platonian. Ini merupakan jawaban yang amat sangat pelik dan menjadi sulit dipahami dengan doktrin ide Platonian. Terlebih lagi, ada perbedaan pendapat yang tajam mengenai makna doktrin ini. Bahkan kata "ide" acapkali dianggap tidak cocok untuk meng­gambarkan apa yang merupakan esensi dari doktrin idea atau ideos Socrates-Plato.

Istilah semisal "bentuk" dikemukakan guna menjaga keadilan terhadap fakta bahwa ide-ide ini bagi Plato dan Socrates bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh pikiran subyektif manusia, melainkan lebih merupakan realitas obyektif transen­dental di luar diri manusia.' Tetapi, begitu seseorang memahami fakta bahwa "ide-ide" Plato benar-benar dimaksudkan untuk memiliki realitas transendental dan obyektif tersebut, sungguh ide-­ide itu merupakan keberadaan dan kenyataan sejati, tidak lagi perlu untuk mengubah nama, khususnya karena istilah semisal "bentuk" menghadirkan kesulitan baru dan sangat berat, baik secara linguistik maupun filosofis.

Yang terutama penting jika seseorang ingin berlaku adil ter­hadap doktrin ide Plato adalah dengan berhati-hati agar tidak memasukkan pendapat filsafat baru semisal idealismenya Berkeley atau Hegel.' Karena, terlepas dari lingkup budaya yang sangat berbeda, orang mesti ingat bahwa bagi Socrates dan Plato problema kebaikan berada di tengah-tengah permenungan filsafat. Terbukti bahwa ide tentang kebaikan sang suryanya dunia gagasan  dan ide tentang keadilan dan hukum yang terkait dengannya memiliki pertautan yang tidak begitu erat dengan sebuah kekuatan yang seaktif semangat dunia Hegel. Dengan kata lain, filsafat hukum Plato terkait erat dengan etika, sedangkan filsafat hukum Hegel terkait dengan sejarah. Dan meski Hegel dapat menghargai pene muan kembali Machiavelli oleh Fichte, tidak diragukan bahwa Machiavellianisme itu bagi Socrates dan Plato merupakan jenis sofisme terburuk.

Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang polis, karena perenungan gagasan tentang polis ini menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan perundangan nyaris tidak memainkan peran sama sekali. Pemikiran tentang sebuah polis tersebut dicirikan dengan kekuasaan filsuf-raja. Dan komunitas yang para penguasanya adalah mereka yang mencari kearifan berdasarkan pemahaman tentang gagasan-gagasan itu tidak akan memerlukan hukurn apa pun karena aparat yang arif akan sanggup menegakkan keadilan dalam situasi apa pun. Membicarakan ide tentang polis ini sebagai "negara ideal" dan menginterpretasikannya sebagai utopia merupakan hal yang lazim. Interpretasi semacam ini tidak mere­duksi keadilan menjadi esensi doktrin ide Plato, karena pemikiran Plato tentang polis atau negara bukanlah sebuah proyek yang mesti dipandang sebagai sebuah program aksi, kendati tidak dapat direalisir.

Justru, seperti baru saja kami jelaskan, gagasan ini meru­pakan realitas sejati, keadaan sesungguhnya, dan segala situasi yang benar-benar berpartisipasi di dalam ide itu secara umum. Karena itu, tugas pembaru adalah berusaha menciptakan sebuah keadaan yang "berpartisipasi" sepenuhnya dalam gagasan itu, karena gagasan itu abadi dan tidak berubah. Ketika Plato menulis dialog yang terkenal yang berjudul Politeia, atau "Konstitusi (bukan "Republik"), dia yakin bahwa ini merupakan problema yang sangat sulit, namun bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Plato yakin solusinya ialah bahwa Filsuf mesti menjadi penguasa atau filsuf penguasa, atau orang-orang yang mengupayakan kearifan melalui pemahaman sejati mengenai gagasan. Dia yakin bahwa jika kebetulan seseorang yang memiliki kekuasaan tak terbatas dalam sebuah polis bertemu dengan pencari kearifan itu, penciptaan masyarakat yang benar-benar baik bisa diharapkan terlaksana. Plato, seperti kita ketahui, mengupayakannya sendiri dan bertindak sejalan dengan keyakinan ini ketika dia menerima undangan dari rekannya Dion untuk bekerja pada Dionysius I dan Dionysius II Syracuse dengan harapan akan menciptakan polis Syracuse dalam gambaran ini. Namun usaha itu gagal.

Akibatnya, Plato kemudian kembali kepada doktrin Yunani tradisional yang menyatakan bahwa tatanan polis yang baik hanya bisa diwujudkan dengan membuat peraturan mendasar atau nomos. Namun nomos ini dipandang Plato sebagai partisipasi dalam gagasan keadilan, dan melalui partisipasi ini ia pada gilirannya berperanserta dalam gagasan kebajikan. Sebuah polis yang ditata dan disusun sesuai dengan ide tentang polis bukanlah gagasan itu sendiri, melainkan ia "berpartisipasi" dalam gagasan itu. Jelaslah bahwa aspek paling membingungkan dari doktrin ini adalah konsepsi partisipasi, atau peranserta, dalam sebuah gagasan. Plato sendiri tidak mampu menyajikan konsepsi tersebut dalam bentuk yang jelas dan rasional. Kendati demikian, dia berlindung di balik mitos gua. Akan menyimpang terlalu jauh jika di sini kita mengaitkannya dengan mitos, dan itu tidak perlu, karena sudah tampak jelas bagi siapa pun yang tertarik dengan penjelasan puitis yang dinamis yang disajikan Plato dalam Republic (vii, di bagian awal). Namun bisa ditegaskan bahwa bagian-bagian dari dunia fenomena makhluk inderawi yang cepat berubah tidak ada yang berpartisipasi dalam gagasan. Dunia pengalaman inderawi awam hanyalah pandangan dari gagasan ini, yang tidak kalah semunya dibanding citra yang tampak pada cermin.

Dalam dunia gagasan ini, hukum dijelaskan secara khusus dalam dialog terakhirnya Plato, Law, dan hanya dianggap riil sebagai reproduksi tak sempurna dari gagasan mengenai hukum dan keadilan. Gagasan tentang hukum tentunya tidak bisa ber­tentangan dengan gagasan tentang keadilan, dan karena itu konflik aktual yang ada antara hukum dan keadilan harus ditafsirkan sebagai konsekuensi dari interpretasi tak sempurna terhadap masing-masing gagasan itu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hukum positif merupakan sebuah fenomena, yang tampak timbul dan tenggelam, yang berpartisipasi hanya secara parsial dalam dunia gagasan yang tak lekang oleh waktu, sebuah konsepsi yang berbeda jauh dari konsepsi hukum alam dalam idealisme modern, di mana cita-cita keadilan sebagai norma yang lebih sempurna dihadapkan dengan hukum positif. Menurut Plato, hukum, layaknya hal lain di dunia ini, pada akhirnya hanyalah jembatan imajiner bagi orang bijak dalam pencarian mereka atas kebenaran dan nilai-nilai.

Namun kedunia lain metafisika Plato ini bukan berarti bahwa Plato kurang memahami pembentukan hukum secara konkret. Sebaliknya: penciptaan tatanan hukum dipandang sebagai tindakan unik legislator yang membangun masyarakat. Solon dan Lycurgus mesti dipahami sebagai purwarupa dari para pencipta agung hukum tersebut. Tugas mereka tidak dipandang sebagai problema kehendak, tetapi sebagai problema nalar.

Bukan pertanyaan, Apakah yang saya inginkan? melainkan Apa yang mesti anda kerjakan? yang merupakan pertanyaan yang seyogyanya dijawab oleh hukum yang diciptakan oleh nomothetes tersebut. Pemikiran yang diajukan oleh pendekatan ini mengarah kepada etika. Karena tugas pembuat hukum adalah membuat seluruh lapisan masyarakat merasa bahagia, dan karena kebahagiaan itu hanya bisa dipahami sebagai partisipasi dalam gagasan tentang kebaikan, hukum dalam tiap aspek harus dibentuk sedemikian rupa sehingga manusia yang hidup di bawah lindungannya menjadi lebih baik.

Ini berarti bahwa hukum memiliki fungsi pendidikan khusus. Karenanya, kami mendapati bahwa, dalam hukum Plato, banyak penekanan yang diberikan pada pembukaan sebuah konstitusi. Karena pembukaan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kepada warga apa yang menjadi dasar pemikiran hukum itu; dengan kata lain, pembukaan itu lebih dimaksudkan untuk membujuk warga mematuhi hukum ketimbang sekadar yang tidak memiliki kehajikan (Arete)" (hut's 705E-706A). Paragraf tersebut mc.nunjulkkim dengan jelas bahwa Plato sedemikian jauh dari posilivisme. Hukum dan perundang-undangan merupakan obyek dari spekulasi filosofis yang bebas, dan keduanya hanya bisa diperoleh dari nalar dan gagasan tentang kebaikan. Bahkan hukum yang benar hanyalah perkiraan tentang kebenaran abadi.

Filsafat hukum Aristoteles dalam banyak hal terkait dengan filsafat hukumnva Plato, terutama konsekuensi praktis bagi hukum dan Negara. Sebagaimana dalam Plato, tugas pendidikan hukum dan perundangan sangatlah penting, namun jika kita cermati, ada perbedaan yang sangat penting antara Aristoteles dan Plato. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan antara metafisika Aristotelian dan Platonian, dan lebih khususnva dengan doktrin Aristotelian mengenai penyebab (causes) dan gagasan tentang Telos atau tujuan akhir yang kental dengan warna Aristoteles. Hingga kini telah diajukan sujumlah interpretasi yang sangat berbeda mengenai hal ini.

Menurut hemat saya, doktrin mengenai empat penyebab merupakan kunci untuk mernahami gagasan tentang Telos. Lebih khususnya, Telos janganlah dicampuradukkan dengan bentuk (form) atau gagasan (idea), kendati pencampur adukkan itu nyaris dianjurkan di beberapa bagian. Pada kenyataannya, tidaklah sepenuhnya benar bila telos disebut sebagai tujuan akhir, karna dalam semua makhluk hidup ekspresi "tujuan", yang sepertinya mensyaratkan kehendak tersadari atas tujuan, tidak dapat digunakan tanpa secara bersamaan memunculkan problema sang khalik pencipta dunia. Doktrin tujuan akhir sesungguhnya berarti bahwa tiap yang ada dimaksudkan untuk mencapai ke­sempurnaan yang sesuai dengannya, bahwa di dalam flap obyek terdapat kecenderungan aktif untuk mewujudkan susunan yang sempurna.

Benih, semaian, dan pohon ek bersatu dalam kecenderungannya untuk mewujudkan pohon ek yang terbentuk secara utuh, dan tiap hal lain, menurut Aristoteles, memperlihatkan upaya yang sama. jika kita menerapkan jenis pemikiran ini pada hukum, kita dapat mengatakan bahwa berbagai fase yang teramati dalam proses mengadanya suatu hukum menunjukkan kecen­derungan bawaan ini. Dengan demikian, inspirasi aseli tentang cara mengatasi situasi tertentu, pembahasannya dalam kantor dan parlemen, dan realisasi akhirnya dalam sebuah konstitusi yang masuk akal dan adil, yakni, yang sesuai dengan situasi yang tengah dihadapi - pendek kata, semua fase penciptaan hukum ini mesti dipahami berdasarkan tujuan akhirnya. .(Carl Joachim Frederich – 2004)

Penekanan pada proses menjadi ini berakibat pada banyak keberpihakan dalam pemikiran hukum Aristoteles. Filsafat hukum Aristoteles tidak kita pahami secara menyeluruh, dan kita tidak memiliki indikasi bahwa Aristoteles menulis yurisprudensi umum semacam itu. Namun dalam karyanya yang ada, terutama Nico­machean Ethics, Politics, dan Rhetoric, kita mendapatkan sejumlah besar informasi tentang pandangan Aristoteles. Lebih khususnya, dalam Nicomachean Ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.”

Yang sangat penting bagi sudut pandangnya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik memper­samakan tiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagai­nya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.

Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama-rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Mengenai penjelasan lebih lanjut, kita bisa mendapatkannya dari apa yang dikatakan Aristoteles. Keadilan distributif "berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan oleh anggota masyarakat." Dengan mengesampingkan "pembuktian" matematis, jelaslah bahwa apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan dila­kukan, maka keadilan korektif berupaya memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Di sini, keadilan, seperti dalam kasus sebelum­nya, merupakan pertengahan antara dua ekstrem ketidakadilan. Sebagaimana diketahui bahwa "pembagian yang dilakukan oleh Aristoteles antara keadilan korektif menjadi sengaja dan tak­sengaja terkait dengan klasifikasi modern tentang kesepakatan dan pelanggaran."

Bagaimanapun, ketidakadilan akan meng­akibatkan terganggunya "kesetaraan" yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan, atau, meminjam ungkapan modern, kesetimbangan ini. "Hukum hanya meninjau pada perbedaan yang diciptakan oleh pelanggaran, dan memperlakukan manusia sebagai makhluk yang setara dari samanya, di mana yang satu menciptakan kerugian dan yang lain menderita kerugian, atau Seseorang berbuat dan orang lain menerima akibat dari perbuatan orang ilu." Nyatalah bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan yang tepat, sedangkan keadilan distributif merupakan hidangnya pemerintah.

Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan sehuah pemikiran yang telah kita jumpai dalam karya Plato, dan yang mengarah kepada hukum alam.'' Dia menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara voniis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang, terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang, hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diekspresikan dalam hukum perundangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia. Sehubungan dengan itu, Aris!oteles juga menjelaskan pembedaan antara hukum tertulis dan tidak tertulis, dan dia mencatat bahwa hukum umum atau hukum alam biasanya tidak tertulis, sedangkan hukum positif kadang lertulis dan kadang tidak tertulis.

Yang tidak kalah pentingnva dengan penetapan mendasar hukum alam ini adalah pengakuan Aristoteles akan pembedaan antara hukum publik dan privat, atau pembedaan antara hukum perundangan dan hukum lain. Konstitusi atau politeia diberi posisi yang sangat unggul. Hukum lain mesti didasarkan pada konsti­tusi, sebuah pembedaan yang kemudian diambil alih dan dikembangkan oleh Cicero. Melalui karya Cicero, gagasan ini menjadi milik umum pemikiran hukum Karat.

Persyaratan sumber konstitusi tidak membuat Aristoteles, seperti halnya Plato, memungkiri kualitas hukum dari suatu perundangan hanya karena ia bertentangan dengan konstitusi. Dia lebih menjadikannya sebagai teguran kepada para pembuat undang-undang daripada sebagai norma konstitusional khusus. Situasinya tidak jauh berbeda bila ditinjau dari peluang konflik antara norma hukum alam dan hukum positif. Menurut Aristoteles, konflik antara keduanya tidak bisa dijadikan landasan untuk menyatakan ketidakabsahan norma positif.

Di dalam Rhetoric-lah kita menjumpai pandangan Aristoteles mengenai hal ini dan sejumlah persoalan lain tentang legislasi positif, karena Rhetoric secara luas membahas problema tertentu tentang hukum yang berlaku. Alasannya ialah bahwa Rhetoric antara lain dipenuhi dengan, retorika forensik (yang berhubungan dengan kehakiman atau pengadilan), yakni, dengan prosedur perdata dan pidana. Retorika forensik ini disebarluaskan oleh kaum Sofis dan memainkan peran penting dalam kehidupan hukum Yunani lantaran adanya praktik peradilan umum, khusus­nya di Athena. Aristoteles, seperti halnya Plato dan khalayak umum, sangat marah terhadap kecenderungan skeptis, bahkan sinis, pada banyak kaum Sofis untuk memandang situasi forensik ini sebagai semacam turnamen di mana semua pihak yang terlibat memiliki kemahiran retorika dan kemampuan untuk mengubah sesuatu yang jahat menjadi baik.

Dalam memerangi kencenderungan yang sangat umum itu, Plato dan Aristoteles sama-sama ingin menegakkan keadilan dan memberinya kedudukan yang layak. Namun Aristoteles mengenali secara jauh lebih jelas dibanding Plato problema praktis dalam melaksanakan tugas itu, dan karenanya dia menghabiskan banyak waktu dalam menyusun Rhetoric untuk membahas pertanyaan tentang bagaimana perkara yang adil bisa dimenangkan melalui proses pengadilan. Tidaklah pada tempatnya untuk menggali persoalan itu lebih dalam, hal ini pun tidaklah diperlukan dalam pembahasan tentang filsafat hukum. Namun penting untuk menyadari bahwa Aristoteles tidak puas dengan satu jawaban atas pertanyaan tentang apa itu hukum alam dan bahwa dia memasuki pembahasan tentang beberapa tugas hukum. Dengan demikian, selain fungsi pendidikan, dia juga mengenali fungsi untuk mempertahankan kedamaian dan mengatasi pertikaian. Dan dia memandang tugas ahli hukum dalam kaitannya dengan fungsi khusus itu. Keserbanekaan tugas ini mempengaruhi praktik forensik.

Aristoteles membuat pembedaan tajam yang sangat penting bagi hukum pidana, yakni tindakan-tindakan yang meskipun sama dan menyebabkan kerugian yang juga sama dibedakan berdasarkan sikap subyektif yang menyertainya. Karena tindakan itu bisa saja merupakan akibat dari suatu ketidaksengajaan, atau ketidaktahuan, atau bahkan kesalahan yang disengaja. Kategori ketiga dibagi lagi menjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan karena keinginan dan emosi dan yang merupakan akibat dari pilihan bebas (prohairesis). Peluang terjadinya ketidaksengajaan dan ketidaktahuan itu menjadikan perlunya memodifikasi hukum positif yang ada berdasarkan kesetaraan. Namun tiap normalisasi hukum kesetaraan mengarah kepada aturan hukum baru mengenai bagaimana mewujudkan kesetaraan itu. Karenanya, pendapat Aristoteles bahwa kesetaraan itu berasal dari buntuk umum hukum yang tidak menaruh perhatian pada persoalan individual hanya bisa diterima dalam batasan sempit. Atau barangkali kita mesti mengakui ketidakbenaran atau setidaknya ketidaktepatan penerjemahan epieikeia-nya Aristoteles sebagai "kesetaraan," karena pada dasarnya epieikeia mengacu pada pengakuan atas kemungkinan pengecualian yang di. satu sisi dapat mengarah kepada amnesti atau ampunan, dan di sisi lain dapat membenarkan kebebasan pengambilan keputusan oleh hakim, yang pada gilirannya diungkapkan dalam rumusan umum, semisal memo­difikasi situasi atau moral yang baik.

Aristoteles menyebut epieikeia sebagai semacam keadilan. Baginya, ini merupakan koreksi atas generalitas hukum yang tidak mempedulikan perkara individu, sebuah generalitas yang didasarkan pada sifat hukum itu sendiri. Aristoteles mencoba menguraikan pemikiran ini dengan meng gunakan perbandingan yang agak menarik. Dia menyatakan bahwa kesetaraan tidak ubahnya timbangan Lydian yang terbuat dari timah yang dengan demikian bisa disesuaikan dengan kontur­kontur garis yang tidak lurus. Namun dia menegaskan bahwa batang pengukur itu tidaklah berguna jika terlalu lentur, dan demikian pula epieikeia akan kehilangan nilainya jika is diterapkan tanpa penyesuaian, penalaran, atau pembatasan. Dalam sebuah ikhtisar yang ada dalam Rhetoric, Aristoteles menyatakan sebagai berikut:

Sudah sewajarnya memaklumi kelemahan manusia dan memandang bukan kepada hukumnya melainkan kepada legislatornya, bukan kepada tulisan hukumnya melainkan kepada niat legislatornya, bukan kepada tindakan itu sendiri melainkan kepa­da tujuan moral, bukan kepada bagian-bagiannya melainkan kepada keseluruhannya, bukan kepada keadaan manusia sekarang melainkan pada keadaan umumnya, mengingat perlakuan baik bukannya perlakuan buruk dan manfaat yang diterima bukannya yang diberikan, menanggung derita dengan kesabaran, berke­inginan untuk tunduk kepada keputusan yang bernalar ketimbang mengambil jalan kekerasan, lebih menyukai arbitrase kepada peradilan hukum, karena arbitrator tetap memantau keadilan, sedangkan hakim hanya meninjau hukum.... Anggap saja cara pendefinisian keadilan ini memadai. .

Dari enumerasi (penyebutan satu demi satu) ini dapat kita ketahui bahwa dalam pandangan Aristoteles batas antara kesetaraan dan keadilan begitu cair dan bahwa kita di sini dihadapkan pada antinomi atau kontradiksi dalam pernikiran hukum Aristoteles. Karena, seperti kita ketahui, konsepsi dasarnya ialah bahwa keadilan hanya ada di antara manusia yang hubungannya diatur oleh hukum (Nicomachemi Ethics v.6. 1134a). Gagasan ini berakar dalam salah satu hukum keadilan alami yang dijumpai dalam kerangka konstitusi yang terbaik

Terhadap pertanyaan tentang bagaimana hukum diwujudkan, Aristoteles pada intinya menawab bahwa “hukum mendapatkan keabsahannya dari kebiasaan yang melandasi kepatuhan" (Politic 1269a). Pemikiran ini diungkapkan berulang-ulang dalam Ethic's dan Politics dan dijadikan landasan untuk penyimpulan selanjut­nya. Lebih khususnya, Aristoteles berpendapat bahwa karena warga perlu dibiasakan untuk mematuhi hukum, maka kita mesti sangat berhati-hati dalam mengubah hukum; lantaran dengan adanya pengubahan itu warga menjadi ragu-ragu. Dan dia menambahkan bahwa perundangan terbaik yang disetujui oleh warga tidak akan banyak berarti jika tidak dilandaskan secara efektif pada prinsip dasar konstitusi (Politics 1310a).

Penekanan kuat pada kebiasaan sebagai landasan keabsahan hukum dan perundangan tidak mencegah Aristoteles untuk mengakui fungsi pemaksaan. Namur pemaksaan itu hanyalah sarana tambahan untuk memperkuat Jaya paksa kebiasaan (Politics 1286b). Peran kebiasaan dalam realisasi hukum hanyalah kasus khusus; perah­nya dalam realisasi kebaikan etis apa pun tidak kalah besarnya. Pembuat undang-undang membuat warga menjadi baik dengan membiasakan mereka untuk menjadi orang baik melalui sarana hukum

Dari apa yang telah dijelaskan bisa dilihat dengan jelas sejauh mana Plato dan Aristoteles meletakkan landasan untuk semua filsafat hukum generasi berikutnya. Hukum umum alam dan hukum khusus tiap masyarakat, hukum konstitusi (publik) dan hukum lain (privat), undang-undang dan keadilan—semua pembedaan ini dan pembedaan penting lain diabstraksikan dari hukum konkret Yunani dan dinyatakan sebagai generalisasi komprehensif oleh kedua filsuf besar ini. Di samping itu, Aristoteles mengupayakan penerapan penting atas pengetahuan ini pada praktik forensik.Karenanya bisa dibenarkan untuk menyatakan bahwa mereka membangun dasar bagi filsafat hukum Barat. Pertanyaan-pertanyaan terpenting telah dikemukakan, dan jawaban-jawaban berharga telah diupayakan. .(Carl Joachim Frederich – 2004)

HUKUM SEBAGAI UNGKAPAN DARI HUKUM KODRAT MANUSIA

KAUM STOIK DAN HUKUM ALAM ROMAWI

Setiap ahli hukum mengetahui rumusan hukum alam yang dilestarikan dalam Kitah Undang-undang Bizantium (Justinian Code). Hukum alam selanjutnyn dibahas dalam kaitannya dengan hukum negara dan hukum perdata, dan tiga istilah ini, jus naturale', jus gentium, dan jus civile, kembali mengemuka dalam Corpus juris civilis. Pembahasan ini dibuka dengan sebuah pernyataan dari Ulpian bahwa hukum alam adalah apa yang diajarkan oleh alam kepada semua makhluk hidup (animalia). Sebagian besar rumusan yang kita jumpai pada kenyataannya merupakan rumusan yang telah ditetapkan oleh Plato dan Aristoteles, dan meski demikian ada perbedaan penting antara konsepsi hukum para pakar hukum Romawi dengan konsepsi hukumnya Plato dan Aristoteles.

Perbedaannya Baru bisa benar-benar dipahami jika kita membahas doktrin Stoik yang pertamakalinya dinyatakan oleh Zeno (295-261 SM, sang pendiri aliran itu) dan di kemudian hari dipertegas oleh Panaetius (sekitar 140 SM) dan dibawa ke Roma, di mana pada akhirnya doktrin ini dinyatakan kembali oleh Cicero dengan cara sedemikian rupa sehingga menjadikan hukum alam Stoik bisa digunakan dalam konteks hukum Romawi, dan bermanfaat bagi perkembangannya.

Di sini tidak ada upaya yang dilakukan untuk menyajikan kedalaman dan ketidakjelasan doktrin Stoik. Yang sangat menen tukan bagi filsafat hukum ialah hahwa kaum Stoik meragukan kerangka polis yang bagi PIato dan Aristoteles sudah tidak direrdebatkiln lagi, dan menyatakan umat manusia sebagai komunitas yang utuh. Satu Tuhan, satu hukum, satu negara —rumusan terkenal mengungkapkan doktrin Stoik secara jelas dan sederhana. Manusia dibedakan dari sesamanya bukan karena ia menjadi anggota sebuah polis melainkan karena la seorang bijak yang mengakui doktrin Stoik atau orang bodoh yang tidak mengakuinya. Karena itu polis yang sejati bukanlah polis yang ada semisal Athena, melainkan sebuah komunitas orang-orang bijak ini. Mereka semua tunduk kepada satu Tuhan dan satu hukum (lex). Dalam Digest (I. 3.  Chrysippus Agung yang membuat doktrin Stoik menjadi sebuah sistem disanjung sebagai seorang filsuf berkearifan Stoik dan konon dalam karyanya menjelaskan tentang nomos: "Nomos [hukum dasar] merupakan penguasa atas semua hal ilahiah dan manusiawi. . .

Sangatlah perlu untuk mengetahui sejak dini bahwa pada pangkal konsepsi nomos atau lex itu terdapat pemikiran yang tidak secara jelas membedakan antara apa yang tidak ingin kita pandang scbagai hukum alam dan norma hukum dasar. Justru konsepsi lex itu memandang keduanva sebagai hukum yang menentukan sifat Benda. Dengan demikian pernyataan Ulpian di bagian yang tclah kami kutip bahwa "jus istud non humani generis proprium est, sed Omnium animalium, quae in caelo , quae in terra, quae in mari mas cuntur" (hukum bukanlah sesuatu yang khas spesies manusia, melainkan [ia mcrupakan hukum] atas semua makhluk hidup yang terlahir di langit, di bumi, atau di laut"). Din menyoroti pernyataan ini dengan mengacu pada bersatunya pria dan wanita dalam rangka menghasilkan anak dan sebagainya.

Di sini jelas bahwa kita dihadapkan pada sudut pandang yang bertalian dengan interpretasi sosiologi modern mengenai hukum, karena interpretasi sosiologis itu berupaya menjelaskan hubungan hukum dengan perilaku alamiah manusia dalam hubungen sosial mereka. Namun demikian, pandangan Ulpian bukanlah pandangan yang dianut oleh semua pengajar hukum alam dalam yurisprudensi Romawi. Lebih khususnya kita jumpai dalam karya Cicero' yang menye­barkan doktrin kaum Stoik kepada bangsa Romawi dalam bentuk yang brilian secara retorik bahwa persoalannya dikemukakan secara agak berbeda. Ini lantaran Cicero membahas hukum alam dengan cara yang menjadikannya dikenal di kalangan Barat sebagai Tex caelestis. Konsep Cicero ini seringkali diterjemahkan dengan cara yang agak menyesatkan sebagai hukum "ilahi". Interpretasi itu tidak sepenuhnya salah, namun menyulitkan orang dalam memahaminya sebagai hukum alam dalam pengertian ilmu alam. Kaum Stoik dan Cicero perlu memahami hukum alam ini sebagai mengemukanya ratio. Cicero mengutip Chrysippus yang, katanya, mengidentikkan Jupiter dengan hukum dan menjelaskan bahwa "lex ratio suninia insita in natura, quae jubet ea, quae facienda sunt, prohibetque contraria" ("Hukum merupakan nalar tertinggi, yang melekat dalam alam, yang memerintahkan apa yang harus dilakukan, dan melarang yang sebaliknya")

Namun bagaimana kita mesti memahami hubungan antara hukum itu yang merupakan nalar tertinggi di jagat raya­dengan hukum alam yang lebih khusus dari komunitas manusia? Ada beberapa kemungkinan interpretasi Cicero, dan ini wajar karena pernyataan Cicero mengenai hal ini tidaklah tegas. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Cicero mengidentikkan keduanya;' namun dikemukakan pula adanya lawan-azas ketika dinyatakan bahwa Cicero memisahkan keduanya secara pasti dan jelas.' Tampaknya akan lebih benar bila kita interpretasikan hukum alam masyarakat manusia sebagai bagian, atau bidang, dari hukum-hukum yang menguasai seluruh alam. Interpretasi ini sepertinya secara jelas dinyatakan di salah satu bagian De re publica (iii. 22, menurut Lactantius) di mana dikatakan bahwa hukum sejati adalah nalar alam, logos alam, sebagaimana kaum Stoik lama menyebutnya. Rasio ini konstan, abadi, dan "tersebar di semua kalangan."

Yang terpenting ialah bahwa manusia, tidak seperti makhluk hidup lain, berpartisipasi secara sadar dalam ratio ini karena dia sendiri memiliki nalar dan karenanya dapat memahami hukum alam. Namun ini bukan berarti bahwa hukum alam merupakan produk dari nalar manusia (lex non hominuni ingeniis excogitata), bukan pula hukum merupakan tatanan yang dibentuk oleh sekelompok orang atau negara; hukum alam merupakan "sesuatu yang abadi yang mengatur seluruh dunia melalui kearifan perintahnya dan larangannya" (De legibus ii. 4). Oleh sebab itu, hukum merupakan pemikiran benar (recta ratio), dan kita mesti mengasumsikan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama memi­likinya. Karena Cicero secara jelas menyatakan bahwa pengetahuan tentang hukum (juris disciplina) tidak bisa diperoleh dari keputusan hakim atau dari Murid-murid Yesus, tetapi hanya dari filsafat. Dalam istilah lain yang lebih modern, kita dapat mengatakan bahwa juris disciplina merupakan rasionalisasi dari tatanan hukum yang berlaku. Ketika terjadi konflik antara recta ratio dan hukum positif, Cicero yakin bahwa norma positif tidak selalu merupakan hukum dalam pengertian sesungguhnya. Yang muncul dari penegasan bahwa "seluruh dunia merupakan komunitas tuhan dan manusia" (De legibus i. 7), bahwa manusia "bersanak dengan Tuhan," dan bahwa manusia, seperti halnya Tuhan, memiliki kebajikan (virtus), yang tidak lain adalah sifat yang lebih sempurna  saya katakan apa yang muncul dari semua itu ialah bahwa "kita terlahir untuk keadilan, dan hukum tidak didasarkan pada opini tetapi pada fitrah manusia itu sendiri" (De legibus i.28). Dalam konteks yang sama Cicero menjelaskan bahwa seluruh manusia merupakan satu komunitas besar, bahwa semua manusia sama, dan bahwa seperti apa pun definisi tentang manusia, definisi itu mesti sesuai dengan seluruh umat manusia, dan karena itu semua manusia memiliki hukum dasar yang sama.

Ditegaskan bahwa doktrin ini merupakan titik balik utama, bahwa rumusan hukum doktrin Stoik yang mendasar ini merupakan titik menjauhnya pemikiran hukum Barat dari filsafat hukum dan politik Plato dan Aristoteles yang berakar dalam polis. Konon Chrysippus dan Cicero lebih dekat dengan Kant ketimbang Aristoteles." Tentunya benar bila dikatakan bahwa doktrin Stoik tentang keabsahan universal hukum ini amat sangat penting. Namun kita ketahui pula bahwa doktrn ini memang berperan penting dalam filsafat Plato dan Aristoteles. Mencampuradukkan persoalan tentang keabsahan universal ini dengan persoalan tentang realisasinya merupakan tindakan yang keliru. Plato dan Aristoteles sama-sama tidak menulis tentang Athena atau tentang polis tertentu yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang nasionalis modern. Kelemahan utamanya ialah mereka tidak percaya bahwa realisasi hukum yang berlaku secara universal dapat dilaksanakan, kecuali dalam kerangka sebuah polis. Dan dalam hal ini Cicero memiliki pendapat yang sepenuhnya sama; adalah kelemahan Cicero sendiri bila dia tidak bisa memahami kerangka polis, civitas, dan menganggap kekaisaran sebagai sebuah negara dalam pengertian modern. Dalam karya Cicero, De re publica, Scipio menjelaskan Republik Romawi dengan cara yang kental dengan tradisi Aristoteles-nya, yang diterapkan pada kondisi Romawi oleh Polybius. Civitas terbaik adalah yang memiliki konstitusi gabungan di mana unsur-unsur monarki, aristokrasi, dan demokrasi diseimbangkan dan diselaraskan. Cicero memusuhi solusi diktatorial dan monarkis atas persoalan kekaisaran dan pada akhirnya harus menebus keyakinannya itu dengan nyawanya dia menjadi martir bagi civitas Romawi kuno seperti halnya Socrates bagi polis Yunani.

Jika kita tidak dibenarkan memperlakukan perbedaan antara Plato dan Cicero sebagai perbedaan radikal, maka keliru pula bila kita menafsirkan Cicero dan hukum alam Romawi sebagai sekadar salinan dari pemikiran hukum Plato dan Aristoteles. Sentuhan kejeniusan dalam pemikiran Cicero ditemukan dalam upayanya untuk mensistematiskan pandangan yang melekat dalam yuris­prudensi Romawi dan menempatkannya dalam kerangka gagasan filsafat Plato, Aristoteles, dan Stoik. Dalam hal ini Cicero menyerupai Locke, yang juga merasionalkan pandangan yang mengabadi dalam perkembangan hukum dan konstitusi Inggris berdasarkan gagasan filsafat yang ada mengenai hukum alam seperti yang berkembang di Eropa. Dalam karya Cicero, kami mendapati peng­gunaan secara terampil sistem retorika sebagai sebuah seni persuasi, sebagaimana yang disistematiskan oleh Aristoteles.'" Doktrin interpretasi Cicero merupakan capaian yuristik tinggi dalam hal kejelasan dan penjabaran sistematisnya.

Namun di bagian penutup saya ingin menguraikan secara ringkas persoalan lain yang sangat penting dan sangat kontro­versial, yakni definisi jus naturale, jus gentium, dan jus civile dalam hubungannya satu sama lain. Acapkali dinyatakan bahwa Cicero mengidentikkan jus naturale dengan jus gentium. Pandangan ini tidak dapat dipertahankan berdasarkan sejumlah pernyataan dalam karya Cicero. Cicero, seperti halnya Ulpian dkk., menganggap jus gentium, berbeda dengan jus naturale, sebagai sebuah hukum oleh institusi kendati institusi ini sangatlah umum. Sebuah institusi semisal perbudakan tidak menjadi adil hanya karena is dijumpai di mana-mana. Norma hukum lain dari jus gentium yang telah dikembangkan oleh hukum Romawi, menurut Cicero, hanya dianggap sebagai jus naturale jika terbukti memiliki landasan filsafat. Yang bisa diakui ialah adanya presumsi yang mendukung pendirian bahwa sebuah institusi hukum yang dijumpai dalam beragam civitates merupakan bagian dari hukum alam.

Untuk penjelasan yang lebih pasti tentang hubungan antara jus naturale dengan norma hukum lain kita perlu menanyakan apa isi dari hukum alam ini atau jus naturale-nya. Cicero maupun hukum Romawi sama-sama tidak memberikan jawaban yang jelas dan tegas terhadap pertanyaan ini. Yang paling dikenal adalah rumusan dari Digest: lroneste vivere, nensunem laedere, soom cuique tribuere. Namun proposisi umum dan etis semisal bahwa orang harus hidup dengan baik-baik, tidak melukai siapa pun, dan mem­berikan kepada siapapun apa yang dia miliki, adalah sedemikian tidak tepat sehingga proposisi itu hanya bisa digunakan untuk evaluasi norma hukum dari sistem yang lebih maju dalam penger­tian epieikea Aristoteles, yakni semacam keadilan.l'

Namun dalam karya Cicero kami menemukan sebuah bagian yang memberikan inforniasi lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan jus naturale. Bagian itu menyatakan bahwa hukum alam mencakup ketundukan kepada tuhan; kewajiban terhadap tanah air, orang tua dan saudara; hormat-menghormati dan kesediaan untuk memaafkan; dan penghormatan kepada mereka yang lebih unggul dari kita dalam hal usia, kearifan, atau kedudukan, dan terakhir dia menambahkan bahwa jus naturale juga mencakup kejujuran.'z Enumerasi (pembuatan daftar) bermacam jenis perilaku yang dikehendaki secara etis ini dapat diimplementasikan dengan para­graf yang agak panjang (De legibus i. 31-32) di mana kesetaraan manusia ditunjukkan dengan fakta bahwa kegusaran, kesenang­an, hasrat, dan kecemasan (molestiae, laetitiae, cupiditates, timores) adalah sama untuk semua manusia.

Untuk lebih memperkuat pendapatnya, Cicero bertanya: "Orang seperti apakah yang tidak menyukai kesantunan, kemurahan hati, dan sikap hormat, dan yang tidak membenci kesombongan, kekikiran, dan kekasaran?" Baginya semua ini sepertinya membuktikan kuatnya alasan untuk hidup dengan penuh kejuhuran (ratio recte vivendi), yang merupa­kan kandungan konkret dari hukum alam yang mesti mendasari semua tatanan hukum yang benar. Cicero sendiri bertindak sesuai dengan keyakinan itu; ketika dia menjadi proconsul (gubernur propinsi di era kekaisaran Romawi) di Cilicia, dia memerintah propinsi itu dengan kejujuran dan kelembutan, dan dia juga ber­tindak demikian di Sicily.

Menurut saya, secara singkat orang dapat mengatakan bahwa filsafat hukum Stoik-Cicero berakar pada etika rasional yang merupakan sumber validitas universalnya sebagai hukum alam manusia. Hukum ini, seperti halnya hukum alam yang lain, meru­pakan pemikiran yang melekat dalam semua alam, dan barangkali kita dapat mengungkapkan maknanya secara lebih benar. Dan karena itu kita dapat dan mesti mendasarkan hukum pada per­undangan ini (a lege ducendaun est juris exordium), karena hukum ini, hukum alam, merupakan kekuatan alam (naturae vis), dan karenanya ini merupakan norma tentang yang benar dan yang salah.

Realisasi hukum alam merupakan tugas yang dibebankan kepada beberapa negara (civitates), yang mengungkapkan hukum sejati dalam norma jus gentium yang lazim bagi semua orang. Namun tiap masyarakat memiliki jus civile sendiri-sendiri, yang hanya berlaku untuk warganya, karena is membahas kondisi khusus, spiritual maupun material, yang khas bagi komunitas, khusus ini. Namun jus gentiuni maupun jus civile sama-sama tidak bertentangan dengan jus naturale. jika keduanya bertentangan, norma tersebut bukanlah hukum sejati, melainkan perintah sewenang-wenang.

Pandangan mendasar Cicero telah mendominasi pemikiran hukum selama seribu tahun. Orang selalu menjumpainya selama berabad-abad. Pandangan-pandangan itu dikemukakan dengan cara yang baru dan filosofis oleh Kant. Ketika para pendiri konstitusi Amerika memproklamirkan bahwa konstitusi mereka membentuk pemerintahan yang berdasarkan hukum dan bukan pemerintahan manusia, mereka hanya mengungkapkan kembali apa yang telah dirumuskan oleh Cicero dengan sangat baik ketika dia mengatakan: "Kita adalah abdi hukum dalam rangka untuk bisa bebas. (Carl Joachim Frederich – 2004)


HUKUM SEBAGAI TATANAN DAN KEDAMAIAN  KOMUNITAS CINTA-KASIH
ST. AUGUSTINE

Memang terdapat hubungan erat antara filsafat hukum kaum Stoik dan filsafat hukum Kristen, namun doktrin politik dan hukum Kristen digerakkan oleh semangat yang sedemikian berbeda sehingga konsep-konsep hukum yang melekat di dalamnya harus dipahami secara berbeda. Namun dalam melakukannya kita jangan sampai membuat kesalahan yang sebaliknya, dan meng­interpretasikan filsafat hukum para penulis patristik dalam pemahaman Jaman Pertengahan. Karena doktrin-doktrin patristik ini memiliki makna sendiri yang hanya bisa dipahami berdasarkan jamannya. St. Augustine "pada kenyataannya merupakan tokoh Kristen klasik yang sempurna, pemikir Kristen terakhir dan terbesar, praktisi sekaligus podium spiritualnya." Dia tetap memiliki pengaruh dominan terhadap Thomas Aquinas, sekalipun para pemikir dalam tradisi Jerman Era Pertengahan keliru memahami dia. Dia adalah "bapak Katolikisme pertengahan."

Kita ketahui bahwa dalam filsafat hukum di era klasik pagan, citra dan pengalaman tentang polis begitu dominan, yakni polis di mana kehidupan politik dan religius, kepemirnpinan pemerintah dan kependetaan, diwujudkan dalam komunitas yang memiliki jalinan erat. Dalam ajaran patristik, terutama dalam karya Augustine, gereja sebagai komunitas yang lebih agung berposisi di atas polis, di atas civitas, dan merupakan suatu antitesis bagi pemerintahan pagan. Fakta inilah yang memberikan makna penting bagi doktrin civitas Dei, yang umumnya sangat sulit dan Samar. Lebih jelasnya, civitas Dei yang sejati hanya ada di langit, bukannya di bumi, namun di bumi ia diwakili oleh komunitas orang-orang beriman. Komunitas ini diidentikkan dengan gereja. Namun dalam karya Augustine pun kita mendapat kecondongan kuat untuk memper­lakukan, gereja rill sebagai perwakilan komunitas orang-orang beriman. Bagaimanapun, gereja ini melekat dalam civitas terrena, komunitas sekular umat manusia, yang pada gilirannya diorganisir menjadi bermacam-macam lembaga politik, res republicae, gentes, regna, dan imperia.

Pemikiran Augustine diinterpretasikan dengan berbagai cara, dan istilah "negara" telah menciptakan banyak kebingunan terutama dalam kaitannya dengan gagasannya tentang tatanan politik dan sekuler. Namun jelas bahwa Augustine membuat pembedaan yang cukup tegas antara res republica dan regnum. Di satu sisi, dia mendefinisikan sebuah republik dalam mengubah tradisi Cicero dan Romawi, sedangkan regnum, negara dalam pengertian kekuasaan yang lebih sempit, pada dasarnya dia nyatakan sebagai segerombolan besar perampok, karena gerombolan ini tidak memiliki keadilan, atau setidaknya bila ia tidak memiliki keadilan. Di sisi lain, republik merupakan komunitas rasional yang ditentukan dengan nilai-nilai yang sama-sama dianut oleh mereka yang menjadi anggota komunitas.

Secara harafiah, nilai-nilai ini merupakan hal yang dihargai dan dicintai (deligere) oleh anggota komunitas ini. Bukan tidak mungkin untuk memper­tanyakan sejauh mana ekspresi deligere ini identik dengan konsep Kristen tentang cinta kasih atau kemurahan hati. Namun ditinjau dari istilah dilectio proximi, atau "cinta kepada tetangga," sepertinya tidak mustahil bahwa Augustine bermaksud mengubah atau menginterpretasikan dalam pengertian Kristen konsep pagan mengenai komunitas hukum yang dijumpai dalam karya Cicero. Karena istilah deligere inilah - yang sesuai dengan makna sesuatu yang dihargai oleh anggota masyarakat - yang di dalam karya Augustine mengambilalih gagasan Cicero tentang kesepakatan tentang hukum dan ketimbalbalikan kepentingan; lebih lanjut, Augustine secara eksplisit mengutip Cicero.

Dengan kata lain, Augustine mengganti komunitas hukum dengan komunitas kemurahan hati atau cinta kasih. Dan komunitas cinta kasih itu sangat penting bagi sebuah republik. Nyatalah bahwa di antara nilai-nilai yang dihargai oleh komunitas itu kita menemukan keadilan, kendati hal ini sering diabaikan. Pada saatnya, konsep keadilan diinterpretasikan kembali dengan cara yang sangat menentukan. Bagi kaum Stoik dan bangsa Romawi, seperti kita ketahui, konsep ini bermakna hidup yang baik, tidak menyakiti siapa pun, dan memberikan kepada siapa pun apa yang menjadi miliknya. Augustine lebih menekankan pemberian kepada siapa pun apa yang dimiliki oleh seseorang, dan yang paling dia utamakan adalah di antara mereka yang mesti kita perkenalkan dengan tuhan kita sendiri, yang dengan demikian ini merupakan inti dari seluruh argumen. Karena itu, keadilan menjadi sebuah kualitas yang mencakup kesalehan. Mempercayai Tuhan, memuliakan dan mengagungkanNya, memberikan kepada gerejanya tempat yang tepat dalam komunitas, semua ini tercakup dalam konsep keadilan.

Namun, terlepas dari konsepsi keadilan ini, yang menyerupai konsepnya Plato, kita tidak menjumpai filsafat hukum tertentu dalam karya Augustine. Kendati demikian, dia menunjukkan kecondongan yang amat kuat yang merupakan bagian dari filsafat hukum, yakni, kecenderungan untuk melihat tatanan politik sebagai sesuatu yang didominasi oleh tujuan perdamaian. Alasannya ialah bahwa tatanan politik kini telah direduksi menjadi fungsi negatif untuk mempertahankan perdamaian, karena ia hanya dimaksudkan untuk menyibukkan orang-orang beriman dengan tugas-tugas penyelamatan abadi.

Wawasan baru ini dengan demikian mengejawantah tidak hanya dalam doktrin terkenal Augustine tentang perang yang adil antara kekaisaran dan republik namun juga dalam penekanannya pada tatanan internal.' Sepertinya ini merupakan akibat yang wajar dan alami dari suatu perubahan penekanan dalam kaitannya dengan tujuan komunitas itu. Karena civitas Dei, dan terutama perwakilannya di bumi, yakni gereja, dituntut merealisasikan nilai-nilai yang lebih luhur, maka yang tcrsisa hanya tindakan memerintah dan mempettahankan perdamaian sebagai tujuan komunitas politik sekular, tujuan civitas terra dan subdivisinya. Ini sama sekali bukan tugas yang ringan, dan ungkapan tegas yang menjelaskan regalia: sebagai gerombolan perampok jangan disalah artikan sebagai penolakan keras Augustine terhadap negara.

Namun dia menem­patkannya - dalam hal ini ia tidak berbeda dengan Plato dan kaum Stoik - di bawah posisi timbangan pengukur keadilan. Timbangan pengukur ini tidak lagi direpresentasikan oleh orang-orang bijak yang dengan bangga mengemukakan pemikiran mereka sebagai pembenaran atas kekuasaan mereka. Ia justru direpresentasikan oleh gereja, yang bersandar pada wahyu ilahi dan merupakan komunitas yang lebih luhur yang berada dalam posisi untuk menentukan apakah penguasa atau pemerintahan tertentu bertindak adil ataukah tidak.

Dengan demikian, perubahan yang menentukan telah terjadi. Komunitas itu terbagi dua. Beberapa abad kemudian perubahan ini berakibat pada pemisahan antara gereja dengan negara, namun pada saat itu perubahan tersebut hanya menyebabkan inter­dependensi negara dan gereja yang di dalamnya diwujudkan kesatuan Dunia Nasrani. Mengenai hukum, dalam situasi ini hukum telah sangat terreduksi arti pentingnya. Ketika Kaisar Justinian di kemudian hari (530 Masehi) berupaya mensistematiskan pemikiran hukum Romawi, dia hanya menempatkan pemikiran ini dalam kerangka pikir Kristen. Tidak ada upaya nyata untuk memperbarui landasan filosofis sistem hukum ini dari sudut pandang Kristen, karena hal ini dipandang sangat tidak perlu.

Upaya Kaisar Justinian sejalan dengan gagasan Augustine, yang menerima kekaisaran itu kendati barangkali dia lebih menyukai sebuah federasi republik merdeka sesuai pemikiran Cicero. Namun pada saat bersamaan dia ingin menempatkan kaisar di bawah posisi kurnia kasih ilahi, karena, jika itu dilakukan, memerintah dan mematuhi dapat berlangsung sebagai konsekuensi dari cinta kasih, dan kehidupan publik dapat dijalani seakan negara merupakan sebuah keluarga besar. Demi kebajikan Kristiani, orang kemudian membentuk tatanan politik. "Ini merupakan sebuah status kerendahan hati yang sejati yang hanya berharap agar negara memberikan perlindungan perdamaian, pertahanan kesejahteraan, dan tatanan moral, dan rakyat tidak banyak bertanya tentang jenis pemerintahan sekuler macam apa yang melindungi kita dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi dan surgawi."

Untuk menegaskan bahwa pandangan teologis ini tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap tatanan hukum yang berlaku dan bahwa pandangan itu tidak berpengaruh apa pun terhadap pemikiran ahli hukum,10 kita tidaklah perlu menjadi orang kritis yang sekaliber Gierke. Karena gagasan ini memperkuat upaya yang dimaksudkan untuk menjauhkan tatanan hukum Romawi lebih manusiawi, sebagaimana telah diupayakan oleh kaum Stoik. Ini benar adanya, kendati para penulis patriasik secara keseluruhan cenderung menerima kondisi yang ada dalam pemerintahan dan perundang-undangan. Pada saat bersamaan, satu persoalan mendasar dalam filsafat hukum dipecahkan oleh para pemuka gereja secara seragam dalam pengertian filsafat klasik: yakni problema atau pertanyaan apakah hukum positif mesti dianggap sebagai hukum yang benar. Augustine merumuskan jawaban negatif terhadap pertanyaan ini secara sangat jelas ketika dia menulis sebagai berikut: "Mild lex esse von videtur, quae justa non fi.lerit" ("Bagi saya sepertinya sesuatu yang tidak adil itu bukanlah hukum"). Pemikiran ini mengemuka dalam bermacam bentuk dalam karya Augustine, dan itu dia kembangkan sendiri. Tidak hanya itu, Augustine menerapkan gagasan ini tidak hanya pada tiap perundangan namun juga hukum secara keseluruhan dan menyatakan dalam kaitan ini bahwa hukum hanya bisa dipahami sebagai sesuatu yang bersumber dari keadilan.

Namun, berbeda dengan Ambrose dan Lactantius, Augustine kemudian meyakini bahwa mestinya ada pembedaan yang jelas antara hukum dan moral atau etika. Hukum positif (lex tempornlis) tidak menghukum dosa tetapi hanya pelanggaran aturan perdamaian dalam pemerintahan tertentu, baik pemerintahan itu berupa imperium, regnum, atau re republica. Karena itu, daya paksa hukum positif diinterpretasikan oleh Augustine secara eksplisit dalam pengertian tradisi hukum Romawi dengan pembatasan yang jelas bahwa ia hanya terbatas pada bidang yang relatif tidak penting di dunia ini, sedangkan bidang yang benar-benar penting adalah kehidupan abadi yang tunduk kepada hukum abadi (lex aeterna). Dengan demikian, hukum positif konvensional bersifat terbatas dan hanya mencegah kejahatan namun tidak menjadikan orang baik.

Sekalipun begitu, adalah keliru bila kita menganggap bahwa moral tidak berkaitan dengan hukum, bahwa lex aeterna tidak berkaitan dengan lex tempornlis. Sebaliknya, hukum ilahi yang abadi menempatkan batas pada semua hukum positif yang tidak dapat dilanggar oleh hukum positif tanpa kehilangan kualitas hukumnya. Namun hukum positif banyak membolehkan apa yang dilarang dan dihukurn oleh hukum Ilahi. Perbedaan ini dinyatakan dengan tegas oleh Augustine: "Quod fieri per leges licebat, quia id nec divina prohibit et nondum prohibuerat lex humana" ("Yang diijinkan untuk terjadi oleh hukum, itu karena hukum ilahi tidak melarangnya, dan hukum manusia belum melarangnya") (Civitas Dei xv. 16). Pembedaan itu oleh Augustine dianggap berkaitan dengan perkara yang paling penting.

Doktrin Augustine merepresentasikan jurisprudensi yang paling penting dari para penulis beraliran patristik, namun adalah keliru bila kita meyakini bahwa doktrin-doktrin ini telah melemahkan pemikiran mereka. Tertullian, Origen, dan Cyprian, kita sebut saja tiga pemikir terkemuka, memiliki gagasan yang sangat aseli tentang hukum dan komunitas hukum." Tertullian, sang ahli hukum, menggarap aspek-aspek hukum ajaran Kristen dan para pendahulunya dalam PerjanjianLama, sedangkan Origen, orang Alexandria Yunani, berupaya mencocokan komunitas polis Yunani ke dalam bangunan iman Nasrani. Namun "para pemuka gereja" secara keseluruhan tidak banyak memberi kontribusi bagi perkembangan filsafat hukum tersebut, tidak pula kaum Gnostics dan musuh utama mereka, Plotinus.12 Hanya Era Pertengahan Kristenlah yang dihadapkan pada tugas memahami hukum gereja dan hukum kekaisaran, dan juga hukum dan adat setempat sebagai kesatuan baru yang membuat langkah baru dan menentukan di bidang ini. .(Carl Joachim Frederich – 2004)

HUKUM SEBAGAI CERMIN DAN BAGIAN  DARI TATANAN DUNIA LAHIAH

Thomas Aquinas dan Kaum Skolastika

Terlepas dari sedemikian kayanya akan rumusan yang rinci, filsafat hukum Jaman Pertengahan pada dasarnya sangat seragam. Ia berkulminasi dalam filsafat hukum Thomas Aquinas, yang memberikan pembahasan panjang lebar tentang hukum dalam Summa Theologia. Pada dasarnya, filsafat hukum ini diajarkan hingga masa sekarang oleh para pemikir Katolik yang melihat adanya ungkapan sempurna tentang philosophic perennis dalam sistemnya Thomas Aquinas. Karena, setidaknya dalam bidang filsafat hukum, transisi dari unsur-unsur Augustine dan Plato yang terkandung dalam pemikirannya menuju Thomas Aquinas berikut sudut pandang Aristoteliannya menunjukkan banyak kontinuitas, terlebih lagi karena di bidang hukum Thomas Aquinas seringkali mempertahankan pemikiran Jaman Pertengahan dan menolak Aristoteles. Kami menemukan sesuatu yang serupa dalam bidang pemikiran politik; karena di sini Thomas Aquinas, berbeda dengan Aristoteles, condong kepada monarki, kendati kecondongan kepada monarki ini dimodifikasi dengan pengakuan akan pentingnya pembatasan konstitusi untuk mengimplementasikan pembatasan yang ditetapkan oleh gereja atas nama keadilan Kristiani, terutama dalam bidang spiritual.

Peran gereja dalam hubungannya dengan pemerintah meyakinkan Thomas Aquinas, dan juga sebagian besar pemikir Jaman Pertengahan, bahwa hukum alam sangat penting, karena hanya menempatkan norma yang lebih umum itu di atas hukum positif maka ada harapan untuk menegakkan keadilan Kristiani. Kendati begitu, dalam kerangka umum ini Thomas Aquinas, berbeda dengan Augustine dan Aristoteles, menginterpretasikan tatanan politik sebagai emanasi alami dari sosiabilitas dan nalar manusia. Kita ingat bahwa Augustine memandang semua pemerintahan, betapa pun terorganisirnya, sebagai konsekuensi dari dosa, yang terutama dimaklumi lantaran adanya tugas spiritual untuk membantu gereja dalam perjuangannya melawan kebobrokan moral manusia dengan memerintahkan dan menghukum. Aquinas menekankan peran positif, konstruktif, dan kreatif tatanan politik.

Saya cenderung mengatakan tatanan politik ketimbang negara, lantaran saya menyesalkan kebiasaan yang sudah berlangsung lama untuk menyebut pemerintahan jaman pertengahan sebagai negara ketika tidak ada sesuatu pun yang membenarkan bentuk anakronisme ini. Dalam pemikiran jaman pertengahan terdapat pangeran, raja, penguasa, dan pemerintah (principes, domini, dominiuin, regimen). 'Ini semua merupakan pokok bahasan dari pemikiran politik. Secara khusus, telaah politik Thomas Aquinas disebut De regimine principum. Seperti halnya jenis telaah serupa, di bawah judul tersebut telaah ini membahas pemerintahan kepangeranan atau kerajaan. Perbedaannya sangatlah penting bagi filsafat hukum karena dalam konsep negara modern kekuasaan legislatif yang tak terbatas memegang peran utama. Namun hukum alam jaman pertengahan tidak mengakui kekuasaan legislatif yang tidak terbatas itu pada diri sang raja, dan dalam batasan yang sempit hukum ini mengakui wewenang legislatif apa pun, ia mewajibkan sang raja untuk bekerjasama dalam penegakkan hukum. Yang teramat penting adalah pemikiran bahwa semua hukum pada dasarnya merupakan hukum adat dan bahwa legislasi hanya memiliki fungsi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan hukum adat itu. Dan karena eksekutif dalam pengertian pemerintahan modern juga tidak memainkan peran penting - birokrasi sentral semisal yang mencirikan negara modern baru dimulai pada abad ke-13 maka tugas utama sang raja, selain perang dan hubungan luar negeri, adalah penegakan keadilan melalui fungsinya sebagai hakim tertinggi dan menerapkan hukum dalam kaitannya dengan pemberlakuan undang-undang. Dalam kerangka pemerintahan yang pada dasarnya yudisial inilah filsafat hukum dan hukum alam jaman pertengahan dapat dipahami.

Jika seseorang menanyakan apa yang secara khusus terkandung dalam filsafat hukum Thomas Aquinas dan kaum Skolastika, dia dapat terlebih dahulu diberitahu bahwa filsafat hukum ini hanya dapat dipahami dalam kerangka umum kosmologi dan ontologi Skolastika. Karena di sini kami tidak dapat menghadirkan pokok bahasan yang luas dan rumit ini, akan lebih baik bila kami tunjukkan kerangka umum yang di dalamnya hukum manusia menemukan tempatnya dan mendapatkan maknanya. Kerangka umum ini tentunya merupakan kerangka teologi rasional Skolastika, yang menyediakan bermacam spekulasi bagi nalar alamiah, selama batas-batas yang ditetapkan oleh pewahyuan ilahiah tidak dilanggar.

Dengan menangani problema tertentu dari suatu komunitas
hukum manusia dalam bermacam bentuknya mengimplemen
tasikan hukum ilahi, hukum alam, dan hukum abadi. Hukum postif manusia ini dibagi menjadi hukum Romawi, hukum agama, hukum raja, dan hukum adat. Jelaslah bahwa Thomas Aquinas memiliki pemikiran khusus tentang legislasi yang berbeda dengan ajudikasi; ini terbukti dalam semua pembahasannya. Ini perlu dinyatakan secara berbeda dengan kecenderungan untuk mempertimbangkan semua hukum jaman pertengahan sebagai sesuatu yang sudah dari sananya, namun juga mesti jelas bahwa Thomas Aquinas menempatkan semua tatanan politik, atau semua pemerintahan, pada posisi di bawah hukum, atau dengan kata lain, hukum menempati posisi utama dalam kerangka di mana semua pemerintahan Kristen mesti bergerak. Ini sesuai dengan pendapat umum bahwa dia pada akhirnya menempatkan kekuasaan sekuler pada posisi di bawah kekuasaan spiritual. Karena, sekalipun pendapat Thomas Aquinas tidak mutlak eklesiastik, pandangannya tentang cara memutuskan tindakan dan perilaku sang raja sedemikian bermoral sehingga, menurutnya, tugas ini mesti diberikan kepada gereja.

Sejalan dengan konsepsi umum tentang hukum ini, Thomas Aquinas membahas empat pertanyaan utama dalam upaya mendefinisikan hukum.s Pertama, dia bertanya apakah hukum dan perundangan (lex) merupakan sesuatu yang rasional atau masuk akal. Dia menjawab bahwa karena hukum merupakan aturan dan ukuran tindakan manusia, ia mesti dikaitkan dengan nalar. Sebagaimana lazim dia lakukan, Thomas Aquinas men­jelaskan tiga argumen tandingan: satu dari Alkitab, karena Rasul telah berbicara tentang hukum anggota jemaat, dan nyatanya ini tidak memiliki kaitan dengan nalar. Argumen ketiga bersandar pada pandangan bahwa hukum merupakan sebuah perintah dan karenanya ia merupakan semacam kehendak, bukannya nalar atau pemikiran. Thomas Aquinas menjawab ketiga argumen itu dengan cara yang halus yang, sayangnya, tidak dapat disajikan di sini. Di satu sisi, dia perlu memahami bahwa nalar mesti menerima kekuatan penggeraknya dari kehendak namun nalar juga menjelaskan sarana yang diperlukan untuk inewujudkan tujuan yang telah ditentukan oleh kehendak, dan di sisi lain, bahwa tepatnya karena kehendak itu "menetapkan hukum atau melegislasi", maka kehendak itu harus tunduk kepada hukum. Ditinjai dari pertimbangan ini, Thomas Aquinas berpendapat bahwa aturan hukum voluntns principis legis Whet vigorem harus dipahami sebagai sesuatu yang tunduk kepada nalar yang lebih tinggi, karena dia mengatakan bahwa bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka kehendak sang raja tidak akan menjadi hukum, melainkan ketidakadilan.

Pertanyaan utama kedua yang dibahas Thomas Aquinas adalah apakah hukum ditujukan bagi kebaikan umum. Jawab­annya adalah ya. Karena hukum merupakan aturan bagi perilaku manusia dan karena tujuan dari semua perilaku itu adalah kebahagiaan, maka hukum mesti ditujukan bagi kebaikan bersama. Tujuan yang dibahas Aquinas umumnya terkait dengan fakta bahwa semua hukum berpekentingan dengan tujuan dan tindakan baik tertentu dan karena itu sepertinya tidak terkait dengan kebaikan tetapi dengan kesejahteraan individu atau kelompok tertentu. Dalam jawaban-jawabannya dia menandaskan bahwa semua kebaikan dan tujuan khusus ini, sebagai tujuan itu sendiri, terkait dengan tujuan akhir, yang bagi masyarakat hal ini merupakan tujuan utama. Dalam kaitan ini dia mengutip Aristoteles, yang menyebut polis sebagai komunitas sempurna, dan hukum hanya adil bila ia berfungsi untuk menyejahterakan polis. Hanya komunitas yang memiliki kesamaan tujuan akhirlah yang mampu menghasilkan tatanan hukum, terlepas dari cita-cita dan tujuannya.
Pertanyaan utama ketiga berkisar tentang isu mengenai apakah nalar setiap orang cocok untuk membuat hukum. Ditinjau dari jawabannya terhadap pertanyaan kedua, Thomas Aquinas memungkiri hal ini. Karena, bila hukum ditujukan bagi kebaikan dan kesejahteraan umum, maka ia hanya dapat dibuat oleh nalar dari semua orang atau dari tindakan sang raja atas nama rakyatnya. Terhadap keberatan yang agak semu, yang sepertinya nyaris tidak diketahui, Thomas Aquinas menjawab dalam konteks jawabannya terdahulu. Kebaikan umum, yang memiliki eksistensi obyektif, hanya bisa dipastikan oleh komunitas atau perwakilannya. Barangkali memang tidak diperlukan alasan tertentu yang dikemukakan untuk pemikiran ini. Penegasan itu hanya diulang­ulang, dalam kaitannya dengan kapasitas legislatif orang banyak dan berkenaan dengan kualitas keterwakilan sang raja.

Tanpa menyebut secara rinci, pertanyaan utama keempat yang akan dijelaskan mempertanyakan apakah publikasi merupakan esensi hukum. Aquinas menjawab secara sangat ekplisit bahwa memang benar demikian. Alasannya ialah bahwa, karena hukum mengandung aturan yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepadanya, maka aturan itu mesti mereka ketahui agar memiliki nilai kewajiban. Aturan ini bersumber dari hukum agama, yang dikutip Thomas Aquinas dalam kaitan ini.

Berdasarkan analisis empat pertanyaan ini, Thomas Aquinas menetapkan definisi hukumnya. Hukum merupakan penataan pemikiran demi kebaikan bersama, yang dipublikasikan oleh mereka yang harus peduli kepada masyarakat: guaedam, rationalis ordinatio ad honunr conzniune, ah eo qui cura communitatis hahet promulgata. Rasionalisme Skolastika agung sangat jelas dalam definisi ini. Unsur kehendak sepenuhnya tunduk kepada landasan logis dari semua hukum. Sudut pandang seperti itu meninggalkan pertanyaan terbuka tentang situasi apa yang berhubungan dengan aturan yang nyata-nyata bertentangan dengan nalar. Hingga di sini, gereja sebagai penjaga nilai-nilai spiritual memiliki tugas penting yang mesti ditunaikan. "Raja mesti tunduk kepada pendeta," tulis Aquinas. Gerejalah yang memiliki tugas untuk memastikan bahwa sang raja, seperti telah saya katakan, bertindak sesuai dengan pandangan Kristen dan aturan kehidupan Kristen. Bila ia tidak mematuhi peringatan Gereja, maka ia (raja) tidak sepantasnya dipatuhi. Dalam hal ini, perintahnya bukan lagi merupakan hukum.

Apakah rakyat lantas diserukan untuk melawan? Ya, dalam hal ini dengan dilakukannya pengucilan dari gereja (ekskomunikasi). "Karenanya, begitu sang penguasa dinyatakan mendapat sanksi ekskomunikasi, karena kemurtadannya, maka rakyat dengan sendirinya terbebaskan dari kekuasaannya, dan dari ikrar kesetiaan yang mewajibkan rakyat untuk patch kepadanya" (ST ii. 2. 12. 2) Namun tidak han a sam.ai di situ. Kepatuhan merupakan perintah hukum ilahi dan hukum alam (ST ii. 2. 104. 1), dan dengan demikian ia merupakan kewajiban agama. Argumen lama mengemukakan bahwa tidaklah mungkin ada ketentraman tanpa kepatuhan. "Manusia wajib patuh kepada penguasa sekular sejauh yang disyaratkan oleh aturan keadilan" (ibid. Art. 6). Namun ada pembatasan penting. "Jika penguasa itu tidak mendapatkan hak yang sah untuk berkuasa, namun dengan cara merebutnya, atau jika ia memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak adil, maka rakyatnya tidak wajib untuk patuh kepadanya; kecuali, barangkali, dalam kasus tertentu, ketika hal ini menyangkut penghindaran skandal atau semacam bahaya tertentu" (ibid). Ini merupakan pandangan yang dinyatakan berulang-ulang dalam berbagai bentuk; ini merupakan konsekuensi logis dari doktrin apa pun yang menetapkan bahwa hukum merupakan anteseden bagi pemerintah dan membatasinya.

Konsekuensi membahayakan dari doktrin itu bagi tatanan hukum, yang digambarkan dengan jelas dalam generasi setelah Thomas Aquinas dalam tahanan paus Babilonia dan dalam konflik dengan Kaisar Louis dari Bavaria, adalah munculnya doktrin yang bertolak-belakang. Sisi metafisiknya terungkapkan dalam perjuangan besar untuk mewujudkan nominalisme dan realisme. William dari Occam (1280-1349) merupakan pendukung paling kuat pandangan bahwa konsep umum universal tidaklah nyata (realia) namun hanya sekadar nama (nontinalia). Kesan inderawi dan pengalaman manusia yang lain sudah ada secara aktual, dan nama berasal darinya, namun' realita terpisah dan terlepas dari nama-nama ini. Sudut pandang ini, yang menghancurkan fondasi teologi rasional (persoalan yang kembali mengemuka dalam Reformasi dalam bentuk yang lebih parah), memiliki arti penting bagi filsafat hukum.
Karena dalam konteks ini rasio praktis menjadi ekspresi kehendak murni, dan kaitan antara rasio murni dan tindakan dari kehendak menjadi lenyap. Kehendak Tuhan merupakan landasan akhir dari semua hukum dan perundangan. Bahkan dosa besar tidak bisa dipahami menggunakan rasio murni. Doktrin tersebut membebaskan Tuhan dari semua penolakan rasional; masalah keyakinan bersifat misterius. Terlebih lagi, apa yang berterap pada Tuhan dan kehendakNya yang di luar akal diyakini benar dengan analogi bagi masyarakat manusia. Tatanan hukum dan perundangannya ada di sini dan absah karena mereka yang memegang kekuasaan menghendakinya demikian. Dalam perspektif ini, kekuasaan kaisar tidak dapat ditentang selama dia menjadi kaisar sesuai haknya dan secara absah. Di sini pemikiran Occam tampak berkaitan dengan pemikiran Marsilius dari Padua (1275-1343?). Marsilius membangun argumennya berdasarkan interpretasi naturalis Aristoteles dalam pemahaman Ibnu Rusd, yakni tidak diwarnai dengan pemikiran Skolastika.

Hukum dan perundangan pada akhirnya mendapatkan keabsahannya dari kehendak rakyat, yang memutuskan secara langsung atau melalui perwakilan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan. Validitas hukum bersumber dari orang yang berpartisipasi dalam penyusunannya. Namun demikian, rakyat dipandang lebih secara aristokrat ketimbang secara demokrat, sebagaimana ditunjukkan dengan kualifikasinya yang terkenal mengenai oalentior pars (yakni senior et melior pars dari tradisi pertengahan).

Dalam kaitan ini Marsilius menekankan aspek prosedural hukum, yang secara tidak sama ditekankan oleh Aristoteles atau dalam tradisi Aristotelian. Ini merupakan aspek yang mesti mendapatkan signifikansi utama dalam pemikiran politik dan hukum di kemudian hari, lantaran pada taraf tertentu berakar dalam kekhasan institusi periode feodal sebagaimana dicontohkan dalam Magna Carta (baca bab ix). Perlu dikatahui bahwa semenjak periode awal bahaya positivisme sudah menampakkan diri: hukum pada dasarnya merupakan perintah yang bersifat memaksa.10 Perintah paksa itu merupakan "bentuk" esensial hukum, terlepas dari apa yang terkandung di dalamnya. Manakala perintah itu digabungkan dengan sanksi yang memadai - yakni hukuman, dalam istilah Marsilius - maka kita memiliki hukum, baik bersifat afirmatif, prohibitif, maupun permisif. Pembedaan mendasar antara aspek formal dan material, dan. dikotomi antara kedamaian dan ketentraman yang berbeda dengan keadilan, memiliki konsekuensi berjangkauan-jauh, sebagaimana yang akan muncul dalam di kemudian hari.

Penekanan pada aspek perintah hukum dalam pengertian formal tentunya terkait erat dengan penekanan Marsilius pada partisipasi "rakyat." Ini menjadikannya sebagai pemengaruh utama dalam perkembangan teori kedewanan, yang pada dasarnya berupaya menerapkan pemikiran tentang hukum dan perundangan pada hukum gereja. Pembatasan ruang menghambat kita untuk menggali lebih dalam konsekuensi praktis yang signifikan ini." Namun kita tambahkan saja bahwa Marsilius secara khusus menegaskan bahwa hukum tidak berguna bila ia tidak dipatuhi dan bahwa hukum memiliki peluang terbesar untuk dipatuhi jika ia disetujui oleh mayoritas rakyat. Marsilius menyebut Aristoteles sebagai orang yang menjelaskan bahwa hukum yang terbaik adalah yang merupakan hasil dari musyawarah warga secara bersama: putra mahkota negara-kota Italia mengakui realita hukum dari lingkup politiknya dalam konteks Athena.

Sayangnya, di sini kita tidak bisa menggali problema menarik yang dimunculkan oleh pertanyaan tentang bagaimana ahli hukum, lebih khususnya postgIossator, mengembangkan dan mengubah argumen metafisik ini. Kami juga tidak dapat melacak kaitannya dengan doktrin Azo (sekitar tahun 1200) mengenai imperium merum sebagai pemberlakuan kekuasaan lokal. Ini merupakan doktrin menarik dari sudut pandang filsafat hukum karena ia menunjuk pada arah problema kedaulatan yang kemudian, dalam pemikiran Bodin dkk., memainkan peran yang sangat besar.

Pendek kata, kita dapat mengatakan bahwa kaum Skolastika, terlepas dari apakah mereka menganggap hukum dan per­undangan sebagai ekspresi kehendak ataukah nalar, memberikan peran menentukan tidak hanya kepada raja namun juga kepada rakyat. Semua absolutisme kaku dianggap asing bagi Jaman Pertengahan. Hukum diyakini berposisi di atas politik atau peme­rintahan. Raja pada dasarnya merupakan hakim tertinggi sejauh berkenaan dengan tatanan dalam komunitas hukum, dan pelaksa­naan tugasnya sebagai hakim bergantung pada pengakuannya terhadap hukum sebagai aturan abadi. Aturan abadi ini (ordo) merupakan makna sesungguhnya dari hukum alam Kristen. .(Carl Joachim Frederich – 2004)


HUKUM SEBAGAI FAKTA SEJARAH

KAUM HUMANIS

Hukum alam yang dikembangkan oleh teologi dan filsafat jaman pertengahan, yang dirumuskan dengan sangat baik oleh Thomas Aquinas, yang oleh ahli hukum jaman pertengahan digunakan sebagai landasan baku dan mapan untuk pemikiran umum mereka tentang hukum, dan yang juga disebut hukum alam Kristen, mendapatkan tantangan serius pertamanya dari kalangan Humanis berorientasi sejarah di abad ke-16. Antusiasme mereka terhadap jaman klasik mendorong mereka mencari dalam berbagai karya penulis, terutama Cicero, apa yang merupakan makna sesungguhnya dari bahasan yuristik yang sangat dikenal dalam Corpus juris civilis. Pencarian itu mau tidak mau membawa mereka kepada hukum alam Stoik. Namun selain dari penemuan kembali, atau boleh dikatakan penekanan kembali, pandangan kaum Stoik tentang hukum alam ini, terdapat pula pemikiran yang lebih jelas mengenai proses penciptaan hukum dan terutama perundang­undangan, karena kedua aspek hukum ini bergantung pada pemahaman sejarah mengenai perkembangan hukum.

Sebenarnya, satu abad sebelum keberadaan kaum Humanis yuristik sudah terjadi perubahan menuju pandangan hukum yang lebih menyejarah dalam yurisprudensi Sir John Fortescue (1400-1476). Karena dia, dengan merefleksikan situasi politik di Inggris, yang berbeda dengan di Perancis, condong kepada penjelasan tentang kondisi historis khusus dalam perkembangan hukum Inggris. Lebih khususnya, dalam karyanya De laudibus legum Anglie, Fortescue, yang sebagai hakim tinggi akrab dengan praktik penerapan hukum, dengan jelas menyatakan bahwa perundang-­undangan Inggris yang lebih baik merupakan hasil dari metoda penyusunan undang-undang yang lebih baik. Dia menekankan bahwa yang membuat demikian adalah kerja parlemen yang mewakili rakyat dalam kaitannya dengan praktik Inns of Court yang sadar akan tradisi hukum di kawasan itu. Karena parlemen semacam itulah yang menginterpretasikan dan mengamandeman undang-undang. Dia menyusun regimen politicum et regale dan dia membedakannya dengan regimen tan turn regale karena menurutnya ini didapati di Perancis. Itu dia lakukan dengan mendasarkan pada hukum, di mana undang-undang dan hukum hanya bisa diwujud­kan atas persetujuan para wakil rakyat. Pembedaan antara Inggris dan Perancis yang tidak didasarkan pada pemahaman yang jelas tentang institusi politik aktual Perancis kala itu boleh dikata kurang menarik. Yang lebih menarik adalah bahwa ia merefleksikan reaksi terhadap kecenderungan tertentu yang mengejawantah di sana dan yang pada akhirnya tertanam dalam absolutisme kerajaan Perancis. Karenanya hal ini menunjukkan nuansa perkembangan sejarah.

Karena itu, bahkan sebelum tahun 1500, antitesis antara pemikiran hukum Inggris dan Eropa dikemukakan dengan jelas; ini dimaksudkan untuk menimbulkan pengaruh berkelanjutan terhadap evolusi pemikiran hukum Eropah. Saya hendak kembali ke pembedaan ini dalam dua bab berikutnya (IX dan X). Sepenge­tahuan ahli hukum Humanis abad ke-16, problema keunikan sejarah dari sistem hukum tertentu telah mengalami perubahan yang lebih umum. Keyakinan bahwa tiap sistem hukum merupa­kan ciptaan dari komunitas politik tertentu, sebagaimana diyakini dalam jaman klasik, berjalin erat dengan kecondongan kosmopolit-an kaum Stoik dengan cara yang sepertinya tidak begitu konsis­ten. Namun antusiasme terhadap Bahasa Latin yang lebih murni sebagian merupakan cerminan dari antusiasme terhadap kebaha­saan seseorang, yang pada gilirannya terkait dengan minat ter­hadap institusi hukum di negara seseorang. Karena minat untuk memperbesar kekuatan dan kekuasaan raja di Perancis inilah yang memicu penemuan kembali gagasan politik yang telah berkembang dalam masa keemasan jaman Romawi klasik. Situasinya agak berbeda dalam kasus Humanis Jerman dan Italia yang menekan­kan otonomi republik kota di jaman Yunani kuno.

Di tengah-tengah perbedaan ini, kits mendapati doktrin merum imperium, yang sangat penting bagi pendapat-pendapat hukum kalangan ahli hukum Humanis. Doktin ini, sebagaimana kami jelaskan (bab VI), memainkan peran penting di kalangan glossator (penulis keterangan tekstual) dan postglosntor. Namun kini, ia memainkan perannya sendiri. Orang semacam Guillaume Bude (1468-1540) dan Andrea Alciati (1492-1550) melandaskan filsafat hukum mereka pada penemuan kembali konsepsi Romawi tentang imperium yang menjadi sangat penting bagi otoritas sekular murni seorang penguasa I.iangsa. Alciati secara khusus mengembangkan pemikiran ini. Dia menghadirkan kembali perdebatan lama antara Azo dan Lotharius, dan berdasarkan penelitiannya atas sejumlah sumber dan naskah-naskah murni dia membuktikan bahwa Lotharius, berbeda dengan pendapat yang berkembang, meng­interpretasikan hak imperium sebagai milik princeps atau penguasa dan bahwa dia hanya melimpahkan merum imperium kepada hakim bawahannya. Pandangan-pandangan ini, yang dibuktikan oleh Alciati dalam wacana yang panjang dan ilmiah sebagai pandangan yang benar, pada dasarnya bergantung pada fakta bahwa konsep kepemilikian (dominium) pada saat ini kembali mendekati konsep yang sebelumnya marak di era Kekaisaran Romawi. Konsep kepemilikan ini sangat berbeda dengan kecenderungan jaman pertengahan dan feodal untuk mencampuradukkan antara kepemilikan dengan penguasaan.

Namun rincian semacam itu, kendati secara politis berada di tengah yurisprudensi kaum Humanis berorientasi-sejarah ini, jangan sampai menghambat kita untuk melihat esensi riil dari keseluruhan perkembangan ini dalam dua karakteristik yang lain. Karena, di satu sisi, terdapat kecenderungan untuk kembali kepada sumber-sumber aseli dan, di sisi lain, kepada pemahaman yang dihasilkan dari telaah atas sumber-sumber itu, yakni pemahaman tentang perkembangan sejarah hukum. Dalam semangat yang nyaris sama di mana Erasmus berupaya mengungkap naskah aseli Perjanjian Baru guna mendapatkan konsep Kristianitas sejati darinya, Alciati berupaya membebaskan naskah Corpus juris yang sudah dikenal dari segala embel-embel kiasan interpretatif dan menginterpretasikannya dengan Cara baru dengan bantuan sumber-sumber sejarah, filsafat dan susastera jaman klasik. Dari pemahaman sejarah kami sendiri, yang menekankan keunikan masa silam, di sini terkandung penolakan terhadap interpretasi sejarah murni. Kalangan glossator dan postglossator dari sudut pandang yang sangat modern nyaris benar ketika mereka meng­interpretasikan materi hukum Romawi dari sisi institusi dan adat­istiadat kala itu. Di sisi lain, kita jangan melupakan bahwa kaum Humanis juga menunaikan tugas mereka kala itu untuk menguak kembali hukum dari masyarakat yang lebih rasional dan birokratis semisal Roma imperial masa lalu dan Eropa masa kini. Karena hukum itu jauh lebih sesuai dengan persyaratan kapitalisme awal dibanding institusi hukum dari sistem feodal yang terpecah-pecah. Karena itu bisa dibenarkan bila kita katakan bahwa di balik selubung ilmiah ini terdapat pergumulan untuk mendapatkan hukum yang "benar" dalam artian hukum yang sesuai dengan kondisi waktu. Posisi pemikiran Skolastika dan Teologis telah diambil alih oleh nalar sejarah, yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan filosofis hukum alam modern.

Jika kita tinjau karya dari tiga akar terkemuka yang khas dengan yurisprudensi Humanisnya, yakni Alciati, Zasius (Ulrich Zasi, 1461-1535) dan Cujacius (Jacques Cujas, 1522-90), kita ketahui bahwa orang Italia, Jerman dan Perancis ini sangat berbeda dalam hal gaya dan sikap, namun mereka memiliki kesamaan filsafat hukum. Itu karena kaum Humanis tetap berpegang erat pada pemikiran bahwa ada satu hukum yang absah untuk semua manusia. Gagasan ini memang berakar pada landasan Humanisme itu sendiri. (Dapat ditambahkan bahwa Humanisme Kristen tidaklah sejauh kaum Sofis Yunani dalam menegaskan bahwa manusia merupakan ukuran dari semua benda, sebagaimana dilakukan Protagoras. Namun manusia dan kehidupannya di bumi mendapat perhatian utama. Bagaimana hal ini bisa menjadi yang sebaliknya jika "kegembiraan dalam hidup" hendak direalisasikan dan acapkali memang telah menjadi realita?) Guna mengkonkretkan gagasan tentang satu hukum universal, kaum Humanis ini mendeklarasikan Hukum Romawi sebagai sumber dasar hukum manusia. Lagi-lagi Zasius kembali kepada gagasan sentral ini, seperti halnya Alciati dan lain-lain. Dan karena Corpus juris civilis tampaknya bersandar sepenuhnya pada landasan hukum-alam, kaum Humanis ini tidak harus membangun sebuah doktrin filsafat hukum alam versi mereka sendiri.

Namun yang dilakukan oleh para pakar hukum Humanis adalah mengajukan "penerimaan" hukum Romawi sepenuhnya. Mereka di kemudian hari seringkali dikecam karena hal ini, khususnya dalam periode Romantik, karena menurut pandangan kaum Romantik upaya pembangkitan semangat rakyat tampaknya telah dipalsukan atau dirusak. Bisa dipahami bahwa suatu pandangan yang menginterpretasikan hukum dalam batasan nasional dan kultural akan sulit menerima atau memaklumi kosmopolitanisme kaum Humanis. Yang lebih penting, pandangan kaum Romantik tidak dapat "memahami" pandangan kaum Humanis. Ini lantaran orang yang menganut pandangan kebangsaan tersebut lupa bahwa orang Jerman, Inggris dan Perancis bagai manapun adalah orang, dan bahwa, terlepas dari semua variasi jenis kebangsaan atau kewilayahan, masih ada pertanyaan tentang ada tidaknya konsepsi hukum dan institusi hukum yang sama dan sesuai untuk semua orang.

Fakta yang mengherankan namun tak bisa disangkal ialah bahwa kaum Humanis penyejarah ini cenderung, sebagai teoretisi hukum, sangat dogmatis, bahkan ketika mereka sudah memahami dengan jelas perkembangan sejarah hukum Romawi, sebagaimana terlihat pada diri Alciati dan alirannya. Salah satu di antara Humanis penyejarah terkemuka, Cujacius sangat menonjolkan sisi spiritual dalam menggeluti problema ilmiah. Ketika, dalam kontroversi besar di jamannya, dia kadang ditanyai tentang pendapatnya terhadap Protestanisme, dia biasanya menjawabnya sebagai berikut: "Nihil hoc edictum pmetoris." Dengan melandaskan pemikirannya pada pengetahuan luar biasa tentang sejarah dan literatur Romawi, dia mengarahkan seluruh upayanya untuk menjelas­kan perkembangan hukum ini dan menginterpretasikan beberapa naskah dalam konteks umum. Karyanya dalam beberapa hal merupakan yang paling menonjol yang pernah dibuat oleh disiplin hukum di masa lalu. Namun risalah terkenal ini pada saat bersama­an mengurangi pengaruh praktis dari Corpus juris civilis. Karena sekarang posisinya menjadi sangat terkait dengan waktu dan tempatnya. Dalam hal ini terdapat perbedaan sangat tajam antara Cujacius dan Humanis lain, misalnya Zasius, yang menurutnya, seperti telah saya katakan, hukum Romawi memiliki makna kema­nusiaan yang sangat umum. Fakta bahwa hukum Romawi positif dijadikan relatif telah mencerabut kualitas filosofisnya dan mele­paskan sifat universalnya. Barangkali orang dapat mengatakan bahwa perkembangan hukum dan filsafat hukum sejajar dengan perkembangan filsafat umum, karena ketika filsafat umum kian mengambilalih posisi teologi, di sini pun kita menemukan pembe­lokan bertahap dari dogmatisme hukum Romawi menuju filsafat hukum yang lebih umum. Maksudnya ialah bahwa hukum alam Kristen yang lebih tua sudah akan digantikan dengan hukum alam sekular dan filosofis. Pada saat bersamaan kita mesti mengakui bahwa dalam abad ke-16 arti penting hukum positif buatan manusia menjadi kian nyata, berbeda dengan semua hukum alam.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa kaum Humanis penyejarah, melalui upaya akademis mereka, telah membersihkan bidang itu dari doktrin kedaulatan yang aspek-aspek hukum legislatifnya sudah semakin banyak diketahui. .(Carl Joachim Frederich – 2004)

UNDANG-UNDANG VERSUS HUKUM ALAM

DOKTRIN KEDAULATAN MENURUT BODIN, ALTHUSIUS DAN GROTIUS

Pemisahan filosofis hukum dari landasan religiusnya dilakukan dalam bentuk yang paling jelas oleh Jean Bodin (1530-96). Di tahun-tahun belakangan sejumlah penulis berupaya, berdasarkan telaah tekstual yang cermat, menjelaskan Bodin sebagai perwakilan teori politik jaman pertengahan yang pada dasarnya dibangun di atas landasan tradisional hukum alam dan perundang-undangan tradisional. Pandangan ini tidak bisa diterima. Terlepas dari semua kontradiksi dan kebingungan yang luar biasa tentang karyanya Bodin merupakan salah seorang penulis yang paling tidak jelas dalam sejarah filsafat hukum Bodin selalu mempertahankan pendapat utamanya secara jelas.

Pendapat ini secara efektif diungkapkan dalam definisi terkenalnya mengenai kedaulatan "Kedaulatan adalah kekuasaan mutlak dan abadi dari sebuah republik," tulisnya, dan sebuah republik merupakan sebuah "pemerintahan yang dilandaskan pada hukum alam" dan merupakan salah satu dari beberapa bentuk kekuasaan yang memiliki kesamaan. Kekuasaan raja (puissance souveraine) yang oleh Bodin dijadikan inti teorinya kemudian didefinisikan sebagai kekuasaan legislatif. Dia menulis bahwa, di mana tidak ada kekuasaan legislatif, di situ tidak ada respublica, tidak ada pemerintahan yang sah, tidak ada "negara", sebagaimana biasa dikemukakan oleh para penulis sepeninggal dia.

Hal yang menentukan dalam definisi ini ialah bahwa Bodin, kendati mendasarkan pandangannya pada doktrin Kristen jaman pertengahan mengenai aturan perundangan yang mesti berada di atas semua aturan hukum dan pemerintahan, memberikan perhatiannya secara penuh kepada upaya takterbatas dalam membuat hukum. Mesti diakui bahwa di dalam hukum selalu ada yang disebut inovasi penuh, sebagaimana kami kemukakan, namun di sini ada perubahan mencolok dalam hal penekanannya. Dengan aturan perundangan di posisi sentral, raja yang dipercaya untuk membuat undang-undang itu menjadi sangat penting bagi tatanan pemerintahan atau kekaisaran.

Ini berarti bahwa, dari sudut pandang filsafat, hukum yang ditetapkan sudah sangat dipahami sebagai produk dari kehendak, yakni bahwa kehendak tidak hanya memutuskan namun dalam banyak hal justru rnenggantikan nalar. Ini tentunya tidak berlaku bagi Bodin, karena dia mengakui bahwa membebaskan raja dari hukum tidak berarti membebaskannya dari hukum alam atau ketentuan alam.

Raja jelas tunduk kepada hukum ini, sebagaimana ketundukannya kepada hukum Tuhan yang abadi. Namun keputusan mengenai; apa yang mesti dianggap sebagai hukum yang lebih tinggi dan ini bagaimanapun merupakan keputusan yang sangat penting­menurut Bodin merupakan hak sang raja; dengan demikian tidak ada lagi pembatasan yang benar-benar nyata, misalnya jaman pertengahan, yang diatributkan kepada kekuasaan rohaniawan. Situasi itu serupa dengan apa yang disebut leges intperii, aturan hukum yang menentukan bagaimana kekuasaan yang lebih tinggi mesti diterapkan, dan terutama seperti apa aturan pergantiannya.

Belakangan orang ramai membicarakan leges intperii ini, atau "aturan hukum" ini, sesuai dengan perkembangan berikutnya, sebagai perundang-undangan, dan ditegaskan bahwa dengan demikian Bodin menempatkan raja di bawah posisi konstitusi karena dia memposisikan sang raja di bawah legess intperii. Ini hanya benar sebagian. Mazhabnya, secara keseluruhan, dengan Bodin memberikan pembatasan dengan leges imperii dan bahwa dalam kaitan ini Bodin secara jelas mengacu kepada lex Silica. Namun situasinya pada dasarnya sama seperti pada hukum alam. Perlindungan hukum yang sangat ketat terhadap pelanggaran "aturan hukum" tidak diakui oleh Bodin, alasannya ialah bahwa jika terjadi perubahan atas leges imperii, pengadilan biasanya akan berupaya, kembali kepada undang-undang. Namun Bodin tidak menjelaskan apa yang terjadi bila pengadilan tidak berupaya mela­kukan hal ini, karena dia tidak hendak mempertanyakan kekuasa­an absolut sang raja, yang berbasis pada kekuasaan mutlaknya di bidang penyusunan undang-undang.

Dan karena itu Bodin mem­bantah bahwa raja sejati bisa dibatasi oleh ikrar atau membatasi diri pada ikrar. Menurut Bodin, satu-satunya kewajiban yang dia terima adalah dalam sifat hukum privat yang menyentuh kepe­milikan dan kekayaan, dan jika berhutang kepada siapa pun, dia wajib melunasinya.7 Argumen ini tidak konsisten, karena Bodin berpendapat bahwa raja terikat untuk mematuhi perjanjian yang ditetapkan oleh hukum alam, karena kepada siapa pun dia harus memberikan apa yang menjadi miliknya.

Namun saya yakin bahwa di sini Bodin sebenarnya menyatakan tuntutan moral yang diala­matkan kepada raja, yang demi kepentingannya sendiri harus ber­upaya menjaga kepercayaan terhadap dirinya. Perlindungan hukum yang ketat tidak ada, karena raja berposisi di atas semua hukum. Namun apakah dia benar-benar berada di atas semua hukum? Bodin membuat kelonggaran penting: raja berada di atas semua hukum selama hukum bisa diubah tanpa ada seseorang yang ditipu: "Principem legibus civilibus derogare posse, dum tamen id fiat sine fraude cujusdam," kata Bodin, mengutip Pengadilan Tinggi Paris.
                                                                                           
Pada landasan pemikiran hukum Bodin kita temukan kontra­diksi yang jelas antara perundangan dan hukum, namun dia sendiri mengakuinya. Dia menjelaskan bahwa perundangan sangat berbeda dan jauh dari hukum. Hukum (jus) adalah baik dan adil tanpa perintah, sedangkan perundangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan dari orang yang memerintah. Karena hukum tidak lain adalah perintah dari kekuasaan tertinggi.! Karena itu, poin pentingnya adalah sebagai berikut: hukum sebagai perundang-undangan positif harus dibedakan dengan jelas dari segala bentuk hukum yang bersumber dari moral dan keadilan. Hal ini memisahkan dua sisi hukum, yang kemudian selalu dianggap berkaitan erat dan secara bersama membentuk kesatuan, sejajar dalam hal dampak historisnya dengan pemisahan antara politik dan moral kekuasaan oleh Machiavelli. Dan kendati Bodin secara tegas menolak Machiavelli, tidak disangkal bahwa argumennya yang mendukung undang-undang sebagai perintah merupakan langkah yang tidak kalah pentingnya, dalam arah doktrin negara modern, dengan langkah Machiavelli.

Konsepsi dasar Bodin mengenai hukum dan perundangan menjadi sangat jelas dalam risalah kecil yang jarang dibaca, namun menarik dari sudut pandang filsafat, yang diterbitkan pada tahun 1578, tidak lama setelah penyusunan karya utamanya.9 Namun risalah ini ditulis jauh lebih awal dan barangkali bahkan sebelum telaahnya mengenai metoda pengetahuan sejarah. Dalam risalah kecil ini dia mengemukakan gagasan untuk memi­sahkan hukum umum universal dari hukum Romawi. Berbeda dengan karya utamanya, esai singkat ini sangat sistematik dan menyajikan pokok bahasannya secara sangat rapi.

Setelah peng­antar umum, Bodin mendefinisikan yurisprudensi sebagai seni memberikan kepada semua orang apa yang menjadi miliknya dan ini dilakukan sedemikian rupa agar komunitas manusia bisa dipertahankan keutuhannya. Bentuknya, yang memuat esensi dan substansinya, tidak lain berupa hukum. Hukum dijelaskan sebagai cahaya kebaikan dan nalar ilahi (prudentia). Bodin membagi hukum ini menjadi hukum alam dan hukum manusia. Yang pertama ditanamkan kepada setiap orang semenjak awal keberadaan manusia dan selalu adil dan berimbang.

Hukum manusia adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia sesuai dengan azas keman­faatan. Yang kedua dibagi lagi menjadi hukum perdata dan hukum yang lazim bagi semua bangsa (jus gentium), yang dalam keduanya Bodin membedakan antara jus antecedens dan jus consequens. Jus antecedens merupakan hukum materiil yang bisa bersifat publik ataupun privat. Jus consequens secara umum merupakan hukum formil, dan bisa ada sanksinya bisa pula tidak. Sanksi merupakan undang-undang (lex), sedangkan jus sine sanctione adalah keadilan dan tradisi. Semua ini dikatakan sebagai jus gentium. Secara berbeda, Bodin mengatakan bahwa jus civile adalah hukum yang khas pada negara tertentu dan karena alasan itu, percaya atau tidak, dia tidak akan memasukkan ini dalam seni cara menerapkan hukum dalam pengertian jus (keadilan)! Dengan demikian, dia juga menyatakan dengan jelas apa yang dia tunjukkan sebagai pandangannya dalam Republic, di mana hal ini tertutup oleh banyak pertimbangan lain: bahwa pembedaan yang jelas harus dilakukan antara undang-undang negara tertentu dengan undang-undang yang berlaku bagi semua rakyat dan yang adil.

Bagi Bodin, konsep lain juga sangat penting, yakni legis actio. Legis actio ini, atau realisasi hukum, dia anggap memiliki dua bentuk, yang di luar pengadilan dan yang di dalam pengadilan. Dia menyatupadukan bermacam tindakan yang menghasilkan hukum, misalnya adat yang sakral, penyusunan undang-undang, institusi peradilan, dan bahkan beberapa jenis tindakan bantuan hukum, sedangkan legis actio yudisial dia anggap sebagai penerapan hukum oleh hakim.

Ini membawa kita pada aspek penting terakhir dari filsafat hukumnya Bodin. Dia memberikan peran yang sangat besar kepada hakim sebagai penegak hukum sejati. Perkecualian terhadap kompetensi raja, misalnya kewajibannya di bawah hukum privat, terkait dengan tindakan hakim dan pengadilan. Pada hakim dan pengadilan terdapat konsep Bodinian tentang lingkup hukum yang pada taraf tertentu bersifat otonom dari negara.

Tidak diragukan bahwa di sini kita menjumpai unsur­unsur pemikiran jaman pertengahan yang nyata. Namun semen­tara di Jaman Pertengahan hukum pemerintah sebagai pemberlaku hukum dipandang terpisah dan tidak dapat diubah, kita kini mendapati bahwa hukum yang diasumsikan tidak bisa diubah ini tidak lepas dari pengaruh hakim, sedangkan penguasa telah menjadi legislator.

Dalam periode setelah Bodin, terjadilah pencabangan. Di satu sisi, kaum absolutis mempertegas pembebasan raja dari segala hukum; di sisi lain, kaum konstitusionalis menekankan kembali fakta bahwa tiap penguasa terikat oleh pembatasan hukum alam dan hukum internasional sebagai hukum yang berlaku bagi semua orang.

Terlepas dari keterbatasan yang diakui sendiri oleh Bodin, doktrin omnipotensi (kemahakuasaan) kekuasaan legislatif yang satu kesatuan dan takterbagi-bagi sebagai ciri utama negara yang tertata baik mengandung makna berakhirnya partisipasi murni kalangan bangsawan dalam penyusunan undang-undang. "Peme­rintahan kelas bangsawan" (Standestaat) telah berakhir dengan diterimanya doktrin tersebut. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila seiring dengan penolakan atas doktrin baru itu, sebagaimana sering kita jumpai, khususnya di Jerman dan Inggris, kita dapati pula upaya untuk mengubah doktrin baru kedaulatan dengan cara sedemikian. rupa sehingga kekuasaan kalangan bangsawan memiliki landasan baru. Bodin tidak menampik kemungkinan ini, tetapi justru memperlaku kannya sebagai kasus kecil.

Dikaitkannya kedaulatan dengan kalangan bangsawan sebagai aturan bukannya sebagai perkecualian adalah persoalan lain, karena pencapaian terbesar berupa pengakuan peran legislasi sebagai sumber utama hukum dipertahankan tanpa mengadopsi implikasi monarkis dan absolutis yang didapatkan oleh Bodin dari doktrin ini. Berkat jasa Althusius-lah dia memaparkan masalah ini." Tentu saja dia mengakui pentingnya hukum alam untuk tatanan hukum, namun menurutnya kekuasaan untuk membuat hukum dasar, untuk melakukan apa yang selanjutnya disebut kekuasaan untuk mem­buat dan mengamandemen undang-undang hanya ada di tangan rakyat.

Dengan demikian, hanya rakyat yang dapat memberlaku­kan kekuasaan legislatif tak terbatas dan sekaligus merupakan penguasa sejati (majestas). Namun kita mesti mengakui bahwa kekuasaan ini telah menjadi sesuatu yang berbeda dari kedaulatan versi Bodin. Dapat ditegaskan bahwa kekuasaan ini tidak terbatasi oleh hukum tetapi diarahkan kepada penataan komunitas hukum. Rakyat sendiri, dalam kaitan ini, tidak dipandang sebagai kum­pulan individu tetapi sebagai kesatuan organ yang ditata sesuai dengan tradisi pertengahan, berdasarkan korporasi yang terdiri dari keluarga, serikat pekerja, kota, negara dan sebagainya.

Namun benar bahwa legislator konstitusional ini dipandang hanya terikat melalui kesadarannya oleh hukum ilahi dan hukum alam. Tidak ada pengadilan banding yang lebih tinggi untuk meninjau kembali keputusannya.Teori Althusian ini dimaksudkan untuk menyediakan kerangka umum untuk doktrin perlawanan terhadap penguasa "tiran," yang, kendati berasal dari jaman pertengahan, telah memiliki kekuatan baru dan diberi rumusan baru dalam konteks perang agama setelah Reformasi (gerakan Reformasi abad ke-16 yang dimaksudkan untuk membaharui praktik gereja Katolik dan meng­hasilkan dibentuknya gereja Protestan). Lebih khususnya, Jesuit dan Calvinis menjadikan doktrin itu sebagai instrumen untuk memerangi penguasa monarki yang tidak termasuk dalam golongan iman "sejati". Seluruh kelompok itu dilabeli "monar­chomachs," ini jelas merupakan penyebutan yang meremehkan terhadap para pendukung tiranisida (pembunuhan raja yang zalim). Pada kenyataannya, pembunuhan sesungguhnya atas seorang tiran, kendati merupakan yang paling dramatis, sama sekali bukan merupakan bagian terpenting dari doktrin itu.

Bagian ini justru terletak pada argumennya mengenai batas-batas hukum dan upayanya untuk menetapkan batas-batas ini dan rnembangun pandangan yang valid secara hukum tentang kemungkinan sanksinya. Di sini kita melihat awal dari doktrin pembatasan dan pemisahan kekuasaan tidak hanya dari sisi kalangan atas, namun juga pejabat yang lebih rendah. Ada bagian samar-samar dari tatanan konstitusi tertentu yang menyediakan perlindungan magistral (yudisial). Pemertahanan tatanan semacam itulah, bukannya sekadar perhatian terhadap penjelasan hukum alam, yang bagi Althusius dan para pendahulunya mengimplikasikan hak, bahkan kewajiban, untuk melawan.

Banyak keberatan yang diajukan terhadap intepretasi populer mengenai doktrin Bodin itu yakni bahwa hukum merupakan sesuatu yang pada dasarnya ditetapkan oleh rakyat. Di antara keberatan-keberatan tersebut, yang paling menonjol adalah yang dikemukakan oleh Hugo Grotius (1583-1645). Dalam karya Grotius kita temukan dua pemikiran mendasar yang terkait erat satu sama lain. Di satu sisi, Grotius, berbeda dengan Althusius, Bodin dan pendukung doktrin kedaulatan yang lain, mengakui secara lebih jelas peran hukum alam.

Di sisi lain, dia condong, seperti halnya sejumlah teoretisi konstitusi Jerman, untuk membagi kekuasaan raja yang oleh Bodin ditegaskan sebagai kekuasaan yang satu dan tak terbagi-bagi. Grotius membangun konsep hak umum untuk berkuasa secara berbeda dengan hak khusus untuk berkuasa (imperium generale dan imperium proprium). Ini dia lakukan dalam membangun doktrin yang ditemukan dalam sejumlah karya penu­lis lain yang dikenal dengan doktrin kekuasaan ganda (majestas realis dan majestas personalis). Hak umum untuk berkuasa (imperium generale) dan kekuasaan rill (majestas realis) dinyatakan oleh Grotius sebagai sifat dari civitas atau komunitas yang terbentuk secara politis (negara), sedangkan kekuasaan pribadi (majestas personalis dan imperium proprium) biasanya mengacu kepada monarki, namun adakalanya kepada aristokrasi atau bahkan kepada rakyat.

Dalam kaitannya dengan konstruksi ini, Grotius menguraikan teori tentang hukum alam yang murni sekular berdasarkan doktrin Stoik dan bebas dari segala kekuasaan kependetaan. Adakalanya di masa kini dinyatakan, namun secara tidak benar menurut saya, bahwa doktrin Grotius nyaris tidak berbeda dari doktrin Neo-Skolastik Spanyol abad ke-16. Prestasi penting Grotius adalah upayanya memisahkan hukum alam dari landasan Kristen dan teologisnya sebagaimana dipahami pada Jaman Pertengahan (lihat bab VI).'

Hanya pembebasan hukum alam dari ikatan religius inilah yang memungkinkan dirinya untuk menempatkan hukum di luar pertentangan keras yang telah diciptakan oleh konflik masalah agama semenjak era Reformasi dan Reformasi Tandingan. Yang benar-benar dilakukan Grotius adalah kembali kepada landasan umum dan rasonal dari segala hukum, yang kita ketahui diakui secara umum oleh kaum Humanis ketika diungkap kembali oleh kaum Stoik.

Pada pandangan umum inilah Grotius melandaskan pembahasannya tentang hukum internasional sebagai hukum yang mengikat semua raja secara rasional. Kumpulan gagasan ini dia kembangkan dalam buku terkenalnya tentang hukum pepe­rangan dan perdamaian. Kendati menggali persoalan kekuasaan berkenaan dengan hubungan antarnegara, Grotius mengakhirinya dengan pandangan tentang Bodin dan Althusius, yang tengah asyik dengan tatanan internal dan struktur negara.

Berbeda dengan doktrin hukum alam Katolik dan bahkan berbeda dengan perwakilan rasionalis yang paling radikal, yang selalu dan secara alami mempertahankan gagasan tentang peran spiritual gereja, Grotius membangun eklektisisme rasional yang dia kemas dalam sebuah karya, yang terkenal di jamannya, yang membahas tentang kebenaran pertanyaan agama. "Dia mere­komendasikan toleransi dalam semua kontroversi dogma dan menghormati semua agama positif asalkan mengakui satu Tuhan dan jiwaNya yang abadi." Karya ini merupakan ekspresi dari keinginan besarnya akan kedamaian, yang menurutnya merupakan tugas yang memiliki makna religius. Perbedaan pandangan Grotius dengan pandangan Neo-Thomisme dari Suarez'" sangat dimaklumi oleh orang-orang sejamannya dan karenanya mereka mengakui konsekuensinya bagi filsafat hukum.

Namun, pendek kata, hukum alam itu, yang bersumber dari rasio murni manusia, mengikat raja hanya melalui nuraninya; dengan demikian tidak ada jaminan kelembagaan yang bisa didapatkan dari kesadaran nurani ini. Dengan demikian, jika penguasa terbebas dari segala bentuk legitimasi spiritual, hukum alam itu tidak memberi perlindungan atas kemahakuasaan negara dan penguasanya. Keadilan ditempatkan di bawah peraturan dan di bawah kehendak orang yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang. .(Carl Joachim Frederich – 2004)

HUKUM SEBAGAI PERINTAH

HOBBES DAN KAUM UTILITARIAN

Filsafat politik dan hukum Thomas Hobbes berbeda dengan Sir Edward Coke, yang pandangannya berakar kuat pada cara-cara yudisial dan parlementer tradisional. Hobbes hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang undang-undang Inggris, yang barangkali merupakan salah satu alasan mengapa dia tidak memiliki pengaruh langsung yang besar di kalangan ahli hukum Inggris-Amerika, kendati pengaruh tak-langsungnya juga tidak kecil, lantaran dia termasuk pendukung utilitarianisme.

Uniknya, terlepas dari kurang eratnya hubungan dia dengan lingkungan hukum dan politik di sekelilingnya, filsafat hukum Hobbes sangat positivistik. Satu-satunya sumber hukum yang dia akui adalah kehendak raja. Kehendak ini boleh jadi dimaksudkan untuk melaksanakan peraturan yang arif dan alami dalam pandangan Hobbes, namun aturan ini hanyalah panduan untuk tindakan yang bernalar dia menyebutnya aturan yang bijak.

Aturan-aturan itu mendapatkan keabsahan hukum semata dari kehendak sang raja. Karena "hukum alam (sebagaimana keadilan, kesetaraan, kerendahhatian, kemurahhatian, atau pendek kata perbuatan yang sebaiknya dilakukan pada orang lain) itu sendiri, tanpa paksaan dari penguasa untuk mematuhinya, bertentangan dengan hasrat alami kita yang menjadikan kita bersikap berat sebelah, sombong, dendam dan sebagainya." Karena itu, dia yakin bahwa "jika tidak ada kekuasaan yang ditegakkan atau jika kekuasaaan itu tidak cukup besar untuk menjamin keamanan kita, tiap orang .akan mengandalkan kekuatannya sendiri."'

Dengan kata lain, sebagaimana sering dia kemukakan, flatus ada "sema­cam kekuatan pemaksa untuk mendesak orang untuk sama-sama memenuhi janji mereka dengan ancaman berupa hukuman yang lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan dengan melanggar perjanjian itu." Dalam konteks ini Hobbes menandaskan bahwa aturan itu kurang tepat untuk disebut hukum, karena "hukum merupakan kata-katanya (sang raja) yang berhak memerintah orang lain" (bab XV). Dengan kata lain, semua hukum hanya akan mendapatkan keabsahan bila pemerintah yang berkuasa menganggapnya absah. Dalam kondisi alami, hukum dan keadilan sama-sama tidak memiliki makna: "Di mana tidak ada kekuasaan bersama, di situ tidak ada hukum: di mana tidak ada hukum, di situ tidak ada keadilan" (bab XIII).

Kita mesti menggali lebih dalam kondisi alami dalam pandang­an Hobbes, karena konsepsi politik dan hukumnya secara logis berasal darinya. Kondisi alami ini ialah peperangan antar-sesama. Manusia selalu cemas karena ancaman dari sesamanya. Benaknya dipenuhi dengan kecurigaan dan kelicikan. Tujuan hidupnya hanyalah untuk mempertahankan hidup, dan dari keinginan kuat untuk hidup ini, atau dari kecemasan yang menghantui untuk tidak mati secara mengenaskan, timbullah konflik bersinambungan untuk mendapatkan kekuasaan. Hobbes mendefinisikan kekuasaan sebagai "sarana yang ada sekarang untuk mendapatkan kebaikan yang nyata di masa mendatang" (bab X).

Tidak ada kebaikan sejati yang paling luhur atau kebaikan yang oleh kalangan filsuf disebut summini bon um, karena kebahagiaan manusia terletak pada kemajuan berkelanjutan dari keinginan yang satu ke keinginan yang lain, sehingga setiap tujuan menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang lain. Oleh sebab itu, Hobbes menyatakan dalam kali­mat terkenalnya, "hasrat yang tiada habisnya dan tiada matinya untuk mendapatkan kekuasaan demi kekuasaan yang hanya akan berhenti jika sudah matt saya sebut sebagai kecenderung umat manusia" (bab XI).

Karena semua kebaikan lain semisal kekayaan dan kekerabatan dapat direduksi menjadi kekuasaan, dan bila dicermati memang tampak sebagai kekuasaan. Ini tidak hanya berlaku pada kondisi alami, namun juga pada kehidupan manusia secara umum. Dalam kondisi alami, hasrat akan kekuasa­an ini menyebabkan manusia sepenuhnya terasing: bila perang tidak memanas, maka itu barangkali karena yang terjadi adalah perang-dingin. Kedamaian hanya bisa terjadi jika ancaman perang dihilangkan.

Dengan demikian kondisi alami ini sangat tidak mengenakkan. Karena tidak saja menghilangkan semua kebaikan peradaban dan kebudayaan, namun juga memunculkan kecemas­an dan ancaman pembunuhan. Dan dalam penjelasannya tentang kondisi alami Hobbes menyimpulkan dengan ungkapan terkenalnya, "dan kehidupan manusia pun menjadi terasing, miskin, kumuh, brutal, dan berusia pendek" (bab XIII). Dalam tanggapan­nya terhadap sanggahan bahwa kondisi alami tidak pernah ada, Hobbes mau mengakui bahwa bolehjadi memang itu tidak pernah terjadi di antara manusia secara perseorangan, namun kondisi itu terjadi antar raja atau penguasa, karena mereka independen dan berhadapan satu sama lain "sebagai gladiator." Dengan kata lain, kondisi alami merupakan sebuah konsepsi; konsepsi ini memung-kinkan kita untuk memahami bagaimana manusia mesti menata sebuah negara dan membuat undang-undang.

Untuk bisa lepas dari kondisi alami yang nista ini, umat manu­sia menjalin hubungan yang tidak lazim dia lakukan. Mereka membuat perjanjian antarmereka sendiri yang mana menurut perjanjian itu mereka semua tunduk kepada satu raja, dan itu mereka lakukan tanpa syarat. Sang raja atau penguasa bisa meru­pakan individu atau kelompok. Umumnya, sang raja, begitu diang­kat, akan bertindak sewenang-wenang. Dia membuat hukum, menjalankan pemerintahan, melaksanakan kebijakan luar negeri dan hubungan internasional, dan mengambil keputusan seputar peperangan dan perdamaian. Dia mengatur keputusan pengadil an, dan segala sesuatunya sesuai dengan kehendak dan pilihannya secara sewenang-wenang, sedangkan rakyatnya hanya pasrah dan harus bisa menerima. Karena kondisi kesewenang-wenangan semacam ini pun, yang tidak sesuai dengan undang-undang, masih lebih baik dari kondisi alami. Hanya ada sate kondisi yang menurut Hobbes mercirikan pendapatnya: jika raja mengancam kehidupan rakyatnya, maka rakyat berhak untuk melawan, kare­na, dalam kondisi demikian, rakyat akan kembali kepada kondisi alami. Dalam pembahasannya, Hobbes tidak menjelaskan sejauhmana kondisi ini berlaku bagi penjahat: sebagai musuh masyarakat, penjahat nyata-nyata berada dalam kondisi alami; namun Hobbes sepertinya enggan menjelaskan konsekuensi logis­nya. Di sisi lain, penolakan untuk bertugas ketika diberlakukan wajib militer tampaknya secara umum masih dalam kerangka hak asasi manusia untuk mempertahankan-diri.

Terbuktilah bahwa filsafat hukum Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip utilitas. Manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentraman sebagai hal yang berman­faat.' Sebagaimana kita ketahui, Hobbes, dalam Leviathan, meng­akui hukum alam sebagai aturan kebijakan, dan bahkan 'dia mengembangkannya secara lebih rinci. Aturan itu mesti dipahami sebagai pengetahuan yang didapatkan dari sifat benda oleh pikiran yang berorientasi kepada kepentingan-diri.

Bagaimanapun, aturan-aturan itu berfungsi untuk memoderasi, kalau bukan untuk memodifikasi, doktrin Hobbesian tentang kedaulatan. Karena meski seseorang pada rulanya menganggap bahwa di dalam filsafat Hobbes terdapat pembenaran atas tirani fasis, namun yang sebenarnya tidak begitu. Kebijakan Hitler atau Mussolini tentunya akan ditentang keras oleh Hobbes; alasannya sederhana saja, yakni bahwa para diktator totalitarian ini mengabaikan begitu saja aturan kebijakan atau kearifan, yakni "hukum fitrah manusia."

Menurut Hobbes, bencana yang ditimbulkan oleh kedua penguasa itu terhadap rakyat mereka dan terhadap mereka sendiri merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dan merupakan konsekuensi dari sifat kebendaan. Penekanan romantik intuisional pada kehendak dari para pemimpin politik ini membuatnya ngeri, namun barang­kali dia akan bereaksi dengan mencemooh mereka.

Hobbes memandang adanya kepatuhan hukum yang sangat mencolok dalam semua peristiwa sosial, namun undang-undang yang turut menyebabkan kepatuhan ini adalah undang-undang alami dalam artian hukum gaya-tarik. Kondisi kepatuhan hukum ini dilandaskan pada azas manfaat yang dipahami oleh manusia. Situasi inilah yang dicoba digambarkan dalam definisi Hobbes tentang kekuasaan. Karena itu hukum yang dibuat oleh raja pada dasarnya merupakan aturan perundangan berkaitan dengan pertimbangan manfaat kedamaian dan keamanan publik.

Kita ketahui bahwa semua aturan perundangan ini dianggap sebagai keputusan yang dilandaskan pada kehendak dan bahwa dalam hal ini raja memiliki kekuasaan mutlak. Karena rakyat membuat perjanjian hanya dengan sesamanya, dan tidak dengan sang raja, maka tidak akan ada pertanyaan tentang pelanggaran atas perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh para penulis yang mempertahankan hak untuk melawan. Karena semua rakyat memposisikan diri-mereka di bawah raja, maka semuanya harus dianggap turut mendukung keputusannya. Keputusan mereka secara umum merupakan "kesepakatan bersama." Mengapa mereka mesti menerima satu ancaman besar demi lenyapnya ancaman-ancaman kecil?

Hobbes secara khusus memandang undang-undang perdata sebagai hukum kepemilikan, hukum mum dan tuum. Undang­undang perdata terdiri dari aturan-aturan tentang apa yang pantas dalam kaitannya dengan aturan ini. Dengan kata lain, pengertian kata "baik" dan "buruk" mesti dicari dalam hukum positif. Namur' demikian, dalam sebuah bab yang panjang mengenai hukum perdata, Hobbes men atakan bahwa kita mesti meniadakan dari hukum perdata ini semua yang hanya berlaku dalam aturan hukum tertentu, dan bahwa kita harus menempat­kan dalam undang-undang perdata semua yang berlaku dalam segala ketentuan politik. "

Karena pengetahuan tentang hukum tertentu dimiliki oleh mereka yang memprotes kajian hukum dari negara-negara merekai sedangkan pengetahuan tentang hukum perdata secara umum dimiliki oleh siapa saja" (bab XXVI). Dengan demikian, dia mendefinisikan hukum perdata sebagai "hukum yang wajib dipatuhi oleh manusia karena mereka merupakan warga dari suatu bangsa, bukannya bangsa ini atau itu." Hukum perdata merupakan undang-undang yang memuat "aturan-aturan yang diperintahkan oleh rakyat kepada penguasa melalui kata-kata, tulisan atau isyarat lain yang mengungkapkan kehendak yang nantinya digunakan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, atau, dengan kata lain, antara apa yang bertentangan dengan apa yang tidak bertentangan dengan peraturan." Definisi ini tidak sepenuhnya sesuai dengan pembedaan antara hukum perdata umum dan khusus dan karena itu menimbulkan salah satu kontradiksi dalam filsafat hukum Hobbes.

Dalam konteks ini pula Hobbes menekankan bahwa hukum sepenuhnya merupakan keputusan murni kehendak dan bahwa karena itu legislator tidak terikat olehnya. Hukum adat, dalam pandangan Hobbes, merupa­kan hukum yang hanya disepakati secara diam-diam oleh legislator penguasa dan samasekali tidak dihargai atau disepakati oleh mereka yang diwajibkan untuk mematuhinya. Kita ketahui bahwa hukum alam baru bisa menjadi hukum bila ada pengakuan dari kekuatan politik. Bagaimanapun, aturan kebijakan dianggap ber­laku bagi semua manusia.

Meski demikian, bagi Hobbes, hukum perdata dan hukum alam memiliki kesamaan. "Hukum alam," tulisnya, "merupakan bagian dari hukum perdata dalam semua bangsa di dunia. Secara timbal-balik, hukum perdata merupakan bagian dari hukum alam." Karena itu orang dapat mengatakan bahwa hukum alam dan hukum perdata saling terkandung satu sama lain. Hukum alam dipengaruhi oleh hukum perdata, dan hukum perdata mengejawantahkan aturan yang terkandung dalam hukum alam.

Dengan demikian, pemenuhan sebuah perjanjian merupakan aturan kebijaksanaan, namun pada saat bersamaan ini merupakan landasan bagi perjanjian dalam hukum perdata. Demikian pula, kepatuhan terhadap hukum perdata merupakan aturan hukum alam. Karena itu tidak mengejutkan bila Hobbes bersiteguh bahwa hukum perdata dan hukum alam bukanlah dua jenis hukum yang berbeda, melainkan bagian yang berbeda dari hukum yang sama. Pada suatu ketika dia bahkan berusaha menginterpretasikan perbedaan antara keduanya sebagai perbedaan antara hukum tertulis dan hukum tak tertulis.

Hobbes berupaya memasukkan pemikiran hukum Inggris tra­disional ke dalam sistemnya dengan menempatkan hukum adat, yang dia pahami sebagai hukum perdata, di bawah posisi raja dalam parlemen sebagai penguasa sesungguhnya. Namun dia menolak pendapat dari mereka yang bermaksud membentuk par­lemen tanpa kekuasaan raja. Pendek kata, dalam menerapkan gagasannya dia kembali kepada pemikiran Inggris tradisional. Namun demikian dia menolak pandangan orang semacam Sir Edward Coke mengenai nalar semu hukum. Hobbes menganggap bahwa seseorang dapat belajar dalam waktu lama, dan dia tetap bisa keliru.

Dan jika landasannya salah, simpulan yang ditarik juga akan keliru. Karena itu bukanlah yurisprudensi atau kearifan sang hakim yang benar-benar menciptakan hukum, melainkan nalar dari eksistensi artifisial ini, yakni bangsa, yang menemukan ekspresi perwakilannya dalam perintah raja. Hakim hanya perlu menanyakan apa yang menjadi kehendak sang raja ini. Jika ia (hakim) gagal melakukannya, ia merupakan hakim yang buruk dan mengarnbil keputusan secara tidak adil. Bagian ini menunjukkan dengan sangat jelas sejauhmana kesesuaian antara Hobbes dengan tradisi Eropa dan bukannya dengan tradisi Inggris dan Amerika, kendati kita mesti mengakui bahwa dalam kaitannya dengan Inggris, pernyataan ini hanya terbukti benar pada jamannya Blackstone dan Bentham.

Tidak hanya itu, Hobbes sepertinya segera menarik kembali­apa yang baru saja dia katakan. Karena dia melimpahkan kepada hakim tugas untuk menginterpretasikan hukum alam. Lebih jelasnya, hakim memiliki wewenang ini hanya sebagai wakil dari raja, namun jika dipertimbangkan secara realistis, ini berarti bahwa Hobbes memberikan kepada hakim peran yang agak luas dalam menyusun undang-undang. Bagaimanapun, Hobbes memang bersekutu dengan James untuk menentang Coke, karena dalam pandangan Hobbes, hakim, seperti halnya rakyat lain, tidak pernah memiliki wewenang untuk mempertahankan kepentingan­nya yang bertentangan dengan kehendak sang raja.

Tidak hanya itu, tiap hakim menghadapi tugas baru untuk mengkaji ulang preseden, lebih khususnya dalam kaitannya dengan landasan hukum aaamnya. Karena pada kenyataannya seorang hakim yang membuat keputusannya dengan cara yang sah secara hukum tidak berarti bahwa dia mesh benar. Kebenaran dari aturan hukum alam sepenuhnya lepas dari wewenang seorang hakim. Secara berulang-ulang Hobbes menandaskan bahwa aturan hukum alam semacam itu memiliki kebenaran abadi, namun dia menyatakan bahwa kebenaran ini sangat bersifat kognitif. Dalam sebuah negara hanya aturan yang mendapat dukungan hakimlah yang absah, dan wewenangnya dilandaskan pada kehendak sang raja. Sekali lagi Hobbes menyatakan secara datar, "hukum adalah perintah."

Dalam artian yang sesungguhnya, hakim dan rakyat adalah sama di hadapan hukum alam. Ada bagian yang mencolok yang menggambarkan tentang hal ini: "Karena siapa pun yang hendak mencari pengetahuan tentang hukum tanpa menggunakan kata­kata orang lain, kecuali kata-kata mereka yang sesuai dengan nalarnya, haruslah sesuai dengan nalar semua orang; dan itu tidak lain adalah Hukum Alam." Ini benar, kata Hobbes, kendati jelas bahwa "hukum adalah perintah," sebagaimana dia tandaskan berkali-kali.

Lantas mengapa Hobbes memberikan wewenang yang ber­kenaan dengan hukum alam kepada hakim dan legislator? Alasan­nya ialah bahwa hukum alam tidak tertulis; is merupakan satu­satunya perangkat aturan yang relevan secara hukum dan keab­sahannya tidak tergantung pada publikasi. Karena aturan hukum alam secara langsung terfokus kepada pengetahuan dan pema­haman akal setiap manusia, maka is tidak memerlukan pernyata­an. Semua aturan hukum lain sepenuhnya diabsahkan dengan publikasi, baik dengan lisan maupun tertulis atau dengan isyarat lain. Begitu aturan ini terbukti sebagai kehendak penguasa, maka ada tersirat kewajiban untuk mematuhinya.

Hobbes bermaksud mengaitkan keabsahan aturan hukum dengan indikasi yang jelas tentang maksud dari si pembuat aturan itu, karena interpretasi yang tegas baru bisa dilakukan di waktu kemudian. Namun masih belum jelas bagaimana hal ini bisa di­lakukan. Hobbes menyadari akan fakta bahwa kata-kata bisa memiliki makna berbeda dan karenanya hukum selalu rentan terhadap bahaya salah penafsiran. Namun dia hanya akan melim­pahkan kepada legislator tugas menentukan tujuan berikut inter­pretasi tentang tujuan ini. Hakim, kata Hobbes secara eksplisit, hanya memiliki tugas memastikan naskah undang-undang dan menentukan kebenaran dari kasus yang ditangani. Karena itu tidaklah mengejutkan bila Hobbes mengklaim bahwa orang awam pun mampu menjadi hakim. Dia menyebut parlemen, dan juga ahli hukum, sebagai hakim tertinggi, dan menyatakan bahwa upaya menemukan hukum dan keputusan tentangnya tidak sepenuhnya bergantung pada pengetahuan hukum seperti yang dimiliki oleh pakar hukum. Sifat-sifat hakim yang baik menurutnya ada empat: pemahaman yang tepat tentang hukum alam sebagai keadilan, tidak mengejar kekayaan, obyektif, dan sabar.4 Kesabaran merupakan kemampuan untuk mendengarkan dan untuk memiliki daya ingat yang baik untuk mengemukakan kembali, menggali, dan menerapkan apa yang didengar. Penekanan pada akal sehat sebagai sumber hukum yang baik ini jelas terkait dengan apa yang dianggap penting oleh Bacon dan James I. Ini nyata-nyata ber­tentangan dengan keyakinan profesi dan praduga para pengacara Inggris (dan bukan hanya yang dari Inggris).

Kalau Hobbes berbicara terlalu banyak tentang hukum alam namun mengabaikan substansinya, David Hume (1711-76) justru dianggap telah menghancurkan (substansinya).5 Ini merupakan semacam upaya melebih-lebihkan, karena Hume jelas-jelas meng­akui tiga hukum dasar fitrah manusia dan secara umum menekan­kan pada fakta bahwa manusia memiliki ciri tertentu yang sama di setiap waktu dan tempat. "Kestabilan pemilikan, pemindahan­nya alas kesepakatan, dan pemenuhan janji" merupakan aturan yang sangat penting: "kedamaian dan keamanan masyarakat manusia sepenuhnya bergantung pada kepatuhan terhadap tiga peraturan itu" (T, III, I, 6). Yang benar-benar membedakan penge­tahuan hukum Hume adalah penolakannya terhadap pendapat bahwa peraturan ini dilandaskan pada nalar, dan dia menandas­kan bahwa "peraturan-peraturan semacam itu sepenuhnya semu dan merupakan temuan manusia".

Nalar, lebih jelasnya, mengakui kegunaan peraturan itu, sedangkan "hasrat" memberi mereka (peraturan-peraturan itu) kekuatan pendorong. Jika ke­adilan terkandung dalam tindakan yang sesuai dengan peraturan ini, maka "kepentingan-diri merupakan motif awal untuk menegakkan keadilan, namun simpati terhadap kepentingan umum merupakan sumber penerimaan moral yang baik yang menyertai kebaikan itu" (T, VI, I, 2. Cetak miring dihilangkan). Hume sangat berkepentingan untuk menunjukkan bahwa manusia tidak sepenuhnya termotivasi oleh kepentingan-diri dan bahwa apa yang dia sebut kebajikan merupakan perasaan utama manusia (E, 223 dsl. dan 261 dsl.). Kepentingan diri selalu mengemuka, dan konsepsi tentang kondisi alami yang terkandung dalam peperangan antarsesama merupakan sebuah "fiksi filsafat" (E, 237). Namun emosi ini tidak cukup kuat, dan demikian pula penalaran yang berdasarkan padanya tidaklah memadai untuk memberikan rasa aman. "Bila semua manusia memiliki kecendikia­an untuk selalu merasakan keinginan kuat itu, yang mengikatnya untuk menjunjung-tinggi keadilan dan kesetaraan, dan kekuatan pikiran yang memadai untuk tetap berpengang-teguh pada kepentingan umum dan kepentingan yang lebih luas . . . maka tidak akan pernah ada yang namanya pemerintahan atau masya­rakat politik...." (E, 253). Namun karena yang terjadi tidaklah demikian, maka manusia memerlukan hukum.

Hume mencatat adanya kesejajaran antara hukum dan aturan permainan: "Dalam masyarakat yang mengadakan permainan, ada hukum yang diperlukan untuk melaksanakan permainan. . . ."; aturan akan diperlukan rnanakala manusia memiliki hubungan satu sama lain (E, 258). Aturan ini, yang tidak lain adalah hukum, mendapat­kan sebagian besar nilai kewajibannya dari manfaatnya, namun manfaat ini tidak mutlak merupakan sesuatu yang dipahami secara rasional, sebagaimana diyakini oleh Hobbes dan Para pengikutnya;6 aturan ini, sebagaimana telah dinyatakan, memiliki landasan emosi yang kuat: "aturan ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat akan dengan sendirinya disambut dengan aprobasi (penerimaan-baik) dan kemauan-baik kita" (E, 263).

Menurut Hume, "sesuatu yang berguna akan memberi kebahagiaan," " dan terhadap pertanyaan "mengapa demikian," yang secara eksplisit dikemukakan sendiri oleh Hume, dia menjawab: "Sepertinya adalah sesuatu yang nyata bahwa keadaan yang rnemberi kegunaan, dalam semua subyek, merupakan sumber dari pujian dan sambutan baik: Bahwa ini selalu diserukan dalam semua keputusan moral tentang kebaikan dan kelemahan suatu tindakan: Bahwa ini merupakan sumber tunggal penghargaan tinggi yang diberikan kepada keadilan, ketaatan, penghormatan, kesetiaan, dan kesucian: Bahwa ini tidak bisa dipisahkan dari semua kebajikan social yang lain, kemanusiaan, kemurahhatian, kedermawanan, kesantunan, toleran, welas-asih, dan sikap tidak berlebihan: dan, boleh dikatakan, bahwa ini merupakan landasan utama moral, yang mengacu kepada umat manusia dan kepada sesama makhluk" (E, 279). Kebaikan bersama, kedamaian, keselarasan, dan ketentraman dalam masyarakat, pendek kata, semua yang hendak diwujudkan oleh aturan hukum dalam menegakkan keadilan, bersandar pada kebaikan kita. Dengan'kata lain, kaidah kemanusiaan dan simpati merupakan pilar bagi aturan hukum.

Hume memang tidak berupaya merumuskan filsafat hukum yang eksplisit dalam pengertian yang tegas, namun prinsip umum yang sebelumnya sudah memberi semacam landasan. Benthamlah yang pada akhirnya membangun di atas landasan ini sebuah teori hukum komprehensif, sebagaimana akan kita bahas nanti. Masih ada yang perlu dijelaskan tentang landasan filosofis umum dafi prinsip-prinsip ini. Pernyataan bahwa itu semua bersandar pada prinsip kegunaan belumlah cukup: kegunaan bisa cocok dengan bermacam pendapat filosofis.

Dalam kasus Hume, kerangka yang lebih luas diberikan dengan skeptisisme yang besar, berdasarkan kritik radikal atas nalar. Di sini kita tidak dapat membahas kritikan terkenalnya mengenai "hukum sebab-akibat" yang dalam pada itu dia berupaya menunjukkan bahwa set,-,'ta hubungan sebab­akibat disimpulkan dari urutan kejadian yang teramati. Yang menjadi persoalan bagi kita ialah bahwa argumen itu dibangun di atas pernisahan radikal antara fakta dan nilai, dan penegasan bahwa nalar hanya berfokus pada "fakta-fakta" yang ditunjukkan melalui pengamatan, yakni kesan inderawi, dan oleh "hasrat" manusia dalam bertindak. "Sepertinya jelas bahwa nalar, yang secara sempit dapat diartikan sebagai penilaian tentang kebenaran dan kebathilan, tidak akan dengan sendirinya menjadi motif bagi kehendak, dan tidak bisa memiliki pengaruh kecuali bila is ber­sangkut-paut dengan hasrat atau kasih-sayang."

Menurut Hume, jenis nalar yang seringkali disebut "nalar yang lebih tinggi" yang terkandung dalam penilaian "tidak lain adalah hasrat yang sifatnya umum dan menentramkan." Dengan demikian, pengetahuan yang disebut "keunggulan pikiran" lebih mengimplikasikan adanya hasrat yang menentramkan, bukannya hasrat kekerasan. Setelah memahami pertimbangan nilai dan emosi yang lain, Hume mengemukakan bahwa sistem etika apa pun harus didasarkan pada "fakta dan pengamatan" (E, 221). Hume berkeyakinan bahwa pengamatan semacam itu mengungkapkan bahwa "fakta-fakta" yang melandasi pertimbangan nilai adalah "konvensi," dan dia berusaha keras untuk menunjukkan adanya konvensi semacam itu dalam bidang-bidang yang dibahas oleh ilmu sosial, termasuk yurisprudensi.

Konvensi ini bersifat tidak tetap dalam lingkup penerapannya, namun keabsahannya bersandar pada "kebiasaan." Kebiasaan itu pada gilirannya bisa dilacak dari kegunaannya. Ada­lah pernyataan yang tepat bahwa "jika premis dari argumennya Hume bisa dibenarkan, maka nyaris tidak bisa dipungkiri bahwa dia melakukan sapu bersih seluruh filsafat rasional mengenai kebenaran alamiah, kebenaran yang terbukti dengan sendirinya, dan hukum abadi dan moralitas yang abadi. Namun demikian, Hume bukanlah seorang antirasionali, radikal; dia memberikan lingkup yang luas bagi nalar dalam menentukan urusan manusia. Namun pendapatnya merupakan "rasionalisme kritis" yang memangkas pretensi tak terbatas tentang "era bernalar." Rasionalisme kritis ini diambil alih dan dikembangkan oleh Kant (lihat bab XIV). Namun implikasinya bagi yurisprudensi diungkap oleh Bentham. Banyak di antara pendapat Hume yang tetap menjadi landasan kerja bagi ilmu sosial hingga sekarang.

Jeremy Bentham (1748-1842) merasakan adanya penemuan besar yang mengilhami dirinya ketika dia pertama kalinya membaca karya Hume, dan dari Hume dia belajar tentang azas man­faat." Bentham tidak sependapat dengan William Blackstone (1723-80) yang konservatif. Blackstone yang merupakan tutornya di Oxford membuat Bentham gusar dengan pandangan konven sionalnya yang hambar. Mengenai karya terkenalnya, Commentaries on the Laws of England (1765-69) dikatakan bahwa Blackstone "mengadopsi metode eksposisi, dan memahami hukum sebagaimana adanya." Sebaliknya, tentang Bentham bisa dikatakan bahwa dia menggunakan "metode celaan, mengajarkan hukum sebagaimana sebaiknya."'12 Yang terakhir ini tentunya bukan yurisprudensi dalam pengertian yang umum diterima, namun Bentham meng­anggapnya sebagai ilmu hukum baru.

Di bagian awal dari karya utamanya, dia mengatakan: "Alam telah menempatkan umat manusia di bawah pemerintahan dua penguasa, yakni dirks dan suka. Untuk keduanyalah kita menjelaskan apa yang sebaiknya dilakukan, dan juga menentukan apa yang mesti kita lakukan.. .

Keduanya menentukan apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan, apa yang kita pikirkan" (bab I). Ini merupakan paham radikal yang dibangun di atas keyakinan Hume bahwa semua tindakan terkait dengan "hasrat," dan seperti halnya Hume, Betham yakin bahwa dirinya adalah seorang empirisis dan bahwa dia telah membangun sebuah yursiprudensi tentang metode eksperimental. Bentham membuat sedikit mungkin pembedaan antara moral dan legislasi, dengan mendasarkan keduanya pada manfaat. Nalar, baginya, juga bagi Hobbes dan Hume, pada dasarnya bersifat "menggabungkan," baik dalam teori maupun dalam praktik. Yang dia upayakan dalam bidang yang terakhir itu adalah "logika kehendak." Ilmu hukum dia yakini sebagai "cabang terbesar" dari "logika kehendak" baru ini (Prakata).

Yang diharapkan oleh Bentham adalah sebuah ilmu pengetahuan obyektif tentang perilaku manusia. Fakta bahwa dia tidak memahaminya sama jelasnya dengan fakta bahwa dalam mengupayakannya dia membangun kritik yang sangat komprehensif tentang tatanan hukum yang mapan yang pernah disusun oleh manusia. Kecamannya terhadap hukum adat tidaklah terbatas. Dia menyebutnya hukum pengadilan dan mengatakan bahwa ini merupakan "komposisi fiktif yang penulisnya tidak dikenal, yang rangkaian kata-katanya tidak dipahami substansinya" (Prakata). Apa yang menurutnya berasal dari semacam momok yang mena­kutkan ialah bahwa orang yang menginginkan kumpulan hukum yang utuh "harus memulai dengan membuatnya" (Prakata).

Dari situ bisa dikatakan bahwa "seni politik terkandung dalam tindakan memerintah individu melalui kepentingan mereka sendiri, dalam menciptakan kelihaian semacam itu yang mana terlepas dari ketaniakan dan ambisinya  mereka mesti bekerjasama demi kebaikan umum." Di sini kita lihat banyaknya pernyataan ulang pandangan pesimistik Hobbes tentang watak manusia; Bentham menolak penekanan Hume pada kebajikan dan kemanusiaan dalam mendukung satu pandangan radikal tentang manusia sebagai yang dimotivasi oleh apa yang oleh Hume disebut cinta­ diri yakni bahwa tiap manusia sibuk dengan suka dan dukanya sendiri, atau dengan kepentingan-dirinya.

Penekanan pada kepentingan diri memunculkan pertanyaan tentang seberapa efektifkah kerjasama bisa dicapai demi mewu­judkan masyarakat manusia. Bagi Bentham, solusinya adalah "pengidentikan kepentingan," yang dimungkinkan dengan aktivitas legislatif pemerintah, lebih khususnya dalam bidang hukum pidana. Hukum pidana, secara khusus, merupakan salah satu bidang yang digeluti Bentham, dan dia menghabiskan waktu dan tenaga untuk menyusun peraturan hukum pidana yang rasional.

Ada dua solusi lain yang memungkinkan, keyakinan Adam Smith (dan Mandeville)" terhadap identitas alami ke­pentingan dan keyakinan Hume terhadap peleburan kepentingan melalui emosi simpatik.'4 Ini tentunya merupakan gagasan Bentham tentang "identifikasi" yang ditemukan secara artifisial yang memaksimalkan peran hukum dan pemerintahan. Sebagai pembaharu yang gigih, Bentham menghabiskan waktunya untuk menemukan piranti hukum yang rinci untuk perbaikan masyarakat. Dengan mempertimbangkan konservatisme yang mendalam pada masyarakat Inggris di jamannya, ada kebutuhan sosial yang sangat nyata akan jenis doktrin ini. Keberhasilan perjuangan panjang Bentham adalah pembaharuan besar yang mengubah perpolitikan dan masyarakat Inggris sebelum dan sesudah tahun 1832.

Di tengah aktivisme hukum tersebut, raja yang berkuasa penuh harus memegang peranan yang menjadikan perintah-perintahnya sebagai hukum. Bukan suatu kebetulan jika Bentham beralih dari despotisnae baik di masa mudanya menuju pendukungan terhadap absolutisme parlementer (aristokrasi) dan akhirnya pada aksi kelompok khalayak ramai (demokrasi) dalam upayanya mencari "raja" yang melaksanakan pembaharuannya. Dalam satu hal, ada kesejajaran yang mengherankan di sini dengan Plato  terlepas dari adanya gurun luas yang memisahkan kedua orang itu secara filosofis, temperamen, dan lingkungan. Plato hanya berpindah dari raja bail_: menuju elit spiritual, bangsawan. Dia tidak ingin "maju"; dia justru ingin kembali. Namun dalam keinginan untuk memperbaharui dan dalam keyakinan bahwa manusia bisa dibuat untuk bertindak benar dan menjadi baik melalui legislasi yang tepat, Bentham dan Plato memiliki pandangan yang sangat serupa terhadap hukum.

Ketidakjelasan yang nyata dalam rumusan Bentham tidak menimbulkan semacam kritik penelusuran. Pertanyaan semisal, Apa yang dimaksud dengan penguasaan sang raja atas kesenangan dan penderitaan? tidak didapatkan jawabannya dalam tulisan Bentham. Prinsip terkenal mengenai "kebahagiaan tertinggi dari jumlah materi terbanyak" menguap menjadi udara tipis, ketika diajukan pertanyaan yang sedemikian sederhana, misalnya "Apa yang mesti dipahami dengan kebahagiaan?"

Kritikus terkini secara tegas namun juga berimbang mengatakan bahwa "kenyataannya ialah bahwa apa yang dikatakan oleh Bentham mustahil untuk memahami." Sesungguhnya Bentham bukanlah filsuf murni, melainkan seorang yang cenderung bertindak. Dengan demikian, kecenderungannya untuk menggunakan gaya ceramah tampak nyata. Seluruh mazhab utilitarian, dan terutama Bentham. memang dicirikan dengan eksponen utamanya sebagai "penemu yang tidak terlalu tersohor, namun merupakan penyusun gagasan ternama." Jika istilah "penemuan" di sini diartikan sebagai penemu­an pengetahuan filsafat yang mendalam, itu sangatlah adil. Namun sebagaimana kami kemukakan di atas, dalam penemuan gagasan hukum tertentu Bentham lebih sukses dibanding sosok terkemuka lain dalam sejarah intelektual Barai."

Pakar hukum terkemuka, John Austin (1790-1859), adalah penjelas tentang hukum, jika bukan landasan filsafat Utilitarian­isme. Dia secara benar menyoroti persoalan kedaulatan dan ber­upaya membangun teori hukum yang sangat imperatif yakni hukum sebagai perintah raja. Dalam dua karya utamanya Austin membedakan yurisprudensi dari moral sedemikian radikalnya sehingga doktrin Hobbes tentang penyerapan hukum alam oleh hukum perdata dipungkiri dan diungguli (demikian pula pandang­an Hume dan Bentham terhadap pemikiran ini).'

Austin merupakan pendiri mazhab analitis yurisprudensi. Dengan mendasarkan teori umumnya pada proposisi bahwa hukum merupakan perintah raja, dia membatasi yurisprudensi pada sebuah analitis mengenai konsep-konsep yang lebih umum yang ada dalam sistem hukum positif, aturan dan kaidahnya. Pen­dek kata, seperti halnya Blackstone dia mengikuti "metode ekspo­sisi," dan karenanya berbeda jauh dengan Bentham, namun Austin mendasarkan eksposisinya pada pandangan utilitarian umum. Untuk pertama kalinya setiap orang di Inggris berupaya" memba­has secara sistematis dan secara kritis gagasan dan bentuk-bentuk mendasar yang ada dalam sistem hukum yang telah berkembang."

Hak dan kewajiban, bermacam jenis tindakan, dan tran­saksi hukum yang terkait dengannya merupakan subyek analisis­nya, yang selanjutnya disernpurnakan oleh para pengikut semisal Sir Thomas E. Holland di Inggris, Wesley N. Hohfeld di Amerika, dan Felix Somlo di Jerman. Austin hanya menaruh perhatian pada institusi sistem hukum tertentuyan dia tinjau dia sendiri ber konsentrasi pada hukum adat dan hukum Romawi); dia berusaha menyaring esensinya dengan menggolongkan data-data hukum yang sudah ada, dan dia mengaitkannya dengan "sifat benda" yang dihipotesis.

Yurisprudensi analitis ini memiliki pengaruh luas di Inggris dan Amerika, dan hal itu telah memberi kecenderungan yang sangat khusus pada perkembangan filsafat hukum di kedua negara. ini, hingga sekarang. Yurisprudensi analitis selalu menolak untuk mempertimbangkan hukum sebagaimana adanya, berserta landasan metayuristiknya. Yurisprudensi ini lebih suka membahas institusi khusus dan mencapai hasil besar dalam analisa kritis mengenai itu semua.Yurisprudensi analitis memiliki kaitan erat dengan apa yang dikenal di Eropa, dan lebih khususnya di Jerman, sebagai "teori hukum umum." Yang terakhir ini, seperti halnya yurisprudensi analitis, memandang analisis konsep hukum umum sebagai tugas yang dijumpai dalam bermacam lembaga hukum dari sistem hukum tertentu.

Filsuf hukum Jerman memberikan komentarnya dengan sangat tepat: "Kalangan dogmatis hukum abad ke-19 memandang bahwa pusat dari upaya ini ada dalam pembentukan dan penemuan konsep-konsep hukum baru dan dalam penggalian fakta-fakta yuridis dan konsekuensi hukum yang timbul darinya, dan juga kondisi intelektual yang berkaitan dengannya, semisal negara, kepemilikan, dan prosedur." Memang ada penolakan keras terhadap problema "filosofis" yang lebih luas ini, namun sejumlah isu filsafat juga terimplikasi dalam teori hukum umum. Lantaran konsep-konsep semisal subyek hukum, hubungan hukum, dan lain-lain, menurut Kant, merupakan kondisi kognitif dari jenis pemahaman hukum manapun, maka itu semua memerlukan jawaban terhadap pertanyaan tentang nilai logisnya, sekalipun semua itu secara ernpirik didapatkan dari metoda-metode komparatif. .(Carl Joachim Frederich – 2004)

Sejarah perkembangan hukum memberikan suatu wawasan asal-usul hukum yang ada di dunia ini darimana sumber-sumber serta pemikiran-pemikiran yang telah melakukan perbaikan-perbaikan hukum yang digunakan untuk menyusun suatu  hukum. Hal ini dapat dijadikan sebagi pedoman untuk membuat suatu perkembangan yang mungkin dapat dilakukan untuk memperbaiki perkembangan hukum yang lebih dapat ditaati oleh semua orang tanpa ada keterpaksaan sehingga akan melahirkan perdamaian dan keadilah dengan adanya hukum dan tidak disalah gunakan oleh adanya kekuasaan.

HUKUM SEBAGAI KEHENDAK TUHAN

PENDAPAT PENDETA SEBAGAI PENAFSIR HUKUM.

Ditekankannya hukum dalam pembangunan politik dan pemerintahan Inggris, dan kemudian pemerintah Amerika, meski mendahului gerakan ini, mendapatkan dukungan dan penguatan religius dalam gagasan-gagasan ini. Hukum dari adat sakral ini dijelaskan sebagai penentu atas segala sesuatunya Dalam dunia gagasan ini, hukum dijelaskan secara khusus dalam dialog terakhirnya Plato, Law, dan hanya dianggap riil sebagai reproduksi tak sempurna dari gagasan mengenai hukum dan keadilan.

HUKUM SEBAGAI PARTISIPASI DALAM MENEGAKKAN  GAGASAN TENTANG    KEADILAN.

Berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.”
Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan dila­kukan, maka keadilan korektif berupaya memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Dia lebih menjadikannya sebagai teguran kepada para pembuat undang-undang daripada sebagai norma konstitusional khusus. Situasinya tidak jauh berbeda bila ditinjau dari peluang konflik antara norma hukum alam dan hukum positif. Menurut Aristoteles, konflik antara keduanya tidak bisa dijadikan landasan untuk menyatakan ketidakabsahan norma positif.

Pembuat undang-undang membuat warga menjadi baik dengan membiasakan mereka untuk menjadi orang baik melalui sarana hukum  Plato dan Aristoteles meletakkan landasan untuk semua filsafat hukum generasi berikutnya. Hukum umum alam dan hukum khusus tiap masyarakat, hukum konstitusi (publik) dan hukum lain (privat), undang-undang dan keadilan semua pembedaan ini dan pembedaan penting lain diabstraksikan dari hukum konkret. Rumusan hukum alam yang dilestarikan dalam Kitah Undang-undang Bizantium (Justinian Code). Hukum alam selanjutnyn dibahas dalam kaitannya dengan hukum negara dan hukum perdata Pandangan-pandangan itu dikemukakan dengan cara yang baru dan filosofis oleh Kant. Ketika para pendiri konstitusi Amerika memproklamirkan bahwa konstitusi mereka membentuk pemerintahan yang berdasarkan hukum dan bukan pemerintahan manusia, mereka hanya mengungkapkan kembali apa yang telah dirumuskan oleh Cicero dengan sangat baik ketika dia mengatakan: "Kita adalah abdi hukum dalam rangka untuk bisa bebas,

HUKUM SEBAGAI UNGKAPAN DARI HUKUM KODRAT MANUSIA

Augustine mengganti komunitas hukum dengan komunitas kemurahan hati atau cinta kasih. Dan komunitas cinta kasih itu sangat penting bagi sebuah republic. Dalam hal ini ia tidak berbeda dengan Plato dan kaum Stoik - di bawah posisi timbangan pengukur keadilan. diwujudkan kesatuan Dunia Nasrani. Mengenai hukum, dalam situasi ini hukum telah sangat terreduksi arti pentingnya. Ini benar adanya, kendati para penulis patriasik secara keseluruhan cenderung menerima kondisi yang ada dalam pemerintahan dan perundang-undangan. Pada saat bersamaan, satu persoalan mendasar dalam filsafat hukum dipecahkan oleh para pemuka gereja secara seragam dalam pengertian filsafat klasik: yakni problema atau pertanyaan apakah hukum positif mesti dianggap sebagai hukum yang benar.

HUKUM SEBAGAI TATANAN DAN KEDAMAIAN  KOMUNITAS CINTA-KASIH

Thomas Aquinas, yang memberikan pembahasan panjang lebar tentang hukum dalam Summa Theologia birokrasi sentral semisal yang mencirikan negara modern baru dimulai pada abad ke-13 maka tugas utama sang raja, selain perang dan hubungan luar negeri, adalah penegakan keadilan melalui fungsinya sebagai hakim tertinggi dan menerapkan hukum dalam kaitannya dengan pemberlakuan undang-undang.

Kerangka umum ini tentunya merupakan kerangka teologi rasional Skolastika, yang menyediakan bermacam spekulasi bagi nalar alamiah, selama batas-batas yang ditetapkan oleh pewahyuan ilahiah tidak dilanggar.hukum manusia dalam bermacam bentuknya mengimplementasikan hukum ilahi, hukum alam, dan hukum abadi. Hukum postif manusia ini dibagi menjadi hukum Romawi, hukum agama, hukum raja, dan hukum adat. Jelaslah bahwa Thomas Aquinas memiliki pemikiran khusus tentang legislasi yang berbeda dengan ajudikasi; ini terbukti dalam semua pembahasannya.

Hanya komunitas yang memiliki kesamaan tujuan akhirlah yang mampu menghasilkan tatanan hukum, terlepas dari cita-cita dan tujuannya. Aquinas menjawab secara sangat ekplisit bahwa memang benar demikian. Alasannya ialah bahwa, karena hukum mengandung aturan yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepadanya, maka aturan itu mesti mereka ketahui agar memiliki nilai kewajiban. Aturan ini bersumber dari hukum agama, yang dikutip Thomas Aquinas dalam kaitan ini.


HUKUM SEBAGAI CERMIN DAN BAGIAN  DARI TATANAN DUNIA ILAHIAH

Pemisahan filosofis hukum dari landasan religiusnya dilakukan dalam bentuk yang paling jelas oleh Jean Bodin Pada landasan pemikiran hukum Bodin kita temukan kontra­diksi yang jelas antara perundangan dan hukum, namun dia sendiri mengakuinya. Dia menjelaskan bahwa perundangan sangat berbeda dan jauh dari hukum. Hukum (jus) adalah baik dan adil tanpa perintah, sedangkan perundangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan dari orang yang memerintah. Karena hukum tidak lain adalah perintah dari kekuasaan tertinggi.

HUKUM SEBAGAI FAKTA SEJARAH DAN HUKUM SEBAGAI PERINTAH

Pakar hukum terkemuka, John Austin (1790-1859), adalah penjelas tentang hukum, jika bukan landasan filsafat Utilitarian­isme. Dia secara benar menyoroti persoalan kedaulatan dan ber­upaya membangun teori hukum yang sangat imperatif yakni hukum sebagai perintah raja. Yurisprudensi analitis memiliki kaitan erat dengan apa yang dikenal di Eropa, dan lebih khususnya di Jerman, sebagai "teori hukum umum. menurut Kant, merupakan kondisi kognitif dari jenis pemahaman hukum manapun, maka itu semua memerlukan jawaban terhadap pertanyaan tentang nilai logisnya, sekalipun semua itu secara ernpirik didapatkan dari metoda-metode komparatif.

Rancangan UU HAP

Rancanga UU HAP

Refleksi keadilan